KRT Sumadiningrat bukan Habib Hasan bin Vahya: Analisis Kritis Pembelokan Sejarah
Judul artikel: Kanjeng Raden Tumenggung (KRT Sumadiningrat bukan Habib Hasan bin Thoha bin Vahya: Analisis Kritis di Balik Kesalahpahaman Sejarah
Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumadiningrat is not Habib Hasan bin Thoha bin Yahya: A Critical Analysis Behind Historical Misunderstandings
Yaser Arafat*, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta , Indonesia
ABSTRACT
This article critically examines the claim made by Majelis Taklim Darul Hasyimi that KRT
Sumadiningrat, a Yogyakarta Palace figure who died during the Geger Sepehi incident in 1812, is Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya. Despite historical primary sources notsupporting this assertion, the claim persists. Utilizing primary sources from historicaldocuments, chronicles, and national booklets at the Yogyakarta Palace, the article thoroughly investigates the identities of both KRT Sumadiningrat and Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya. Analyzing crucial human aspects such as birth, parentage, marriage, and death, the research concludes that KRT Sumadiningrat is not Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya, and vice versa. The article argues that the claim represents a distortion of history orchestrated by certain religious groups in society. In the context of Indonesia’s post–212 Movement era characterized by heightened religious sentiments, this distortion may gain more credibility than historical accuracy.
PENDAHULUAN
KEYWORDS
KRT Sumadiningrat; Majelis Taklim Darul Hasyimi; Geger Sepehi incident; Historical distortion; Post- 212 Movement era.
*CORRESPONDENCE AUTHOR
arafatnisti@yahoo .com
Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumadiningrat merupakan figur yang sangat signifikan dalam kanteks Perang Sepehi di Yagyakarta pada tahun 1812 M. Peristiwa ini mencakup serangan aleh pasukan lnggris bersama sekutunya, yakni pasukan India dan pasukan Kadipaten Mangkunegara, terhadap Keratan Yagyakarta. Pada saat itu, Keratan Yagyakarta dipimpin aleh Sultan Hamengkubuwana II, sementara KRT Sumadiningrat menduduki pasisi panglima utama di garis depan yang bertanggung jawab atas pertahanan wilayah Yagyakarta.
KRT Sumadiningrat dikenal sebagai sasak jawara da lam masyarakat Yagyakarta. Beliau ada lah anak da ri KRT Jayaningrat dan Raden Ayu Jayaningrat, yang merupakan putri Sultan Hamengkubuwana I (SHB I). Dalam struktur pemerintahan Sultan Hamengkubuwana II (SHB II), KRT Sumadiningrat pernah menjabat sebagai bupatijaba kedua pada tahun 1794 M da n wedanajero pertama pada tahun 1797 M (Carey, 1980, 2008). Selain itu, ia juga merupakan menantu dari Sultan Hamengkubuwana II. Makam KRT Sumadiningrat terletak di Jejeran, Wanakroma, Bantul, Yagyakarta, tepatnya di dalam sebuah cungkup di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah.
Belakangan ini, sejak sekitar tahun 2015, muncul klaim dari Majelis Taklim Darul Hasyimi yang menyatakan bahwa KRT Sumadiningrat ada lah identitas dari Habib Hasan bin Thaha Bin Yahya. Klaim tersebut juga menyebutkan ba hwa ma kam takah ini terletak di Lamper Kidul, Semara ng Selatan, Semarang, Ja wa Tengah (Arafat, 2023 ). Meskipun informasi tersebut tidak tercatat di dalam sejarah resmi, takah yang disebut Habib Hasan telah mengalami prosesi haul dan diresmikan dengan dukungan dari Pemerintah Kata Semarang ( “Haul Habib Hasan ‘Mutiara Terpendam Kata Semarang,”‘ 2018). Bahkan, peristiwa haul ini dicatat sebagai berita resmi di situs web Dewan Pertimbangan Presiden RI dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ( “Habib Luthfi Menghadiri Haul Habib Hasan Bin Thaha Bin Yahya Di Semarang,” 2022 ; “Pengajian Bisa Jadi Waha na Saling Mengingatkan,” 2019 ).
Klaim ini menjadi perhatian utama di kalanga n sejarawan, sarjana sejarah, serta secara khusus, di antara keturunan dan keluarga dekat KRT Jayaningrat, KRT Sumadiningrat, dan terutama keluarga besar dari keturunan Sultan Hamengkubuwana II. Selama lebih dari 200 tahun sejak wafatnya pada tahun 1812 dalam tragedi Pera ng Sepehi, KRT Sumadiningrat secara kansisten tercatat dalam semua catatan nasab induk di Yagyakarta sebagai anak dari KRT Jayaningrat. Lebih Ianjut, perlu dicatat bahwa KRT Sumadiningrat tidak dapat diidentifikasi sebagai sosok bernama Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya.
Tulisan ini akan mengkaji klaim terkait identitas KRT Sumadiningrat sebagai Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya. Hingga saat ini, belum terdapat buku atau publikasi ilmiah yang bersumber langsung dari pihak yang mengajukan klaim, yakni Majelis Taklim Darul Hasyimi. Namun demikian, terdapat dua sumber utama yang telah dipublikasikan mengenai klaim tersebut. Keduanya menjadi fokus utama kajian da lam tulisan ini.
Pertama, penelitian dari Siti Fatimah. Otoritas yang dijadikan rujukan penelitian ini adalah tokoh-tokoh kunci dalam pengklaiman KRT Sumadiningrat sebagai Habib Hasan. Di antara mereka ada lah Muhammad Luthfi Bin Yahya, seora ng tokoh ulama nasional. Penulis tesis ini, Siti Fatimah, juga merujuk pada Husein Bahir Suryodipuro Bin Yahya yang merupakan keturunan ke-7 dari Habib Hasan dan Uways Bin Ya hya yang merupaka n keturunan ke-6 Ha bib Hasan. Sela in itu, penelitian ini juga diperkuat dengan wawancara penulisnya kepada Ahmad Athoillah, seorang sejarawan yang telah menulis banyak karya ilmiah dalam bidang sejarah (Fatimah, 2019).
Kedua, Manaqib Ha bib Hasan bin Thoha bin Yahya yang dibacakan oleh Sulistyo Eko Cahyono pada acara Peringatan Maulid Nabi dan Haul KRT Sumodiningrat (Habib Hasan) bersama Habib Luthfi bin Yahya, pada tanggal 18 Desember 2021 ( “Peringatan Maulid Nabi Da n Haul KRT Sumodiningrat (Habib Hasan) Bersama Habib Luthfi Bin Yahya,” 2021). Manaqib ini juga telah diutarakan dalam acara haul Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya pada kesempatan lain. Terdapat pula sejumlah kutipan dari isi manaqib Habib Hasan yang pernah disampaikan oleh Muhammad Luthfi Bin Yahya ( “Singobarong! ! lnilah Manaqib Habib Hasan Bin Thoha Bin Yahya Yang Ja rang Diketahui,” 2022 ).
Dua sumber di atas menurut penulis memiliki otoritas tinggi dan menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Sumber pertama merupakan karya ilmiah tingkat Magister (52) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karya tersebut merujuk pada tokoh-tokoh yang memegang peran sentral dalam klaim KRT Sumadiningrat sebagai Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya. Sumber kedua berupa biografi resmi mengenai Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya yang disampaikan oleh penyelenggara acara haul di Semarang. Da lam acara tersebut, terdapat pembacaan sejarah yang dilakukan oleh Sulistyo Eko Cahyono, Ketua Majelis Taklim Darul Hasyimi Yogyakarta.
METODE
Artikel ini menggunakan metode sejarah, yaitu proses pengujian dan analisis kritis terhadap catatan masa lalu. Rekonstruksi imajinatif masa lalu berdasarkan data yang diperoleh melalui proses tersebut disebut historiografi (Gottschalk, 1 986). Metode ini digunakan untuk menggambarkan peristiwa atau kejadian di masa lalu. Menurut Kuntowijoyo, ada lima tahapan dalam penelitian sejarah, yaitu: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan historiografi (Kuntowijoyo, 2021). Dalam artikel ini, dua sumber utama yang digunakan ialah Manaqib Habib Hasan Bin Thoha Bin Yahya dan Tesis dari Siti Fatimah.
Sedangkan fokus penelitian ini menyangkut identitas KRT Sumadiningrat. ldentitas yang dibicarakan di sini terkait dengan asal-usul kelahiran, orang tua, pernikahan, dan kematian. Empat hal di atas adalah identitas primer da lam diri setiap manusia. Seda ngkan identitas sosial terkait kipra h, pekerjaan, pergaulan, dan seturutnya dibahas sebagai turunan pembahasan utama. Berdasarkan atas analisis atas papa ran masing-masing sumber yang menjadi sasaran kajian, artikel ini akan mengkonfirmasi dengan data primer. Terutama dari rujukan pustaka berupa silsilah, riwayat sejarah, layang kekancingan atau surat silsilah resmi dari Kraton Yogyakarta, dan kepustakaan kajian kesarja naan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelahiran, Perkawinan dan Kematian Habib Hasan: Perspektif Siti Fatimah
Fatimah menulis bahwa Habib Hasan dilahirkan sekitar tahun 1765-an di Cirebon. Silsilah Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya berdasarkan data wawancara dengan Muhammad Luthfi Bin Yahya adalah sebagai berikut (Fatimah, 2019, pp. 33-34):
“Al-Habib Hasan bin Al-Habib Thoha (Sayid Thohir) bin Al-Habib Muhammad al-Qodhi bin Al-Habib Thoha bin Al-Habib Muhammad bin Al-Habib Syekh bin Al-Habib Ahmad bin Al-Habib Yahya Ba’alawy bin Al-Habib Hasan bin Al-Habib Ali bin Imam Alwi an-Nasiq bin Imam Muhammad Maulad Dawileh bin Imam Ali Maula Darrak bin Imam Alwy al Ghuyur bin Imam Al Faqih al-Muqaddam Muhammad Ba’alawy bin Imam Ali bin Imam Muhammad Shahib Marbath bin Imam Ali Khali Qasam bin Imam Alwy bin Imam Muhammad bin Alwy Ba’alawy bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad al Muhajir bin Imam Isa an-Naqib ar-Rumi bin Imam Muhammad an-Naqib bin Imam Ali Al Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Imam Ali
Zainal Abidin bin Imam Husein As Sibthi bin Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib dengan Sayidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.”
Disebutkan di halaman 55-56 ba hwa Habib Hasan bin Yahya menikah dengan Bendara Mas Ayu Rantamsari.
Berikut kutipan langsungnya:
“Perkawinan antara Habib Hasan bin Thoha dengan Bendoro Mas Ayu Rantam Sari dilatarbelakangi oleh kekaguman Sultan Hamengku Buwono 1 1 terhadap kiprah politik Habib Hasan. Habib Hasan sebelumnya telah berhasil berjuang melawan kolonial di beberapa tempat seperti di Cirebon, Pekalongan dan sekitarnya. Melihat kondisi Keraton Yogyakarta yang dikuasai oleh kolonial, Sultan Hamengkubuwono II memilihnya menjadi kepala prajurit pengawal keraton. Pilihannya tersebut karena Habib Hasan mempunyai pengalaman dan pandangan politik yang luas. Kiprah Habib Hasan dalam melawan penjajah menjadikannya dipilih menjadi menantu Sultan Hamengku Buwono 1 1. la dinikahkan dengan Bendoro Mas Ayu Rantam Sari, putri sulung Sultan Hamengku Buwono 1 1 dari istri resminya asal Madura,yakni Ratu Kedaton.”
Selanjutnya, menurut Fatimah berdasarkan informasi dari narasumber yang diacu, Habib Hasan wafat pada tahun 1819 M. la kemudian dimakamkan di sebelah utara Masjid Al-Hidayah, Duku, Lamper Kidul, Semarang Selatan. Kemudian, makam ini dikenal oleh masyara kat setempat dengan sebutan Syekh Kramat Jati (Fatimah, 2019, pp. 48-49). Narasi mengenai akhir kehidupan Habib Hasan di Semarang ini, sekitar tiga tahun sebelumnya juga pernah disampaikan oleh Muhammad Luthfi Bin Yahya. Video rekaman tersebut diunggah oleh akun MT Darul Hasyimi Jogja pada 6 Maret 2018 di Youtube, pada menit ke 12:45 -15:02 ( “Singobarong? Habib Luthfi: Makna Haul Dan Sejarah Dari Syech Kramat Jati Tumenggung Sumodiningrat,” 2018):
“Habib Hasan bukan orang asing karena masih pernah keponakan oleh Kanjeng Sultan Hamengkubuwono. Dengan bakat yang luar biasa pemberani tapi bijaksana, ditarik sayid Hasan tersebut menjadi wedono lebet yang mengurusi, kalau sekarang mungkin paspampres yang akhirnya beliau diangkat menjadi patih lebet yang membawahi pasukan sandi dan akhirnya diangkat menjadi panglima besar. Wakil beliau Raden Ronggo yang telah gugur menjadi syuhada di Madiun. Tidak lama beliau setelah menyelesaikan untuk membangun kembali Ngayogyakarta bersama Kanjeng Sultan Hamengkubuwono, timbul terjadi suatu kekacauan di Semarang. Maka diperintahkan Habib Hasan untuk mengatasi hal tersebut di Semarang. Lain dari pada itu membangun satu benteng yang kuat di daerah Jomblang untuk pertahanan daripada serangan atau rencana Dandles waktu itu sehingga beliau mendapat kekuasaan penuh dalam memimpin oleh Kanjeng Sultan Hamengkubuwono. Dan beliau yang terakhir menetap di Semarang.”
Kelahiran, Perkawinan dan Kematian Habib Hasan: Perspektif Sulistyo Eko Cahyono
Cahyono mengungkapkan latar belakang kelahiran Habib Hasan dalam acara Haul Habib Hasan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pemapa ra n Cahyono ini sesuai dengan konten yang disampaikan dalam sebuah situs web pada tahun 2018 berjudul “Manaqib Habib Hasan bin Thaha bin Yahya/ Syaikh Kramatjati / Singobarong” (“Singobarong? Habib Luthfi: Makna Haul Dan Sejarah Dari Syech Kramat Jati Tumenggung Sumodiningrat,” 2018). Di dalam kanal tersebut, dijelaskan asal-usul kelahiran Habib Hasan tertulis sebagai berikut:
“Al Allamah Al-Arif Billah Al Quthbil Ghouts Al Habib Hasan bin Thoha bin Yahya, yang lebih dikenal dengan nama Syekh Kramat Jati, lahir di kota Cirebon, dari pasangan Quthbil Aqthob Habib Thoha bin Muhamad Al Qodhi bin Yahya dengan Syarifah Fathimah binti Husein bin Abu Bakar Al-ldrus. Beliau secara nasab masih keturunan Al-Quthb Habib Syaikh bin Ahmad bin Yahya, seorang wali quthb dan terkenal ahli menghentikan segala macam bentuk pertikaian dan perpecahan.”
Sedangkan perkawinan Habib Hasan disampaikan oleh Cahyono dalam pembacaan manaqib Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya pada acara sebagaimana disebut di atas dari hitungan 2:37:19 sampai 2:38:07, terkutip sebagai berikut ( “Peringatan Maulid Nabi Dan Haul KRT Sumodiningrat (Habib Hasan) Bersama Habib Luthfi Bin Yahya,” 2021):
“…dan karena kekagumannya tersebut akhirnya Habib Hasan diangkat menjadi menantu Sultan Hamengku Buwono kaping kalih dan daerah yang ditempati beliau mendapatkan perlindungan utama dari Kraton Ngayogyakarta . lstri Habib Hasan bernama Gusti Kanjeng Ratu Bendoro atau yang lebih dikenal dengan nama Fatimah juga sering disebut dengan Kanjeng Ratu Kedaton. Beliau putri dari garwo padmi Hamengkubuwono kaping kalih bernama bendoro Mas Ayu Rantamsari.”
Sehubungan dengan kematian Habib Hasan, dalam rekaman Cahyono pada tautan Youtube yang telah disebutkan, pada menit ke 2:42:13, disampaikan bahwa saat terjadi penyerangan oleh Legiun lnggris yang bertujuan mencari Habib Hasan, kediaman Habib Hasan di Jejeran, Bantul, dikunjungi. Pada saat itu, Habib Hasan tengah melakukan koordinasi di dalam Keraton Yogyakarta. Pada menit ke 2:43:20, Cahyono menyatakan bahwa Habib Ahmad, yang tinggal di Suronatan, berada di Jejeran ketika Legiun lnggris tiba. Pasukan lnggris mengepung ruma h Habib Hasan, dan da lam situasi tersebut, Habib Ahmad mengklaim sebagai Habib Hasan kepada lnggris. Alasannya adalah karena
Habib Hasan sangat dibutuhkan oleh keraton dan memiliki strategi serta kebera nian ya ng diperlukan. Oleh karena itu, Habib Ahmad memutuskan untuk mengakui dirinya sebagai Habib Hasan (“Peringatan Maulid Nabi Dan Haul KRT Sumodiningrat (Habib Hasan) Bersama Habib Luthfi Bin Ya hya,” 2021).
Pada menit ke 2:45:00, Cahyono melaporkan bahwa keluarga Habib Hasan, termasuk Habib Ahmad dan ana k anaknya, ditahan dan meninggal pada tahun 1812 M. Habib Ahmad dimakamkan di Jejeran dan kemudian dikenal dengan na ma KRT Sumadiningrat. Tindakan ini dilakukan untuk mengalihkan perhatian dan mengurangi intensitas pencarian Habib Hasan oleh pihak lnggris. Makam di Jejeran kemudian dianggap sebagai makam yang angker, sehingga pihak lnggris kehilangan minat untuk menyelidiki siapa yang sebenarnya dimakamkan di sana.
Kelahiran, Perkawinan dan Kematian KRT Sumadiningrat dalam Berbagai Sumber Primer
Kelahiran don Silsilah KRT Sumadiningrat
KRT Sumadiningrat lahir sekitar tahun 1760-an dan merupakan ana k dari Tumenggung Jayaningrat, yang juga dikenal sebagai Tumenggung Jayaningrat Manten. Tumenggung Jayaningrat Manten adalah mena ntu Sultan Hamengkubuwono I yang menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat (Mandoyokusumo, 1988, p. 10). Raden Ayu Jayaningrat merupakan anak keempat dari Sultan Hamengkubuwono I (Dajapertama & Dirdjasoebrata, n.d., p. 13). Dari pernikahan tersebut, lahirlah lima orang anak, yaitu Tumenggung Sumadiningrat, Tumenggung Wiryawinata, Tumenggung Jayaningrat, Raden Ayu Rangga Madiun, da n Tumenggung Wiryadiningrat (Salasilah Para Leluhur (Kadanurejan), 1899 , p. 207).
KRT Sumadiningrat menerima pendidikan keislaman dari seorang guru setempat bernama Kyai Tambi Jenggi, yang merupakan wali atau pengasuh yang diberi otoritas untuk mendidik KRT Sumadiningrat (Carey, 1 980, p. 191, 2000 ). Saat ini, informasi mengenai tempat kelahiran KRT Sumadiningrat belum ditemukan atau belum tercatat. Kemungkinan besar, kelahirannya terjadi di daerah Ngremame, wilayah selatan Kedu pada masa itu, yang merupakan daerah kekuasaan ayahnya, Tumenggung Jayaningrat, seorang bupati di sana. Silsilah KRT Sumadiningrat dapat ditelusuri hingga Kyai Ageng Wanakriya (Kriyan) yang makamnya berada di Jejeran. Kyai Ageng Wanakriya merupakan keturunan Kyai Penjawi, salah satu tokoh pembuka Kerajaan Mataram Islam di selatan Jawa pada awal abad ke-16 M.
Urutan nasab KRT Sumadiningrat dari atas sebagai berikut: Kyai Ageng Ngerang I –7 Kyai Ageng Ngerang II (Kyai Bodo Pajang) –7 Kyai Ageng Ngerang I ll (Ki Buyut Pati) –7 Kyai Ageng Panjawi (Kyai Ageng Pati) –7 Adipati Pragolapati I
–7 Adipati Pragolapati II –7 Kyai Wonokriyo (Bagus Jaka Kriya/Kyai Kriyan) –7 Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede –7 Tumenggung Jawina ta/Tumenggung Gajah Cilik –7 Adipati Jayaningrat/Gajah Tiena –7 Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat –7 KRT Sumadiningrat [Jejeran] (Serat Salasilah Para Loeloehur ing Kadanoeredjan, 1899, pp. 163-164 & 201-208).
Perkawinan KRT Sumadiningrat
KRT Sumadiningrat menikah dengan GKR Bendara, putri Sultan Hamengkubuwono II da ri hasil pernikahannya dengan GKR Kedaton (Agustriyanto, 2018; Mandoyokusumo, 1988, p. 16; Serat Salasilah Para Loeloehur ing Kadanoeredjan, 1 899, pp. 201-208; Sejarah Ratu, n.d., pp. 58, 60, 80 & 123). GKR Bendara adalah anak Sultan Hamengkubuwono II dari hasil pernikahannya dengan GKR Kedaton. Sedangkan GKR Kedaton adalah anak Tumenggung Purwadiningrat, Bupati Magetan (Mandoyokusumo, 1988, p. 15). Silsilah Tumenggung Purwadiningrat ke atas masih berhubung dengan keluarga besar Madura.
Meskipun perkawinan KRT Sumadiningrat dengan GKR Bendara tidak melahirkan keturunan, di sisi selatan cungkup makam KRT Sumadiningrat terdapat ma kam Tumenggung Sumanegara. Tumenggung Sumanegara adalah anak KRT Sumadiningrat da ri istri lain. Namun sayangnya, Serat Salasilah hanya mencantumkan nama sang anak tanpa menyebutkan nama ibu atau istri lainnya. Tumenggung Sumanegara menjabat sebagai bupati wedana distrik Maosan Da lem Pengasih hingga Nanggulan. Selain itu, terdapat pula makam keponakannya, yaitu Tumenggung Tirtanegara, yang menjabat sebagai bupati Maosan Kalibawang (Serat Salasilah Para Loeloehur ing Kadanoeredjan, 1 899, p. 208).
Kematian KRT Sumadiningrat
Kematian KRT Sumadiningrat disebabkan oleh serangan pasukan lnggris, Sepoy, dan Mangkunegara dalam peristiwa Geger Sepehi di Yogyakarta. Peristiwa ini terekam da lam Babad Sepehi pada Pupuh I ll, Pada I-VII. Babad Sepehi merupakan karya sejarah yang ditulis oleh Pangeran Mangkudiningrat, ana k Sultan Hamengkubuwono II, yang secara langsung terlibat dalam pertempuran (lrawan, 2019, pp. 65-66). Sebagai sumber primer da lam sejara h, catatan ini memiliki nilai yang tinggi karena ditulis oleh pelaku sejarah.
Setelah gugur dalam Geger Sepehi, jenazah KRT Sumadiningrat dibawa untuk dimakamkan di Jejeran pada pukul sepuluh malam. Pemakaman dilakukan di tanah pamutihan yang merupakan hak milik KRT Sumadiningrat di sisi barat Masjid Kagungan Dalem Mi’rajul Muttaqinallah. Dahulu masjid ini dikenal sebagai Masjid Sumadiningratan (Serat Salasilah Para Loeloehur ing Kadanoeredjan, 1 899, p. 208). Makam KRT Sumadiningrat berada di dalam sebuah cungkup khusus di sisi selatan cungkup makam leluhurnya, Kyai Kriyan (Kyai Wonokriyo), seora ng ulama besar dalam sejarah Mataram Islam dari zaman Sultan Agung hingga Sunan Amangkurat I.
Penempatan makam KRT Sumadiningrat tepat di bawah atau di sisi selatan cungkup makam Kyai Kriyan menjadi jelas karena Kyai Kriyan ada lah punjer atau leluhur KRT Sumadiningrat. Adat atau budaya pemakaman di Jawa mengamanatkan agar tokoh tertentu dimakamkan di lahan yang sama dengan leluhurnya. Jika tidak memungkinkan, tokoh tersebut a kan dimakamkan bersama keluarga besar cecabang leluhur utamanya.
Kerancuan Klaim KRT Sumadiningrat Sebagai Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya
Kerancuan Silsilah
Terdapat perbedaan esensial dalam identitas kelahira n dan silsilah antara Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya dan KRT Sumadiningrat, atau sebaliknya. Hal ini kontradiktif dengan penekanan dari Siti Fatimah dan Sulistyo Eko Cahyono, yang menegaskan bahwa Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya adalah KRT Sumadiningrat. Bahkan, dalam narasi keduanya, disampaikan bahwa Habib Hasan ada lah menantu Sultan Hamengkubuwono II. Pertanyaannya, mengapa silsilah Habib Hasan dapat berbeda dengan silsilah KRT Sumadiningrat?
Jika memang Habib Hasan ada lah KRT Sumadiningrat, maka da lam kajian ilmiah Fatimah dan manaqib Habib Hasan yang dibacakan oleh Cahyono seharusnya menyajikan silsilah yang konsisten dan resmi dari Kraton Yogyakarta. Sayangnya, silsilah Habib Hasan da lam data keduanya hanya mengacu pada satu sumber, yakni Muhammad Luthfi Bin Yahya. Tidak disajikan silsilah KRT Sumadiningrat berdasarkan catatan resmi negara, yaitu Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat atau sumber-sumber otoritatif lainnya. Mengingat KRT Sumadiningrat merupakan figur utama di kraton, seha rusnya silsilahnya dapat diakses melalui sumber-sumber resmi di sana. Salah satu contoh Loyang Kekancingan keturunan KRT Sumadiningrat adalah milik Raden Mas Sujatma, yang bernomor 26431 dan dikeluarkan pada 21 Mulud 1875 Alip atau 16 Maret 1944 M.
Silsilah anak-turunan atau keluarga Keraton Yogyakarta diakui sebagai sahih dengan penerbitan Loyang Kekancingan atau Surat Keterangan dari Tepas Da rah Dalem, sebuah lembaga kedinasan di Keraton yang mengeluarkan surat keterangan tentang ketersambungan nasab seseorang kepada salah satu keluarga besar Keraton, misalnya Sultan Hamengkubuwono II. Namun, dalam kajian Fatima h dan Cahyono, tidak disajikan keterangan nasab Habib Hasan da ri sumber-sumber tersebut jika memang benar bahwa ia adalah KRT Sumadiningrat. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, nasab KRT Sumadiningrat ternyata berbeda dengan nasab Habib Hasan.
Habib Hasan Bukan Menantu Sultan Hamengkubuwono II
Fatimah da n Cahyono menyatakan bahwa Habib Hasan adalah menantu Sultan Hamengkubuwono II. Namun, informasi tentang pernikahan Habib Hasan dari kedua individu ini saling bertentangan. Fatima h menyatakan bahwa Habib Hasan menikah dengan Mas Ayu Rantamsari, putri Sultan Hamengkubuwono II. Sementa ra itu, Cahyono mengklaim bahwa Habib Hasan menikah dengan GKR Bendoro, putri Sultan Hamengkubuwono II dari hasil pernikahannya dengan seorang istri selir bernama Mas Ayu Rantamsari.
Bagian ini tampak aneh dan ganjil. Mengapa ada dua versi yang berbeda di antara keduanya? Apalagi, Sulistyo Eko Cahyono di dalam tesis Fatimah dicatat sebagai salah satu narasumber utama yang sering dikutip. Dalam menjelaskan bagian ini, Siti Fatima h mencantumkan catatan kaki nomor 3 di halaman 56 yang menyatakan: Wawancara dengan Sulistyo Eko Cahyono, seorang pakar dalam Sejara h Keraton Yogyakarta. Pada hari Kamis, tanggal 24 Juni 2019, pukul 12.30 WIB (Fatimah, 2019, p. 56).
Di luar keanehan tersebut, muncul pertanyaan besar: Apakah benar Habib Hasan adalah menantu Sultan Hamengkubuwono II? Da lam “Serat Raja Putra” sebuah naskah yang menghimpun semua istri, anak, dan menantu Sultan Hamengkubuwono I hingga Sultan Hamengkubuwono IX, nama “Rantamsari” memang tercatat. Namun, tokoh “Rantamsari” ini bukanlah anak Sultan Hamengkubuwono II, melainkan istri selir Sultan Ha mengkubuwono II, dengan nama tertulis sebagai Mas Ajeng Rantamsari (Mandoyokusumo, 1 988, p. 24). Begitu juga dalam “Serat Radja Poetra” sebuah naskah yang menghimpun semua istri dan anak Sultan Hamengkubuwono I sampai Hamengkubuwono VIII. Di sana disebutkan bahwa Bandara Mas Ajoe Rantamsari adalah salah satu istri selir, bukan anak Sultan Hamengkubuwono II (Dajapertama & Dirdjasoebrata, n.d., p. 20).
Jadi, apakah Sultan Hamengkubuwono II memiliki anak dari pernikahannya dengan Rantamsari, seperti yang disebut Cahyono sebagai seorang gundik? Apakah benar bahwa GKR Bendara juga disebut GKR Kedhaton? Di bagian ini, Cahyono keliru dalam dua ha l penting. Pertama, Mas Ayu Rantamsari bukanlah seorang permaisuri, melainkan sebagai istri selir Sultan Hamengkubuwono II. Kedua, GKR Bendoro bukanlah anak hasil pernikahan Sultan Ha mengkubuwono II dengan Mas Ayu Rantamsari, melainkan dari perkawinannya dengan GKR Kedaton. Ada lima orang anak yang lahir da ri pernikahan Sultan Hamengkubuwono II dengan GKR Kedaton, yaitu: (1) Sultan Hamengkubuwono Ill; ( 2) GKR Bendara;
(3) GKR Hangger; (5) GPH Mangkubumi (Panembahan Mangkurat); (5) GKR Maduretna (Hemas). Tidak ada nama Mas Ayu Rantamsari di sana. Jadi, Mas Ayu Rantamsari bukanlah anak Sultan Ha mengkubuwono II.
Jika Cahyono menyatakan bahwa GKR Bendara adalah anak Sultan Hamengkubuwono II dari hasil pernikahan dengan Mas Ayu Ra ntamsari, itu jelas bertentangan dengan data dan fakta sejarah Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebab di dalam catatan resmi Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, GKR Bendara adalah ana k Sultan Hamengkubuwono II dari hasil pernikahan dengan GKR Kedaton, putri Tumenggung Purwadiningrat, Bupati Magetan (Mandoyokusumo, 1988, p. 15). Sementara itu, perkawina n Sultan Hamengkubuwono II dengan Mas Ayu Rantamsari ha nya melahirkan satu anak laki-laki, yaitu BPH Tejokusumo yang kemudian diberi nama BPH Hadinegoro ( Dajapertama & Dirdjasoebrata, n.d., p. 20; Mandoyokusumo, 1 988, p. 24). Apa mungkin Habib Hasan menikah dengan seorang lelaki? Tentu saja tidak.
Oleh karena itu merujuk pada pernyataan di atas, GKR Bendara bukanlah anak Sultan Hamengkubuwono II dari hasil pernikahan dengan Mas Ayu Rantamsari. Hal ini disebabkan Mas Ayu Rantamsari bukanlah anak, tetapi seorang istri selir Sultan Hamengkubuwono II. Selanjutnya, pernika han antara Sultan Hamengkubuwono II dan Mas Ayu Rantamsari tidak menghasilkan anak perempuan, melainkan seorang ana k laki-laki. Oleh karena itu, pernyataan bahwa Habib Hasan adalah menantu Sultan Ha mengkubuwono II dapat dipastikan tidak benar.
Kematian KRT Sumadiningrat don Kerancuan Kisah “Pe/orion” Habib Hasan
Di atas telah dijelaskan bahwa KRT Sumadiningrat meninggal akibat dibunuh oleh tentara lnggris pada peristiwa Geger Sepehi. Namun, Cahyono menyatakan bahwa yang tewas dalam peristiwa Geger Sepehi adalah Habib Ahmad, adik dari Habib Hasan. Habib Ahmad, dalam situasi tersebut, mengaku sebagai Habib Hasan da n akhirnya tewas bersama keluarganya serta kelua rga Habib Hasan. Habib Hasan sendiri kabarnya “melarikan diri” ke Semarang dengan alasan seda ng dibutuhkan peranannya. Namun, berdasarkan analisis terhadap data silsilah yang kabur dan status perkawinan Habib Hasan, narasi Cahyono tentang kematian Habib Ahmad da n pelarian Habib Hasa n malah sema kin memperumit keadaan. Ada kesan kuat bahwa cerita tersebut bersifat fiksi.
Berita tentang kematian dan seluruh peristiwa Geger Sepehi sebenarnya telah diinformasikan dengan sangat rinci dalam Babad Sepehi, yang merupakan catatan kesaksian Pangeran Mangkudiningrat, putra Sultan Hamengkubuwono
- Karya ini menjadi sumber primer yang kaya informasi mengenai peristiwa Geger Sepehi, sebab ditulis berdasarkan pengalaman langsung Pangeran Mangkudiningrat di meda n pera ng Sepehi. Bahkan ia mengalami Iuka akibat terkena leda kan peluru musuh dan pecahan granat (lrawan, 2019, p. 62). Babad Sepehi ini mulai ditulis pada Selasa, 20 Rabiul Awai 1228 H tahun Ehe, atau 23 Maret 1813 M. Dengan kata lain, naskah ini “tercipta” hanya setahun setelah peristiwa Geger Sepehi terjadi.
Dalam Babad Sepehi diuraikan bagaimana KRT Sumadiningrat bertempur di sisi ba rat Kali Code dan mempertahankan posisi di bagian tenggara Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Tumenggung Wiryawinata, adiknya sendiri. Peristiwa pertempuran antara pasukan Sepehi dengan KRT Sumadiningrat digambarkan dalam tembang bermetrum Durma, Pupuh II, dimulai dari Padha atau bait ke-6 dan ke-7) (lrawan, 2019, pp. 55-56):
“Wus mlebet mring loji kumpul barisan/yitna ngubengi biting/yata kawarnaa/lnggris medali yuda/Sumadiningrat den incih/marga ing wetan/Jawitan den Jogi// “
“(mereka) sudah masuk ke dalam loji (dan) berkumpul (dengan) pasukan (lainnya). (Mereka) mengelilingi benteng (dengan) waspada. Lalu diceritakan, (serdadu) lnggris keluar (untuk) bertempur. Sumadiningrat menuju jalan (di) sebelah timur, menuju Jawinatan .”
“Nekuk ngilen kali code sampung nyabrang/Sumadiningrat uning/angabani bala/campuh rame ing yuda/gumruduk swaraning bedhil/surak barungan/tengaranira anjrit// “
“(Mereka) belok ke barat, (dan) sudah menyeberangi Kali Code. Sumadiningrat memberi aba-aba (untuk) maju ke medan perang. Suara berondongan senapan. Pekikan terdengar , (dan) terdengar suara tengara .”
Pertempuran terus berlanjut. KRT Sumadiningrat dan pasukannya berhasil mengatasi pasukan lnggris di sebelah tenggara, namun, dengan ba ntuan pasukan Prangwedana, mereka mampu mengimba ngi perlawana n sang panglima dan pasukannya. Akhirnya, KRT Sumadiningrat tewas setelah dikejar dan ditemukan di kediamannya. Babad Sepehi merincikan kejadian tersebut dalam Pupuh Ill, Padha /-VII atau bait ke-3 hingga ke-7, sebagaimana dikutip oleh lrawan (lrawan, 2019, pp. 65-66):
“Nanging wus kineban lawang/lajeng ngilen sakgarwa putra genderang/yata ganti kang winuwus/lnggris kang kidu/ wetan/ketadhahan mring Sumadiningrat menggung/myang ari Wiryawinata/Cakradirja langkung ngungkih// “
‘Tetapi pintu (gerbangnya) sudah ditutup. (la) bersama istri dan anaknya menuju ke barat. Alkisah, di sebelah tenggara , (pasukan) lnggris berhadapan dengan Sumadiningrat, dan adiknya Wiryawinata. Cakradirja sangat berani.”
“Arame tempeh sunapan/surak gurnang wong lnggris ngangsek wani/Sipahi mangsah gumulung/geger wadya Metaram/akeh longe curna mati gya lumayu/ Tumenggung Sumadiningrat/ngabani wadya sinelir// “
“Suara tembakan terdengar (sangat) ramai. Teriakan -teriakan pasukan lnggris (yang) maju (dengan) berani. Sipahi maju berbondong-bondong. Pasukan Mataram gempar (karena) banyak yang terluka, mati, dan melarikan diri. Tumenggung Sumadiningrat memberi perintah (kepada) pasukan agar bersiap-siap.”
“Umangsah lajeh tinujang/wadya lnggrsi drugundur kapal teji/pamedhangnya ngiwad-ngiwud/Sumadiningrat mlajar/sawadyane sowangan lnggris mangelud/tumenggung Sumadiningrat/sarwi ngampiri kang selir// “
“Maju menerjang musuh. Pasukan inggris dan dragonder menunggang kuda teji (sambil) mengayunkan pedangnya dengan cepat. Sumadiningrat melarikan diri (dan) pasukannya cerai-berai. (Pasukan) lnggris (terus) mengejarnya . Tumenggung Sumadiningrat pergi (ke tern pat) selirnya.”
“Mengsah lnggris tandya prapta/Dyan Tumenggung kasupit ingajurit/ngamuk liwung Iowan dhuwung/sekretaris mrajang/Prangwedana saha wadya atetulung/tumenggung Sumadiningrat /pined hang mring Sekretaris// “
“Maju menerjang musuh. Pasukan inggris dan dragonder menunggang kuda teji (sambil) mengayunkan pedangnya dengan cepat. Sumadiningrat melarikan diri (dan) pasukannya cerai-berai. (Pasukan) lnggris (terus) mengejarnya . Tumenggung Sumadiningrat pergi (ke tern pat) selirnya.”
“Kena salangira tatas/Dyan Tumenggung niba mu/ya ngemasi/sakkanca wadya maleduk/wisma tandya ingobar/wadya lnggris Nirbaya ingkang pinagut/Tumenggung Lowanu panggah/kang kidu/ kulon winarni// “
“Selangkanya (hingga) putus. Raden Tumenggung (Sumadiningrat) jatuh lalu tewas . Teman-teman pasukannya mengamuk, rumah- rumah dibakar . Pasukan lnggris terus menggempur Nirbaya . Tumenggung Lowanu (yang) mempertahankan (Nirbaya). Diceritakan peperangan di sebelah barat daya.”
Sumber sejarah lain, yang dikenal sebagai Babad Panular atau Babad Ngengreng, turut mengisahkan mengenai kematian KRT Sumadiningrat. Karya ini dihasilkan oleh Pa ngera n Arya Panular (1771-1826 M), putra Sultan Hamengkubuwono I, yang menjabat sebagai penasihat sekaligus mertua Sultan Hamengkubuwono Ill. Penulisan karya tersebut didasarkan pada pengalaman pribadinya selama peristiwa Perang Sepehi. Bahkan, Pangeran Arya Panular termasuk tokoh yang ikut menyelamatkan Sultan Hamengkubuwono I ll dengan membawanya ke Taman Sari saat peristiwa tersebut terjadi. Karya ini selesai ditulis pada Senin, 2 Oktober 1815 M, atau sekitar 3 tahun setelah peristiwa Perang Sepehi. Pa ngeran Arya Pa nular mendetailkan kematian KRT Sumadiningrat da lam Pupuh XI, Padha /-XX /II, atau bait ke-21 hingga ke-33 (Panular, 2019, pp. 40-41):
“saputra wayahnya sami/saha prajurit nung samya/myang Gris tindhih Suketrise/ngubeng Sumadiningratan/bakta mriyem angru(m)pak/wus pasthine ing Hyang Agung/Rahadyan Samadiningrat// “
“Bersama anak cucunya/ dan prajurit hebat lalu/ bersama (pasukan) lnggris dan Sekretarisnya/ mengepung Sumadiningratan/ membawa meriam merusak/ sudah ketentuan dari Tuhan yang Agung/ Raden Samadiningrat//.”
“tinilar wadyanya sami/myang konca kadang warganya/suta labete mungsuh bot/Ian wus sami mireng warta/yen kedhatyan wus bedhah/tyas kuwur pan lajeng mawur/tan ana mongga puliya// “
“Ditinggal semua pasukannya/ dan teman, saudara, keluarganya/ termasuk anak (karena) musuh berat/ dan sudah mendengarkan kabar/ jika Kedhaton sudah ditaklukkan/ hati hancur lebur/ tidak mungkin akan pulih//.”
“salong kaca(n}dhak denungsir/pinarjaya dene me(ng)sah/kathah pejah myang ketaton/Pangeran Aprangwedana/ngangsek malebeng natar/gegeting tyas arsa panggung/lan Radyan Samyadiningrat// “
“Sebagian tertangkap lalu diusir/ dibunuh sedangkan musuh/ banyak yang mati dan terluka/ Pangeran Prangwedana I
menyerang masuk ke halaman/ membuat hati tak enak lalu bertemu/ dengan Raden Sumadiningrat//.”
“dene kalokeng negari/jejendhule wong Ngayugja/arsa ingajak guguyon/tumpang pupu Ian Pangeran/langkung gegeting manah/kalokeng Sala cinatur/sawiyah dhateng Pangeran// “
“(Pangeran Prangwedana berkata) terkenalnya di negara/ pemimpinnya orang Yogya/ lalu diajak bercanda/ duduk bersama dengan pangeran/ lebih membuat marah/ Pangeran solo diceritakan/ semena-mena terhadap pangeran//.”
“mi/a katuju ing galih/prapta lawang gedrug pangran/ngabani wadya angedrel/mangsuk sumahab ing natar/gla tyas Radyan tan ana/Sukretaris gya malebu/ing masjid nu/ya kapedhak// “
“Maka karena keinginan hati/ sampai di pintu mengentakkan kaki Pangeran (Prangwedana)/ masuk bersama-sama di halaman/ mencari Raden (Sumadiningrat) tidak ada/ Sekretaris lalu masuk/ di masjid lalu ditemukan (Raden Sumadiningrat)//.”
“anulya ingedrel wani/sinasog ing ganjur atap/akawal-kawal tan puleh/pira kuwate sajuga/ kinroyok wadya kathah/Dyan Sumadiningrat lampus/wadya kang tresna wus buyar// “
“Lalu diberondong peluru/ ditusuk tombak bersama-sama/ terluka banyak tidak dapat sembuh/ sekuat apa ketika/ dikeroyok pasukan banyak/ Raden Sumadiningrat meninggal/ pasukannya yang setia bubar//.”
“Suketris tan legeng ati/anulya jongga pinedhang/tan tatas nu/ya kinrayok/busananya pinendhetan/sedanira ngangkenan/Suketaris ingkang bunuh/tandya Pangran Prangwedana// “
“Sekretaris tidak lega hatinya/ lalu leher dipedang/ tidak putus lalu dikeroyok/ busananya dijarah/ meninggalnya mengenaskan/ Sekretaris yang membunuh/ lalu Pangeran Prangwedana//.”
“inggal tindak dhateng masjid/ningali kuwonda Radyan/Sumadiningrat kang layon/tandya ingiling-ilingan/rawis Radyan ingucap/wong kaku aja kumenthus/yen tan kadi Prangwedana// “
“Lalu segera pergi ke masjid/ melihat jasad Raden/ Sumadiningrat yang sudah meninggal/ lalu berkata kepada/ jasad Raden (Sumadiningrat) dikatakan/ orang yang sudah kaku jangan berlagak/ jika tidak seperti Prangwedana//.”
”Tandya Pangran printah aglis/mring wadyanira sedaya/myang Suketaris printahe/lnggris Sepehi kinena/wadya-bala ngerayah/Sumadiningratan gempur/bang kidu/ sawernira// “
“Lalu Pangeran (Prangwedana) memerintahkan/ kepada pasukannya semua/ dan kepada sekretaris, perintahnya/ lnggris dan Sepoy diperbolehkan/ pasukannya untuk menjarah/ Sumadiningratan dirobohkan/ (hingga) ujung selatan//.”
“gya wismanya Dyankang lalis/wusnya rinayah ingobar/saklangkung geni urube/tandya Pangran Prangwedana/saputra wayahira/myang Suketaris umangsuk/Ngloji percayeng Twan Besar// “
“Lalu rumah Raden (Sumadiningrat) yang sudah meninggal/ sesudah dijarah dibakar/ besar kobaran apinya/ lalu Pangeran Prangwedana/ bersama anak cucunya/ serta Sekretaris masuk/ di Loji tempat Tuan Besar//.”
“kang kari layon wus ngambil/mring wadyanira kang tresna/wus sinaen ingkang layon/pinetak waten Jejeran/semanten Jeng Pangeran/Aprangwedana wus matur/myang Suketaris kanthinya// “
“Yang sudah meninggal (Raden Sumadiningrat) sudah diambiI/ oleh pasukannya yang berbakti/ sudah dipulasara jenazahnya/ dikuburkan di Jejeran/ pada saat itu Kanjeng Pangeran/ Prangwedana sudah berbicara/ bersama Sekretaris temannya//.”
“mring Tuwan Jendro/ neng Loji/saklangkung ing sukanira/Samadiningrat wus layon/rinayah wisma ingobar/Suketris kang merjaya/Tuwan Jindra/ tandya muwus/pangran /ah andika seba// “
“Kepada Tuan Jendral di Loji/ sangat suka hatinya/ Sumadiningrat sudah meninggal/ dijarah rumahnya dibakar/ Sekretaris yang membunuh/ Tuan Jendral lalu berkata/ Pangeran (Prangwedana) engkau hendaknya menghadap//.”
“mring Sultan baru taruni/angsung tabe kaslametan/myang sira Suketarise/ngirida maring Pangeran/tand ya d yi mangsuk sigra/mri(ng ) kantro gennya Sang Prabu/cundhuk Ian Sang Nata M udha.”
“Kepada Sultan baru yang muda/ mengaturkan berita keselamatan/ dan kamu Sekretaris/ iringilah Pangeran/ lalu keduanya segera masuk/ ke Keraton tempat sang Prabu/ bertemu Sang Raja Muda//.”
Sebuah surat kabar kolonial yang terbit sekitar 14 hari setelah Geger Sepehi, Java Government Gazette Vol. 1, No. 19, 4 Juli 1812 M, juga mencatat kematian KRT Sumadiningrat yang ditulis dengan ejaan ” Toomogong Semood Deningrat” . lnformasi mengenai kematian KRT Sumadiningrat ini juga disampaikan oleh William Major Thorn, seorang Deputi Quarter-Master General Angkatan Darat lnggris yang turut serta dalam ekspedisi pasukan British-Indian selama penaklukan Jawa. Thorn, yang saat itu berusia 30 tahun, dalam catatan harian yang diterbitkan pada tahun 1815 M atau tiga tahun setelah peristiwa Geger Sepehi, memberikan kesaksiannya tentang kematian KRT Sumadiningrat. la mencatat nama KRT Sumadiningrat tersebut dengan ejaan ” Toomoogong Senoot Diningrat” (Thorn, 1 815, p. 187):
“..and, after the a severe conflict with the enemy, who were here in large numbers, and fighting desperatel y, they succeeded in opening the gate for Lieutenant -Colonel Dewar’s column, who arrived just at this moment, after defeating the forces in the suburbs, in which affair their chieftain, the Toomoogong Senoot Deningrat, fell , who was one of the Sultan’s principal advisers and chief instigators, in every hostile proceeding against British Government.”
“..dan, setelah konflik sengit dengan musuh, yang berada di sana dalam jumlah besar, dan berjuang mati- matian, mereka berhasil membuka pintu gerbang bagi barisan pasukan Letnan Kolonel Dewar, yang tiba tepat pada saat itu, setelah mengalahkan pasukan di pinggiran kota, yang menyebabkan jatuhnya pemimpin mereka, Toomoogong Senoot Deningrat,yang merupakan salah satu penasihat utama dan penghasut utama Sultan, dalam setiap proses permusuhan terhadap Pemerintah lnggris.”
Jenazah KRT Sumadiningrat dimakamkan pada pukul 10 malam setelah diambil oleh pengikut dekatnya untuk dimakamkan di desa Jejeran, yang berjarak dua kilometer selatan Yogyakarta (Serat Salasilah Para Loeloehur ing Kadanoeredjan, 1 899, p. 207). Terdapat catatan dari masyarakat ( konca) Sumadiningratan, yang sekara ng termasuk wilayah Tirtodipura n, bahwa setelah KRT Sumadiningrat meninggal, mereka merasa sangat sedih. Dalam surat yang mereka kirimkan kepada Mas Ngabehi Prawirawijaya da n Kyai Ngabehi Danukra ma, mereka menyatakan perasaan kesedihan itu dengan kalimat:
“…raosa konca sumadiningratan punika, kaupamaaken kewan waten ing wana, baten waten ingkang gadhah wana…“
“…perasaan orang Sumadiningratan ini, seperti hewan di hutan, tapi tidak punya hutan lagi… (Carey, 1980, pp. 433-434)”
Mengapa KRT Sumadiningrat dimakamkan di Jejeran? Telah disebut di atas bahwa makam Jejeran di ba rat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah adalah pemakaman anak-turun Kyai Kriyan (Kyai Ageng Wonokriyo). KRT Sumadiningrat adalah keturunan Kyai Kriyan. Bukti silsilah di atas sudah menunjukkan ketersambungan genealogis itu. Menjadi ma klum jika jenazahnya dimakamkan di pemakaman leluhurnya. Oleh karena itu, sangat ganjil jika dikatakan bahwa makam KRT Sumadiningrat di Jejeran merupakan makam Ahmad bin Thoha Bin Yahya ya ng tidak memiliki hubungan keluarga yang jelas dengan Kyai Kriyan.
Lebih ganjil lagi, ternyata Cahyono memberikan keterangan lain yang berbeda mengenai peristiwa kematian Ahmad bin Thoha Bin Yahya. Sebab, dalam ketera ngan manaqib yang dibacakan oleh Cahyono, Ahmad bin Thoha Bin Yahya dikatakan meninggal pada Geger Sepehi karena ia mengaku sebagai KRT Sumadiningrat. Sedangkan, dalam pembacaan manaqib Habib Hasan di kesempatan lain, sebagaimana diunggah oleh akun Jati Sumo Negoro, disebutkan bahwa Ahmad bin Thoha Bin Yahya meninggal pada Juni 1811 M akibat serangan tentara lnggris (“Singobarong! ! lnilah Manaqib Habib Hasan Bin Thoha Bin Yahya Yang Jarang Diketahui,” 2022 ):
“Pada saat adanya penyerbuan dan penyerangan dari Legiun lnggris dan dibantu sekutunya yang bertujuan mencari Habib Hasan untuk dihabisi atau dibunuh, para prajurit lnggris tersebut mendatangi gudang senjata Habib Hasan yang berada di Jejeran, Bantul, Yogyakarta. Pada waktu itu Habib Hasan sedang melakukan koordinasi di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat terkait laporan dari para telik sandi yang menginformasikan bahwa akan ada penyerangan dari Legiun lnggris dan sekutunya yang saat itu kebetulan ada Habib Ahmad yang menjabat sebagai penghulu kraton yang tinggalnya di ndalem Suronatan sedang berkunjung di ndalem Jejeran . Ketika pasukan lnggris mengepung ndalem Jejeran atau gudang senjata yang selama ini juga sering disinggahi oleh Habib Hasan, Habib Ahmad dengan gagah berani menghadapinya . Beliau mengaku bernama Tumenggung Sumodiningrat panglima Mataram. Karena memang Habib Ahmad dan Habib Hasan wajahnya sangat mirip. Dengan keyakinan yang sangat kuat Habib Ahmad mempertahankan pengakuannya bahwa beliau adalah Habib Hasan atau KRT Sumodiningrat. Beliau mengaku sebagai KRT Sumodiningrat dengan pertimbangan bahwa Habib Hasan pada saat itu sedang diperlukan oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk menghadapi berbagai pihak di antaranya lnggris dan beberapa pemberontakan yang ada di wilayah Yogyakarta. Baik dari arah barat maupun dari arah timur . Karena kejadian itu untuk meyakinkan kebenaran sosok Habib Hasan pihak lnggris kemudian menyandera keluarga Habib Ahmad, namun, meskipun para
putra dan istri beliau sampai wafat, Habib Ahmad tetap mempertahankan pengakuannya bahwa beliau adalah KRT Sumodiningrat. Peristiwa ini terjadi pada bulan Juni tahun 1811 sebelum terjadinya Geger Sepehi di Yogyakarta. Dengan adanya kejadian itu maka pencarian terhadap Habib Hasan oleh lnggris sedikit kendor. Dan akhirnya dengan berbagai pertimbangan Habib Ahmad dimakamkan di Jejeran dan tetap dikenal sebagai Sumodiningrat. Dengan wafatnya Habib Ahmad, perjuangan KRT Sumodiningrat bisa bergerak lebih leluasa untuk menjadi panglima dan berjuang menghadapi para musuh. Karena para musuh dan legiun lnggris sepengetahuannya Habib Hasa n sudah wafat. Selain beliau Habib Ahmad sa lah satu adik Habib Hasa n yaitu Habib Husein yang dikenal dengan Mbah Kusumojati atau Raden Kusumojati yang wafat di Ngawen. Beliau juga berjuang dan wafat saat terjadi penyerangan lnggris di daerah Ngawen Wonosari Gunung Kidul. Setelah mendengar Habib Husen wafat, Habib Hasan mengambil alih komando benteng Ngawen. Beliau dan Raden Ronggo kemudian mengatur strategi untuk menghadapi rencana penyerbuan dari legiun lnggris baik dari wilaya h Surakarta Surabaya dan Madiun ya ng besar- besaran akan menyerang Yogyakarta pada tahun 1812 yang akhirnya kita kenal dengan Geger Sepehi.”
Keterangan Cahyono di atas, selain bertentangan dengan manaqib Habib Hasan yang ia bacakan sebagaimana menjadi sasaran kajian artikel ini, juga bertentanga n dengan fakta dan data sejarah. Sebab, ekspedisi lnggris-lndia baru mendarat di Cilincing pada 3 Agustus 1811 M (Carey, 2017, p. 47). Bila dikatakan bahwa Ahmad bin Thoha Bin Yahya wafat akibat disera ng oleh tentara lnggris pada Juni 1811 M, tentu saja tidak mungkin. Sebab lnggris baru mendarat di Jawa pada Agustus 1811 atau sekitar dua bulan sebelum “peristiwa fiktif” kematian Ahmad bin Thoha Bin Yahya. Sedangkan pada 11Juni 1811, ekspedisi lnggris-lndia ke Jawa yang meliputi 9000 pasukan lndia-lnggris, 57 kapal angkut, 34 kapal tempur baru berlayar dari Malaka.
Dari penelusuran atas sumber-sumber otoritatif tentang kematian KRT Sumadiningrat ini, jelaslah bahwa sang panglima utama ini gugur pada Geger Sepehi, 20 Juni 1812 M. la lalu dima kamkan di Jejeran, Plered, Bantu I, Yogyakarta. Dengan demikian, melalui analisis panjang ini, jelas pula bahwa klaim KRT Sumadiningrat yang meninggal pada Geger Sepehi sebagai Ahmad bin Thoha Bin Yahya adalah kepa lsuan.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis identitas utama KRT Sumadiningrat dan Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya, disimpulkan bahwa keduanya merupakan sosok yang berbeda. KRT Sumadiningrat bukan Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya, dan sebaliknya. Demikian juga, KRT Sumadiningrat bukan Ahmad bin Thoha Bin Yahya, dan sebaliknya. Tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan bahwa KRT Sumadiningrat yang gugur dalam Pera ng Sepehi adalah Ahmad bin Thoha Bin Yahya. Oleh karena itu, narasi identitas Habib Hasan sebagai menantu Sultan Hamengkubuwono II, sebagai patih lebet, sebagai patih jero, sebagai sosok berjulukan singobarong, sebagai pembangun masjid di berbagai tempat di Jawa, dan perlawanannya terhadap penjajah atas nama Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, sebenarnya merupakan sejarah KRT Sumadiningrat, bukan Hasan bin Thoha Bin Yahya. Terakhir, berdasarkan sumber sejarah primer, makam KRT Sumadiningrat terletak di Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta, di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah, bukan di Semarang, Jawa Tengah.
REFERENSI
Agustriyanto, R. Sunu. ( 2018). Sarasilah Trah Kraton Ngayogyakarto lngkang Sumare Ing Makam Gunung Tambal Bantu/ (edisi ketiga). Bantul.
Arafat, M. Y. ( 2023, November 1). KRT Sumadiningrat Bukan Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya Semara ng. Tidak diterbitkan.
Carey, P. (1980). The Archive of Yogyakarta: Documents Relating to Politics and Internal Court Affairs . Oxford: Oxford University Press for the British Academy.
Carey, P. (2000). The Archive of Yogyakarta: Documents Relating to Economic and Agrarian Affairs (M. C. Hoadley, Ed.). Oxford: Oxford University Press.
Carey, P. (2008). The Power of Prophecy Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Leiden – Boston: BRILL. https://doi .org/10.11 63/9789067183031
Carey, P. (2017). lnggris di Jawa, 1811-1816. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Dajapertama, R. M. N., & Dirdjasoebrata, R. M. B. (n.d.). Serat “Radja-Poetra” (Babon Saking Swargi R.M. Toemenggung Sasrakoesoema Ing Kalasan-Ngajogyakarta. Surakarta: Drukkerij Melati Keprabon.
Fatimah, S. ( 2019). Peron Habib Hasan Bin Thoha (KRT. Sumodiningrat) do/am Melestarikan Tradisi Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Pada Maso Sultan Hamengku Buwono II, 1792-1819 M (Tesis). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
Habib Luthfi Menghadiri Haul Ha bib Hasan bin Thoha bin Yahya di Semarang. (2022, December 2). Haul Habib Hasan “Mutiara Terpendam Kata Semarang.” ( 2018, March 1).
lrawan, Y. (2019). Catatan Sejarah do/am Babad Sepehi. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Kuntowijoyo. ( 2021). Metodologi Sejarah (cetakan V; M. Yahya, Ed.). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mandoyokusumo, K. (1988). Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Museum Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Panular, P. A. (2019). Babad Ngengreng. Proceeding International Symposium on Javenese Studies and Manuscripts of Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pengajian Bisa Jadi Wahana Saling Mengingatka n. ( 2019, January 16).
Peringatan Maulid Nabi dan Haul KRT Sumodiningrat (Habib Hasan) bersama Habib Luthfi bin Yahya. ( 2021, December 18). Retrieved November 22, 2023, from MT Darul Hasyimi Jogja website:
https://www .youtube .com/watch?v=2BodybreA Q
Serat Salasilah Para Loeloehur ing Kadanoeredjan. (1899). Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Sejarah Ratu. (n.d.). Yogyakarta: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Singobarong? Habib Luthfi: Makna Haul dan Sejarah dari Syech Kramat Jati Tumenggung Sumodiningrat. ( 2018, March 6). Retrieved November 22, 2023, from MT Da rul Hasyimi Jogja website: https://www.youtube.com/watch?v=fTSrc9PVKJY
Singobarong! ! lnilah Manaqib Habib Hasan Bin Thoha Bin Yahya yang Jarang Diketahui. (2022, December 5). Retrieved November 22, 2023, from Jati Sumo Negoro website: https://www.youtube.com/watch?v=iKXk3APp jdo
Surat Kekancingan milik RM Sujatma, Nomor 26431, 21Mulud 1875 Alip/16 Maret 1944 M
Thorn, M. W. (1815). Memoir of the Conquest of Java with the Subsequent Operations of the British Forces in the Orient. London: Printed T. Egerton.