Hukum mengharamkan yang halal
Hukum mengharamkan yang halal untuk diri sendiri apakah menyebabkan murtad, atau haram saja tapi tidak murtad?
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
Dengan Hormat,
1A. Apakah niat yang sudah dibantah dan diganti dengan niat baru bisa berdampak? Kadang saya mengalami lintasan jahat, saya jadi takut bicara walau sudah membantah lintasan tersebut habis-habisan.
1B. Dikarenakan rasa takut, kadang saya melintaskan sesuatu yang secara implisit ‘mengharamkan’ hal yang sangat saya tidak inginkan terjadi. Saya segera mengkoreksi diri saya sendiri dengan melintaskan kaidah dan hukum yang benar. Tapi saya tetap tidak mau ada dampak apapun. Seringkali, saya takut lintasan tersebut dianggap mengubah-ubah hukum Allah, hingga saya bersyahadat. Apakah syahadat saya berdampak apapun pada pernikahan?
JAWABAN
1A. Tidak berdampak.
1b. Tidak berdampak apapun.
Terkait mengharamkan yang halal untuk diri sendiri hukumnya haram dan berdosa (dosa kecil). Namun tidak sampai murtad (jauh dari itu). Itu kalau dinyatakan secara eksplisit. Ibnu Abi Zaid Al-Maliki dalam Al-Risalah menyatakan:
ومن حرم على نفسه شيئا مما أحل الله له من طعام أو من شراب أو لبس ثوب أو نحو ذلك، فلا شيء عليه سوى الاستغفار لإثمه بهذه الألفاظ، ولا يحرم عليه ما حرمه على نفسه لأن المحرم والمحلل إنما هو الله تعالى.
Artinya: Barangsiapa yang mengharamkan atas dirinya sendiri sesuatu yang dihalalkan Allah berupa makanan, minuman, memakai baju atau lainnya, maka tidak ada kewajiban apapun baginya kecuali istighfar karena dia berdosa atas ucapannya itu. Dan pengharaman itu tidak membuat hal itu menjadi haram. Karena penghalal dan pengharam itu hanya Allah.
Baca juga: Penyebab murtad
TANYA
2A. Tadi saya bermaksud berkata pada istri saya, “besok kita ke Pegadaian’. Tapi entah kenapa, salah sebut, entah salah di lidah atau salah di dalam kepala saya, sehingga yang tersebut adalah kata ‘pengadilan’. Segera saya mengkoreksi kata nya menjadi kata ‘pegadaian’. Tapi saat mengkoreksi tersebut ada lintasan jahat yang mengait-kaitkan salah kata saya dengan hal yang saya tidak ingin terjadi. Bagaimana hukumnya terkait pernikahan?
2B. Terkait pertanyaan no. 2A, apakah karena saya penderita was-was/penyakit was-was qahry, dianggap tidak berdampak?
2C. Dari dulu, saya sering salah kata, atau kadang tidak sengaja mouthing (tanpa suara) atau membisikkan apa yang terlintas. Sebelum penyakit was-was saya menjadi parah, saya tahu persis tidak ada kata berbahaya yang tidak sengaja terbisik. Saya takut bila karena penyakit was-was qahry saya ini, jangan sampai ada sesuatu yang berbahaya yang terbisikan saat ada lintasan jahat/racun. Bagaimana hukumnya?
2D. Dengan kondisi saya yang mulai bisa mengendalikan diri walau serangan was-was nya masih lumayan intensif, apakah saya masih mendapat dispensasi penderita penyakit was-was qahry?
3A. Kemarin, anak sulung kami marah besar setelah digigit adiknya. Saya mencoba untuk menasihati anak sulung saya untuk tidak memprovokasi adiknya. Saya meminta dia untuk tidak membiasakan mendengarkan suara keras karena membuat dia terbiasa menggunakan suara keras. Saya berkata ‘let’s do some adaptation (untuk tidak mendengar suara keras)’. Saat mengatakan frase ‘let’s do’, ada sesuatu, entah rasa takut atau lintasan jahat yang melintas. Bagaimana hukumnya?
3B. Sebelum saya menasihati anak sulung saya, tadinya istri saya hendak membawa anak bungsu kami untuk berkeliling kompleks untuk menenangkan keadaan. Terus terang saya takut, sehingga saya mencegah. Dia bertanya apakah saya punya rencana, saya berkata ‘actually I do.’ Segera ada rasa takut yang melintas. Bagaimana hukumnya?
4A. Saat penyakit was-was saya dalam keadaan sangat parah beberapa bulan silam, ditambah pengaruh ajaran Wahabi, saya pernah melarang anak-anak saya menonton film kartun Toys Story. Saya agak berkeras hingga istri saya marah besar, hingga saat itu istri saya mengancam walau saya terus memohon dia tetap bersama saya.
Tadi saya mengizinkan anak-anak saya menonton film tersebut di televisi, bahkan saya ikut menonton, walau terus terang saya takut sekali karena teringat kejadian tersebut. Bagaimana hukumnya pada pernikahan?
4B. Bagaimana hukumnya bila saya membicarakan/mengobrolkan isi film tersebut yang saya tanyakan di nomor 4A?
5A. Saat menonton televisi bersama-sama keluarga saya, ada sebuah lagu produksi malaysia yang ada lafadz kinayah di dalamnya. Istri saya kemudian membahas mengenai produksi musik Malaysia dan membandingkannya dengan produksi musik Indonesia. Saya ketakutan menjawab sehingga saya diam, tapi kemudian saya secara refleks mengiyakan salah satu pernyataannya tentang produksi musik di Indonesia. Bagaimana hukumnya?
5B. Saya melihat postingan seorang teman di sosial media yang berisi link tentang tingkatan anxiety disorder berupa tabel berilustrasi. Saya mengatakan pada diri saya sendiri bahwa di dalamnya konteksnya tentang kesehatan jiwa dan ‘tidak akan ada kata berbahayanya’ sehingga saya membuka posting tersebut. Ternyata di dalam tabel tersebut, ada penjelasan ilustrasi tersebut yang berupa lafadz kinayah dalam konteks. Bagaimana hukumnya?
6. Pada konsultasi tepat sebelum ini, saya menanyakan tentang keadaan di mana saya ketakutan sebelum mengerjakan sebuah pekerjaan kantor, karena saya ketakutan menulis apapun (padahal salah satu bagian utama saya sebagai konsultan brand adalah menulis), sehingga saya malah melintaskan ‘harus berani ambil risiko’. Lintasan tersebut saya bantah, dengan lintasan, ‘saya tidak mau ambil risiko. Justru saya kerja adalah untuk mempertahankan pernikahan kami (saya dan istri saya)’. Sejak saat itu saya jadi ketakutan menulis apapun, dan belum melanjutkan pekerjaan saya, kecuali menuliskan rangka kerja artikel saya berupa daftar headline yang isinya kebanyakan nama buah. Bila saya meneruskan pekerjaan tersebut, dengan di dalamnya tentunya saya tidak menuliskan apapun dalam konteks berbahaya, apakah saya dianggap mengambil risiko? Bagaimana hukumnya pada pernikahan kami?
7. Pada konsultasi tepat sebelum ini, dan beberapa konsultasi sebelumnya, saya pernah menanyakan tentang menggunakan barang bajakan dan juga tentang melihat aurat yang tidak boleh dilihat, dan/atau mengenakan/menyuruh mengenakan/menyetujui penggunaan/membelikan baju yang tidak menutup aurat secara benar. Saya mendapat jawaban bahwa hukumnya berdosa, tapi tidak murtad selama masih mengakui hukum asalnya.
Yang selalu mengganggu pikiran saya adalah kenyataan bahwa walaupun kami selalu mengakui bahwa membajak/menggunakan barang bajakan adalah illegal, dan menutup aurat di depan yang tidak berhak melihatnya adalah wajib, namun saat mengerjakan dosa tersebut, umumnya bukan hanya tidak merasa berdosa, namun juga saya dan istri saya juga tidak merasa sedang mengerjakan perbuatan dosa, seakan hal yang dikerjakan adalah hal yang biasa saja, apalagi karena memang perbuatan-perbuatan tersebut terlazimkan di masyarakat. Kami memang tidak pernah menyebut perbuatan tersebut sebagai halal, namun juga tidak sadar sedang mengerjakan perbuatan dosa. Kami juga sering tidak merasa berdosa melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat di media, kecuali bila sudah menjurus nudity/pornografi, bahkan tidak sadar sedang melakukan perbuatan dosa.
Apakah dianggap na’udzubillahi mindzalik mengubah-ubah hukum Allah?
8A. Tentang masalah pacaran. Dulu sekali saya pernah diajari bahwa pacaran adalah terlarang dalam Islam, dan pacaran yang benar adalah sesudah akad nikah. Namun sekali lagi, karena pacaran terlazimkan (malah teramat terlazimkan di lingkungan kami), kami tidak merasa melakukan sesuatu yang haram saat berpacaran. Saya dan istri saya berpacaran selama 9 tahun sebelum kami melangsungkan akad nikah, padahal saya sudah melamar istri saya dua atau tiga bulan sejak kami mulai berpacaran.
Saya dulu beranggapan sulit sekali membangun kecocokan tanpa melewati fase pacaran, sesuatu yang diiyakan ibu saya almarhumah. Istri saya juga berasal dari keluarga yang awam agama, sehingga orang tuanya, seperti orang tua saya mengizinkan, bahkan merestui, kami berpacaran.
Saya dan istri saya selalu mengakui haramnya perbuatan zina/muqaddimah zina. Dan kami tidak membantah bahwa bila dua orang yang tidak boleh berduaan mengerjakan berduaan, maka yang ketiganya adalah syaithan, kami juga mengakui haramnya mendekati perbuatan zina. tapi kami tidak sadar bahwa pacaran yang kami kerjakan saat itu termasuk hal haram, terutama bila saat pacaran dikerjakan di depan orang banyak, di dalam kendaraan umum, atau saat bersama keluarga, atau saat berada di tempat yang mudah diakses orang lain. Biasanya kami baru ingat keharaman bila saat sebelum akad nikah itu kami berada berdua saja di tempat tertutup, atau bila terjadi kontak fisik yang agak ekstrem (dalam pengertian lebih dari berpegangan tangan, berangkulan, atau mencium pipi).
Kami tidak mengatakan pacaran sebagai halal, lebih tepatnya kami tidak ingat hukum apapun, kecuali bila mulai menjurus ekstrem. Apakah dianggap na’udzubillahi mindzalik mengubah-ubah hukum Allah?
8B. Bagaimana hukumnya tulisan saya di pertanyaan 8A di atas? Apakah ada dampak apapun?
13. Suatu hari saya dilibatkan pada pekerjaan yang dipimpin seseorang yang ngotot menggunakan filosofi hindu dalam konsep desainnya. Saya langsung tidak nyaman, karena saya jelas tidak membenarkan filosofi hindu, apalagi pekerjaan tersebut langsung terkait khamr. Saya tidak mengambil pekerjaan tersebut, namun saya sempat sekali berkomentar menanggapi ucapan project manager tersebut, saat dia bermaksud memberi brand tempat khamr tersebut sesuatu dengan angka 9 (saya tidak ingat persisnya), bahwa manusia memiliki 9 lubang.
Saya takut tanggapan tersebut dihukumi mendukung bisnis khamr tersebut, atau lebih parah lagi, dianggap mendukung syiar kekufuran hindu. Saya ingat saya langsung menyatakan saya tidak mau terlibat bisnis tersebut karena alasan khamr. Tapi saya baru menyatakan penolakan pekerjaan tersebut setelah mengucapkan satu kalimat tersebut. Saya tidak mau memberikan kontribusi apapun lagi pada pekerjaan tersebut di luar komentar tentang manusia memiliki 9 lubang
Bagaimana hukumnya? Apakah termasuk na’udzubillahi mindzalik kekafiran?
14. Kadang saat saya dan istri saya berkumpul dengan beberapa teman, satu atau lebih teman terang-terangan minum khamr. Kami jelas tidak menghalalkan khamr, namun kami juga jarang melarang di luar bentuk sindiran. Yang saya takutkan adalah, saat menolak khamr, kadang karena takut disebut menggurui, alasan yang saya ucapkan adalah karena liver saya tidak kuat, sementara istri saya berkata dia tidak suka rasanya. Kami tidak mengingatkan bahwa hal tersebut haram, karena merasa bahwa pihak yang minum khamr berurusan langsung dengan Allah. Apakah perbuatan kami termasuk na’udzubillahi mindzalik kemurtadan?
15. Saat berusia 16-17 tahun, saya pernah juga mengalami penyakit was-was parah, sehingga saat itu, karena tidak ada yang mengajari, tidak seperti saat ini, saya sempat berpikir bahwa saat itu saya pernah na’udzubillahi mindzalik beberapa kali murtad. Karena saat itu, dan lama sesudahnya, saya tidak tahu keadaan sebenarnya bahwa hal tersebut hanya penyakit was-was, saya pernah bercerita pada istri saya (saat sebelum akad nikah) bahwa saya pernah ‘berpindah-pindah agama’ sebelum kembali masuk Islam. Saya khawatir, saat bercerita pada istri saya, cerita saya mungkin sedikit ‘terbumbui’. Bagaimana hukumnya? Apakah termasuk na’udzubillahi mindzalik kemurtadan?
16A. Saya sempat terinterupsi beberapa kali saat menuliskan pertanyaan-pertanyaan di atas. Beberapa kali interupsi terjadi di tengah kalimat, sebelum menuliskan tanda tanya. Apakah konteks bercerita tetap berlaku? Bagaimana hukumnya tulisan pertanyaan-pertanyaan saya di atas, apakah ada dampaknya pada keimanan dan/atau pernikahan?
16B. Pada pertanyaan nomor 16A di atas, saya sempat salah menuliskan ‘sebelum menuliskan tanda tanya’, menjadi ‘sebelum menanyakan’. Apakah ada hukumnya?
JAWABAN
2a. Tidak berdampak.
2b. Bukan karena penderita was-was, memang tidak berdampak. Karena bukan konteks untuk itu.
2c. Tidak berdampak.
2d. Ya.
3a. Tidak berdmapak.
3b. Tidak berdampak.
4a. Tidak berdampak.
4b. Tidak masalah. Hukum asal dari film adalah boleh, kecuali ada hal di dalamnya yang berlawanan dg ajaran Islam. Baca detail: Hukum Gambar
5a. Tidak berdampak. Konteksnya sangat aman, tidak perlu takut.
5b. Tidak berdampak. Pernyataan anda “lafadz kinayah dalam konteks” tidak tepat. Kami ulangi kaidah sebelumnya: “Semua kalimat yang ditulis tidak dalam konteks untuk menceraikan istri, maka itu tidak dalam konteks. Dalam situasi tidak dalam konteks, maka tidak ada kata kinayah atau sharih. Semua kata tidak ada dampak hukum sama sekali”
6. Apapun yg anda tulis untuk keperluan pekerjaan maka itu semua aman. Di luar konteks. Tidak berdampak apapun.
7. Tidak dianggap mengubah.
8a. Tidak dianggap mengubah hukum.
8b. Tidak berdampak.
10. Apakah kalimat syahadat, basmalah, istighfar, dzikir-dzikir lainnya, atau surat-surat Juz ‘Amma bisa berdampak hukumkah bila bertepatan dengan lintasan jahat?
11. Bila sedang berdoa, tiba-tiba khawatir redaksi doanya bisa berbahaya sehingga redaksinya diperbaiki, apakah salah redaksi doa tersebut bisa berdampak (tidak ada kata sharih, dan tidak ada kata kinayah)? Ataukah saya harus berpegang pada keyakinan Allah Maha Tahu apa yang sebenarnya saya mintakan?
12. Apakah berdoa dalam keadaan tidak bersuara sama sekali bisa diterima do’a nya?
10. Tidak berdampak.
11. Tidak berdampak.
12. Ya, bisa diterima. Allah Maha Tahu dan Maha Mendengar doa hambaNya. Baik doa secara bersuara atau dalam hati. Lihat QS Al-Taghabun :4; Ghafir :19; Al-Baqarah :282; Ali Imron: 5; Al-A’raf :205.
Baca detail: Terjemah Al Quran
13. Tidak termasuk.
14. Tidak termasuk. Kita wajib ingkar pada kemaksiatan yang dilakukan orang lain. Dan diam termasuk bentuk ingkar. Baca detail: Hukum Amar Makruf Nahi Munkar
15. Tidak termasuk.
16a. Tidak berdampak.
16b. Tidak ada dampak.