Kata talak yang diucapkan di luar konteks tidak berdampak hukum
Kata talak yang diucapkan di luar konteks tidak berdampak hukum
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
Dengan Hormat,
1A. Kemarin saya sempat teringat bahwa dulu kadang saat istri sedang marah pada saya, kadang (mungkin satu atau dua kali, saya tidak ingat) saya terucap kalimat, “Mungkin saya ga cukup baik buat kamu/untuk jadi suami kamu.” Saya cukup yakin bahwa saya tidak pernah ada niat apa-apa saat mengucapkan hal tersebut, hanya bentuk ekspresi tidak percaya diri saja. Namun kemarin saat teringat kejadian tersebut, terlintas ‘yakin pernah (berniat aneh-aneh)?’ dalam bentuk kalimat tanya, sebanyak dua kali. Segera saya bantah karena saya yakin tidak pernah berniat aneh-aneh, atau setidaknya saya ragu pernah, dan saya tahu bila ada keraguan dianggap tidak pernah. Bagaimana hukumnya?
1B. Saat sebelum menanyakan pertanyaan ini dan saat menuliskan pertanyaan ini, lintasan ‘yakin pernah’ tersebut terlintas lagi, namun tidak berbentuk kata tanya. Satu kali terlintas begitu saja di kepala dan langsung saya bantah, sekali lagi terlintas karena sedang mengetikkannya di email pertanyaan ini, sebelum saya luruskan bahwa itu adalah kata tanya. Saya sendiri yakin, tidak pernah ada niat macam-macam saat dulu terucap pikiran tersebut. Bagaimana hukumnya? Apakah ada dampak yang terjadi akibat lintasan tersebut atas ucapan dulu? Atau karena saya penderita penyakit OCD maka lintasan tersebut tidak dianggap?
2A Kadang saat mengucapkan sesuatu saya suka mendapat lintasan yang melanjutkan, mengasosiasikan, atau mengartikan kalimat yang saya ucapkan dengan hal-hal yang jelas saya tidak inginkan. Misalnya saya pernah berkata kemarin pada anak kedua saya bahwa dia sering sekali marah, atau saya berkata pada istri saya bahwa saya sedang pusing, anak-anak saya sedang ribut dua-duanya, dan anak sulung kami sedang rewel sekali. Saat itu pula ada yang melintaskan macam-macam yang saya tidak maksudkan sama sekali dan saya tidak mau terjadi. Sebetulnya dari awal saya sudah tidak mau mengucapkan kata-kata tersebut karena saya takut, tapi saya seperti tidak bisa mengerem diri saya sendiri. Bagaimana hukumnya?
2B. Saat menuliskan pertanyaan-pertanyaan di atas pun ada tuduhan (dalam lintasan di kepala) seakan saya bukan sedang bertanya/bercerita. Tentunya saya tidak bermaksud apa-apa, saya tidak ingin ada dampak. Bagaimana hukumnya?
2C. Lintasan ini mengganggu saya bahkan pada titik paling sederhana, seperti saat saya diminta anak saya untuk mengucapkan ‘good night’. Sebelum mengucapkan kata tersebut, saya sudah membatinkan niat saya mempertahankan pernikahan kami (saya dan istri), tapi saat saya mengucapkannya, tetap ada lintasan jahat yang mengganggu saya. Bagaimana hukumnya?
2D. Beberapa kali saat menuliskan pertanyaan-pertanyaan di atas, ada yang berusaha untuk menyalahartikan kata-kata yang saya tulis untuk mengganggu saya, yang disalahartikan oleh was-was tersebut mulai dari arti, objek, rujukan, maupun niatnya. Bagaimana hukumnya?
3. Kemarin saya merasa melakukan kesalahan yang sangat besar. Saya membaca sebuah artikel di NU online tentang seragam polwan dan jilbab. Artikel tersebut menyatakan jilbab perkara khilafiyah. Saya tentu tidak percaya, tapi ada rasa penasaran di saya yang membuat saya mengetikkan kalimat ‘apakah jilbab khilafiyah’ di google search, walau saya saat mengetikkan pertanyaan tersebut, berkata dalam hati, ‘jilbab itu wajib.’. Kalimat yang ditawarkan google adalah pertanyaan, ‘apakah jilbab wajib’. Dan saya sempat mengklik kalimat tersebut. Saat itu serentak beragam pikiran dan lintasan mengganggu saya, walau saya tetap marah ketika ada judul-judul artikel yang seakan tidak mewajibkan jilbab. Sehingga saya tidak membuka satu pun artikel tersebut dan membaca artikel NU online tentang pengertian hijab dan jilbab. Dan membaca artikel Al-Khoirot tentang aurat.
Sesudah kejadian tersebut, saya menekankan pada diri saya sendiri berulang-ulang tentang kewajiban menutup aurat di depan yang tidak berhak melihatnya dan saya bersyahadat berkali-kali.
Bagaimana hukumnya?
4A. Kemarin sempat saya melintaskan di dalam hati saya, bahwa saya melarang diri saya untuk mengucapkan kata sharih. Saya memang benar-benar tidak mau mengucapkan kata tersebut, tapi kemudian saya ingat bahwa hukumnya bisa dari haram sampai yang lainnya. Saya tidak mau melanggar hukum, tapi saya juga tidak mau mengucapkan kata tersebut, karena saya mau pernikahan saya utuh selamanya. Kemudian saya bersyahadat karena saya takut sudah melanggar hukum Islam.
Bagaimana hukum syahadat saya? Apakah ada dampak apapun?
4B. Ada beberapa kali rasa takut, guncang, dan khawatir saat menuliskan pertanyaan di atas, seperti saat menuliskan kata ‘namun’ yang kemudian saya tulis ‘tapi kemudian’, dan saat menulis kata ‘saya tidak mau melanggar hukum’. Saya benar-benar tidak mau ada dampak, dan kalimat tersebut, baik awalnya maupun sampai kapanpun, tidak dimaksudkan untuk menafikkan niat saya mempertahankan pernikahan.
Bagaimana hukumnya?
5. Saat beberapa bulan yang lalu saya diberi tahu oleh pihak KSIA bahwa lafadz muallaq bisa dicabut, saya segera mencabut semua lafadz muallaq yang saya pernah ucapkan. Namun saat itu saya sempat membuat kesalahan kata (karena tidak tahu artinya) sehingga yang diucapkan saat itu (karena tidak mengerti arti kata) adalah, “saya mencabut seluruh/semua taklik muallaq yang pernah saya ucapkan.’
Saya terus khawatir, ‘apakah yang tercabut adalah syaratnya? apakah malah jadi na’udzubillahi mindzalik berdampak hukum semua lafadz yang sebetulnya kondisinya tidak ada tersebut?’
Bagaimana hukumnya?
6A. Kemarin sore juga sempat ada serangan lintasan bertubi-tubi yang mencoba membuat saya mempercayai makhluk-makhluk khayalan yang dipercayai orang-orang musyrik eropa. Saya berjuang membantah lintasan-lintasan tersebut. Perlu waktu hampir satu jam sampai lintasan-lintasan tersebut hening. Bagaimana hukumnya?
6B. Saat penyakit was-was saya sedang separah-parahnya beberapa bulan yang lalu, kejadian serupa pun pernah terjadi, di mana saya melawan serangan was-was kufur tersebut selama lebih dari 4 jam. Bagaimana hukumnya?
7. Dulu ada yang mengajari saya ‘meramal’ menggunakan kartu remi. Saya tidak pernah benar-benar percaya, namun saya pernah ‘diramal’ dan ‘meramal’ dengan metode kartu tersebut. Saya tidak pernah benar-benar percaya dengan ‘ramalan’ tersebut, dan menganggapnya sebagai main-main. Namun yang saya ingat, adalah saya belum pernah mengalami mimpi basah saat mengerjakannya. Apakah terhitung dosa?
8. Dulu, saat masih kuliah, saya, istri saya, dan seorang teman kadang mengumpulkan koin apa saja yang kami temukan lalu kami bagi-bagikan untuk kami pakai sebagai koin bermain kartu poker. Sesudah bermain, koin itu kami kumpulkan untuk membeli nasi goreng atau makanan lainnya. Dulu kami tidak merasa mengerjakan judi, karena tidak ada yang benar-benar mendapat atau kehilangan uang. Bagaimana hukumnya? Apakah termasuk mengubah-ubah hukum Allah?
10. Saat membicarakan rencana seluruh keluarga kami mengunjungi mertua saya, istri saya sempat menggunakan kata ‘pulang.’ Saya sempat tertawa saat mendengar isi pembicaraan dia, namun kemudian saya mengingatkan dia bahwa rumah dia (istri saya) adalah bersama saya, dan saya memintanya untuk menggunakan frasa ‘ke (tempat mertua saya)’ bila sedang membicarakan tentang mengunjungi orang tuanya.
Bagaimana hukum nya saat saya tertawa menanggapi pembicaraan istri saya?
Contoh 1:
Anak: “Pa, ayo kita pisahkan kucing yang sedang bertengkar itu!”
Ayah: “Ayo, ibu tolong dia memisahkan kedua kucing itu.”
Contoh 2
Istri: “Pa, sudah waktunya burung yang kita pelihara itu kita lepaskan.”
Suami: “Setuju ma, lepaskan saja!”
JAWABAN
1a. Tidak berdampak.
1b. tidak ada dampak.
2a. Tidak ada hukumnya alias tidakk ada dampak.
2b. Tidak berdampak.
2c. Tidak berdampak.
2d. Tidak ada dampak.
Baca detail: Tidak semua talak sharih berakibat cerai
3. Tidak masalah.
4a. Tidak ada dampak.
4b. Tidak masalah.
5. Tidak ada dampak.
6a. Tidak berdampak.
6b. Tidak ada dampak.
7. Kami kurang mengerti apa hubungan antara ‘meramal’ dengan ‘mimpi basah’.
8. Tidak masuk kategori judi. Hukum asal dari bermain poker atau remi atau catur dan permainan lainnya adalah boleh.
10. Tidak masalah. Sekali lagi, semua pembicaraan di luar konteks menceraikan istri itu tidak ada dampak apapun. Tidak disebut sharih juga tidak disebut kinayah, jadi tidak ada hukumnya. Berikut contoh-contoh di luar konteks dan tidak berdampak apapun.
Baca: Cerita talak