“Aku tahu kamu tersinggung” apa jatuh talak?
“Aku tahu kamu tersinggung” apa jatuh talak?
WAS-WAS TALAK (10)
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
Dengan Hormat,
1A. Kemarin istri saya sempat tersinggung oleh saya. Untuk menenangkannya saya mengucapkan kalimat seperti
“Aku tahu kamu tersinggung.”
“Kamu marahnya sama aku, kenapa jadi shalat.”
“Aku ngaku aku udah judes”
Apakah ada dari kalimat-kalimat tersebut yang bisa berdampak?
Baca detail: Hukum kata non-kinayah dengan niat talak
1B. Apakah saya benar bahwa lintasan hati yang melintas saat mendengar/menonton lagu/film dan tidak diucapkan mutlak tidak berdampak?
Baca juga: Hukum lintasan hati menceraikan istri
1C. a) Anak saya meminta pada istri saya agar saya meneruskan membantu pekerjaan rumah tangga, saya berkata “Homeworks is my duty (harusnya house chores), I’ll do it either your mom is ill or not.” Apakah ada dampaknya?
b) Sebelum kata istri di atas (poin 1Ca) saya sempat keliru menulis tanda [ ‘ ]. Apakah ada dampaknyA?
1D. Saya sering diganggu lintasan jahat atau racun saat membaca takbiratul ihram, membaca surat pendek sesudah Al Fatihah (seperti saat membaca An Nas, Ad Dhuha, Alam Nashrah dll.) ataupun saat tasyahud. Atau saat bersyahadat dan beristighfar, atau saat/sesudah mengucapkan kalimat na’udzubillahi mindzalik. Apakah benar tidak ada yang berdampak?
1E. Apakah benar tidak ada dampak dari ucapan semacam “I love you” atau “I don’t have energy to play sword.” Saat menjawab pembicaraan anak. Rasanya jauh sekali dari dampak, tapi saya sering tegang saat mengucapkan hal-hal netral seperti itu.
1F. a) Istri saya mengutarakan rencana membeli sesuatu di pasar. Saya tidak nengucapkan apapun yang bisa berdampak. Tapi saya tetap khawatur. Apakah ada dampaknya?
b) Saya menuliskan frase ‘bisa berdampak’ saya diserang panik, apakah ada dampaknya?
1G. Istri saya sering menggunakan kata ‘terserah’ saat dihadapkan pilihan (seperti soal kebijakan manajemen atau pilihan pembelian). Apakah kata-kata jawaban saya na’udzubillahi mindzalik dianggap kinayah?
1H. Apakah ekspresi wajah dianggap sama hukumnya dengan isyarat? Yaitu mutlak tida berdampak?
1I. Apakah menanggapi cerita yang ada kata sharih di dalamnya (dalam konteks aman) mutlak tidak berdampak?
1J. Apakah salah tulis, murni karena salah tulis, berdampak hukum?
1K. a) Apakah hampir menyebut kata sharih dam konteks aman, tapi tidak jadi karena takut, berdampak? b) Ada lintasan jahat saat menuliskan pertanyaan ini, apakah berdampak?
2A. Saya pernah merasa diuntungkan oleh keadaan istri saya yang haid, karena dia bisa mengurus anak-anak saat saya sedang shalat. Namun kemudian saya menegur diri saya sendiri dalam hati bahwa saya seharusnya saya lebih menyukai keadaan di mana dia bisa shalat. Di lain waktu, saya terlintas lagi pikiran di yang kedua (yang merupakan teguran pada diri sendiri) tapi saya teringat bahwa ketetapan dia tidak boleh shalat shalat adalah ketetapan Allah, dan saya harus menyukai apapun yang ditetapkan Allah.
Apakah saya berdosa dengan lintasan-lintasan hati tersebut? Apakah mencapai derajat murtad?
2B. Saya pernah beberapa kali mendapat lintasan bahwa seakan seseorang/suatu makhluk memiliki pengetahuan tentang masa depan. Lintasan syirik ini sempat hilang tanpa dibantah, namun kemudian kembali lagi, dan baru dibantah.
Apakah termasuk kemurtadan?
2C. Saya pernah mendapat lintasan-lintasan yang mencoba membuat saya berpikir tentang Dzat Allah. Karena panik, saya berusaha membantahnya, dan baru kemudian teringat bahwa seharusnya saya menghentukan was-was tersebut, bukan berdebat.
Apakah termasuk kemurtadan?
2D. Saya juga sering mengalami lintasan di mana saya wajib shalat, tapi seakan terlupa bahwa istri juga wajib shalat.
Apakah termasuk kemurtadan?
2E. Saat menulis poin 2A. Saya sempat terlambat membatinkan bantahan saya atas lintasan syirik yang saya tanyakan. Apakah termasuk kemurtadan?
2F. a) Beberapa kali saya memperingati diri saya untuk tidak melakukan (atau menyatakan dalam hati bahwa saya tidak ada niat) melakukan sesuatu (umumnya yang berhubungan dengan dosa besar), saat itu juga ada kekhawatiran seakan saya justru na’udzubillahi mindzalik mengerjakan dosa tersebut. (biasanya saat nama perbuatan dosa tersebut terlintaskan). Bagaimana hukumnya?
b) Apakah dengan cara saya menulis di poin 2Fa di atas saya malah jadi berdosa besar? Saya sempat menuliskan kata na’udzubillahi mindzalik tersebut sebelum kata ‘seakan’. Apakah saya berdosa?
2G. Saya sering mendapat lintasan yang mencoba menghalalkan hal haram, atau merendahkan dosa besar, atau melecehkan hal yang saya tahu perkara besar dalam Islam. Kesemuanya saya bantah sesegera mungkin. Apakah termasuk na’udzubillahi mindzalik kemurtadan?
3A. Sesudah menerima penjelasan Al Khoirot tentang posisi babi dan khamr bagi orang nonmuslim, sempat ada pembicaraan antara saya dan istri.
Saya: Tentang babi dan khmar, kadang kalo lagi ngebicarain orang nonmuslim, aku, kamu, (saya menyebut beberapa orang) bilang, ‘buat dia kan ga papa.’ Itu maksudnya ga haram, atau ga haram menurut agama dia. Ternyata (buat orang nonmuslim) ga haram. (Orang nonmuslim) ga kena hukum halal-haram.
Istri saya: Iya, kan perhitungannya beda. Amalannya (orang nonmuslim) ga diitung.
Saya: Dosanya diitung. Atau langsung aja ya? Dihitung kafir?
Istri: Iya. Tapi amalan (baik) nya ga diitung.
Saya: Atau langsung aja ya? Dihitung kafir?
Istri saya: Kalo orang muslim kan baru niat baik aja dah dihitung.
Jadi diberi beban lebih memang karena sudah diberi kelebihan.
Saya: Barangkali memang hukumnya aja begitu.
Yang pasti babi dan khamr itu haram.
Kita ini muqallid. Ga pantes nebak-nebak.
Istri saya: Ga nebak. Aku inget itu dari masa belajar (di madrasah)
a) Kata orang ‘nonmuslim’ dalam kurung kemarin tidak diucapan. Saya kemudian terserang kekhawatiran apakah saya sudah na’udzubillahi mindzalik menghalalkan babi dan khamr? Tentunya saat membicarakan percakapan di atas, saya dan istri saya beranggapan khamr dan babi haram bagi muslim.
b) Pikiran saya sempat tidak fokus saat menuliskan poin a) di atas, sehingga pikiran malah ikut mengeja kata-perkata, bukan keseluruhan kalimat Saya jadi takut apakah karenanya, apakah akibatnya saya sudah na’udzubillahi mindzalik menghalalkan babi dan khamr?
c) Apakah ada yang bisa menyebabkan na’dzubillahi mindzalik daribpercakapan saya dengan istri saya?
d) Pada kata ‘nonmuslim’ yang kedua (di percakapan tersebut), saya sempat mengalami kekacauan pikiran bahwa seakan kata yang harus saya tulis adalah kata ‘muslim’, sehingga sempat yang ditulis adalah huruf ‘m’. Saya tahu itu adalah kemurtadan bila disengaja, namun pikiran saya benar-benar kacau di titik tersebut. Apakah termasuk kemurtadan?
3B. Bila ingatan istri saya tersrbut ternyata salah, dalam maksud bukan begitu yang diajarkan madrasahnya. Dan bila ingatan rancu tersebut bertentangan/berbeda dengan kesepakatan ulama, apakah termasuk kemurtadan?
4A. Menyambung dari konsultasi sebelumnya
Yang terjadi adalah sebagai berikut:
Saya dan istri saya selalu meyakini/mengakui kewajiban menutup aurat di depan yang tidak berhak melihatnya.
Namun saat melihat baju, membeli, mengenakan, menyuruh membeli, mengomentari, menyuruh mengenakan, atau membolehkan pengenaan baju yang tidak sepenuhnya menutup aurat tersebut saat di depan publik, keyakinan/pengakuan ini seperti tidak ‘hadir’, sehingga perasaannya biasa saja, tidak ingat sama sekali bahwa hal yang saat itu sedang dikerjakan/diucapkan adalah haram.
Sama kejadiannya dengan saat berpacaran, atau saat membeli atau mendownload barang bajakan.
Secara prinsip, mengakui haramnya membuka aurat atau melihat aurat orang yang bukan suami/istri/mahram (atau mendekati zina, atau membeli/mendownload barang bajakan) namun saat mengerjakan dosa tersebut, tidak ingat sama sekali status keharaman tindakan/ucapan yang sedang dikerjakan.
Apakah termasuk kemurtadan?
4B. Saya sempat menulis poin 4A di atas sebagai berikut
Sama kejadiannya dengan saat berpacaran, atau saat tidak mengerjakan shalat.
Secara prinsip, mengakui haramnya membuka aurat atau melihat aurat orang yang bukan suami/istri/mahram (atau mendekati zina, atau tidak mengerjakan shalat) namun saat mengerjakan dosa tersebut, tidak ingat sama sekali status keharaman tindakan/ucapan yang sedang dikerjakan.
Sebenarnya tentang shalat, yang terjadi adalah saat rudak mengerjakan shalat adalah terlalai oleh kesibukan (atau dengan sengaja melalaikan) sehingga tidak ingat shalat, tapi tidak pernah lupa akan kewajiban shalat.
Apakah salah ingat saya tentang alasan saya dahulu tidak mengerjakan beberapa waktu shalat tersebut menjadikan na’udzubillahi mindzalik berdampak murtad?
5A. Dahulu karena tidak pernah memiliki guru agama, selain di sekolah dan universitas (dan pembahasannya tidak pernah mendalam), dan karena belajar filsafat, saya sering rancu dalam berpikir.
Salah satu pikiran rancu saya adalah pernah berpikir bahwa kata ‘Dien’ tidak bisa diterjemahkan ke dalam kata ‘agama’, karena dalam kata ‘Dien al Islam’ ada sistem kepercayaan, sistem ibadah, sistem politik, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem sosial budaya, dll., sementara dulu saya berpikir kata ‘agama’ hanya bermakna ‘sistem kepercayaan’. (Atau paling jauh sistem kepercayaan dan peribadahan)
Sehingga dulu pernah terlontar ucapan ‘Islam bukan agama, tapi Sistem’ (dengan S besar). Karena memaknai Islam sebagai Dien yang dalam pengertian saya adalah Sistem yang sangat lengkap.
Saya tahu saya tidak salah memaknai Islam sebagai Sistem yang sangat lengkap, tapi saya khawatir pernyataan saya termasuk kemurtadan.
Apakah ke sok tahuan saya yang berasal dari keawaman saya mendapat udzur jahil? Atau termasuk kemurtadan?
Saya tidak pernah rela, Islam yang merupakan satu-satunya Agama yang diakui Allah, disamakan dengan agama kafir, dan saat itu, saya tahu itulah yang menyebabkan saya berujar demikian. Apakah termasuk na’udzubillah kemurtadan?
5B. Saat menuliskan pertanyaan 5B di atas, banyak pikiran berseliweran yang selalu langsung saya luruskan. Apakah berdampak hukum apapun?
5C. a) Karena keawaman agama pula, saya sempat berpikir Agama Allah yang disebut Islam baru disebut Islam saat Rasulullah Muhammad SAW diangkat menjadi Rasulullah dan Nabiullah. Saya selalu mengakui kerasulan para Rasulullah, saya sempat berpikir Agama Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS disebut Yahudi. Apakah termasuk kemurtadan?
b) Saya sempat menulis kata ‘walau’ sebelum frase ‘saya selalu mengakui…’ di poin 5Ca di atas (dan tadinya saya pertahankan agar bisa dinilai oleh KSIA namun saya tidak berani), namun kemudian saya hapus. Apakah berdampak hukum?
6. Saya sempat berpikir waterbdowsing (mencari air dengan cara berjalan sambil memegang tongkat kayu berbentuk V atau Y, atau dua batang logam) termasuk ilmiah. Apakah saya termasuk berdosa karena pernah beranggapan hal tersebut tidak melanggar agama?
7. Bila keputihan tersebut keluar terus menerus. Apakah shalatnya harus diulang terus menerus. Atau masuk dharurah?
Saya sempat membaca bahwa bila terus keputihan tersebut terus menerus keluar di anggap darurat.
8. Selama menuliskan pertanyaan-pertanyaan di atas, saya sering salah tulis dan sempat dua kali mengalami system error sehingga harus menulis ulang pertanyaan. Redaksinya mungkin berbeda-beda, tapi esensi pertanyaannya sama. Apakah berdampak?
9. Apakah kondisi pikiran blank saat bertanya berdampak hukum? Kadang pikiran ‘blank atau tidak fokus karena ketegangan saat menuliskan pertanyaan-pertanyaan saya, apakah berdampak?
JAWABAN
1a. Tidak ada.
1b. Ya benar.
1ca. Tidak ada.
1cb. Benar.
1d. Tidak berdampak.
1e. Benar tidak berdampak.
1fa. Tidak berdampak.
1fb. Tidak berdampak.
1g. Tidak dianggap kinayah.
1h. Benar, tidak berdampak.
1i. Ya, mutlak tak berdampak.
1j. Tidak.
1ka. Tidak.
1kb. Tidak.
2a. Tidak berdosa.
2b. Tidak. Karena, bisa saja makhluk semacam itu ada apabila Allah berkehendak. Sebagaimana dokter bisa mengobati karena kehendakNya.
2c. Tidak.
2d. Tidak.
2e. Tidak.
2fa. Lintasan dosa yang tidak dilakukan tidak dosa.
2fb. Tidak.
2g. Tidak.
3aa. Tidak termasuk menghalalkan. Karena konteksnya jelas hukum babi dan khamar untuk nonmuslim.
3ab. Tidak termasuk.
3ac. Tidak ada.
3ad. Tidak.
3b. Tidak karena tidak disengaja. Namun yg dia ingat itu benar.
4a. Tidak. Poin terpenting: selama mengakui hukum yang asal. Melanggar hukum adalah dosa, tapi tidak berakibat murtad.
4b. Tidak.
5a. Tidak.
5b. Tidak berdampak.
5ca. Tidak murtad walaupun itu tidak benar. Yang benar, semua agama Nabi terdahulu aslinya agama Islam. Penyebutan nama lain selain Islam seperti agama Yahudi dan Nasrani itu terjadi setelah ditinggal para Nabi masing-masing.
Perhatikan ayat-ayat di bawah (untuk terjemah Quran, buka: Terjemah Al Quran )
Agama Nabi Yaqub dan Ibrahim itu Islam, lihat: QS Al-Baqarah 2:131-133
Nabi Ibrahim dan Ismail dalam doanya mengakui diri keduanya Islam, lihat: Qs Al-Baqarah 2:128
Islam menyalahkan sikap orang yang menyebut agama Ibrahim sebagai Yahudi dan Nasrani, lihat: QS Ali Imran 3:67
Ahli sihir Fir’aun ketika bertaubat dan ikut agama Nabi Musa disebut menjadi muslim, lihat: QS Al-A’raf 7:126
Nabi Nuh ketika berkhutbah pada kaumnya menyebut dirinya muslim, lihat QS Yunus 10:72
Nabi Musa dalam khutbanya pada Bani Israil menyebut kaum beriman sebagai muslimin, lihat QS Yunus 10:84
Nabi Sulaiman ketika mengundang Ratu Saba’ untuk datang sebagai muslim, lihat QS An-Naml 27:30-31
Nabi Luth dan keluarganya disifati oleh Allah dengan Islam, lihat QS Adz-Dzariyat 51:36
Kaum Hawariyun (Sahabat Nabi Isa) bersaksi atas keislaman Nabi Isa, lihat QS Ali Imran 3:52
5cb. Tidak.
6. Tidak. Khayalan tidak berdosa. Ia hanya lintasan hati yang tidak membahayakan pada apapun.
7. Kalau keputihan itu keluar tanpa ada jeda untuk melaksanakan shalat, maka dalam istilah fikih wanita tersebut dianggab daimul hadas (orang yang selalu hadas). Dalam hal ini, maka ia dikenakan hukum khusus. Yakni, ia boleh shalat dalam keadaan keputihan dengan syarat: a) berwudhu saat sudah masuk waktu shalat; b) sebelum berwudhu, pastikan membersihkan kemaluan dan ditutup dengan kapas atau sejenisnya; c) melaksanakan shalat segera; d) satu kali wudhu berlaku untuk satu kali shalat fardhu dan beberapa kali shalat sunnah. Baca detail: Shalat orang yang Beser (Selalu Kencing)
8. Tidak berdampak.
9. Tidak berdampak.