Tidak berani ucapkan kata talak takut jatuh cerai
Tidak berani ucapkan kata talak takut jatuh cerai
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
1. Kadang saat hendak melakukan sesuatu (verbal maupun nonverbal) muncul ketakutan perbuatan tersebut dapat berdampak hukum pada pernikahan. Pagi ini saya tidak sengaja menahan napas, saat hendak membuang napas tersebut, muncul ketakutan.
Saya berkata dalam hati ” Saya tahu saya tidak berniat selain menghela napas… apalagi men[kata lafadz sharih]”.
Tepat saya menghela napas, bagian kalimat yang saya miringkan terucapkan dalam hati.
Saya tahu persis saya mengucapkan seluruh kalimat tersebut untuk meneguhkan diri sendiri bahwa saya tidak berniat apa-apa, hanya menghela napas saja.
Tapi saya takut karena bagian kalimat yang saya miringkan tulisannya, terucap agak terjeda dari bagian sebelumnya dan terlintas tepat saat saya menghela napas.
1A. Apakah ada dampak hukum dari pikiran tersebut yang bertepatan dengan helaan napas saya tersebut?
1B. Apakah hal tersebut dianggap isyarat?
1C. Apakah isyarat orang yang bisa bicara normal, yang tidak menjawab pertanyaan, dapat berdampak?
1D. Kadang saat melakukan sesuatu, seperti menyodorkan uang saat istri meminta, atau membalikan tubuh menghadap dinding saat berbaring bersama istri, saya khawatir tindakan tersebut (yang memang sering bertepatan dengan kekhawatiran yang terlintas di hati) bisa berdampak hukum. Bagaimana hukumnya?
1E. Terus terang saat ini saya sangat khawatir, takut ada lintasan yang menyisip dalam hati saat saya mengerjakan/mengatakan sesuatu, sehingga saya jadi terus-terusan mengecek niat/keadaan hati saya setiap akan mengerjakan/mengatakan sesuatu. Bahkan pada setiap perbuatan sekecil membersihkan tenggorokan, batuk, menyodorkan barang, menjawab/tidak menjawab pertanyaan yang tidak berhubungan, atau mengucapkan sesuatu yang jelas konteksnya aman. Saya bahkan mengecek hati saya sendiri setiap mendengar sebuah kata yang bisa berarti lafadz kinayah, apalagi bila kata tersebut termasuk dari tiga kata lafadz sharih, termasuk bila saat itu saya diam saja.
Saya benar-benar perlu solusi. Bisakah saya mendapat langkah mudah mengatasi hal ini?
2. Beberapa kali, saat saya dan istri bertengkar, anak saya memeluk istri saya erat sekali agar istri saya tidak keluar rumah, hingga kadang istri saya agak tercekik atau sulit bergerak. Saya kadang saya meminta anak agar berhenti memeluk dengan kata lafadz sharih. Yang saya maksud adalah pelukan tersebut dihentikan, bukan mengubah status hukum. Pelukan anak saya tersebut adalah konteksnya. Bagaimana hukumnya? Apakah ada dampak yang jatuh?
3. Tanggal 5 Mei 2018, tepat sebelum ‘kejadian’ pada pernikahan kami, saya bercerita pada anak sulung saya dan menanyakan pendapat dan kesiapannya bila hal tersebut terjadi.
Saya mengatakan padanya bahwa ibunya tidak mau menjadi istri saya. Dia bertanya siapa yang akan jadi istri saya. Saya katakan saya tidak tahu. Lalu saya tanyakan dia mau ikut siapa. Dia mengatakan ingin ikut ibunya, dan saya mengizinkan.
3A. Apakah ada kata-kata pada pembicaraan itu sendiri yang berdampak hukum?
3B. Selama menuliskan kejadian di atas, saya berulangkali mengingatkan diri saya bahwa saya sedang bercerita dan bertanya. Apakah ketakutan yang berkali-kali datang saat menuliskannya mengubah hukumnya dari status bercerita?
4. Apakah mempertanyakan/ragu status keislaman seseorang termasuk dosa takfir?
Kasus A.
Kami memiliki teman muallaf. Sudah Agak lama kami kehilangan kontak, dan dari berita terakhir kami tahu ia berpacaran dengan orang non muslim. Dalam keadaan cemas, istri dan saya pernah bertanya-tanya: “[nama teman kami] masih muslim ga ya? Mudah-mudahan masih.”
Kasus B.
Sahabat kami menikah dengan orang Irlandia berkeluarga protestan. Kami sempat bertanya-tanya apakah istrinya sudah muallaf atau belum, karena mereka menikah siri secara Islam di Indonesia (bukan di KUA) dan didaftarkan di Irlandia.
4A. Apakah ada yang termasuk dosa takfir?
4B. Kami belajar dari KSIA bahwa beberapa ulama besar madzhab Syafi’i berpendapat bahwa pelaku dosa takfir tidak murtad. Namun mengapa banyak ulama Indonesia yang berpendapat sebaliknya? Termasuk Ustadz Ahmad Sarwat yang bermadzhab Syafi’i juga?
4C. Apakah saya boleh mengambil pendapat yang lebih ringan tanpa dianggap bermudah-mudah dalam agama?
5. Saat bercerita pada anak mengenai pembicaraan saya dan istri mengenai sebuah rencana, saya berkata “Your mommy and I used to…. we were talking about..”
Apakah kalimat tidak selesai (yang saya tuliskan miring) tersebut berdampak hukum?
6A. Istri saya sering menonton sebuah serial produksi RRC. Saya berkata padanya bahwa permpuan muslimah tidak boleh melihat aurat perempuan nonmuslim. Dia bilang dia tahu, namun menurutnya apa yang ia tonton adalah yang paling sedikit aurat terbukanya dibanding tontonan lain. Setau saya, dia tidak menghalalkan yang haram. Bagaimana hukumnya dia mengucapkan hal tersebut?
6B. Masih tentang tontonan yang sama. Suatu hari ia meminta remote control TV karena hendak menonton serial tersebut. Saya sebetulnya enggan dengan pertimbangan aurat terbuka tersebut, namun tetap saya berikan remote control tersebut. Bagaimana hukum perbuatan saya tersebut?
7. Bagaimana hukumnya menonton film Godzilla? Anak-anak saya suka sekali film tersebut. Rasanya tidak ada yang dapat merusak iman dalam isi film tersebut. Yang saya khawatirkan adalah judulnya. Namun setahu saya judul tersebut adalah terjemahan Inggris untuk judul aslinya, Gojira, dan bukan bermakna sesembahan. Bagaimana hukumnya?
JAWABAN
1a. Tidak ada dampak apapun. Baca detail: Tidak semua talak sharih berakibat cerai
1b. Tidak dianggap isyarat.
1c. Tidak berdampak bahkan seandainya disertai dengan niat. Zakariya Al-Anshari (ulama madzhab Syafi’i) dalam kitab Asnal Matholib, hlm. 3/277, menyatakan:
(ولو أشار ناطق) بالطلاق ( و) إن (نوى) كأن قالت له طلقني فأشار بيده أن اذهبي (لغا) وإن أفهم بها كل أحد لأن عدوله عن العبارة إلى الإشارة يفهم أنه غير قاصد للطلاق وإن قصده بها فهي لا تقصد للإفهام إلا نادرا ولا هي موضوعة له بخلاف الكناية فإنها حروف موضوعة للإفهام كالعبارة.اهـ
Artinya: Apabila suami yang bisa bicara (tidak bisu -red) memberi isyarat talak, walaupun disertai niat, seperti istri berkata pada suaminya: “Ceraikan saya!” lalu suami memberi isyarat dengan tangannya yang bermakna “pergilah!”, maka itu sia-sia (tidak ada dampak hukum – red). Walaupun dimengerti semua orang. Karena, perubahan suami dari ungkapan kata ke isyarat menunjukkan bahwa suami tidak bermaksud untuk mentalak. Walaupun isyaratnya dimaksudkan untuk talak. Karena, isyarat tidak dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kecuali sesuatu yang langka. Juga, isyarat tidaklah dibuat untuk talak. Beda halnya dengan kata kinayah, karena ungkapan kinayah itu berupa rangkaian huruf yang dibuat untuk memberi pemahaman seperti halnya ibarat/ungkapan kalimat.
1d. Tidak ada dampak hukum. Lihat poin 1c.
1e. Lafadz atau kata kinayah yang tanpa maksud dan tanpa konteks talak, sama sekali tak berdampak hukum. Bahkan, ucapan sharih sekalipun, yang tanpa maksud menceraikan istri tidak berdampak hukum. Misalnya, ucapan ‘talak’ atau ‘cerai’ yang diucapkan dalam konteks bercerita itu tidak ada dampak hukum. Penjelasan ini sudah sangat jelas. Dan harus anda pahami berulang-ulang bahwa ucapan sharih pun tidak berdampak apa-apa apabila tidak ada maksud cerai, apalagi kinayah. Baca detail: Cerita Talak
2. Itu contoh yang bagus adanya ucapan sharih yang konteksnya bukan memutuskan pernikahan. Karena itu tidak ada dampaknya sama sekali.
3a. Tidak ada dampak.
3b. Tidak ada perubahan hukum.
4a. Tidak termasuk dosa takfir atau dosa lain. Karena anda berdua tidak menuduh mereka. Lagipula kekhawatiran anda it diucapkan tidak di depan mereka.
4b. Ustadz Sarwat termasuk ustadz yang pernah lama mengikuti Salafi Wahabi. Namun sekarang tampaknya ada perubahan dari tatacaranya dalam memberikan penjelasan pada umat. apakah dia sudah keluar dari Salafi atau tidak lalu jadi pengikut madzhab Syafi’i, wallahu a’lam.
4c. Tidak ada dampak hukum.
5. Tidak ada dampak hukum.
6a. Menonton film dan melihat foto itu berbeda hukumnya dengan melihat seseorang secara langsung. Hukum melihat film atau foto lawan jenis bukan mahram tidak apa-apa asal tidak menimbulkan syahwat. Ini pendapat ulama madzhab Syafi’i. Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj,
hlm. 7/192
(إلَى عَوْرَةِ حُرَّةٍ) خَرَجَ مِثَالُهَا فَلَا يَحْرُمُ نَظَرُهُ فِي نَحْوِ مِرْآةٍ كَمَا أَفْتَى بِهِ غَيْرُ وَاحِدٍ وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُهُمْ لَوْ عَلَّقَ الطَّلَاقَ بِرُؤْيَتِهَا لَمْ يَحْنَثْ بِرُؤْيَةِ خَيَالِهَا فِي نَحْوِ مِرْآةٍ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرَهَا وَمَحَلُّ ذَلِكَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ حَيْثُ لَمْ يَخْشَ فِتْنَةً وَلَا شَهْوَةً وَلَيْسَ مِنْهَا الصَّوْتُ فَلَا يَحْرُمُ سَمَاعُهُ إلَّا إنْ خَشِيَ مِنْهُ فِتْنَةٌ وَكَذَا إنْ الْتَذَّ بِهِ كَمَا بَحَثَهُ الزَّرْكَشِيُّ
Artinya: (Melihat aurat wanita merdeka). Keluar (dari dosa pandangan) adalah melihat lawan jenis bukan aslinya (tidak secara langsung). Maka tidak haram melihatnya di (alat) seperti cermin sebagaimana difatwakan oleh lebih dari satu ulama. Pendapat ini dikuatkan dengan pandangan ulama dalam kasus suami yang melakukan talak muallaq pada istrinya apabila melihat wajahnya, maka suami dianggap tidak melanggar sumpah dengan melihat bayangannya di alat seperti cermin. Karena itu sama dengan tidak melihatnya. Letak kebolehannya itu adalah apabila tidak takut terjadi fitnah atau menimbulkan syahwat. Juga tidak termasuk aurat adalah suara (wanita). Maka tidak haram mendengarnya kecuali apabila takut terjadi fitnah. Begitu juga haram apabila suara itu membangkitkan syahwat sebagaimana dibahas oleh Imam Zarkasyi.
Baca detail: Hukum Memandang Wanita di TV dan Foto
6b. Tidak apa-apa. Karena hukum melihat gambar dan film masih menjadi masalah khilafiyah ulama. Lihat poin 6a.
7. Tidak apa-apa. Selagi tidak mengandung unsur yang merusak pada pendidikan anak (tidak ada pornografi atau kekerasan). Lihat poin 6a.