Hukum memelihara anjing
Hukum memelihara anjing
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
Pertanyaan-pertanyaan berikut adalah untuk pendalaman yang belum sempat saya tanyakan, karenanya sebagiannya mengulang pertanyaan yang sudah dijawab. Mohon maaf bila saya mengganggu
Diantara keburukan saya saat masih sangat awam agama adalah lalai hingga melazimkan sesuatu yang haram. Apalagi cara hidup kami sempat agak terpengaruh gaya hidup liberal.
1. Mengenai kasus lupa mengenai keharaman anjing, saya sudah mendapat jawaban dari KSIA, bahwa tidak berdosa bila tidak tahu hukumnya Khawatir murtad dan syirik tanpa sadar‘ Jun 3, 2018, 11:15 AM)
Namun ada yang ingin saya jelaskan lebih rinci mengenai kasus ini:
> Saya sebenarnya pernah belajar bahwa haram memelihara anjing selain sebagai anjing penjaga dan pemburu.
> Awalnya saya, yang memang suka anjing, berencana ingin punya anjing penjaga rumah.
> Setelah beberapa waktu saya menjadi salah mengerti mengenai batasan fungsi anjing yang diperbolehkan. Saya jadi berpikir anjing penuntun orang buta/orang cacat, atau anjing terapis diperbolehkan.
> Akhirnya saya lupa mengenai aturan anjing, kecuali 3 hal:
» Anjing itu najis dan najisnya menular bila basah.
» Tidak boleh memelihara anjing dalam rumah
» Anjing hanya boleh dipelihara bila ada fungsinya, walau saya sudah salah mengerti fungsi yang dibolehkan.
Bahkan suatu waktu, istri saya, yang benar-benar tidak tahu hukum memelihara anjing, pernah berencana memelihara anjing saint-bernard sebagai assistant-dog, di dalam rumah bila ia sudah tua nanti , seandainya saya meninggal duluan.
Saat itu saya tidak menentang, padahal saya ingat keharaman memelihara anjing dalam rumah. Meskipun saya juga tidak pernah mengatakan hal tersebut sebagai ‘halal’. Baru cukup lama kemudian saya mengingatkan bahwa anjing tidak boleh dipelihara dalam rumah.
Baru setelah intensif belajar agama lagi, saya diingatkan, dan langsung patuh pada hukum haramnya memelihara anjing.
Kami akhirnya tidak pernah memelihara anjing. Tapi yang saya khawatirkan persetujuan saya saat istri berencana memelihara anjing dalam rumah sudah termasuk menghalalkan yang haram, dan termasuk perbuatan murtad.
1A. Apakah saya masih mendapat udzur jahil/lupa/tersalah?
1B. Saya sudah bertaubat. Tapi karena pembiaran saya di atas terjadi lebih dari setahun yang lalu, apakah terjadi fasakh pada pernikahan saya?
Selama masa tersebut saya tidak pernah bersyahadat selain dalam shalat, karena tidak merasa/sadar melakukan dosa besar, apalagi sampai derajat murtad.
2. Juga karena terlazimkan melihat di luar rumah, televisi, atau tempat lainnya, saya sering tidak merasa/tidak ingat berdosa melihat rambut, tangan, atau kaki perempuan bukan mahram (di luar istri saya, maksudnya). Saya baru teringat akan haramnya melihat aurat saat ada syahwat yang timbul.
Saya dulu kebanyakan waktu tidak ingat dosa/merasa berdosa saat mendandani istri dengan baju yang terbuka. Istri juga santai saja memakai baju-baju tersebut.
(Istri saya baru sekarang bersiap berhijab. Sesudah terlalu lama merasa belum siap, atau khawatir ini itu, akhirnya dia mendapat ketetapan hati).
2A. Apakah saya sudah dihitung menghalalkan yang haram? Apakah saya sudah sempat, atau bahkan berkali-kali, murtad? atau
2B. Apakah saya masih mendapat udzur lupa?
Kami pun seringnya relax saja melihat orang berpacaran, padahal tahu pacaran haram dalam Islam. Hal ini, karena kami sudah terlalu lazim melihatnya, hingga tidak terlintas di benak saya mengenai hukumnya, bukan karena mencoba mengubah hukumnya. Karena kami mengakui, aurat harus ditutup di depan orang yang tidak berhak melihatnya.
3. Saat masih sering meninggalkan shalat, kami menyadari dan mengakui penuh wajibnya shalat, dan berdosanya meninggalkan shalat. Tapi walau tahu dan mengakui, kami sering tidak merasa berdosa saat tidak mengerjakan/jarang shalat. Juga tidak merasa berdosa saat membiarkan satu sama lain tidak mengerjakan shalat
Apakah sudah termasuk mengingkari rukun Islam? Apakah sudah termasuk murtad (di luar pandangan madzhab Hambali)?
Alhamdulillah, sekarang kami sudah bertaubat
4. Pada konsultasi “[Segera] Was-was ucapan murtad” (28/05/18) di mana saya bertanya tentang hukum yang terkena pada saya karena sering mengaku ‘Padang murtad’ saat menolak makanan pedas, dan yang saya maksud adalah saya tidak diakui sebagai orang Padang lagi, bukan bermaksud menyatakan diri murtad dalam pengertian sesungguhnya. (Kata ini digunakan dalam pengertian majasi).
Saya mendapat jawaban:
Ucapan “padang murtad” sama sekali tidak ada konotasi mengolok-olok
agama.
Dan disimpulkan tidak terkena murtad dan/atau dampak hukum murtad.
4A. Apakah ini karena saya mendapat udzur jahil, dikarenakan saya tidak mengerti hukum ‘murtad dengan ucapan’ saat mengatakannya? Ataukah ada sebab lain?
4B. Bolehkah, sebagai muqallid yang sangat awam, saya menerima fatwa tersebut tanpa bertanya lagi, tanpa perlu tahu pertimbangan atau dalilnya?
Karena bila membaca situs Wahabi, mereka cukup mudah menyebut sebuah tindakan sebagai amaliyah murtad.
5A. Saya mendapat penjelasan, menyanyikan lagu yang ada lafadz sharihnya sekalipun tidak berdampak hukum, karena termasuk bercerita. Tapi bagaimana bila dinyanyikan (tanpa niat) karena merasa ada kesamaan antara lirik lagu dengan pengalaman pribadi?
Saya pernah menyanyikan lagu yang liriknya berupa narasi, dengan kata-kata yang bisa diartikan lafadz kinayah (This Love, Maroon 5). Saya saat itu menyanyikannya karena merasa ada kesamaan (tidak seluruhnya) antara isi lirik dengan pengalaman kami. Apakah tetap dihukumi bercerita?
5B. Bila suami bermaksud bercerita dengan ada lafadz di dalamnya, namun istri sempat salah mengerti, apakah status hukumnya tetap bercerita?
Saya pernah dengan maksud menceritakan pikiran masa lalu yang sudah saya buang berkata, “bukannya saya tidak pernah berpikir untuk menyerah..” omongan saya dipotong istri yang salah mengerti di sini. Namun segera saya luruskan bahwa saya tidak mau menyerah. Saya memang tidak ada niat.
Apakah kata-kata tersebut berdampak hukum?
Kasus ini pernah saya tanyakan pada KSIA, namun saya merasa saat itu saya belum menceritakan kejadiannya dengan detil.
5C. Saat menunjuk makanan yang dibeli, saya takutnya pernah, atau bahkan beberapa kali berkata “(Yang punya) kamu yang (bumbunya/kuahnya) di[xxxxx] ya”
Kata dalam kurung mungkin tidak diucapkan.
Apakah kenyataan saya membeli makanan (walau mungkin istri belum melihat makanannya, tapi mengerti objeknya adalah makanan) menjadi penunjuk konteks?
5D. Dua hari yang lalu saat berjalan kaki, saya menyanyi dalam hati, namun pada sebuah kata lafadz sharih (dalam bahasa Inggris, adjective) tiba-tiba bibir saya bergerak sendiri. Tidak ada bisikan, apalagi suara dari pita suara, yang keluar, tapi bibir sempat membentuk satu huruf vokal (a), satu konsonan (p), dan satu huruf vokal lagi (a). Dua huruf terakhir berhasil saya cegah, karena saya hentikan. Kata-kata sebelumnya (…when we’re…) dinyanyikan dalam hati. Saat itu saya sedang melamun jadi saya tidak ingat apakah sedang memikirkan istri atau tidak. Yang pasti begitu saya hentikan, saya dicekam ketakutan soal pernikahan saya.
Apakah ada dampak hukum yang terkena pada pernikahan saya? Atau masih dianggap lintasan hati?
5E. Saya harus berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa saat menuliskan ini, statusnya saya sedang bercerita/bertanya. Karena ada perasaan takut bahwa yang terjadi bukanlah demikian.
Apakah saat saya ‘menabrak’ perasaan-perasaan tersebut dan meneruskan menulis, sambil mengingatkan diri bahwa saya menulis kalimat-kalimat di atas untuk bercerita/bertanya, ada dampak hukum yang jatuh? Atau justru saya bertindak benar melawan was-was?
Idealnya anak dididik dengan baik agamanya. Tapi jangan sampai ditulari sikap was-was orangtuanya.
6A. Bagaimana hukumnya ucapan yang dikatakan anak usia tamyiz menurut madzhab Syafi’i? Anak sulung saya berusia hampir tujuh tahun dalam penanggalan hijriyah. Kadang ia mengucapkan kata-kata tentang Allah yang perlu kami luruskan. Apakah kata-katanya tersebut masih dimaafkan?
6B. Dahulu istri saya kadang berkata bahwa ia ‘alergi pada orang yang berjanggut dan bersorban’, sebenarnya ia bermaksud dia ‘alergi pada kaum radikal seperti Wahabi dan FPI’, bukan alergi penampilan Islami. Bagaimana hukumnya kata-kata istri saya tersebut?
Maaf, saya banyak mengulang pertanyaan. Saya benar-benar menerima fatwa yang diberikan sepenuh hati. Namun bila memungkinkan saya ingin mengerti, agar bisa menjadi pegangan menghadapi was-was ke depannya.
JAWABAN
1a. Memelihara anjing yang dibolehkan berdasarkan kesepakatan ulama ada tiga: yaitu untuk berburu, menjaga tanaman, menjaga ternak. Berdasarkan hadits riwayat Muslim:
مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ صَيْدٍ وَلا مَاشِيَةٍ وَلا أَرْضٍ فَإِنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ قِيرَاطَانِ كُلَّ يَوْمٍ
Artinya: Barangsiapa memelihara anjing bukan untuk berburu, menjaga ternak, menjaga tanaman, maka berkurang pahalnya dua qirat setiap hari.
Dalam hadits lain riwayat Muslim juga Nabi bersabda:
مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلا كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ . قَالَ عَبْدُ اللَّهِ : وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : أَوْ كَلْبَ حَرْثٍ
Artinya: Barangsiapa memelihara anjing, kecuali anjing penjaga ternak atau anjing pemburu, maka berkurang pahala amalnya setiap hari satu qirat. Abdullah berkata, Abu Hurairah berkata: “Atau anjing penjaga tanaman.”
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan anjing yang dijadikan sebagai penjaga rumah dan ditaruh di dalam rumah? Dalam hal ini terdapat perbedaan ulama. Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 10/340, menjelaskan:
” هَلْ يَجُوز اِقْتِنَاء الْكِلَاب لِحِفْظِ الدُّور وَالدُّرُوب وَنَحْوهَا ؟ فِيهِ وَجْهَانِ : أَحَدهمَا : لا يَجُوز ، لِظَوَاهِر الأَحَادِيث ، فَإِنَّهَا مُصَرِّحَة بِالنَّهْيِ إِلا لِزَرْعٍ أَوْ صَيْد أَوْ مَاشِيَة , وَأَصَحّهمَا : يَجُوز ، قِيَاسًا عَلَى الثَّلاثَة ، عَمَلا بِالْعِلَّةِ الْمَفْهُومَة مِنْ الأَحَادِيث وَهِيَ الْحَاجَة
Artinya: Apakah boleh memelihara anjing untuk menjaga rumah, jalan, dan semacamnya? Ada dua pendapat: a) tidak boleh berdasarkan zahirnya hadis (di atas) yang melarang kecuali untuk menjaga tanaman, berburu dan ternak; b) yang paling sahih pendapat yang membolehkan. Dengan menganalogikan pada pengecualian yang tiga dan mengamalkan sebab yang difaham dari sejumlah hadits yakni adanya kebutuhan (al-hajah).
Dengan demikian, maka pandangan anda tidak salah kalau menganggap boleh memelihara anjing asal dengan tujuan untuk menjaga rumah.
Seandainya pun tujuan memelihara anjing hanya untuk piaraan semata dan itu hukumnya haram, maka itu tidak membuat anda murtad. Namun berdosa. Kalau itu timbul karena tidak tahu, maka tidak berdosa. Baca detail: Hukum Melakukan Perkara Haram karena Tidak Tahu
1b. Tidak ada efek apapun pada pernikahan.
2a. Tidak masuk kategori menghalalkan yang haram sebagaimana dijelaskan di atas. Hukum terkait anjing masalah khilafiyah. Sehingga apapun pendapatnya, ada pendapat ulama yang serupa.
3. Tidak murtad.
4a. Bukan udzur jahil. Tapi memang ucapan anda tidak terkait dg masalah agama. Ini pandangan ulama Ahlussunnah. Sebagai perbandingan, menjuluki orang dengan “kafir” pun tidak berakibat murtad. Walaupun termasuk dosa besar. Baca detail: Mengkafirkan sesama muslim
4b. Boleh. Justru pandangan Wahabi yg harus dijauhi karena tidak mewakili pandangan Ahlussunnah Wal Jamaah. Baca detail: Kriteria Ahlussunnah Wal Jamaah
5a. Ya, dihukumi bercerita. Tidak ada dampak hukum. Yang ada dampak hukum itu apabila menyengaja mengucapkannya dalam konteks menceraikan istri. detailnya sudah diterangkan sebelumnya. Baca detail: Ucapan talak sharih yang tidak jatuh cerai
5b. Ya, tetap dianggap bercerita. Yang punya otoritas untuk menjatuhkan talak hanyalah suami (dan hakim pengadilan). Jadi, penafsiran istri atau orang lain itu tidak dianggap. Jadi, tidak usah takut mengucapkan kata ‘pisah’ atau ‘lepas’ apabila untuk makna lain. Bukan dalam konteks pisah dg istri.
5c. Tidak ada dampak hukum. Tampaknya anda belum mengerti soal ini. Yang dimaksud dg “konteks” adalah anda menyengaja mengucapkan ucapan ‘talak’ ‘pisah’, atau ‘cerai’ dalam rangka untuk bercerai dg istri. Adapun memakai salah satu dari ketiga kata itu yg maksudnya digunakan untuk arti yang berbeda dari bercerai dengan istri, maka itu tidak ada dampak hukumnya.
5d. Seandainya pun anda ucapkan secara jelas lagu itu, tetap tidak ada dampak hukum. Karena itu sama dengan bercerita. Baca detail: Cerita Talak
5e. Bertanya atau konsultasi itu sama dengan bercerita. Tidak usah takut. Justru lawanlah ketakutan itu dengan menuliskannya. Tidak ada dampak hukum dalam soal ini. Baca detail: Cerita Talak
6a. Anak usia 7 tahun tidak termasuk anak mukallaf karena belum baligh. Jadi, tidak ada dampak hukum apapun atas ucapan atau perbuatan mereka yang mungkin berdosa apabila dilakukan oleh orang dewasa. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, hlm. 10/88, mengutip pandangan Imam Syafi’i sbb:
وعند الشافعي : لا يصح إسلامه ولا ردته ، وقد روي عن أحمد أنه يصح إسلامه ولا تصح ردته ” . انتهى من ” المغني ” ( 10 / 88
Artinya: Menurut Imam Syafi’i tidak sah Islam dan murtadnya anak kecil. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Sah Islamnya anak kecil, tapi tidak sah murtadnya.
6b. Tidak apa-apa. Tidak suka pada penampilan orang tidak dilarang asal tidak menyampaikan atau menampakkan ketidaksukaannya pada yang bersangkutan karena itu akan menyakiti orang tersebut. Dan menyakiti sesama muslim itu tidak boleh.