Hukum shalat ada najis di badan pakaian
Hukum shalat ada najis di badan pakaian
Assalamualaikum ustadz maaf mau nanya 3 pertanyaan:
1. disebutkan dari ibnu abdil barr bahwa menghilangkan najis dari badan dan pakaian merupakan sunah muakad dalam mazhab maliki dan pengikutnya adapun yang lain berpendapat fardhu. Apakah berarti dalam mazhab maliki ada najis di badan dan pakaian jika dibawa sholat tetap sah sholatnya karena menghilangkan najis itu sunah muakad? Baca juga: Najis di jalanan
2. mazhab Hanafi menyebut bahwa istinja hukumnya sunah dan al kasaani disitu menyebutkan bahwa istinja sunah dan orang yang meninggalkan atau melupakan istinja ia boleh tetap sholat dan adalagi dari imam ibnu al-humam kurang lebih kesimpulannya sama. Disini apakah berarti dalam mazhab hanafi kita tidak istinja saat hendak sholat, sholatnya dikatakan sah dan apakah sisa sisa kotoran yang ada yang dibawa sholat berarti dimaafkan kah?
3. Kalau misal kita dalam pensucian najis sebelumnya salah cara pensucian nya sudah sejak lama dan baru tahu sekarang. Itu sholat kita gimana ustadz kan tidak tahu qadha kah? Kalau harus qadha apakah ada ulama-ulama yang tidak mewajibkan qadho karena tidak tahu tentang hukum najis supaya pengetahuan baru bagi saya? Boleh saya tahu ulama mazhab mana yang membolehkan tidak qadha kan tidak tahu
JAWABAN
1. Ya, betul. Dalam madzhab Maliki ada dua pendapat soal adanya najis di tubuh atau pakaian saat shalat.
Pendapat mazhab Maliki soal najis di tubuh dan baju saat shalat
Dr. Atiyah Shaqar, Mufti Mesir, menjelaskan soal ini dari perspektif mazhab empat sbb:
من المعلوم أن الطهارة من النجس شرط لصحة الصلاة عند جمهور الفقهاء فلو صلى وفى بدنه أو ثوبه نجاسة، وكان عالما بها بطلت صلاته ، وهناك رأيان للمالكية في حكم الطهارة من النجاسة، هل هى واجبة لصحة الصلاة أم سنة ، فعلى القول بالوجوب كانت الصلاة باطلة عند العلم بالنجاسة ، وعلى القول بالندب لا تبطل الصلاة ، فتجب إعادتها فى الوقت أو بعده على القول الأول وتندب إعادتها على القول الثانى .
فإذا صلى بالنجاسة ناسيا لها ، أو جاهلا بها ، أو عاجزا عن إزالتها فصلاته صحيحة على القولين عند المالكية ، وتندب الإعادة فى الوقت المسموح به للصلاة .
Artinya: Suci dari najis adalah syarat bagi keabsahan shalat menurut jumhur fuqaha (mayoritas ulama fikih mazhab empat). Apabila di badan atau baju orang yang shalat terdapat najis dan dia tahu hal itu, maka batal shalatnya. Tapi ada dua pendapat dalam mazhab Maliki dalam soal hukum suci dari najis saat shalat: apakah itu wajib untuk keabsahan shalat atau sunnah? Kalau mengikuti pendapat yang menyatakan sunnah, maka shalatnya tidak batal tapi sunnah mengulangi. Kalau mengikuti pendapat yang menyatakan wajib suci, maka wajib mengulangi shalat pada waktunya atau setelahnya. Namun apabila shalat dengan najis itu karena lupa atau tidak tahu atau tidak mampu menghilangkannya, maka shalatnya sah menurut kedua pendapat dalam mazhab Maliki tapi tetap sunnah mengulangi shalat di waktu yang dibolehkan shalat.
Pendapat mazhab Hanafi soal istinjak dan shalat
2. Dalam mazhab Hanafi dibedakan antara istinjak dengan menghilangkan najis. Najis di lubang kemaluan hukumnya makfu dan bisa dibasuh dengan air atau benda seperti tisu dan sejenisnya. Namun apabila najisnya melebihi kawasan lubang (zakar atau dubur), maka dirinci: kalau ukuran najisnya melebihi koin, maka wajib dibasuh dengan air sebagai syarat sahnya shalat. Kalau ukuran seperti koin atau lebih kecil, maka dimaafkan. Tapi menyucikannya tetap harus pakai air.
Untuk lebih memahami berikut penjelasan Al Jaziri dalam Al Fiqh alal Madzahib al Arba’ah, hlm. 1/83,
الحنفية قالوا: حكم الاستنجاء أو ما يقوم مقامه من الاستجمار. هو أنه سنة مؤكدة للرجال والنساء. بحيث لو تركها المكلف فقد أتى بالمكروه على الراجح. كما هو الشأن في السنة المؤكدة: وإنما يكون الاستنجاء بالماء أو الاستجمار بالأحجار الصغيرة ونحوها سنة مؤكدة. إذا لم يتجاوز الخارج نفس المخرج، والمخرج عندهم هو المحل الذي خرج منه الأذى، وما حوله من مجمع حلقة الدبر الذي ينطبق عند القيام ولا يظهر منه شيء. وطرف الإحليل الكائن حول الثقب الذي يخرج منه البول، لا فرق في ذلك بين أن يكون الخارج معتاداً، أو غير معتاد، كدم وقيح، ونحوهما، فإذا جاوزت النجاسة المخرج المذكور. فإنه ينظر فيها فإن زادت على قدر الدرهم، فإن إزالتها تكون فرضاً، ويتعين في إزالتها الماء. لأنها تكون من باب إزالة النجاسة لا من باب الاستنجاء، وإزالة النجاسة يفترض فيها الماء. ومثل ذلك ما أصاب طرف الإحليل – رأسه – من البول. فإن زاد على قدر الدرهم افترض غسله بالماء فلا يكفي في إزالته الأحجار ونحوها، على الصحيح، وكذا ما أصاب جلدة إحليل الأقلف – الذي لم يختن
Artinya: Menurut mazhab Hanafi hukum istinjak atau penggantinya yakni istijmar (istinjak dengan batu) adalah sunnah muakkad bagi laki-laki dan perempuan. Dalam arti apabila meninggalkannya hukumnya makruh menurut pendapat yang rajih. Sebagaimana hukum dari sunnah muakkad. Istinjak dengan air atau batu kecil itu sunnah muakkad apabila benda yang keluar dari kemaluan tidak melebihi kawasan tempat keluarnya. Tempat keluar (makhraj) menurut mazhab Hanafi adalah tempat keluarnya kotoran dan kawasan sekelilingnya yakni lingkaran dubur yang berkumpul saat berdiri dan tidak tampak apapun darinya. Dan sisi lubang zakar yang ada di sekitar lubang tempat keluarnya kencing. Sama saja yang keluar itu yang biasa atau tidak biasa seperti darah dan nanah, dll. Apabila najis yang keluar melewati makhraj yang disebut, maka dirinci: apabila melebihi ukuran koin, maka wajib dihilangkan (tidak dimakfu) dan harus dihilangkan dengan air. Karena dalam kondisi ini termasuk kategori menghilangkan najis, bukan kategori istinjak. Da menghilangkan najis itu harus dengan air. Begitu juga dengan kasus lubang zakar dari kencing. Apabila kencingnya melebihi lingkaran lubang zakar dan besarnya satu koin dirham, maka wajib dibasuh dengan air dan tidak sah menghilangkan dengan batu dan sejenisnya menurut pendapat yang sahih. Begitu juga kencing yang mengenai kulit lubang kuluf bagi pria yang tidak dikhitan.
3. Menurut mazhab Maliki tidak perlu qadha. Lihat jawaban no. 1 di atas. Baca detail: Najis dan Cara Menyucikan