Status nikah suami istri murtad
Status nikah suami istri murtad
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Alkhoirot
Maaf, karena pertanyaan pada topik ‘[Segera] Was-was seputar pernikahan’ sudah dijawab semua (terima kasih banyak), saya mohon pendalamannya pada beberapa pertanyaan
2A – D. Bila mengambil pendapat ‘terjadi fasakh bila suami/istri murtad’. Apakah fasakhnya seketika, atau menunggu habis waktu iddah juga? Bila suami/istri bertaubat sebelum masa iddah habis, apakah harus dengan akad baru, atau pernikahan langsung dilanjutkan?
4. Saya sudah memahami sekarang bahwa kita bebas mengambil pendapat yang dirasa cocok, selama tidak jadi talfiq yang terlarang. Namun yang saya tanyakan apakah pikiran/keinginan sekilas untuk berpindah madzhab ke madzhab tertentu (misal Hambali) ini berefek kasus-kasus ke belakang dihukumi dengan pandangan madzhab tersebut,
walaupun keinginan ini langsung digantikan dengan keputusan mantap seketika itu juga untuk memilih madzhab lainnya (misal Syafi’i)? Atau kasus-kasus baik di belakang atau ke depannya dihukumi menurut madzhab yang diputuskan kemudian (yaitu Syafi’i)?
11. Perbuatan masa lalu yang saya maksudkan adalah sihir.
Saat usia saya 21-23 tahun, saya pernah belajar ilmu meditasi yang pada ujungnya pada saya belajar sihir.
Saya belajar sihir secara otodidak, awalnya saya berpikir saya bisa ‘mendengar’ angin atau ‘mencium’ hujan. Lalu saya mulai (mengira) belajar cara nya ‘mengontrol’ elemen seperti air, api, dan lainnya.
Akhirnya saya mulai berkhayal bahwa saya bisa berkontak dengan ‘makhluk dari dimensi lain’ dan terlibat dalam konflik di ‘dimensi lain’. Khayalan tersebut begitu kuat dehingga saya selama masa tertentu berhalusinasi dan mempercayai halusinasi tertentu. Saat itu saya juga mempercayai bahwa saya memiliki ‘kemampuan mengendalikan elemen api’.
Saya berpikir saat itu adalah bukan sihir, tetapi sesuatu yang lain. Saya tidak menggunakan mantra, tidak melakukan ritual apapun, kecuali ‘meditasi untuk bersatu dengan alam’. Saya juga dulu menggunakan jimat sebagai ‘amplifier kekuatan’.
Ironisnya saya selalu benci sihir, meyakini sihir haram dan merupakan perbuatan syirik.
Saya dulu bukan hanya mempelajari dan mempraktikan ilmu sihir bikinan ini saja, namun juga mengajarkannya pada sekelompok anak muda lainnya.
Saya memang tidak pernah menyembah selain Allah, atau menghina Rasul, atau menistakan Al Qur’an, atau sebangsanya.
Namun saat itu, saya:
– Menyalahartikan beberapa ayat Al Qur’an, terutama tentang Nabi Sulaiman.
– Karena berpikir yang saya kerjakan bukan sihir (sebaliknya berpikir, sedang mengerjakan sesuatu untuk melawan sihir), berpikir bahwa apa yang saya kerjakan halal.
– Mengarang-ngarang khayalan dan berbagai halusinasi yang saya percayai sendiri (walau sebenarnya tahu tidak terjadi, namun tetap ingin percaya, karena terlalu banyak baca buku fantasi) dan membohongi orang dengan khayalan tersebut, bahkan hingga titik melakukan indoktrinasi.
Bilapun saya tidak mengerjakan perbuatan murtad secara sengaja, namun saya saat itu berpikir apa yang saya kerjakan halal, karena saya pikir itu bukan sihir. Setahu saya, menghalalkan sihir termasuk perbuatan murtad.
Setelah waktu tertentu, saya disadarkan oleh istri saya dan kami bertaubat. Saya meninggalkan halusinasi saya dan praktik tersebut. Saya meminta orang-orang yang tadinya saya ajari sihir untuk kembali ke Al-Qur’an.
Masalahnya, karena tidak berpikir sudah melakukan kemurtadan, saya tidak bersyahadat ulang. Setidaknya saya tidak ingat, kecuali dalam shalat, itu pun doucspkan dengan cara berbisik. Sampai kami menikah 5 tahun kemudian.
Sisanya sudah saya ceritakan di pertanyaan utama, di mana saya tidak ingat apakah saya mengucap syahadat atau tidak sebelum akad, walau ada zhan saya mengucapkannya.
Sejujurnya, ingatan akan dosa masa lalu ini yang prrtama kali memicu penyakit was-was saya. Saya jadi ketakutan tentang banyak hal sejak saat itu.
Mohon nasihat dan pendapat hukum Islamnya.
14. Satu pertanyaan baru.
Saya mendapatkan penjelasan bahwa ucapan suami bisa menjadi penunjuk ketiadaan maksud talak, seperti dalam contoh suami menyuruh istri ke ladang. Namun bagaimana bila kalimat berisi kata lafadz sharih tersebut adalah satu-satunya kalimat suami, atau kalimat pertama suami, namun konteksnya jelas menunjukkan kata tersebut tidak sedang digunakan dalam arti/pengertian talak?
Misalnya pada kalimat seperti: “Berserah sajalah”, “Serahkan saja”, atau pada kalimat “Saya berserah”. Di mana kata “serah” dimengerti oleh kedua belah pihak sebagai kata ‘tawakal’
Atau pada penggunaan kata ‘pisah’ yang jelas dimengerti sebagai sinonim kata “membagi”
Atau kata ‘lepas’ yang dimengerti sebagai kata ‘bebas’ namun bukan diartikan dalam pengertian ‘bebas dari ikatan pernikahan’
14A. Bisakah ucapan istri, atau percakapan sebelumnya dianggap sebagai penunjuk konteks sehingga talak tidak jatuh?
14B. Bisakah kejadian yang sedang terjadi dianggap sebagai petunjuk konteks sehingga ucapan dimengerti sebagai bukan kalimat talak? Misalnya karena memang sedang membuka simpul tali, atau membuka baju anak.
14C. Bisakah kaidah bahasaIndonesia digunakan sebagai penunjuk konteks? Dimana kata ‘bebas’, ‘pisah’ dan ‘serah’ punya banyak arti lain yang lebih sering digunakan oleh orang Indonesia?
14D. Bolehkah ketidaktahuan rata-rata orang Indonesia bahwa kata-kata tersebut adalah kata lafadz sharih menjadikan kata-kata tersebut berubah sifat hukumnya menjadi kinayah, setidaknya di Indonesia?
14E. Siapa sajakah ulama madzhab Syafi’i yang sepakat dengan Ibnu Hamid dan madzhab-madzhab lainnya tentang lafadz sharih? Bolehkah saya mendapat nukilan pendapatnya?
Terima kasih banyak dan maaf merepotkan
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
JAWABAN
2a-d. Biar jelas, berikut uraian soal ini. Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah (Ensiklopedi Fikih), hlm. 7/34, dijelaskan tentang salah satu suami/istri yang murtad sbb:
فإذا ارتد أحدهما وكان ذلك قبل الدخول انفسخ النكاح في الحال ولم يرث أحدهما الآخر . وإن كان بعد الدخول : قال الشافعية – وهو رواية عند الحنابلة – حيل بينهما إلى انقضاء العدة , فإن رجع إلى الإسلام قبل أن تنقضي العدة فالعصمة باقية , وإن لم يرجع إلى الإسلام انفسخ النكاح بلا طلاق . وقال أبو حنيفة وأبو يوسف , وهو رواية عند الحنابلة : إن ارتداد أحد الزوجين فسخ عاجل بلا قضاء فلا ينقص عدد الطلاق , سواء أكان قبل الدخول أم بعده .
وقال المالكية , وهو قول محمد من الحنفية : إذا ارتد أحد الزوجين انفسخ النكاح بطلاق بائن
Artinya: “Apabila salah satu suami istri murtad dan itu terjadi sebelum dukhul (jimak), maka nikahnya fasakh seketika itu juga dan keduanya tidak saling mewarisi. Apabila murtadnya setelah dukhul, maka menurut madzhab Syafi’i dan sebagian madzhab Hanbali dihalang-halangi antara keduanya sampai habisnya iddah: a) apabila kembali ke Islam sebelum habisnya iddah, maka hubungan tetap berlanjut; b) apabila tidak kembali ke Islam, maka nikah menjadi fasakh tanpa talak.
Menurut Abu Hanifah dan sebagian pendapat madzhab Hambali: murtadnya salah satu suami istri hukumnya fasakh seketika itu juga dan tidak mengurangi jumlah talak. Baik murtadnya itu sebelum dukhul atau sesudah dukhul. Baca detail: Istri mualaf yang murtad lalu Islam lagi
Menurut madzhab Maliki dan pendapat Muhammad dari madzhab Hanafi: apabila salah satu suami istri murtad maka nikahnya menjadi fasakh dengan talak bain.”
Baca detail: Suami Murtad
4. Mengikuti pandangan madzhab yang dipilih saat itu. Misalnya, saat haji suami istri yang tawaf harus suci dari hadas kecil. Maka keduanya ikut madzhab Hanafi agar bisa pegangan tangan tanpa membatalkan wudhu. Kemudian setelah itu melaksanakan shalat subuh bisa saja mengikuti madzhab Syafi’i dengan berqunut di rakaat kedua. Baca detail: Hukum Ikut Beberapa Madzhab
11. Apa yang anda maksud dengan sihir itu sebenarnya masih belum masuk ke dalam kategori sihir. Karena anda melakukan sesuatu hanya berdasarkan khayalan anda. Bukan mempelajari suatu ilmu yang memang dikenal secara fakta sebagai ilmu sihir yang dapat mencelakakan orang lain. Oleh karena itu, anda tidak termasuk ke dalam kategori belajar ilmu sihir. Dan tidak terkena akibat dari hukum mempelajari ilmu sihir. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, hlm. 12/299, mendefinisikan sihir sbb:
عُقدٌ ورُقًى وكلامٌ يتكلمُ به، أو يكتُبُه، أو يعمل شيئًا يُؤثِّرُ في بدن المسحورِ، أو قَلبِه، أو عقله، من غير مباشرة له.
Artinya: Sihir adalah simpul, jimat, ucapan yang diucapkan atau ditulis atau dibuat yang berdampak buruk pada tubuh orang yang disihir, atau pada jiwanya, atau pada akalnya (dan itu dilakukan) dengan secara tidak langsung.
BELAJAR ILMU SIHIR
Terlepas dari itu, mempelajari ilmu sihir itu sendiri masih menjadi ikhtilaf ulama antara haram dan kufur dan tergantung dari substansi sihir itu sendiri.
Al Jaziri dalam Al Madzahib Al Arba’ah, hlm. 5/225, menyatakan rincian hukum ilmu sihir sbb:
BERAKIBAT KUFUR (KAFIR), HARAM DAN MUBAH
إذا كان أقوالا وأفعالا تنافي الدين وتوجب تكفير صاحبها كان كفرا بصرف النظر عما يترتب عليه من الآثار وإن كانت هذه الأقوال أو الأفعال محرمة كان حراما أما إن كانت جائزة فإنه ينظر لما يترتب عليها من الآثار . فإن كانت محرمة كان حراما وإلا فلا هذا هو حكم كثير من العلماء في حقيقة السحر
Artinya: Apabila substansi sihir itu berupa ucapan dan perbuatan yang menafikan / menegasikan agama dan mewajibkan pelakunya untuk kufur (secara mutlak), maka hukumnya kufur tanpa melihat akibatnya. Apabila ucapan dan perbuatan itu haram, maka hukum (belajar sihir) itu haram. Adapun apabila ucapan dan perbuatan itu tidak terlarang (mubah), maka diperinci berdasarkan pada akibat yang ditimbulkannya: a) apabila berakibat pada perbuatan haram, maka menjadi haram; b) apabila tidak berakibat pada perbuatan haram maka tidak haram alias mubah. Banyak perbedaan ulama terkait hakikat sihir ini.
Satu tanggapan pada “Status nikah suami istri murtad”
Komentar ditutup.