Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Nasab anak dari akad nikah syubhat

Nasab anak dari akad nikah syubhat

Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Alkhoirot

– Tahun 1977, ayah dan ibu mertua menikah. Sebelum menikah ayah mertua seorang kristen, sementara ibu mertua muslim.

Saat itu mereka menikah dua kali.
Awalnya mereka menikah di KUA (diasumsikan ayah mertua bersyahadat saat itu, walau mungkin tidak meyakini), tapi lalu mereka menikah lagi satu atau dua hari kemudian di gereja secara kristen.

Menurut kesaksian istri, sesudah menikah, ibu mertua kembali menjalankan hidup sebagai muslim, sementara ayah mertua tetap hidup layaknya orang kristen yang tidak taat (beliau tidak pernah ke gereja). Beliau juga belum menjalankan satu pun rukun iman dan rukun Islam saat itu. Juga masih berjudi, minum-minuman beralkohol, dan makan makanan tidak halal.

– Tahun 1979, istri lahir dalam keadaan ayah mertua masih seperti keadaan di atas.

– Awal 90an, karena mengetahui ayahnya bukan muslim (lebih tepatnya istri saat itu tidak tahu agama ayahnya apa, yang pasti belum muslim), istri memastikan diri bersyahadat ulang.
– Akhir 90an ayah mertua masuk Islam dan mulai belajar shalat.

-Tahun 2007 kami menikah dengan ayah mertua sebagai wali nasab, walau diwakilkan kepada tokoh agama lokal (bukan pejabat berwenang). Kami berpikir karena ayah mertua sudah muslim, beliau bisa jadi wali dan memiliki hak taukil.

-Hampir satu bulan yang lalu (5/18), kami baru mengerti bahwa status istri adalah anak zina. Karena saat istri lahir, ayah mertua belum taubat/masuk Islam lagi maka status pernikahan mertua fasid (atau fasakh?), dan belum pernah ada nikah ulang saat itu.

Faktanya mertua memang baru menikah ulang sekitar tahun 2012, dan itu pun bukan karena mereka menyadari nikah pertama fasid, namun karena mertua sempat bercerai dan tidak rujuk sampai masa iddah habis.

Karenanya kami yakin bahwa nikah kami pun nikah syubhat karena di walikan oleh ayah mertua yang tidak punya hak wali (dihitung ayah biologis).

-Tepat satu hari setelah kami menyadari hal tersebut, kami pergi ke KUA setempat untuk menanyakan hal tersebut.
Kami ceritakan lengkap seperti di atas.

Kepala KUA tersebut menilai bahwa mertua menjadi murtad dan pernikahan mertua fasid/batal saat mereka menikah secara kristen setelah sebelumnya menikah secara Islam. Dan, karena ayah mertua masih tetap dalam keadaan murtad (dan tentunya belum nikah ulang) saat istri lahir, istri tidak lahir dalam pernikahan yang sah.

Kepala KUA tersebut mengkonfirmasi bahwa konsekuensinya ayah mertua memang tidak punya hak wali, dan oleh kepala KUA itu dinyatakan akibatnya pernikahan kami pun fasid, walau hukum zina tidak diterapkan karena syubhat.

Kami diperintahkan untuk akad ulang, dan kami laksanakan dua hari kemudian dengan wali hakim Kepala KUA tadi. Pada saat tajdidun nikah, dinyatakan anak-anak saya tetap bernasab pada saya, karena saat anak-anak tersebut dikandung dan lahir, kami dalam keadaan meyakini pernikahan kami sah. Sehingga yang berlaku adalah hukum nasab nikah syubhat.

Pertanyaan saya:
1. Mertua juga meyakini pernikahan mereka sah, mengapa istri saya tetap dihukumi anak zina? Apakah karena orang tuanya dinyatakan murtad, dan ayahnya belum bertaubat saat ia lahir?

2. Bila istri dihukumi anak zina karena pernikahan orang tua nya fasid dan otomatis fasakh saat mereka murtad (dan ayah mertua belum taubat saat istri lahir) mengapa anak-anak saya tetap dinasabkan pada saya? Pernikahan saya saat itu juga pernikahan syubhat, walau kami baru tahu belum lama ini. (Saya bersyukur bila anak tetap dinasabkan pada saya)

Secara pribadi, kami meyakini fasid nya pernikahan mertua (karena memang tidak terlihat tanda keislaman pada ayah mertua hingga istri sudah berusia remaja) yang berakibat fasidnya pernikahan kami juga.

Saya ingin bertanya tentang hal ini kepada Kepala KUA yang menetapkan demikian pada kami, namun seperti saya sampaikan sebelumnya, beliau tidak mau dihubungi. Sehingga sekarang saya dalam keadaan bingung.

4. Karena bila nasab istri saya ternyata yang dianggap tersambung pada ayahnya, apakah berarti nikah kami tidak fasid?

5. apakah akibatnya berarti talak yang saya jatuhkan qabla al dukhul pasca tajdidun nikah kemarin tidak dihitung qabla al dukhul, hingga tidak termasuk ba’in shugra? Apakah berarti ada masa iddah berlaku?

6. Sisi buruknya apakah kemudian berkonsekuensi ucapan-ucapan saya kemarin, yang saya ucapkan karena percaya saat itu (walau tidak berniat talak, tapi berniat menghindari zina) tidak lagi berstatus suami istri jadi na’udzubillahi mindzalik bernilai talak seluruhnya? Karena jadi berlakunya masa iddah?

Dan sepanjang waktu tersebut ada juga beberapa pernyataan saya yang bisa dianggap lafadz rujuk bila dianggap masa iddah berlaku. Sehingga kalau dianggap ada masa iddah, saya tidak yakin bisa selamat dengan klausul talak tiga dihitung satu.

7. Atau justru anak saya yang jadi dinyatakan tidak bernasab pada saya?

8. Atau bila ada perbedaan hukum nasab yang terkena pada istri dengan yang terkena pada anak, apa perbedaannya?

9. Terujung, masih halalkah saya untuk menikah lagi dengan istri saya? (Mengacu pada KSIA, tidak ada talak lain yang jatuh selain talak bain shugra tersebut. Kecuali bila naudzubillahi mindzalik, kata-kata saya pasca talak tersebut dihitung jatuh).

Saya berdoa pada Allah kami masih bisa kembali menikah lagi dengan akad baru seperti keyakinan kami selama ini.

Jazakumullahu khairan katsiiran

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

JAWABAN

1. Ada beberapa kemungkinan dan dampak hukum dalam kasus di atas.
A. Kemungkinan Pertama, saat menikah di KUA tentunya suami masuk Islam dan membaca syahadat. Dengan demikian, maka dia sudah menjadi muslim. Terlepas dari apakah dia meyakini atau tidak. Imam Nawawi (mengutip Imam Syafi’i) dalam Raudhah At-Tolibin, hlm. 10/83, menyatakan:

وقال الشافعي في موضع إذا أتى بالشهادتين صار مسلما

Artinya: Imam Syafi’i berkata, “Apabila seseorang mengucapkan dua kalimah syahadat, maka ia menjadi muslim.”

Dan keislamannya itu tidak hilang kecuali apabila ia mengucapkan atau melakukan sesuatu yang menegasikan keislamannya yang berakibat murtad setelah itu. Baca detail: Cara Masuk Islam Menjadi Mualaf

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa saat dia menikah, maka nikahnya sah. Apalagi akad nikah dilakukan di KUA. Nikahnya sah secara agama dan negara. Sampai pada poin ini, maka anak yang lahir dari pernikahan ini adalah anak yang sah, bukan anak zina.

Menikah secara Kristen di Gereja hukumnya makruh (ada yg mengatakan haram), namun tidak otomatis berakibat murtad kecuali apabila a) suami menyatakan diri keluar dari Islam; atau b) suami meyakini kebenaran ajaran Kristen. Baca detail: Pemberkatan Di Gereja Sebelum Akad Nikah Secara Islam

Bahwa setelah pernikahan itu suami tidak melaksanakan rukun Islam dan sering melakukan pelanggaran syariah, maka itu juga tidak otomatis berakibat murtad. Namun yang jelas dia termasuk kategori fasiq (pelaku dosa besar)

Kalau konteksnya masih meragukan, maka hukumnya kembali pada yang awal yang faktual yakni sahnya pernikahan tersebut secara Islam. Dan sahnya suami menjadi wali dari putrinya.

Pendapat Kepala KUA bahwa bapak mertua anda otomatis murtad setelah pemberkatan di gereja itu tidak benar.

B. Kemungkinan kedua: setelah menikah di KUA suami dengan jelas menyatakan keluar dari Islam atau melakukan ibadah ke gereja (misa, dll). Maka, dia bisa disebut murtad, keluar dari Islam.

Suami yang murtad dalam madzhab Syafi’i dirinci: a) apabila murtadnya sebelum dukhul (hubungan intim) maka otomatis tertalak tanpa ada iddah; b) apabila murtadnya setelah dukhul maka sama dengan suami yang menyatakan talak (yakni status istri menjadi tertalak raj’i), maka suami diberi waktu selama masa iddah untuk bertaubat dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Apabila dia taubat, maka dia boleh kembali ke istri. Apabila dia tidak masuk Islam lagi sampai masa iddah habis, maka hilang status istri dan menjadi talak bain sughro di mana si wanita bebas untuk menikah dengan pria lain. Baca detail: Suami Murtad

Apabila kemungkinan kedua yang terjadi, maka perlu dilihat waktu murtadnya kapan. Apabila murtadnya itu terjadi sebelum hubungan intim, maka bisa dikatakan nikahnya batal dan hubungan intim yang dilakukan tidak sah. Namun apabila murtadnya terjadi setelah hubungan intim, maka anak yang lahir statusnya sah karena berasal dari pernikahan yang sah. Baca detail: Pernikahan Islam

Kesimpulan: Tanyakan pada ibu atau bapak mertua, apakah bapak mertua melakukan sesuatu yang berakibat murtad selain nikah di gereja itu? Kalau iya, kapan waktunya. Ini akan menentukan sah tidaknya status putrinya.

2. Kemungkinan status istri anda sebagai anak zina akan sangat tergantung pada waktu murtadnya ayahnya (kalau murtad itu memang terjadi). Kalau beliau tidak mengakui telah murtad, maka itu berarti dia masih muslim dan tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Yakni, bahwa istri anda statusnya anak sah dari pernikahan yang sah.

4. Ya, nikah anda juga sah. Selain itu, perlu diketahui bahwa dalam madzhab Hanafi, seorang wanita berhak untuk menunjuk siapapun untuk menjadi walinya. Dalam konteks ini, seandainya pun istri anda bukan anak sah, maka pernikahan anda berdua tetap tidak ada masalah (tetap sah) karena telah dinikahkan oleh seorang wali. Prinsip dari pernikahan yang sah adalah: akad nikah dilakukan oleh wali atau wali hakim. Baca detail: Menikah dengan Wali Hakim

5. Setiap talak yang dilakukan sebelum dukhul maka tidak ada iddah alias langsung talak bain sughro.

6. Karena tidak ada iddah, maka kekhawatiran anda tidak berlaku.

7. Lihat poin 6.

8. Tidak ada masalah dalam soal itu.

9. Masih halal.

SARAN:

Jangan terlalu memperberat diri sendiri dengan masalah pernikahan dan talak. Khususnya dalam kasus anda ini. Karena, hukum nikah dan talak dalam syariah sangat luas. Sehingga anda tidak perlu kuatir dengan status pernikahan anda dan status putra anda. Semuanya sah.

Kami sarankan agar anda ke depannya lebih memfokuskan diri pada pembangunan keluarga sakinah mendidik diri sendiri, mendidik istri dan anak agar menjadi lebih baik. Hindari sibuk dengan diri sendiri.
Silahkan membaca dua buku kami yang tersedia gratis secara online di link berikut:
1. Keluarga Sakinah
2. Menuju Keluarga Bahagia

Kembali ke Atas