Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Hukum berburu dan membunuh babi

Hukum berburu dan membunuh babi

Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang

Maaf, mohon bantuan dan penjelasannya.

4. Saya dan istri pernah memiliki teman muslim yang sering berburu babi hutan, dan dia sering menceritakan cerita perburuannya pada kami. Namun karena saat itu kami lalai dan jahil dalam soal agama, walau kami meyakini haramnya daging babi, dan menolak keras menyentuh apapun yang mengandung babi, kami tidak pernah terlintas untuk berpikir ‘haram’ mengenai aktivitas teman kami tersebut. Kami tidak bermaksud menganggapnya halal, kami cuma berpikir kegiatan berburu/membunuh babi hutan itu sendiri tidak terlarang, yang haram adalah memakannya. Dan kami pun lalai sehingga bersikap netral saja saat mendengar teman kami tersebut menukar daging buruannya pada seorang teman nonmuslim untuk mendapat peluru, walau kami menyebutnya ‘transaksi barang haram’. Apakah kami sudah berdosa menghalalkan yang haram. Apakah kami murtad? Kami tidak bermaksud mengubah hukum Islam, hanya lalai dalam pikiran saja.

5. Kelalaian dan keawaman kami atas hukum Islam ini juga yang membuat saya dan istri lebih sering berpikir dalam kerangka hukum positif, walau tidak dalam urusan halal/haram, pernikahan, zina, LGBT, riba, dan lainnya. Tapi misalnya dalam urusan pembunuhan atau korupsi, kami cenderung berpikir dalam kerangka hukum Indonesia, meski percaya hukum Islam jauh lebih adil. Kami tetap percaya hukum Islam adalah yang terbaik, dan seharusnya hukum Islamlah yang diterapkan, namun seperti orang awam lainnya kami menghadapi hukum positif seperti bunga riba atau sebagainya sebagai kenyataan hidup. Bukan bermaksud menghalalkan, namun secara tidak sadar terlazimkan sebagai sesuatu yang telah menjadi bagian kehidupan/pekerjaan, sehingga tidak terpikir lagi. Apalagi kami berdua memulai karir dengan bekerja di sebuah perusahaan investasi, sehingga bunga kredit adalah bagian dari logika pekerjaan. Namun bila ditanya apakah bunga kredit itu haram, kami akan menjawab “haram” dengan tegas.

Kebanyakan waktu, kami berpikir dalam kerangka pikir das sein/yang ada, bukan das sollen/yang seharusnya. Sehingga ada jurang antara keyakinan yang dipegang dengan pola pikir sehari-hari. Apakah kami berdosa? Apakah termasuk melakukan perbuatan kufur akbar?

1. Hari ini saya mengucapkan beberapa kalimat, yang saya maksudkan sebagai kalimat biasa, tapi kemudian saya jadi stress, khawatir ada dampak hukum pada pernikahan saya.

1A. Saya sempat ditanya oleh istri saya, dan saya berkata, “I just want to love you”, mendadak ada lintasan bahwa kata ‘just’ yang saya pakai bisa berbahaya, hingga segera saya lanjutkan, “saya mau hidup sebagai suami kamu.” Saya mencoba meyakinkan diri bahwa kata-kata saya tidak ada dampak hukumnya. Apakah benar tidak ada dampak hukum?

1B. Istri saya melihat saya dalam keadaan stress. Dia kemudian bertanya dengan kalimat yang bisa menjadi lafadz kinayah. Karena suaranya pelan dan nyaris tidak terdengar oleh saya, saya bertanya, “what?” Kemudian dia mengulangi, saya kemudian menjawab “apa-apan sih?”. Sekali lagi saya meyakinkan diri bahwa kedua respon dan reaksi saya tidak berdampak hukum. Apakah benar begitu?

1C. Saat mengobrol dengan istri saya berkata, “Mau hidup sebagai suami istri, nggak (saya berhenti sebentar mencari kata) nggak cuma di dunia, di akhirat juga. Apakah berhentinya saya di kata ‘nggak’ tersebut berdampak hukum?

1D. Apakah berdoa dengan kalimat, “Yaa Allah, janganlah Engkau [xxxx]kan kami dengan per[xxxx]an yang menyakitkan” berdampak hukum pada pernikahan?
[xxxx] adalah pengganti untuk salah satu kata lafadz sharih.

1E. Dalam keadaan was-was, saya berusaha menghindari sebuah kalimat yang mungkin menjadi lafadz kinayah (bahkan bukan lafadz sharih), dengan menggantinya dengan kalimat lain. Saya yakin betul saya tidak ada niat apapun, justru karena tidak ada niat itulah saya khawatir dan berusaha menghindari dampak hukum. tetapi butuh waktu lama sekali untuk meyakinkan diri saya bahwa tidak ada dampak hukum apapun yang terjadi. Mohon nasihatnya.

2A. Kemarin saat sedang menjelaskan pada istri saya tentang hukum menonton film sihir, istri saya sempat salah mengerti dan berpikir menonton film sihir tidak berdosa selama tidak mempercayai isinya. Saya perlu waktu untuk membuat dia mengerti karena dia sempat berpikir bahwa itulah yang disampaikan KSIA, saat saya bacakan jawaban KSIA yang saya terima di dua kesempatan berbeda. Akhirnya dia mengerti penjelasan saya. Apakah dia mendapat udzur tersalah? Ataukah dia dianggap na’udzubillahi min dzaalik menghalalkan yang haram?

2B. Di kesempatan lain, beberapa bulan yang lalu, saya (yang saat itu masih banyak belajar dari sumber Wahabi) bercerita soal Syi’ah pada istri. Sebetulnya saya bermaksud mengatakan bahwa Syi’ah itu sesat (saat itu saya belum mengerti soal syi’ah jafariyah dan syi’ah zaidiyah), namun sebelum saya sempat berkata ‘sesat’, istri saya mendahului dan mengucap kata ‘kafir’. Dia berkata demikian karena menduga itulah yang saya akan katakan. Dia tidak bermaksud mengkafirkan orang, hanya menebak kalimat saya saja. Saya langsung menyuruhnya beristighfar dan bersyahadat segera, karena takut dia melakukan dosa takfir. Apakah dia mendapat udzur tersalah/tidak sengaja/keliru? Ataukah dia dihukumi bersalah/berdosa? Apakah dia termasuk melakukan dosa takfir? Apakah dihukumi murtad?

3. Saya teringat, dulu saat awal menikah dan hidup hanya berdua istri, suatu hari selesai shalat, saya membuka sarung. Saat itu saya memang tidak memakai apa-apa di balik sarung selain (maaf) underwear. Istri saya bertanya tentang hal itu. Saya bercanda, “Saya memang tidak pakai celana, tapi saya tidak telanjang karena saya pakai kopiah.” Saya tidak bermaksud menghina syariat apapun, atau adab apapun. Saat itu, dengan bodohnya saya bahkan tidak teringat kemungkinan dosa. Tapi sekarang saya merasa sudah melampaui batas hari itu. Apakah saya terkena dosa murtad saat itu?

6. Selama menikah, dua kali saya meminta dua orang teman (laki-laki) yang berbeda tinggal di rumah saya untuk jangka yang panjang. Satu kali karena teman saya itu sedang kesulitan finansial, sekali lagi karena teman saya yang kedua ini seorang muallaf. Saat itu saya tidak tahu hukum larangan ikhtilath, sehingga saya berpikir saya sedang berbuat baik. Pada kejadian pertama, ibu saya almarhumah pernah menentang dan memarahi saya, tapi karena beliau tidak menjelaskan hukum agamanya dengan gamblang dan saya merasa sedang membantu orang yang benar-benar sedang kesulitan, saya tidak mematuhinya hingga kami pindah rumah beberapa bulan kemudian.
Apakah saya berdosa? Alhamdulillah sebelum meninggalnya Ibu saya bilang beliau ridha pada saya. Tapi sekarang saya merasa sangat bersalah. Bagaimana hukumnya? Apakah saya sudah berdosa besar? Apakah saya dihitung na’udzubillahi min dzaalik mengubah-ubah hukum Allah?

7. Kembali ke pertanyaan no. 1 A dan B. Secara tidak sengaja, saya menghitung dalam hati masa iddah bila kasus 1A berdampak hukum, dan dua kali saya terceletuk mengulang kata “what” dari percakapan di pertanyaan 1B saat mengkonsep email ini. Apakah ada dampak hukum dari dua keadaan ini?

8. Saat sedang down hari ini, terlintas dalam hati sesuatu yang bernilai lafadz kinayah andai diucapkan. Segera lintasan ini saya hentikan. Namun saat menghentikan lintasan tersebut, kata “no!” nya terucap keras. Apakah ada dampak hukumnya?

9A. Dua hari terakhir ini juga, saya dua kali mengatakan frase ‘ga shalat’. Yang sekali ketika menyebut “Dia (anak saya yang berumur tiga tahun) kan ga shalat”, saat istri saya bertanya bolehkah anak saya dibersihkan dengan tissue basah. Dan sekali lagi berkata pafa istri saya, “Berarti kamu ga shalat?” Ketika istri saya bilang dia haidh. Pada kalimat pertama yang saya maksud adalah anak saya belum wajib shalat, yang kedua bahwa istri saya sedang tidak boleh shalat. Pada kedua kejadian tidak ada maksud mengubah hukum Allah atau mengecualikan seseorang dari kewajiban shalat, atau apapun yang melanggar syariat. Apakah saya sudah berdosa berkata-kata demikian?

9B. Saya sempat menyuruh anak sulung saya beristirahat karena dia mulai sakit. Dia bertanya, “apakah kalau sakit, saya akan mati?” Saya jawab “yaa, nggak.” Tapi kemudian saya merasa mendahului takdir, jadi saya lanjutkan, “kita mati kalau Allah mau kita mati.” Apakah saya berdosa mendahului takdir?

10. Dua kali dalam dua hari ini saya mengizinkan anak menonton kartun dan menyesal. Satu kali saya mengizinkan karena lupa bahwa ada unsur aurat yang terbuka, yang kedua saya lupa bahwa film seri Mickey Mouse sering mengandung unsur sihir, walau saya tahu episode yang anak saya tonton tidak ada unsur sihir nya. Apakah saya berdosa mengizinkan anak menonton tontonan yang ada keharaman di dalamnya? Bila saya tahu di dalam tontonan tersebut ada yang haram, tetap mengakui keharamannya, tapi mengizinkan anak/istri menonton, apakah saya dihitung menghalalkan yang haram?

11A. Bila selintas muncul keraguan dalam hati tentang boleh tidaknya mengerjakan suatu perkara yang sebetulnya termasuk sunnah (dan sifat hukumnya sebenarnya diketahui dengan jelas, hanya entah kenapa mendadak ragu), tapi lalu segera saat itu juga digantikan dengan keyakinan bolehnya/sunnahnya perkara tersebut, tapi tetap tidak dikerjakan karena takut salah dalam tatacaranya, apakah ini termasuk dosa? apakah mencapai derajat murtad? Ataukah termasuk perkara yang dimaafkan Allah?

11B. Bila saat mengucap syahadat (misalnya dalam shalat), lalu tidak sengaja terputus di tengah-tengah kalimat “Laa ilaha° illallah” karena mungkin merasa ada ucapannya yang salah, lalu mendadak berhenti untuk mengulangi, tapi berhentinya di titik [°]. Apakah berdosa? Apakah dianggap pernyataan murtad? Tentunya sesudah tidak sengaja salah tadi, syahadat lengkapnya langsung diulangi.

11C. Karena tidak ingin sok tahu atau mendahului takdir, saya dan istri sering menambahkan kata ‘mungkin’ atau ‘insyaaAllah’ di tengah kalimat. Tapi kadang kami tidak sengaja (atau karena terlalu terbiasa) mengucapkan kata insyaaAllah pada sesuatu yang sudah pasti, atau merupakan ketetapan Allah, atau sifat pasti Rasulullah.
Misalnya tidak sengaja menyebut, “Kalau dia sih mungkin dianggap Allah sanggup menanggung ujian itu.” Padahal seseorang diuji pasti sesuai kadar kesanggupannya, dan Allah tidak pernah salah. Kami tidak bermaksud meragukan/merelatifkan penilaian dan ke Maha Tahu an Allah. Kata itu hanya keluar begitu saja. Kalaupun ada sedikit kesengajaan, juga tetap bukan karena meragukan sifat dan keputusan Allah, tapi hanya karena refleks terbiasa tidak ingin sok tahu saja. Biasanya kami langsung meralat ucapan kami dan membuang kata ‘mungkin’ tersebut.
Bagaimana hukumnya? Apakah sudah termasuk menghina Allah dan/atau Rasulullah?

11D. Bagaimana pula hukumnya berkata sesuatu adalah sunnah/hadits karena salah ingat atau salah sebut, lalu segera dikoreksi saat ingat atau ragu apakah hal tersebut adalah sunnah/hadits atau bukan?

11E. Bagaimana hukumnya menceritakan suatu dalil, namun karena takut salah, mengucapkan sebelumnya kalimat pengecualian/disclaimer. Misalnya “bila saya tidak salah”, “saya bisa jadi salah”, “jangan dijadikan pegangan, takut saya salah”, atau “belum tentu ini ya dalilnya”.
Bila memang salah, apakah tetap berdosa?

12. Keawaman menghasilkan cara bicara kami sering tidak terkontrol. Misalnya:

12A. Menyebut tindakan bisnis yang tidak etis atau tidak sopan dengan kata ‘ngerampok’. Misalnya pada orang yang memasang harga terlalu tinggi, mengambil fasilitas/barang gratis terlalu banyak, atau menerapkan sistem yang membuat satu pihak terpaksa mengikuti kemauan pihak lainnya. Tapi kami tidak bermaksud mengubah hukum asal transaksinya, artinya tetap beranggapan hukum asal jual beli, sewa, atau jual jasa adalah halal. Istilah ‘ngerampok’ tersebut kami gunakan sebagai majas saja. Apakah kami dianggap mencoba mengubah hukum Allah?

12B. Saling menyebut, atau menyebut diri ‘yahudi’ untuk menunjuk pada sifat pelit, atau kapitalis, atau malah sebagai pujian jago bisnis. Kadang ditujukan pada orang lain, kadang pada diri sendiri. Misalnya pada kalimat, “Mahal banget ngasih harga, yahudi banget sih lo?”, atau pada kalimat, “Gua lagi keluar/kumat yahudi nya” atau pada kalimat “Setengah Padang setengah Cina, jadinya yahudi deh.”
Tapi kata ini tidak diniatkan sebagai tuduhan pengkafiran, atau menuduh seseorang beragama yahudi. Hanya sebagai majas untuk menggambarkan sifat-sifat yang saya gambarkan di atas, yang menurut persepsi umum adalah sifat orang yahudi, dan semua yang terlibat dalam pembicaraan mengerti maksud kata tersebut. Sayangnya rata-rata dari kami dulu awam atau terlupa tentang dosa takfiri.
Apakah tetap termasuk dosa takfiri? Apakah saya murtad saat mengucapkannya? Apakah saat diucapkan ke diri sendiri merupakan pernyataan murtad karena dianggap mengaku kafir?

Saat itu konsep murtad dengan ucapan tidak kami pahami. Dulu kami pikir, murtad hanyalah bagi mereka yang benar-benar tidak menjalankan rukun Iman dan/atau secara sengaja lahir batin keluar dari Islam.

Kami tidak bermaksud takfir apalagi, na’udzubillahi min dzaalik, pindah agama.
Keimanan kami tetap meyakini Allah Maha Esa, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Rasulullah, Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan kami teguh dan yakin ingin tetap muslim.
Mohon bantuan dan penjelasannya.

JAWABAN

Hukum membunuh babi

4. Membunuh babi tidaklah haram. Termasuk berburu babi untuk
membunuhnya tidak dilarang. Yang dilarang memakannya. Jadi, anggapan
anda itu tidak salah. Al-Romli dalam Fatawa Al-Romli, hlm. 1/97,
menyatakan:

: “سئل : هل يندب قتل الخنزير أم لا ؟ فأجاب بأنه يندب قتله” .

Artinya: Apakah membunuh babi itu sunnah atau tidak? Al Ramli
menjawab: sunnah membunuhnya.

Boleh berburu dengan syarat untuk dimakan kecuali hewan haram

Al Dardir dalam Matan Khalil menyatakan bolehnya berburu harus dengan
maksud membunuh:

وحرم اصطياد مأكول لا بنية الذكاة إلا بكخنزير مما لا يؤكل فيجوز إذا كان
بنية قتله, وليس من العبث, وأما بنية غير ذلك كحبسه أو الفرجة عليه فلا
يجوز.

Artinya: Haram berburu hewan yang boleh dimakan tanpa niat menyembelih
kecuali babi atau hewan yang tidak boleh dimakan, maka boleh apabila
bermaksud membunuhnya. Bukan untuk main-main. Apabila berniat selain
itu seperti untuk menahannya atau bersenang-senang maka tidak boleh. Baca detail: Hukum berburu

Dua jenis halal dan haram

5. Dalam hukum syariah khususnya terkait halal dan haram, secara garis
besar terbagi dua: ada halal haram yang ijmak ulama (mujmak alaih)
seperti haramnya zina, mencuri dan membunuh) dan ada halal haram yang
masih diperselisihkan (mukhtalaf fih). Untuk yang pertama, maka semua
muslim harus mengakui hukum yg ada. Sedangkan yg kedua, tidak masalah
kita berbeda pendapat dalam soal halal haram. Termasuk di dalamnya
adalah masalah riba. Riba jelas haram yang disepakati. Namun ulama
berbeda pendapat tentang masalah praktik bunga kredit di perbankan
apakah termasuk riba atau bukan. Baca detail: Hukum Bank Konvensional

1A. Tidak ada dampak hukumnya.
1b. Benar, tidak ada dampak hukum apapun.
1c. Tidak ada dampak hukum.
1d. Tidak ada dampak sama sekali.
1e. Tidak perlu menghindari lafadz kinayah. Bahkan lafadz sharih pun kalau dipakai dalam konteks yang tidak untuk menceraikan istri itupun tidak berdampak hukum cerai. Jadi, yang bisa kami sarankan adalah: jangan takut pada ucapan kinayah atau sharih selagi dalam konteks bercerita; bukan dalam konteks menjatuhkan talak pada istri. Ketakutan anda sudah seperti fobia, dan satu-satunya cara menyembuhkannya adalah dengan tidak menghindarinya. Hukumnya sudah kami jelaskan secara panjang lebar. Silahkan anda cetak penjelasan kami terkait hal ini. Buat rujukan apabila anda dalam keadaan galau dan was-was. Baca detail: Tidak semua talak sharih berakibat cerai

2a. Masalah sihir sudah kami jelaskan secara lebih detail di jawaban hari ini. Dan sikap istri anda tidak salah.

2b. Dimaafkan karena tidak tahu. Baca detail: Hukum Melakukan Perkara Haram karena Tidak Tahu

3. Tidak ada dosa dalam candaan anda.

6. Hukumnya haram membiarkan lelaki bukan mahram berada dalam rumah bercampur dengan istri dan anak perempuan kita.

Namun, tidak apa-apa karena timbul dari ketidaktahuan. Baca detail: Hukum Melakukan Perkara Haram karena Tidak Tahu

7. Tidak ada dan tidak perlu bagi anda berandai-andai. Itu akan menyiksa anda dalam jangka panjang. Cobalah hentikan was-was anda, bukan malah memperpanjangnya dan membiarkannya merusak energi anda.

8. Tidak ada dampak sama sekali.

9a. Tidak berdosa.
9b. Tidak berdosa.

10. Tidak berdosa bagi anak menonton kartun. Jangan halangi menonton kartun apapun kecuali yang mengandung unsur kekerasan karena akan berakibat negatif dari sisi psikologis. Namun secara agama tidak masalah. Termasuk kartun yang ada unsur sihirnya sekalipun tidak masalah. Dan ini sudah dibahas pada jawaban sebelumnya.

11a. Tidak dosa. Lagipula soal sunnah atau tidaknya suatu perkara yang anda ketahui itu belum tentu satu-satunya hukum yang sahih menurut pandangan ulama.

11b. Tidak berdosa.

11c. Hukumnya tidak apa2.

11d. Kalau tidak tahu hukum agama, maka sebaiknya tidak perlu menghukumi sesuatu itu sunnah atau bukan. Namun kalau anda berkata itu karena pernah membaca pendapat ulama, maka boleh.

11e. Tidak apa-apa. Namun sebaiknya tidak berbicara soal yang anda tidak ketahui. Biarkan urusan agama serahkan pada ahlinya. Begitu juga urusan penyakit serahkan pada dokter. Saat ini banyak orang tidak tahu agama, hanya tahu sedikit via Google, lalu bersikap seperti tahu.

12a. Tidak apa-apa. Tidak dianggap merubah hukum.
12b. Tidak dianggap pernyataan murtad. Karena yahudi itu terdiri dari etnis dan agama. Baca detail: 3 penyebab murtad

Mengatakan kafir pada seseorang muslim hukumnya haram, tapi tidak berakibat murtad. Baca detail: Mengkafirkan sesama muslim

Kembali ke Atas