Mentalak istri dalam pikiran apa jatuh cerai
Mentalak istri dalam pikiran apa jatuh cerai
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
Taqabalallahu minna wa minkum
Minal ‘aidin wal fa’idzin
Mohon maaf lahir batin atas segala kesulitan yang saya timbulkan
Maaf saya ada pertanyaan lagi:
1A. Apakah lintasan pikiran, (bukan was-was) yang terjadi saat ini bisa berakibat pada lafadz yang sudah lewat? Misalnya bila berpikir secara rancu dan ngawur tentang sebuah lafadz yang sudah dilaporkan, diteliti, dan dihukumi tidak berdampak hukum, dalam pikiran rancu tersebut dianggap berdampak hukum, atau dikhawatirkan ‘seharusnya’ berdampak hukum. Apakah jadi berdampak hukum? Sebenarnya yang diinginkan adalah tidak berdampak hukum.
1B. Bagaimana bila ada lintasan pikiran rancu mengenai sah tidaknya pernikahan, yang sudah diteliti dan jelas dinyatakan sah. Apakah ada dampak hukumnya pada pernikahan?
2A. Setahu saya dalam soal [xxxxx], sebuah pikiran tidak berdampak hukum selama belum dilafadzkan. Bila pikiran tersebut saya ceritakan/tanyakan seperti di no. 1 di atas, apakah jadi berdampak hukum? Bila pikiran rancu tersebut saya ceritakan, apakah jadi berdampak hukum? Karena pikiran rancu tersebut jelas ngawur dan bertentangan dengan kaidah yang benar, seperti yang berulang kali dijelaskan KSIA pada saya.
2B. Apakah dampak hukumnya bila terjadi kerancuan pikiran (karena salah ingat, atau hanya pikiran kacau/tidak lengkap saja) tentang kaidah hukum seputar [xxxxx] atau fasakh, tapi masih hanya dalam hati saja dan tidak diucapkan? Pikiran ini pun segera diluruskan
Apakah berpengaruh pada kejadian sebelum dan atau sesudahnya?
3A. Hampir 8 tahun yang lalu, istri saya pernah juga marah besar dan minta pergi. Saat itu saya sudah kehabisan akal untuk meminta dia tetap bersama saya. Saya berkata ‘kalaupun kamu pergi, saya akan tetap ngerjain proyek (nama sebuah tempat) bareng kamu.’ Di dalam hati, sebenar-benar nya tidak mau kehilangan istri saya.
Bagaimana hukumnya?
Mungkin ada beberapa kalimat lain di mana saya mengandaikan kondisi bila ia pergi, atau beberapa kalimat yang mungkin mengiyakan, yang saya ucapkan karena kehabisan akal/kata-kata (saya tidak yakin). Namun yang pasti saat itu yang saya niatkan bulat adalah mempertahankan pernikahan. Saat itu saya tidak mengerti lafadz kinayah, sehingga kata ‘pergi’ pun saya artikan hanya tinggal di tempat yang jauh dan berbeda. Bukan perubahan status hukum dalam Islam. Saat kejadian itu saya hanya tahu satu lafadz sharih, dan yakin tidak mengucapkan satu pun dari ketiga kata lafadz sharih.
Sesudahnya, sepanjang malam sampai pagi, saya meminta dia bertahan bersama saya hingga akhirnya dia setuju.
Awalnya saya sempat berpikir pernah mengiyakan saat itu, namun sekarang saya ragu apakah pernah mengiyakan.
Saya takut kata-kata saya tersebut berdampak hukum.
Bagaimanakah hukumnya?
3B. Bagaimana hukumnya saat saya berkata ‘don’t leave me’, tapi kata don’t nya terucap agak lirih? Seluruh kalimat masih terdengar oleh diri sendiri. Istri mungkin mendengar, mungkin tidak, tapi mengerti.
3C. Sebelum ke mesjid saya berkata, “mungkin aku baiknya ke mesjid ya.” Lalu saya teringat mungkin istri perlu bantuan saya atau perlu saya untuk ada di rumah. Jadi saya bertanya, “Do you need me?”, istri berkata tidak. Saya yakin dia tahu konteks saya. Apakah ada dampak hukum dari percakapan ini?
3D. Sempat saya berkata pada istri dengan kata-kata ‘don’t you ever leave me…’ tapi setiap kata dibaca dengan penkenan, hingga mungkin ada jeda antar kata. Apakah ada dampak hukum yang terkena pada pernikahan?
3E. Bila ada yang menyarankan [xxxxx] dengan lafadz sharih atau kinayah, lalu suami diam total, tidak menanggapi dengan kata-kata ataupun isyarat. Bagaimana hukumnya?
3F. Kemarin istri saya meminta saya menggeser salah satu anak saya karena anak-anak saya tidur hampir berhimpitan dengan kata lafadz sharih. Saya paham maksud dan konteksnya, namun saya tiba-tiba ketakutan. Saya tetap menggeser anak sulung saya, tapi tidak berkata apa-apa. Apakah ada dampak hukum yang terkena pada pernikahan saya?
3G. Saya menemukan istri saya tidur di sofa, seperti kebiasaannya bila asma nya kambuh. Saya menawarkan untuk mengangkat dia ke kamar, tiba-tiba saya khawatir ada dampak hukum bila ada jawaban. Dia kemudian memang menjawab ‘ga usah’. Apakah ada dampak hukumnya?
3H. Saya sempat mengobrol dengan istri tentang pekerjaan saya. Istri berkata sesuatu tentang pentingnya bagi kami presiden sekarang tetap menjadi presiden bagi pekerjaan saya. Saya menjawab dengan, “yaa, ini sih lepas sih.” Objek yang saya maksud dengan kata “ini” adalah program pekerjaan saya.
Apakah ada dampak hukumnya?
3I. Saya berkata pada istri tentang rencana jadwal saya. Awalnya saya sempat takut menggunakan kata ‘pulang’, tapi karena tidak ada kata lain yang saya temukan, tetap saya gunakan. Kata itu saya maksudkan harfiah, yaitu kembali ke rumah dari pekerjaan. Tapi timbul rasa takut akibat saya menabrak kekhawatiran saya. Apakah ada dampak hukumnya?
3J. Setahun yang lalu, saya pernah mengancam anak saya bila dia tidak mau menurut dan berhenti ribut di malam hari, saya akan pergi dari rumah. Ujungnya anak memang mengusir saya. Dan saya ceritakan pada istri saat saya bersiap-siap pergi bahwa saya diusir anak. Saya berjalan-jalan selama dua jam lalu kembali ke rumah. Apakah ada dampak hukum dari kata-kata dan tindakan saya pada pernikahan saya?
3K. Dalam satu pembicaraan tentang pekerjaan saya, saya bercerita pada istri mengenai rencana saya bila disalahkan atas kelambatan kerja orang lain. Pembicaraan sempat teralih pada cerita pendapat bos saya tentang saya. Tanpa ancang-ancang, saya kembali pada subyek utama dengan kalimat, “Sekarang saya serahkan (di sini saya tersentak dengan kata yang saya pakai) pada forum, (saya segera lanjutkan untuk memastikan konteks diucapkan secara verbal) pekerjaan ini salah siapa.”
Apakah ada dampak hukumnya?
3L. Ketika menulis kalimat di atas, saya sempat memutus kalimat pada kata yang saya tulis dengan huruf miring untuk menuliskan keterangan di dalam kurung. Apakah ada dampak hukumnya?
4A. Dua kali di siang hari bulan Ramadhan, saya memalingkan muka saat istri saya berganti pakaian. Segera saya luruskan bahwa saya boleh melihat aurat istri. Apakah tindakan tersebut (dilakukan tanpa kata-kata, dan tidak disengaja) ada dampak hukumnya?
4B. Saya khawatir bahwa dulu saya juga mengerjakan hal yang sama setiap Ramadhan (saya tidak yakin karena tidak ingat). Mungkin awalnya karena berpikir untuk menghindari bangkitnya syahwat. Seingat saya, saya memang pernah setidaknya sekali menegur istri saya untuk tidak membuka auratnya (bukan kepala, tangan, atau kaki) di depan saya karena saya sedang shaum dan khawatir ada efek syahwat saya bangkit. Apakah tindakan dan kata-kata saya berdampak hukum pada pernikahan saya?
4C. Apakah berkata ‘jangan se°y-se°y begitu’ pada istri sebagai pujian, apakah ada dampak hukumnya?
5. Saya pernah merasa melakukan perbuatan yang saya khawatirkan termasuk murtad sebulan yang lalu. Saya segera bertaubat dan bersyahadat malam itu juga. Kemarin saya teringat akan perbuatan tersebut, namun sempat lupa soal taubatnya, dan syahadatnya (dan berpuluh kali saya mengucap syahadat sesudahnya) hingga saya segera bersyahadat ulang dan beristighfar. Beberapa menit kemudian saya baru ingat bahwa sebulan yang lalu pun saya langsung bersyahadat ulang dan bertaubat.
5A. Apakah lupanya saya tentang taubat saya sebulan yang lalu tersebut berdampak hukum?
5B. Bagaimana ibadah dan tindakan yang dilakukan antara satu bulan yang lalu (saat dosa tersebut dikerjakan) hingga kemarin (saat saya lupa mengenai syahadat dan taubat dulu tersebut), dihukumi? Apakah tetap sah?
5C. Apakah rujuk yang saya ucapkan suatu hari di dalam rentang waktu tersebut tetap sah?
6A. Apakah saya benar beranggapan bahwa semua lintasan dalam hati tidak berdampak apapun pada pernikahan?
6B. Saat menjalani kehidupan sehari-hari, sering sekali saya merasakan kekhawatiran bahwa apa yang akan, sedang, atau saya katakan, atau lakukan seakan ‘bisa’ berdampak pada pernikahan saya. Sering saya ‘tabrak’ saja kekhawatiran tersebut.
Bagaimana caranya meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya menabrak kekhawatiran tersebut adalah karena saya tahu itu was-was dan saya bermaksud mengabaikannya, bukan karena saya bermaksud membahayakan diri sendiri dan pernikahan saya?
6C. Apakah bunyi yang dikeluarkan tapi bukan berupa kata-kata (seperti deheman, helaan napas, dsb.) dan tidak ditujukan untuk menjawab pertanyaan/pernyataan dapat menyebabkan dampak hukum?
7. Dua minggu yang lalu, anak saya bertanya pada istri, mengapa Allah menciptakan manusia. Istri saya menjawab “untuk merasakan rahmat Allah”. Saya saat itu menyetujui jawaban tersebut begitu saja.
Kemarin malam saya teringat ayat yang menyebutkan bahwa tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah. Maka saat istri saya mengulang jawaban tersebut pada anak saya, saya menambahkan, “dan untuk beribadah pada Allah.” Lalu saya bacakan kutipan ayatnya, kemudian saya sampaikan bahwa kita diciptakan untuk menjadi Abdullah.
Apakah ada yang salah/berdosa pada pernyataan saya atau istri saya? Apakah ada pernyataan kami yang berdampak hukum?
Menurut istri saya, ia mengutip jawaban tersebut dari buku yang ia baca.
8. Semasa penyakit was-was saya masih parah, saya banyak bersikap berlebihan dengan mengharamkan hal halal tanpa ilmu karena takut melakukan dosa, dan/atau salah mempersepsi aturan. Sebelum diluruskan Al Khoirot, saya merujuk istri saya. Sekarang saya sudah diluruskan, saya sudah bertaubat dari dosa saya mengharamkan sesuatu tanpa ilmu.
Haruskah saya mengulang rujuk saya pada istri?
JAWABAN
1a. Tidak ada dampak hukum. Baca detail: Hukum lintasan hati talak istri
1b. Tidak ada dampak hukum. Baca detail: Hukum lintasan pikiran
2a. Tidak ada dampak hukum. Cerita tentang talak/pisah/cerai tidak berdampak hukum. Baca detail: Cerita Talak
2b. Tidak berdampak apapun.
3a. Tidak ada dampak. Seandainya pun mengiyakan (masuk kinayah) tetap tidak berdampak karena tidak ada niat. Adapun keraguan apakah ‘mengiyakan atau tidak’ semakin memperkuat tidak ada dampak hukumnya. Baca detail: Cerai dalam Islam
3b. Tidak ada dampak.
3c. Tidak ada dampak.
3d. Jelas tidak ada dampak.
3e. Tidak ada dampak.
3f. Tidak ada dampak.
3g. Tidak ada dampak.
3h. Tidak ada dampak.
3i. Tidak ada.
3j. Tidak ada.
3k. Tidak ada.
3l. tidak ada.
4a. Tidak ada.
4b. Tidak ada.
4c. Tidak ada.
5a. Tidak ada dampak hukum.
5b. Sah.
5c. Seandainya ada talak, maka rujuknya sah. Namun, kalau rujuknya itu akibat was-was, maka tidak ada dampak sebagaimana tidak ada dampak dari was-was talak.
6a. Benar. Lintasan hati tidak ada dampak. Sebagaimana sudah dijelaskan secara rinci pada jawaban sebelumnya.
6b. Orang bisa yakin kalau sudah tahu hukumnya. Dan kami sudah menjelaskan sebagian besar hukum2 terkait talak dan murtad. Kalau sudah tahu, maka tentu bisa membedakan mana yang timbul karena was-was atau bukan. Kata kuncinya terletak pada pemahaman pada hukum syariah.
6c. Tidak ada dampak hukum.
7. Tidak ada dampak apapun.
8. Tidak perlu rujuk ulang. Karena tidak ada dampak yang berakibat pada perceraian.
CATATAN:
Kami melihat ada perkembangan positif pada diri anda. Was-was anda sudah relatif menurun signifikan. Yang perlu lebih anda terus kembangkan adalah pemikiran bahwa
a) syariah Ahlussunnah wal jamaah tidak mudah memurtadkan, mengkafirkan atau mensyirikkan seorang muslim yang sudah bersyahadat;
b) dalam hukum detail, ulama berbeda pendapat dalam banyak hal halal dan haram, dan perbedaan itu menjadi rahmat bagi orang awam seperti kita untuk bersikap positif dan tidak terlalu khawatir;
c) kalau anda ingin meyakinkan diri tentang suatu masalah hukum syariah, maka sebaiknya tanyakan saja apa hukumnya (halal, haram, makruh, mubah, sunnah), bukan langsung menyimpulkan apakah murtad atau tidak murtad. Syariah tidak sekejam itu. Baca detail: Toleran pada orang awam