Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Bab Puasa Kitab Fathul Muin Terjemah

Bab Puasa Kitab Fathul Muin

Bab Puasa Kitab Fathul Muin terjemah

Daftar isi

  1. Bab Puasa
  2. Muslim Yang Wajib Puasa Ramadan
  3. Syarat Puasa: Tabyit (Niat di Waktu Malam)
  4. Niat Puasa yang Sempurna
  5. Hukum Berdahak secara Sengaja
  6. Hukum Orang Puasa yang Melakukan Hubungan Intim
  7. Orang Mati Punya Hutang Puasa
  8. Sunnahnya Puasa
  9. Tata Cara I’tikaf di Masjid
  10. Puasa Sunnah
  11. Hari yang Haram Puasa
  12. Kembali ke: Kitab Fathul Muin Terjemah

ﺑﺎﺏ ﺍﻟﺼﻮﻡ

ﻭﻫﻮ ﻟﻐﺔ : ﺍﻻﻣﺴﺎﻙ . ﻭﺷﺮﻋﺎ : ﺇﻣﺴﺎﻙ ﻋﻦ ﻣﻔﻄﺮ ﺑﺸﺮﻭﻃﻪ ﺍﻵﺗﻴﺔ . ﻭﻓﺮﺽ ﻓﻲ ﺷﻌﺒﺎﻥ، ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻬﺠﺮﺓ . ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺧﺼﺎﺋﺼﻨﺎ، ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ‏( ﻳﺠﺐ ﺻﻮﻡ ‏) ﺷﻬﺮ ‏( ﺭﻣﻀﺎﻥ‏) ﺇﺟﻤﺎﻋﺎ، ﺑﻜﻤﺎﻝ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ، ﺃﻭ ﺭﺅﻳﺔ ﻋﺪﻝ ﻭﺍﺣﺪ، ﻭﻟﻮ ﻣﺴﺘﻮﺭﺍ ﻫﻼﻟﻪ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻐﺮﻭﺏ، ﺇﺫﺍ ﺷﻬﺪ ﺑﻬﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ، ﻭﻟﻮ ﻣﻊ ﺇﻃﺒﺎﻕ ﻏﻴﻢ، ﺑﻠﻔﻆ : ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻧﻲ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻬﻼﻝ، ﺃﻭ ﺃﻧﻪ ﻫﻞ . ﻭﻻ ﻳﻜﻔﻲ : ﻗﻮﻟﻪ : ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻏﺪﺍ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ. ﻭﻻ ﻳﻘﺒﻞ ﻋﻠﻰ ﺷﻬﺎﺩﺗﻪ ﺇﻻ ﺑﺸﻬﺎﺩﺓ ﻋﺪﻟﻴﻦ، ﻭﺑﺜﺒﻮﺕ ﺭﺅﻳﺔ ﻫﻼﻝ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﺑﺸﻬﺎﺩﺓ ﻋﺪﻝ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻳﻪ ﻛﻤﺎ ﻣﺮ – ﻭﻣﻊ ﻗﻮﻟﻪ ﺛﺒﺖ ﻋﻨﺪﻱ : ﻳﺠﺐ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻤﻴﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﻤﺮﺋﻲ ﻓﻴﻪ، ﻭﻛﺎﻟﺜﺒﻮﺕ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ : ﺍﻟﺨﺒﺮ ﺍﻟﻤﺘﻮﺍﺗﺮ ﺑﺮﺅﻳﺘﻪ، ﻭﻟﻮ ﻣﻦ ﻛﻔﺎﺭ، ﻻﻓﺎﺩﺗﻪ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﻱ، ﻭﻇﻦ ﺩﺧﻮﻟﻪ ﺑﺎﻻﻣﺎﺭﺓ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺗﺘﺨﻠﻒ ﻋﺎﺩﺓ: – ﻛﺮﺅﻳﺔ ﺍﻟﻘﻨﺎﺩﻳﻞ ﺍﻟﻤﻌﻠﻘﺔ ﺑﺎﻟﻤﻨﺎﺋﺮ – ﻭﻳﻠﺰﻡ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﻭﺍﻟﻌﺒﺪ ﻭﺍﻻﻧﺜﻰ : ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﺮﺅﻳﺔ ﻧﻔﺴﻪ، ﻭﻛﺬﺍ ﻣﻦ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﺻﺪﻕ ﻧﺤﻮ ﻓﺎﺳﻖ ﻭﻣﺮﺍﻫﻖ ﻓﻲ ﺃﺧﺒﺎﺭﻩ ﺑﺮﺅﻳﺔ ﻧﻔﺴﻪ، ﺃﻭ ﺛﺒﻮﺗﻬﺎ ﻓﻲ ﺑﻠﺪ ﻣﺘﺤﺪ ﻣﻄﻠﻌﻪ


Bab Puasa
Menurut lughat/bahasa artinya “menahan”. Sedang menurut istilah syara’ adalah menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa dengan syarat-syarat yang dituturkan di bawah ini. Perintah-perintah mengerjakan puasa difardukan pada bulan Sya’ban tahun ke-2 Hijriah. Puasa itu sendiri termasuk kekhususan umat Islam,dan ma’lum dharuri (hukum Islam yang sudah diketahui oleh umum dan sudah tidak menerima interpretasi lagi, sebab dalilnya adalah “qad’iy-yah”. Sehingga orang yang menentang kewajiban puasa hukumnya kafir -pen). Secara ijmak, wajib mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan karena telah berakhir tanggal 30 Sya’ban atau terlihat tanggal 1 Ramadhan oleh seorang yang adil setelah terbenam matahari, sekalipun adilnya Mastur (orang yang tidak mengerjakan kefasikan dan belun ditazkiyahkan -pen). Penglihatan bulan tersebut sekalipun terjadi karena tertutup awan di langit.

Kewajiban tersebut jika memang ia telah mempersaksikan di depan Qadhi, bahwa ia telah melihatnya (syarat terakhir ini berkaitan dengan orang banyak/umum; kalau untuk dirinya sendiri atau orang yang telah membenarkannya, maka penyaksiannya tersebut tidak disyaratkan -pen). Penyaksian tersebut dengan: “Saya bersaksi, bahwa sungguh saya telah melihat hilal atau saya bersaksi bahwa sungguh hilal telah tampak”. Belum cukup jika dengan kata-kata: “Saya bersaksi, sungguh besok adalah bulan Ramadhan”.

Penyampaian syahadah (persaksian) tersebut tidak bisa diterima, kecuali disaksikan oleh dua orang yang adil. Setelah ada ketetapan hilal Ramadhan yang disaksikan oleh seorang yang adil di depan Qadhi, seperti keterangan yang lewat, dan Qadhi menetapkan melalui perkataannya: “Penglihatan hilal telah kuat di sisiku (atau aku telah menguatkan persaksiannya)”, maka wajiblah berpuasa bagi segenap penduduk yang hilal-nya telah tampak. Seperti halnya ketetapan Qadhi atas persaksian didepannya tersebut, adalah berita mutawatir, bahwa hilal telah tampak, sekalipun berita itu datang dari orang-orang kafir. Sebab, berita mutawatir itu dapat membawa pengetahuan yang dharuri (pasti, bukan rekayasa).

Begitu juga kekuatan hukum perkiraan, bahwa telah masuk Ramadhan dengan tanda-tanda cukup jelas, yang biasanya tidak keliru. Misalnya, dengan melihat lampu-lampu yang digantung di atas menara. Orang yang fasik, budak dan wanita wajib mengerjakan puasa sebab mereka sendiri melihat hilal. Begitu juga wajib beipuasa bagi orang yang mengiktikadkan kebenaran pembentaan orang fasik atau mura-hiq (orang yang mendekati akilbalig), bahwa mereka telah melihat hilal dengan mata kepala sendiri, atau bahwa hilal telah tampak di daerah lain, yang sama mathla’-nya (tempat munculnya hilal)

: – ﺳﻮﺍﺀ ﺃﻭﻝ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺁﺧﺮﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﺻﺢ ﻭﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ : ﺃﻥ ﻟﻪ – ﺑﻞ ﻋﻠﻴﻪ – ﺍﻋﺘﻤﺎﺩ ﺍﻟﻌﻼﻣﺎﺕ ﺑﺪﺧﻮﻝ ﺷﻮﺍﻝ، ﺇﺫﺍ ﺣﺼﻞ ﻟﻪ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺟﺎﺯﻡ ﺑﺼﺪﻗﻬﺎ ﻛﻤﺎ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ ﺷﻴﺨﺎﻧﺎ : ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﻭﺣﺠﺮ، ﻛﺠﻤﻊ ﻣﺤﻘﻘﻴﻦ ﻭﺇﺫﺍ ﺻﺎﻣﻮﺍ – ﻭﻟﻮ ﺑﺮﺅﻳﺔ ﻋﺪﻝ – ﺃﻓﻄﺮﻭﺍ ﺑﻌﺪ ﺛﻼﺛﻴﻦ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺮﻭﺍ ﺍﻟﻬﻼﻝ ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻏﻴﻢ، ﻟﻜﻤﺎﻝ ﺍﻟﻌﺪﺓ ﺑﺤﺠﺔ ﺷﺮﻋﻴﺔ . ﻭﻟﻮ ﺻﺎﻡ ﺑﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﻳﺜﻖ، ﺛﻢ ﻟﻢ ﻳﺮ ﺍﻟﻬﻼﻝ ﺑﻌﺪ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻣﻊ ﺍﻟﺼﺤﻮ : ﻟﻢ ﻳﺠﺰ ﻟﻪ ﺍﻟﻔﻄﺮ، ﻭﻟﻮ ﺭﺟﻊ ﺍﻟﺸﺎﻫﺪ ﺑﻌﺪ ﺷﺮﻭﻋﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻮﻡ: ﻟﻢ ﻳﺠﺰ ﻟﻬﻢ ﺍﻟﻔﻄﺮ . ﻭﺇﺫﺍ ﺛﺒﺖ ﺭﺅﻳﺘﻪ ﺑﺒﻠﺪ ﻟﺰﻡ ﺣﻜﻤﻪ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﻘﺮﻳﺐ – ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺒﻌﻴﺪ – ﻭﻳﺜﺒﺖ ﺍﻟﺒﻌﺪ ﺑﺎﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﻤﻄﺎﻟﻊ- ﻋﻠﻰ ﺍﻻﺻﺢ – ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﺎﺧﺘﻼﻓﻬﺎ : ﺃﻥ ﻳﺘﺒﺎﻋﺪ ﺍﻟﻤﺤﻼﻥ – ﺑﺤﻴﺚ ﻟﻮ ﺭﺅﻱ ﻓﻲ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﻟﻢ ﻳﺮ ﻓﻲ ﺍﻵﺧﺮ ﻏﺎﻟﺒﺎ، ﻗﺎﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻻﻧﻮﺍﺭ . ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺘﺎﺝ ﺍﻟﺘﺒﺮﻳﺰﻱ – ﻭﺃﻗﺮﻩ ﻏﻴﺮﻩ :- ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﺍﺧﺘﻼﻓﻬﺎ ﻓﻲ ﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻓﺮﺳﺨﺎ . ﻭﻧﺒﻪ ﺍﻟﺴﺒﻜﻲ – ﻭﺗﺒﻌﻪ ﻏﻴﺮﻩ :- ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺅﻳﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﻐﺮﺑﻲ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻋﻜﺲ، ﺇﺫ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻼﺩ ﺍﻟﺸﺮﻗﻴﺔ ﻗﺒﻞ . ﻭﻗﻀﻴﺔ ﻛﻼﻣﻬﻢ ﺃﻧﻪ ﻣﺘﻰ ﺭﺅﻱ ﻓﻲ ﺷﺮﻗﻲ : ﻟﺰﻡ ﻛﻞ ﻏﺮﺑﻲ – ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻴﻪ – ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﺘﻠﻚ ﺍﻟﺮﺅﻳﺔ، ﻭﺇﻥ ﺍﺧﺘﻠﻔﺖ ﺍﻟﻤﻄﺎﻟﻊ .

Kewajiban yang berpangkal dari pemberitaan orang fasik dan seterus- nya, adalah meliputi hubungannya dengan awal ataupun akhir, demi- kianlah menurut pendapat AlAshah. Menurut pendapat yang Muktamad: Hendaklah -bahkan wajib- bagi seseorang berpedoman dengan tanda-tanda masuk bulan Syawal, jika ia meyakini kebenaran tanda-tanda itu, sebagaimana difatwakan oleh dua Guru kita, Ibnu Ziyad dan Ibnu Hajar (Al-Hąitami), begitu juga pendapat segolongan ulama Muhaqqiqin. Apabila penduduk daerah yang ada ketetapan awal Ramadhan berpuasa, sekalipun berdasarkan dengan ru’yah seorang adil, maka setelah 30 hari mereka wajib tidak berpuasa, sekalipun mereka tidak melihat tanggal 1 Syawal, serta tidak ada awan di langit, sebab telah sempuma bilangan satu bulan berdasarkan Hujah Syar’iyah. Jika seseorang melakukan puasa berdasarkan ucapan orang yang dipercayai, lalu setelah 30 hari ia tidak melihat tanggal 1 Syawal, padahal cuaca dalam keadaan bersih, maka ia tidak boleh berbuka (berhari raya). Jika saksi ru’yah mencabut persaksiannya setelah orang-orang berpuasa, maka mereka tidak boleh mencabut puasanya (berbuka kembali).

Jika ru’yah telah terjadi di suatu daerah, maka hukumnya ber laku bagi daerah yang berdekatan dengan-nya, bukan daerah yang jauh, ketetapan daerah yang jauh itu berdasarkan perbedaan mathla’-mathla’nya menurut qaul ashoh, yang dimaksud dengan perbedaan mathla’ ialah bahwasanya jauhnya dua daerah/tempat dengan sekiranya bila disalah satunya bisa melihat hilal maka didaerah satunya yang lain belum bisa melihat hilal menurut kebiasaan, itu yang dikatakan imam ardabil dalam kitab Anwar. Berkata syeh Taj at tibrizi dan ditetapkan perkataannya oleh ulama lainnya bahwa : tidak mungkin ada perbedaan mathla’ didaerah yang jaraknya lebih dekat dari 24 farsakh. Imam subki dan lainya turut serta, mengingatkan , bahwa sudah barang tentu kalau daerah timur bisa melihat hilal maka daerah barat lebih-lebih, dan tidak sebaliknya, karena malam itu masuk didaerah timur sebelum daerah barat, ketentuan kalamnya imam subki dan yang mengikutinya bahwa bila ru’yah bisa dilihat di daerah timur, maka selurah daerah barat dengan disandarkan daerah timur melakukan sesuatu yang berkaitan dengan ru’yah itu, akan bisa melihat hilal, sekalipun berlainan mathla’nya.

Muslim Yang Wajib Puasa Ramadan

ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﺠﺐ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ‏(ﻋﻠﻰ ‏) ﻛﻞ ﻣﻜﻠﻒ – ﺃﻱ ﺑﺎﻟﻎ – ﻋﺎﻗﻞ، ‏( ﻣﻄﻴﻖ ﻟﻪ‏) ﺃﻱ ﻟﻠﺼﻮﻡ ﺣﺴﺎ، ﻭﺷﺮﻋﺎ، ﻓﻼ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﺻﺒﻲ، ﻭﻣﺠﻨﻮﻥ، ﻭﻻ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻻ ﻳﻄﻴﻘﻪ – ﻟﻜﺒﺮ، ﺃﻭ ﻣﺮﺽ ﻻ ﻳﺮﺟﻰ ﺑﺮﺅﻩ، ﻭﻳﻠﺰﻣﻪ ﻣﺪ ﻟﻜﻞ ﻳﻮﻡ : ﻭﻻ ﻋﻠﻰ ﺣﺎﺋﺾ، ﻭﻧﻔﺴﺎﺀ، ﻻﻧﻬﻤﺎ ﻻ ﺗﻄﻴﻘﺎﻥ ﺷﺮﻋﺎ . ‏( ﻭﻓﺮﺿﻪ‏) ﺃﻱ ﺍﻟﺼﻮﻡ ‏(ﻧﻴﺔ ‏) ﺑﺎﻟﻘﻠﺐ، ﻭﻻ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﺍﻟﺘﻠﻔﻆ ﺑﻬﺎ، ﺑﻞ ﻳﻨﺪﺏ، ﻭﻻ ﻳﺠﺰﺉ ﻋﻨﻬﺎ ﺍﻟﺘﺴﺤﺮ – ﻭﺇﻥ ﻗﺼﺪ ﺑﻪ ﺍﻟﺘﻘﻮﻱ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻮﻡ – ﻭﻻ ﺍﻻﻣﺘﻨﺎﻉ ﻣﻦ ﺗﻨﺎﻭﻝ ﻣﻔﻄﺮ، ﺧﻮﻑ ﺍﻟﻔﺠﺮ، ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺨﻄﺮ ﺑﺒﺎﻟﻪ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﺑﺎﻟﺼﻔﺎﺕ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﺘﻌﺮﺽ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻴﺔ ‏( ﻟﻜﻞ ﻳﻮﻡ‏) : ﻓﻠﻮ ﻧﻮﻯ ﺃﻭﻝ ﻟﻴﻠﺔ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺻﻮﻡ ﺟﻤﻴﻌﻪ : ﻟﻢ ﻳﻜﻒ ﻟﻐﻴﺮ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻻﻭﻝ . ﻗﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ : ﻟﻜﻦ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺫﻟﻚ، ﻟﻴﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻧﺴﻲ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﻓﻴﻪ ﻋﻨﺪ ﻣﺎﻟﻚ، ﻛﻤﺎ ﺗﺴﻦ ﻟﻪ ﺃﻭﻝ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻧﺴﻴﻬﺎ ﻓﻴﻪ، ﻟﻴﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﺻﻮﻣﻪ ﻋﻨﺪ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ . ﻭﻭﺍﺿﺢ ﺃﻥ ﻣﺤﻠﻪ : ﺇﻥ ﻗﻠﺪ، ﻭﺇﻻ ﻛﺎﻥ ﻣﺘﻠﺒﺴﺎ ﺑﻌﺒﺎﺩﺓ ﻓﺎﺳﺪﺓ ﻓﻲ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻩ

Puasa Ramadhan itu hanya diwajibkan pada setiap orang Mukallaf, – yaitu balig yang berakal sehat – yang akan mampu melakukannya, secara kenyataan dan syara’. Karena itu, tidak diwajibkan berpuasa bagi anak kecil, orang gila dan orang yang tidak mampu melakukannya, karena ‘telah lanjut usia atau sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Adapun bagi orang yang tidak kuat ini, terkena kewajiban membayar satu mud untuk setiapliari puasa; Tidak diwajibkan membayar mud bagi wanita yang sedang haid atau nifas, sebab secara syarak mereka dianggap mampu. Fardu puasa adalah Niat di dałam hati. Mengucapkan niat tidaklah menjadi syarat, tapi cuma sunah. Makan sahur belum dianggap mencukupi sebagai niat, sekalipun dimaksudkan untuk kekuatan berpuasa. Begitu juga dengan perbuatan menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa, karena khawatir jangan-jangan telah masuk fajar, selagi belum tergores di dalam hati untuk berpuasa dengan sifat-sifat yang wajib dinyatakan (ta’anudh) dałam bemiat.

Niat itu harus dilakukan setiap hari berpuasa. Karena itu, jika seseorang berniat puasa pada malam pertama Ramadhan untuk satu bulan penuh, maka dianggap bełum mencukupi untuk selain hari pertama. Guru kita berkata: Tapi hal itu sebaik- nya dilakukan, agar padahari dimana seseorang lupa berniat di malamnya tetap berhasil puasanya menurut Imam Malik (sebab beliau berkata, bahwa niat puasa tidak diwajibkan untuk tiap-tiap malam-pen). Sebagaimana disunah berniat di pagi hari bagi seseorang yang lupa berniat di malam harinya, agar tetap berhasil puasanya menurut Imam Abu Hanifah. Sudah jelas, bahwa keberhasilan puasa dałam hal itu adalah bagi orang yang bertaklid (kepada Imam Malik dan Imam Abu Hanifah), kalau tidak, maka ia berarti mencampur-adukkan ibadah yang fasad menurut iktikadnya sendiri (hal ini hukumnya haram -pen)

Syarat Puasa: Tabyit (Niat di Waktu Malam)

‏( ﻭﺷﺮﻁ ﻟﻔﺮﺿﻪ ‏) ﺃﻱ ﺍﻟﺼﻮﻡ – ﻭﻟﻮ ﻧﺬﺭﺍ، ﺃﻭ ﻛﻔﺎﺭﺓ، ﺃﻭ ﺻﻮﻡ ﺍﺳﺘﺴﻘﺎﺀ ﺃﻣﺮ ﺑﻪ ﺍﻻﻣﺎﻡ – ‏(ﺗﺒﻴﻴﺖ‏) ﺃﻱ ﺇﻳﻘﺎﻉ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﻟﻴﻼ : ﺃﻱ ﻓﻴﻤﺎ ﻏﺮﻭﺏ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻭﻃﻠﻮﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮ، ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﻤﻤﻴﺰ . ﻗﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ : ﻭﻟﻮ ﺷﻚ – ﻫﻞ ﻭﻗﻌﺖ ﻧﻴﺘﻪ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺃﻭ ﺑﻌﺪﻩ ؟ ﻟﻢ ﺗﺼﺢ، ﻻﻥ ﺍﻻﺻﻞ ﻋﺪﻡ ﻭﻗﻮﻋﻬﺎ ﻟﻴﻼ، ﺇﺫ ﺍﻻﺻﻞ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺣﺎﺩﺙ ﺗﻘﺪﻳﺮﻩ ﺑﺄﻗﺮﺏ ﺯﻣﻦ – ﺑﺨﻼﻑ ﻣﺎ ﻟﻮ ﻧﻮﻯ ﺛﻢ ﺷﻚ : ﻫﻞ ﻃﻠﻊ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﺃﻭ ﻻ ؟ ﻻﻥ ﺍﻻﺻﻞ ﻋﺪﻡ ﻃﻠﻮﻋﻪ، ﻟﻼﺻﻞ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﺃﻳﻀﺎ . ﺍﻧﺘﻬﻰ . ﻭﻻ ﻳﺒﻄﻠﻬﺎ ﻧﺤﻮ ﺃﻛﻞ ﻭﺟﻤﺎﻉ ﺑﻌﺪﻫﺎ ﻭﻗﺒﻞ ﺍﻟﻔﺠﺮ . ﻧﻌﻢ، ﻟﻮ ﻗﻄﻌﻬﺎ ﻗﺒﻠﻪ، ﺍﺣﺘﺎﺝ ﻟﺘﺠﺪﻳﺪﻫﺎ ﻗﻄﻌﺎ . ‏( ﻭﺗﻌﻴﻴﻦ ‏) ﻟﻤﻨﻮﻱ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻛﺮﻣﻀﺎﻥ، ﺃﻭ ﻧﺬﺭ ﺃﻭ ﻛﻔﺎﺭﺓ – ﺑﺄﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻛﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﺃﻧﻪ ﺻﺎﺋﻢ ﻏﺪﺍ ﻋﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﺃﻭ ﺍﻟﻨﺬﺭ، ﺃﻭ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭﺓ – ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻌﻴﻦ ﺳﺒﺒﻬﺎ . ﻓﻠﻮ ﻧﻮﻯ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻋﻦ ﻓﺮﺿﻪ، ﺃﻭ ﻓﺮﺽ ﻭﻗﺘﻪ : ﻟﻢ ﻳﻜﻒ . ﻧﻌﻢ، ﻣﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﻀﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻧﻴﻦ، ﺃﻭ ﻧﺬﺭ، ﺃﻭ ﻛﻔﺎﺭ ﻣﻦ ﺟﻬﺎﺕ ﻣﺨﺘﻠﻔﺔ: ﻟﻢ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﺍﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﻻﺗﺤﺎﺩ ﺍﻟﺠﻨﺲ .

Untuk puasa fardu sekalipun puasa nazar, membayar kafarat atau juga puasa yang diperintahkan oleh imam ketika akan sałat Istisqa’ disyaratkan Tabyit, yaitu meletakkan niat di malam hari antara terbenam matahari hingga terbit fajar, sekalipun puasa itu dilakukan oleh anak Mumayiz. Guru kita berkata: Jika seseorang meragukan atas terjadinya niat sebelum atau sesudah fajar, maka niatnya dihukumi tidak sah, sebab pada dasamya niat tidak terjadi di malam hari. Sebab, dasar segala hal yang terjadi itu diperkirakan pada masa terdekat. Lain halnya apabila ia sudah berniat puasa, lalu meragukan: “Sudah terbit fajar atau belum ketika berniat”, karena pada dasarnya fajar itu belum terbit; pijakannya adalah “ashal yang telah tersebutkan di atas” -habis- (Perbedaan dua masalah di atas: Kalau pada contoh/ masalah pertama keraguan terjadi setelah nyata-nyata terbit fajar, sedang pada contoh kedua, keraguan terjadi sebelum nyata-nyata terbit fajar -pen).

Semacam makan dan persetubuhan yang dilakukan setelah niat dan sebelum terbit fajar, adalah tidak membatalkan niat. Memang, tapi jika niat tersebut telah ia rusak sebelum terbit fajar, maka dengan pasti membutuhkan perbaikan kembali. Disyaratkan dałam puasa fardu, yaitu Ta’yin (menentukan), misalnya berniat puasa “Ramadhan, nazar atau kafarat”. Yaitu dengan cara setiap malam berniat, bahwa besok akan melakukan puasa Ramadhan, nażar atau kafarat, sekalipun tidak menyatakan sebab kafarat. Karena itu, jika seseorąng berniat fardu puasa atau kefarduan waktu, maka belum dianggap cukup. Memang, tapi jika seseorang mempunyai tanggungan qadha Ramadhan dua kali, nazar atau kafarat, yang keduanya dari berbagai sebab, maka Ta’yin tidak disyaratkan, karena kewajiban-kewajiban di sini adalah tunggal jenisnya (yaitu kemutlakan Ramadhan, nazar atau kafarat -pen).

ﻭﺍﺣﺘﺮﺯ ﺑﺎﺷﺘﺮﺍﻁ ﺍﻟﺘﺒﻴﻴﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻔﻞ، ﻓﺘﺼﺢ ﻓﻴﻪ – ﻭﻟﻮ ﻣﺆﻗﺘﺎ – ﺍﻟﻨﻴﺔ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺰﻭﺍﻝ : ﻟﻠﺨﺒﺮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ، ﻭﺑﺎﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻨﻔﻞ ﺃﻳﻀﺎ، ﻓﻴﺼﺢ – ﻭﻟﻮ ﻣﺆﻗﺘﺎ – ﺑﻨﻴﺔ ﻣﻄﻠﻘﺔ – ﻛﻤﺎ ﺍﻋﺘﻤﺪﻩ ﻏﻴﺮ ﻭﺍﺣﺪ . ﻧﻌﻢ، ﺑﺤﺚ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺍﺷﺘﺮﺍﻁ ﺍﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻭﺍﺗﺐ ﻛﻌﺮﻓﺔ ﻭﻣﺎ ﻣﻌﻬﺎ ﻓﻼ ﻳﺤﺼﻞ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﻌﻬﺎ، ﻭﺇﻥ ﻧﻮﻯ، ﺑﻞ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ – ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻻﺳﻨﻮﻱ – ﺃﻥ ﻧﻴﺘﻬﻤﺎ ﻣﺒﻄﻠﺔ، ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﻧﻮﻯ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻭﺳﻨﺘﻪ، ﺃﻭ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻭﺳﻨﺔ ﺍﻟﻌﺼﺮ – ﻓﺄﻗﻞ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﺍﻟﻤﺠﺰﺋﺔ: ﻧﻮﻳﺖ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﻟﻮ ﺑﺪﻭﻥ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ – ﻛﻤﺎ ﺻﺤﺤﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ، ﺗﺒﻌﺎ ﻟﻼﻛﺜﺮﻳﻦ، ﻻﻥ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﻻ ﻳﻘﻊ ﺇﻻ ﻓﺮﺿﺎ . ﻭﻣﻘﺘﻀﻰ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﺮﻭﺿﺔ ﻭﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ ﻭﺟﻮﺑﻪ، ﺃﻭ ﺑﻼ ﻏﺪ – ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺨﺎﻥ – ﻻﻥ ﻟﻔﻆ ﺍﻟﻐﺪ، ﺍﺷﺘﻬﺮ ﻓﻲ ﻛﻼﻣﻬﻢ ﻓﻲ ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﻭﻫﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺣﺪ ﺍﻟﺘﻌﻴﻴﻦ، ﻓﻼ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﺘﻌﺮﺽ ﻟﻪ ﺑﺨﺼﻮﺻﻪ، ﺑﻞ ﻳﻜﻔﻲ ﺩﺧﻮﻟﻪ ﻓﻲ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺍﻟﻤﻨﻮﻱ ﻟﺤﺼﻮﻝ ﺍﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﺣﻴﻨﺌﺬ، ﻟﻜﻦ ﻗﻀﻴﺔ ﻛﻼﻡ ﺷﻴﺨﻨﺎ – ﻛﺎﻟﻤﺰﺟﺪ :- ﻭﺟﻮﺑﻪ

Dikecualikan dari syarat Tabyit dalam puasa fardu, jika puasa itu adalah sunah. Karena itu, puasa sunah, sekalipun yang ditentukan waktunya, tetap niatnya dilakukan sebelum tergelincir matahari, demikian ini berdasarkan hadis sahih. Dengan adanya syarat Ta’yin pada puasa fardu, maka pada puasa sunah tidak menjadi syarat juga. Karena itu, puasa sunah, sekalipun ditentukan oleh waktu, adalah sah niatnya tanpa Ta’yin, sebagaimana pedoman yang tidak hanya dipegang satu ulama saja. Memang, tapi Imam An-Nawawi dałam kitab Al-Majmu’ membahas syarat Ta’yin dałam puasa Rawatib, misalnya hari Arafah dan yang bergandingan dengannya; Maka puasa qadha, nazar atau kafarat tidak bisa berhasil bersama puasa Rawatib, sekalipun telah diniatkan. Bahkan yang sesuai dengan kias, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Asnawi, bahwa niat sekaligus dua puasa seperti dałam masalah di atas, adałah batal.

Hal ini sama dengan masalah orang niat sałat Zhuhur serta sałat sunahnya, atau sałat Zhuhur dengan sunah Asar. Minimal niat yang dapat mencukupi dałam puasa: Aku niat berpuasa Ramadhan, sekalipun tanpa menyebutkan “fardu”, menurut pendapat Al-Muktamad, sebagaimana penyahihan Imam An-Nawawi dałam Al-Majmu’, yang mengikuti pendapat kebanyakan ulama. Sebab, puasa Ramadhan yang dilakukan oleh orang balig itu mesti fardu. Kesimpulan pembicaraan Ar-Rau-dhah dan Al-Minhaj, menyebutkan fardu itu adałah wajib. Begitu juga, niat telah mencukupi tanpa menyebutkan “besokhari”. Kedua guru kita (Imam Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) berkata: Lafal “besokhari” itu sudah masyhur dalam pembicaraan ulama, dałam menafsiri Ta’yin. Pada hakikatnya, penyebutan “besok hari” itu bukanlah termasuk batas ta’yin, karena itu, tidak wajib dijelas-kan secara khusus, tetapi justru sudah telah tercakup maknanya dałam niat puasa, di mana penyebutan bulan sudah ada; Sebab, sudah berhasil ta’yin manakala disebutkan bulannya (Ramadhan). Akan tetapi kesimpulan pembicaraan Guru kita, seperti juga Imam Al-Muzjad, bahwa menyebutkan “besok hari” adalah wajib

Niat Puasa yang Sempurna

‏( ﻭﺃﻛﻤﻠﻬﺎ‏) ﺃﻱ ﺍﻟﻨﻴﺔ : ‏( ﻧﻮﻳﺖ ﺻﻮﻡ ﻏﺪ ﻋﻦ ﺃﺩﺍﺀ ﻓﺮﺽ ﺭﻣﻀﺎﻥ ‏) ﺑﺎﻟﺠﺮ ﻻﺿﺎﻓﺘﻪ ﻟﻤﺎ ﺑﻌﺪﻩ ‏( ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ‏) ﻟﺼﺤﺔ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺍﺗﻔﺎﻗﺎ، ﻭﺑﺤﺚ ﺍﻻﺫﺭﻋﻲ ﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺜﻞ ﺍﻻﺩﺍﺀ ﻛﻘﻀﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻗﺒﻠﻪ : ﻟﺰﻣﻪ ﺍﻟﺘﻌﺮﺽ ﻟﻼﺩﺍﺀ، ﺃﻭ ﺗﻌﻴﻴﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ‏(ﻭﻳﻔﻄﺮ ﻋﺎﻣﺪ‏) ﻻﻧﺎﺱ ﻟﻠﺼﻮﻡ، ﻭﺇﻥ ﻛﺜﺮ ﻣﻨﻪ ﻧﺤﻮ ﺟﻤﺎﻉ ﻭﺃﻛﻞ ‏( ﻋﺎﻟﻢ‏) ﻻ ﺟﺎﻫﻞ، ﺑﺄﻥ ﻣﺎ ﺗﻌﺎﻃﺎﻩ ﻣﻔﻄﺮ ﻟﻘﺮﺏ ﺇﺳﻼﻣﻪ، ﺃﻭ ﻧﺸﺌﻪ ﺑﺒﺎﺩﻳﺔ ﺑﻌﻴﺪﺓ ﻋﻤﻦ ﻳﻌﺮﻑ ﺫﻟﻚ ‏(ﻣﺨﺘﺎﺭ ‏)، ﻻ ﻣﻜﺮﻩ ﻟﻢ ﻳﺤﺼﻞ ﻣﻨﻪ ﻗﺼﺪ، ﻭﻻ ﻓﻜﺮ، ﻭﻻ ﺗﻠﺬﺫ ‏( ﺑﺠﻤﺎﻉ‏) ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﺰﻝ ‏(ﻭﺍﺳﺘﻤﻨﺎﺀ ‏) ﻭﻟﻮ ﺑﻴﺪﻩ ﺃﻭ ﺑﻴﺪ ﺣﻠﻴﻠﺘﻪ، ﺃﻭ ﺑﻠﻤﺲ ﻟﻤﺎ ﻳﻨﻘﺾ ﻟﻤﺴﻪ ﺑﻼ ﺣﺎﺋﻞ ‏(ﻻ ﺑ ‏) – ﻗﺒﻠﺔ ﻭ ‏(ﺿﻢ ‏) ﻻﻣﺮﺃﺓ ‏(ﺑﺤﺎﺋﻞ‏) : ﺃﻱ ﻣﻌﻪ، ﻭﺇﻥ ﺗﻜﺮﺭ ﺑﺸﻬﻮﺓ، ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺤﺎﺋﻞ ﺭﻗﻴﻘﺎ، ﻓﻠﻮ ﺿﻢ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺃﻭ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﺑﻼ ﻣﻼﻣﺴﺔ ﺑﺪﻥ ﺑﻼ ﺑﺤﺎﺋﻞ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﺄﻧﺰﻝ: ﻟﻢ ﻳﻔﻄﺮ، ﻻﻧﺘﻔﺎﺀ ﺍﻟﻤﺒﺎﺷﺮﺓ – ﻛﺎﻻﺣﺘﻼﻡ . ﻭﺍﻻﻧﺰﺍﻝ ﺑﻨﻈﺮ ﻭﻓﻜﺮ، ﻭﻟﻮ ﻟﻤﺲ ﻣﺤﺮﻣﺎ ﺃﻭ ﺷﻌﺮ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻓﺄﻧﺰﻝ : ﻟﻢ ﻳﻔﻄﺮ – ﻟﻌﺪﻡ ﺍﻟﻨﻘﺾ ﺑﻪ . ﻭﻻ ﻳﻔﻄﺮ ﺑﺨﺮﻭﺝ ﻣﺬﻱ: ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻠﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ‏(ﻭﺍﺳﺘﻘﺎﺀﺓ‏) ﺃﻱ ﺍﺳﺘﺪﻋﺎﺀ ﻗﺊ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻌﺪ ﻣﻨﻪ ﺷﺊ ﻟﺠﻮﻓﻪ : ﺑﺄﻥ ﺗﻘﻴﺄ ﻣﻨﻜﺴﺎ ﺃﻭ ﻋﺎﺩ ﺑﻐﻴﺮ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭﻩ، ﻓﻬﻮ ﻣﻔﻄﺮ ﻟﻌﻴﻨﻪ، ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻏﻠﺒﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﻌﺪ ﻣﻨﻪ – ﺃﻭ ﻣﻦ ﺭﻳﻘﻪ ﺍﻟﻤﺘﻨﺠﺲ ﺑﻪ – ﺷﺊ ﺇﻟﻰ ﺟﻮﻓﻪ ﺑﻌﺪ ﻭﺻﻮﻟﻪ ﻟﺤﺪ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ، ﺃﻭ ﻋﺎﺩ ﺑﻐﻴﺮ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭﻩ: ﻓﻼ ﻳﻔﻄﺮ ﺑﻪ – ﻟﻠﺨﺒﺮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺑﺬﻟﻚ.

Niat yang paling sempuma adalah “Saya niat berpuasa besok hari, sebagai penunaian fardu Ramadhan tahun ini, karena Allah Ta’ala”. Lafal Ramadhan adalah dibaca jar, karenadiidhafatkan pada lafal setelahnya.Secara sepakat, bahwa niat seperti di atas adalah sah. Imam Al-Adzra’i membahas, bahwa jika seseorang masih mempunyai tanggungan puasa seperti yang akan dikerjakannya, misalnya qadha Ramadhan sebelumnya, maka hukumnya wajib menjelaskan tunai atau ta’yin tahun mana yang dimaksudkan. Perkara-perkara yang Mem-batalkan Puasa Adalah batal puasa orang yang sengaja mengerjakan:

1. Semacam jimak atau makan, bukan yang sedang lupa, bahwa ia sedang berpuasa, sekalipun jimak, makan dan sesamanya yang dilakukan adalah banyak. Orang tersebut mengerti, bahwa hal itu membatalkan puasa; lain halnya jika ia tidak mengerti, bahwa yang dikerjakan itu dapat membatalkannya, karena baru saja mengenal Islam atau hidupnya di hutan belantara yang jauh dari orang yang mengetahui hal itu. Orang tersebut dałam keadaan bebas, bukan orang yang dipaksa, dan apa yang dilakukan bukan merupakan maksud hati dan pikirannya, serta tidak enak-enak dengan yang dilakukannya. Batal puasa sebab melakukan jimak.

2. Melakukan onani, sekalipun dengan tangan sendiri atau iśtri/ wanita amatnya, atau dengan persentuhan tanpa tabir yang dapat membatalkan puasa. Puasa tidak batal sebab mencium atau memukul wanita dengan bertabir, sekalipun berulang kali, syahwat dan tabirnya tipis ,Karena itu, jika laki-laki merangkui atau mencium wanita tanpa terjadi persentuhan badan, karena ada tabir yang menghalangi keduanya, lalu mengeluarkan sperma, maka puasa tidak batal, sebagaimana keluar sebab bermimpi di waktu tidur atau keluar mani sebab pandangan atau melamun. Jika seorang laki-laki menyentuh wanita mahramnya atau rambut seorang wanita, lalu keluariah sperma, maka puasanya trdak batal, sebab wudu tidak batal sebab hal itu. Keluar air madzi tidak membatalkan puasa, lainhalnya dengan pendapat ulama-ulama Malikiyah.

3. Sengaja bermuntah-muntah, walaupun tidak sedikit pun muntah yang kembali masuk perutnya, misalnya ta sengaja membuat muntah dengan cara menungging; Kala ada yang masuk ke perut dengan sengaja, maka puasanya menjadi batal, sebab kesengajaannya memuntah itu sendiri sudah membatalkan. Adapun bila muntah itu terjadi tanpa bisa diatasi lagi (ditahan), serta tidak ada yang masuk ke perut atau tidak ada air iudah yang terkena najis sebab bercampur muntah itu kembali setelah melewati batas daerah luar (tidak ada muntahan yang kembali ke perut sama sekali, ątau ada yang kembali, tapi sebelum muntah itu melewati daerah luar -pen), atau ada yang masuk, tapi tanpa diusahakan (terpaksa), maka puasa dałam keadaan yang seperti itu tidak batal. Hal ini berdasarkan hadis sahih.

Hukum Berdahak secara Sengaja

‏(ﻻ ﺑﻘﻠﻊ ﻧﺨﺎﻣﺔ‏) ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺎﻃﻦ ﺃﻭ ﺍﻟﺪﻣﺎﻍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ، ﻓﻼ ﻳﻔﻄﺮ ﺑﻪ ﺇﻥ ﻟﻘﻄﻬﺎ ﻟﺘﻜﺮﺭ ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ ﺇﻟﻴﻪ، ﺃﻣﺎ ﻟﻮ ﺍﺑﺘﻠﻌﻬﺎ ﻣﻊ ﺍﻟﻘﺪﺭﺓ ﻋﻠﻰ ﻟﻔﻈﻬﺎ ﺑﻌﺪ ﻭﺻﻮﻟﻬﺎ ﻟﺤﺪ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ – ﻭﻫﻮ ﻣﺨﺮﺝ ﺍﻟﺤﺎﺀ ﺍﻟﻤﻬﻤﻠﺔ – ﻓﻴﻔﻄﺮ ﻗﻄﻌﺎ . ﻭﻟﻮ ﺩﺧﻠﺖ ﺫﺑﺎﺑﺔ ﺟﻮﻓﻪ : ﺃﻓﻄﺮ ﺑﺈﺧﺮﺍﺟﻬﺎ ﻣﻄﻠﻘﺎ، ﻭﺟﺎﺯ ﻟﻪ – ﺇﻥ ﺿﺮﻩ – ﺑﻘﺎﻭﻫﺎ ﻣﻊ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ : ﻛﻤﺎ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ ﺷﻴﺨﻨﺎ ‏( ﻭ ‏) ﻳﻔﻄﺮ ‏(ﺑﺪﺧﻮﻝ ﻋﻴﻦ‏) ﻭﺇﻥ ﻗﻠﺖ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻳﺴﻤﻰ ‏( ﺟﻮﻓﺎ‏): أي جوف من مر: كباطن أذن وإحليل وهو مخرج بول ولبن وإن لم يجاوز الحشفة أو الحلمة. ووصول أصبع المستنجية إلى وراء ما يظهر من فرجها عند جلوسها على قدميها: مفطر وكذا وصول بعض الأنملة إلى المسربة كذا أطلقه القاضي وقيده السبكي بما إذا وصل شيء منها إلى المحل المجوف منها بخلاف أولها المنطبق فإنه لا يسمى جوفا. وألحق به أول الإحليل الذي يظهر عند تحريكه بل أولى. قال ولده: وقول القاضي: الاحتياط أن يتغوط بالليل: مراده أن إيقاعه فيه خير منه في النهار لئلا يصل شيء إلى جوف مسربته لا أنه يؤمر بتأخيره إلى الليل لان أحدا لا يؤمر بمضرة في بدنه. ولو خرجت مقعدة مبسور: لم يفطر بعودها وكذا إن أعادها بأصبعه لاضطراره إليه. ومنه يؤخذ كما قال شيخنا أنه لو اضطر لدخول الإصبع إلى الباطن لم يفطر وإلا أفطر وصول الإصبع إليه.

—-
1 قال الشيخ السيد البكري رحمه الله وفي بعض نسخ الخط وتعيين بالواو وهو الموافق لما في التحفة لكن عليه تكون الواو بمعنى أو كما هو الظاهر لأن أحدهما كاف في حصول التمييز. انتهى.

وخرج بالعين: الأثر كوصول الطعم بالذوق إلى حلقه.

Puasa tidak batal sebab sengaja mengeluarkan lendir dahak perut atau dahak otak ke daerah luar, jika dikeluarkannya karena keadaan membutuhkan untuk berbuat demikian. Adapun jika lendir itu setelah sampai ke daerah luar, lalu ditelan lagi, padahal ia mampu untuk mendahakkannya, maka secara pasti puasanya menjadi batal. Batas daerah luar adalah makhraj huruf kha’. Jika ada lalat masuk ke perut orang yang berpuasa, maka secara mutlak (baik akan membahayakan atau tidak dengan keberadaan lalat tersebut di dałam perut -pen) dengan mengeluarkaimya kembali mengakibatkan puasanya menjadi batal; ia diperboiehkan mengeluarkan lalat tersebut, jika dengan teiapnya di dałam perut mengakibatkan bahaya, serta ia wajib mengąadha puasanya. Demikian menurut fatwa Guru kita.

4. Kemasukan benda yang tampak (bukan udara), sekalipun hanya sedikit -ke dałam bagian yang disebut jauf (rongga dałam) orang yang tersebutkan di atas (sengaja, tahu hnkumnya dan tidak terpaksa). Contohnya ke dałam rongga perut, hidung, saluran air kemih atau air susu, sekalipun tanpa melewati kepala zakar atau punting susu. Sampainya jari wanita di kala istinja hingga melewati bagian vagina yang tampak ketika dałam posisi jongkok, adalah membatalkan puasa; Demikian juga dengan sampainya sebagian ujung jari hingga mencapai otot lingkar. Begitulah yang dimutlakkan oleh Imam Al-Qadhi Husen. Imam As-Subki membatasi, bahwa membatalkan puasa adalah sampai nya sebagian ujung jari ke otot lingkar ( masrabah ) yang berongga. Lain halnya dengan sampai pada bagian depannya yang mengatup. maka tidak bisa disebut jauf; ia menyamakan hukum bagian depan masrabah dengan bagian depan saluran air kemih laki-laki ketika digerakkan, malah masalah saluran air kemih mi lebih tidak membatalkan puasa.

Putra Imam As-Subki berkata: Perkataan Imam Al-Qadhi “untuk lebih hati-hati, hendaknya buang air besar di malam hari”, maksudnya: melakukannya di malam hari adalah lebih utama daripada di siang hari, agar tiada sesuatu yang masuk ke masrabahnya; bukan berarti diperintah mengakhirkan berak sampai malam hari, sebab seseorang tidak akan diperintah melakukan esuatu yang membahayakan badannya. Jika otot lingkar orang yang berpenyakit bawasir keluar, maka puasanya tidak menjadi batal sebab kembali masuk otot tersebut; Demikian juga jika memaśukkannya dengan jari-jarinya, sebab hal itu karena keterpaksaan. Dengan dasar keterpaksaan itu -sebagaimana yang dika akan oleh Guru kita-, bahwa bila ia terpaksa memasukkan jari tangamiya beserta otot lingkar itu kebagian rongga dałam, maka puasa-nya tidak batal; Kalau tidak karena terpaksa, maka puasanya batal, lantaran jari sampai ke rongga dałam. Tidak termasuk “benda tampak”, yaitu bekas, seperti sampainya rasa makanan pada tenggorokan orang yang mencicipinya

وخرج بمن مر أي العامد العالم المختار الناسي للصوم والجاهل المعذور بتحريم إيصال شيء إلى الباطن وبكونه مفطرا والمكره فلا يفطر كل منهم بدخول عين جوفه وإن كثر أكله.

ولو ظن أن أكله ناسيا مفطر فأكل جاهلا بوجوب الإمساك: أفطر. ولو تعمد فتح فمه في الماء فدخل جوفه أو وضعه فيه فسبقه أفطر.
أو وضع في فيه شيئا عمدا وابتلعه ناسيا فلا.

ولا يفطر بوصول شيء إلى باطن قصبة أنف حتى يجاوز منتهى الخيشوم وهو أقصى الأنف.

ولا يفطر بريق طاهر صرف أي خالص ابتلعه من معدنه وهو جميع الفم ولو بعد جمعه على الأصح وإن كان بنحو مصطكى أما لو ابتلع ريقا اجتمع بلا فعل فلا يضر قطعا. وخرج بالطاهر: المتنجس بنحو دم لثته فيفطر بابتلاعه وإن صفا ولم يبق فيه أثر مطلقا لأنه لما حرم ابتلاعه لتنجسه صار بمنزلة عين أجنبية. قال شيخنا: ويظهر العفو عمن ابتلي بدم لثته بحيث لا يمكنه الاحتراز عنه. وقال بعضهم: متى ابتلعه المبتلى به مع علمه به وليس له عنده بد فصومه صحيح.

وبالصرف المختلط بطاهر آخر فيفطر من ابتلع ريقا متغيرا بحمرة نحو تنبل وإن تعسر إزالتها.
أو بصبغ خيط فتله بفمه. وبمن معدنه ما إذا خرج من الفم لا على لسانه ولو إلى ظاهر الشفة ثم رده بلسانه وابتلعه أو بل خيطا أو سواكا بريقه أو بماء فرده إلى فمه وعليه رطوبة تنفصل وابتلعها: فيفطر بخلاف ما لو لم يكن على الخيط ما ينفصل لقلته أو لعصره أو لجفافه فإنه لا يضر كأثر ماء المضمضة وإن أمكن مجه لعسر التحرز عنه فلا يكلف تنشيف الفم عنه.فرع لو بقي طعام بين أسنانه فجرى به ريقه بطبعه لا بقصده: لم يفطر إن عجز عن تمييزه ومجه. وإن ترك التخلل ليلا مع علمه ببقائه وبجريان ريقه به نهارا لأنه إنما يخاطب بهما إن قدر عليهما حال الصوم لكن يتأكد التخلل بعد التسحر أما إذا لم يعجز أو ابتلعه قصدا: فإنه مفطر جزما. وقول بعضهم: يجب غسل الفم مما أكل ليلا وإلا أفطر: رده شيخنا. ولا يفطر بسبق ماء جوف مغتسل عن نحو جنابة كحيض ونفاس إذا كان الاغتسال بلا انغماس في الماء فلو غسل أذنيه في الجنابة فسبق الماء من إحداهما لجوفه: لم يفطر وإن أمكنه إمالة رأسه أو الغسل قبل الفجر.

كما إذا سبق الماء إلى الداخل للمبالغة في غسل الفم المتنجس لوجوبها: بخلاف ما إذا اغتسل منغمسا فسبق الماء إلى باطن الأذن أو الأنف فإنه يفطر ولو في الغسل الواجب لكراهة الانغماس: كسبق ماء المضمضة بالمبالغة إلى الجوف مع تذكره للصوم وعلمه بعدم مشروعيتها بخلافه بلا مبالغة.
وخرج بقولي عن نحو جنابة: الغسل المسنون1 وغسل التبرد فيفطر بسبق ماء فيه ولو بلا انغماس.

Tidak termasuk “orang sengaja yang tahu hukumnya serta tidak terpaksa”, yaitu orang yang lupa biła sedang berpuasa, bisa dimaklumi ketidaktahuannya, bahwa sampainya sesuatu ke rongga dałam, adałah dapat membatalkan puasa, dan orang dipaksa; maka puasa mereka tidak batal, lantaran sampainya sesuatu ke dałam rongga dałam, sekalipun perkara yang dimakan terhitung banyak. Jika ia mengira bahwa makan karena terpaksa adałah membatalkan puasa, łalu ia makan lagi karena tidak tahu atas kewajiban meneruskan puasanya, maka puasanya adałah batal. Jika ia sengaja membuka mulutnya di dalam air, lalu ada air yang masuk ke jaufnya, atau menaruh air kedałam mulutnya, lalu terlanjur masuk ke jaufnya, maka batallah puasanya; Atau sengaja meletakkan sesuatu dałam mulutnya, lalu menelannya karena lupa, maka puasanya tidak batal.

Puasa tidak batal sebab sampainya sesuatu ke batang hidung, kecuali telah melewati pangkal hidimg (janur irung -jawa). Puasa tidak batal sebab menelan ludah yang masih murni kesuciannya, yang ditelan dari sumbernya yaitu seluruh daerah mulut-, sekalipun setelah terlebih dahulu dikumpulkan dałam mulut -demikian menurut pendapat Al-Ashah-, dan sekalipun pengumpulannya itu dilakukan setelah dirangsang dengan mengunyah semacam kemenyan mustaka. Jika menelan air ludah yang terkumpul sendiri, maka secara pasti tidak membatalkan puasa. Dikecualikan dari “yang suci”, jika air ludah itu terkena najis dengan semacam darah gusi, maka kalau ditelan, puasanya menjadi batal, sekalipun ludah tampak jernih, dan pada umumnya tidak ada bekas campuran tersebut. Sebab, dengan adanya larangan menelannya itu, maka statusnya seperti benda tampak, yang berasal dari selain dirinya.

Guru kita berkata: Jelaslah adanya kemakluman (ma’fu) bagi orang yąng mengalami penyakit pendarahan pada gusinya, sekira tidak mungkin dapat memisahkan antara air ludah dengan darah; Sebagian ulama berkata; Bila orang yang terkena penyakit tersebut menelannya, di mana ia tahu hal itu terjadi, tapi ia tidak dapat menghindarinya, maka puasanya adalah sah. Tidak termasuk “air ludah yang murni”, yaitu air ludah yang telah tercampuri benda cair lainnya; Maka puasa menjadi batal, jikalau ia menelan ludah yang telah berubah sifatnya sebab bercampur semacam daun sirih (daun untuk susur). sekalipun rasanya sulit untuk menghiłangkannya, atau tercampuri nafta (benang yang dipintal menggunakanmulutnya).

Tidak termasuk “dari sumbernya”, yaitu air ludah yang telah keluar dari daerah mulut -bukan yang ada di lidahnya-, sekalipun hanya keluar pada daerah bibir luar, lalu dijilat kembali dan ditelannya. Atau (kalau) ia membasahi benang atau siwak dengan ludahnya atau air, lalu mengembalikan (menelan) ke mulutnya, dan ada basah-basah yang terlepas dari benang atau siwak tersebut, lalu ditelannya, maka puasanya menjadi batal. Lain halnya jika tidak ada basah-basah yang terlepas daripadanya, maka menelannya tidak membatalkan puasa, karena basah-basah yang ada pada benang itu terlalu sedikit atau benang dan siwak itu sudah diperas atau kering.

Masalah ini sama halnya dengan air bekas berkumur, sekalipun dimungkinkannya untuk meludahkan (mengeluarkan)nya, sebab menjaga air bekas berkumur itu rasanya sulit, karena itu seseorang tidak terbebani menyeka mulut dari air bekas berkumumya. Jika terdapat sisa makanan di sela-sela gigi orang yang berpuasa, lalu ikut tertelan bersama ludah sebagaimana kebiasaannya -bukan sengaja menelannya-, maka puasanya tidak batal, jika ia tidak bisa memisahkan makanan tersebut dan mengeluarkannya. Sekalipun karena di malam hari ia tidak mencukilnya dan mengetahui masih ada slilit makanan yang akan ikut tertelan bersama ludah di siang hari. Karena terkena ke wajiban memisahkan slilit dan mengeluarkannya ketika berpuasa, jika memang kuasa melakukannya. Akan tetapi, sunah muakkad mencukilnya, adalah setelah sahur.

Adapun jika ia mampu meludahkan, atau bila ia sengaja menelannya, maka secara pasti puasanya batal. Perkataan sebagian ulama: “Wajib mencuci mulut dari apa pun yang termakan di malam hari”, adalah ditolak oleh Guru kita. Puasa tidak batal sebab terlanjur kemasukan air ke dałam jauf orang yang mandi semacam janabah, misałnya haid dan nifas, bila mandinya dilakukan tanpa menyelam keair. Karena itu, jika ia membasuh dua telinga ketika mandi janabah, lalu air masuk ke jauf salah satu telinga itu, maka puasanya tidak batal, sekalipun (ia dapat menghindari hal itu) dengan memiringkan kepalanya atau mandi sebelum terbit fajar.

Masalah ini seperti halnya air terlanjur masuk ke rongga orang yang menyangatkan pencucian mulutnya yang kena najis, sebab penyangatan ( mubalaghah ) dałam pencucian mulut di sini hukumnyawajib. Lain halnya jika mandinya dilakukan dengan menyelam ke air, lalu terlanjur ada air yang masuk ke jauf telinga atau hidung, sekalipun dałam mandi wajib, maka puasanya batal, sebab menyelam itu adaiah hukumnya makruh; Sebagaimana halnya dengan keterlanjuran air kumur masuk ke jauf sebab mubalaghah, dimana ia ingat sedang berpuasa dan mengerti bab w a hal itu tidak diperintahkan dałam syarak (maka puasanya batal); Lain halnya jika keterlanjuran air ke jauf bukan sebab mubalaghah ketika berkumur. Tidak termasuk “mandi semacam janabah”, yaitu mandi sunah dan mandi untuk menyegarkan badan, maka keterlanjuran air ke dałam disini membatalkan puasa, sekalipun tidak dilakukan sebab menyelam

فروع يجوز للصائم الإفطار بخبر عدل بالغروب وكذا بسماع أذانه ويحرم للشاك الأكل آخر النهار حتى يجتهد ويظن انقضاءه ومع ذلك الأحوط الصبر لليقين. ويجوز الآكل إذا ظن بقاء الليل باجتهاد أو إخبار وكذا لو شك لأن الأصل بقاء الليل لكن يكره ولو أخبره عدل بطلوع الفجر
اعتمده وكذا فاسق ظن صدقه.

—-
1 قال الشيخ السيد البكري رحمه الله في خروج هذا نظر فإنه مأمور به فحكمه حكم غسل الجنابة بلا خلاف انتهى.
—-

ولو أكل باجتهاد أولا وآخرا فبان أنه أكل نهارا بطل صومه إذ لا عبرة بالظن البين خطؤه فإن لم يبن شيء: صح. ولو طلع الفجر وفي فمه طعام فلفظه قبل أن ينزل منه شيء لجوفه: صح صومه وكذا لو كان مجامعا عند ابتداء طلوع الفجر فنزع في الحال أي عقب طلوعه فلا يفطر وإن أنزل لان النزع ترك للجماع. فإن لم ينزع حالا: لم ينعقد الصوم وعليه القضاء والكفارة. ويباح فطر في صوم واجب بمرض مضر ضررا يبيح التيمم كأن خشي من الصوم بطء برء.

وفي سفر قصر1 دو باب الصوم ن قصير وسفر معصية. وصوم المسافر بلا ضرر أحب من الفطر. ولخوف هلاك بالصوم من عطش أو جوع وإن كان صحيحا مقيما. وأفتى الأذرعي بأنه يلزم الحصادين أي ونحوهم تبييت النية كل ليلة ثم من لحقه منهم مشقة شديدة أفطر وإلا فلا.

ويجب قضاء ما فات ولو بعذر من الصوم الواجب كرمضان ونذر وكفارة بمرض أو سفر أو ترك نية أو بحيض أو نفاس لا بجنون وسكر لم يتعد به. وفي المجموع أن قضاء يوم الشك على الفور لوجوب إمساكه. ونظر فيه جمع بأن تارك النية يلزمه الإمساك مع أن قضاءه على التراخي قطعا.

—-
1 سفر القصر أن تكون مسافته مرحلتين أو أكثر وتعادل المرحلتان 5 ,82 كيلو مترا تقريبا.
—-

ويجب إمساك عن مفطر فيه أي رمضان فقط دون نحو نذر وقضاء إن أفطر بغير عذر من مرض أو سفر أو بغلط كمن أكل ظانا بقاء الليل أو نسي تبييت النية أو أفطر يوم الشك وبان من رمضان لحرمة الوقت. وليس الممسك في صوم شرعي لكنه يثاب عليه فيأثم بجماع ولا كفارة وندب إمساك لمريض شفي ومسافر قدم أثناء النهار مفطرا وحائض طهرت أثناءه.

Beberapa Cabang:

Boleh berbuka berdasarkan berita dari seorang laki-laki adil, bahwa matahari sudah terbenam, demikian juga berdasarkan pendengar an azan orang adil. Haram bagi orang yang meragukan (siang telah berakhir), melakukan buka puasa di akhir siang hari, sampai ia telah berijtihad (berusaha mengetahui akan keterbenaman matahari) terlebih dahulu (atau diberi tahu oleh seorang adil atau mendengar azannya -pen), serta dengan ijtihadnya itu ia berprasangka, bahwa siang hari telah berakhir; (Sekalipun ia boleh makan/ berbuka) dengan prasangkanya tersebut, yang lebih bati-hati adalah bersabar untuk mendapatkan keyakinan. Boleh makan bila mempunyai perkiraan, bahwa malam masih ada berdasarkan ijtihadnya atau berita seorang laki-laki adil. Demikianjuga jika masih ragu akan keberadaan malam, sebab dasar asalnya adalah malam masih ada, tapi makan dałam kasus seperti ini hukumnya adalah makruh.

Kalau ada seorang laki-laki adil memberitakan atas terbit fajar, maka orang yang mendapatkan berita itu harus memegang teguh: dan demikian juga jika yang memberitakan adalah orang fasik yang diperkirakan kebenarannya. Apabila berdasarkan ijtihadnya, seseorang lalu makan sahur atau berbuka, kemudian tenyata hal itu terjadi di siang hari, maka puasanya dihukumi batal, sebab perkiraan yang jelas-jelas keliru adalah tidak dapat dibuat dasar; Kalau ternyata tidak jelas kesalahannya, maka puasanya dihukumi sah. Apabila fajar telah terbit, sedang dimulut seseorang masih tersisa makanan, kemudian ia mengeluarkannya sebelum ada yang masuk ke jauf, maka puasanya tetap sah. Demikian juga bila fajar mulai terbit, sedangkan ia masih dałam persetubuhannya, lalu seketika itu ia melepaskannya, maka puasanya tidak batal, sekalipun injal (ejakulasi), sebab dengan dilepasnya, berarti meninggalkanpersetubuhan; Kalau tidak dilepas seketika, maka puasanya tidak sah, serta ia wąjib mengqadhanya dan membayar kafarat. Boleh Berbuka Puasa Wajib (Boleh Tidak Berpuasa Wajib): 1. Sebab sakit yang berbahaya dałam ukuran yang diperbolehkan bertayamum, sebagaimana khawatir sakitnya bertambah parah jika ia berpuasa.

2. Dałam perjałanan yang diperbołehkan qashar sałat, bukan perjałanan yang kurang dari ukuran boleh qashar sałat dan bukan safar (perjałanan) maksiat. Puasa musafir yang tidak menjadikan mudarat adalah lebih baik daripada berbuka. 3. Sebab khawatir kerusakan (sakit atau binasa) jika berpuasa, baik dari haus ataupun lapamya, sekalipun ia seorang yang sehat dan berada di rumah (mukim). Imam Al-Adzra’i mengemukakan, bahwa buruh-buruh tani dan sesama-nya, mereka wajib melakukan tabyit niat berpuasa (berniat puasa dimalam hari), lalu jika dari mereka mendapatkan masyaqat/payah yang sangat di siang harinya, maka mereka boleh berbuka; dan jika tidak, maka tidak boleh berbuka puasa. Wajib mengqadha puasa wajib yang belum terpenuhi, sekalipun karena udzur, misalnya puasa Ramadhan, nazar atau kafarat, yang kesemua-nya lantaran sakit, bepergian, tertinggal niatnya, haid atau nifas. Tidak wajib mengqadha puasa sebab gila atau mabuk yang bukan akibat kesalahan. Termaktub dałam kitab Al-Majmu’:

Sesungguhnya mengqadha puasa hari syak (yaitu tanggal 30 Sya’ban, yang temyata telah masuk 1 Ramadhan) adalah wajib seketika, sebab dalam keadaan seperti itu wajib imsak (menahan perkara-perkara yang membatalkan puasa). Dałam hal ini segolongan fukaha meninjau, bahwa secara pasti hukum orang yang meninggalkan niat puasa wajib imsak, akan tetapi hukum mengqadha puasa di sini adalah tidak harus seketika. Wajib imsak bagi orang yang batal puasa Ramadhannya -bukan pada puasa nazar atau qadha-, bila dibatalkamiya itu tanpa ada uzur sakit atau bepergian. Atau batal sebab kekeliruan yang dilakukan, misalnya seseorang makan karena menyangka masih malam (belum terbit fajar), lupa berniat puasa di malam hari, atau berbuka di siang hari syak dan ternyata telah masuk bulan Ramadhan, Kewajiban imsak yang tertutur diatas, adalah untuk menghormati kemuliaan bulan Ramadhan. Orang yang telah melakukan imsak seperti dalam kasus di atas, adalah belum memenuhi puasa secara syariat, namun perbuatan itu mendapatkan pahala, sehingga jika ia melakukan persetubuhan, maka hukumnya berdosa, tapi tidak wajib membayar kafarat. Apabila di tengah han orang yang sakit sembuh, musafir tiba di rumah dan wanita haid telah suci, maka disunahkan agar imsak.

Hukum Orang Puasa yang Melakukan Hubungan Intim

ويجب على من أفسده أي صوم رمضان بجماع أثم به لأجل الصوم لا باستمناء وأكل: كفارة متكررة بتكرر الإفساد وإن لم يكفر عن السابق معه أي مع قضاء ذلك الصوم. والكفارة عتق رقبة مؤمنة فصوم شهرين مع التتابع إن عجز عنه فإطعام ستين مسكينا أو فقيرا إن عجز عن الصوم لهرم أو مرض بنية كفارة ويعطى لكل واحد مد1 من غالب القوت

—-
.1 المد مكعب طول ضلعه2 ,9 سانتي مترا.
—-

ولا يجوز صرف الكفارة لمن تلزمه مؤنته.
ويجب على من أفطر في رمضان لعذر لا يرجى زواله ككبر ومرض لا يرجى برؤه: مد1 لكل يوم منه إن كان موسرا حينئذ بلا قضاء وإن قدر عليه بعد لأنه غير مخاطب بالصوم فالفدية في حقه واجبة ابتداء لا بدلا. ويجب المد مع القضاء على: حامل ومرضع أفطرتا للخوف على الولد. ويجب على مؤخر قضاء لشيء من رمضان حتى دخل رمضان آخر بلا عذر في التأخير: بأن خلا عن السفر والمرض قدر ما عليه مد لكل سنة فيتكرر بتكرر السنين على المعتمد.

وخرج بقولي بلا عذر: ما إذا كان التأخير بعذر كأن استمر سفره أو مرضه أو إرضاعها إلى قابل فلا شيء عليه ما بقي العذر وإن استمر سنين.
ومتى أخر قضاء رمضان مع تمكنه حتى دخل آخر فمات: أخرج من تركته لكل يوم مدان: مد للفوات ومد للتأخير إن لم يصم عنه قريبه أو مأذونه وإلا وجب مد واحد للتأخير

—-
.1 إن أراد تقليد الأحناف بإخراج القيمة فيخرج عن نصف صاع عندهم والصاع عندهم مكعب ضلعه 7 , 16 سانتي مترا ونصفه مكعب ضلعه3 , 13 سانتي مترا.
—-

والجديد: عدم جواز الصوم عنه مطلقا بل يخرج من تركته لكل يوم مد طعام وكذا صوم النذر والكفارة. وذهب النووي كجمع محققين إلى تصحيح القديم القائل: بأنه لا يتعين الإطعام فيمن مات بل يجوز للولي أن يصوم عنه ثم إن خلف تركة وجب أحدهما وإلا ندب.
ومصرف الإمداد: فقير ومسكين وله صرف أمداد لواحد.

Orang yang merusak puasanya dengan persetubuhan yang dianggap dosa sebab sedang berpuasa, adalah wajib mengqadha puasanya dan membayar kafarat dengan berlipat ganda, berapa hari puasa yang dirusaknya, sekalipun yang dirusak kemarin belum dipenuhi kafaratnya. Kewajiban ini tidak terbebankan atas orang yang merusak puasanya dengan onani atau makan (ia hanya wajib menggadha puasa saja). Kafarat di sini adalah: memerdeka- kan seorang budak mukmin; kalau tidak mampu, maka harus berpuasa dua bulan berturut-turut; kalau tidak mampu berpuasa, sebab sakit atau lanjut usia, maka wajib memberi makan 60 orang fakir atau miskin sebesar 1 mud makanan pokok yang lumrah bagi setiap orang. Kewajiban tersebut harus diniati membayar kafarat. Tidak boleh memberikan kafarat kepada orang yang wajib ditanggung biaya hidupnya.

Wajib bagi orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena uzur, yang tidak bisa diharapkan habisnya, misalnya lanjut usia atau sakit yang sudah tidak bisa diharapkan kesembuhannya, memberi 1 mud makanan per hari, jika ia adalah orang kaya, dan tidak wajib mengqadha puasanya, sekalipun setelah itu ia mampu (kuat) berpuasa kembali, sebab dikala itu ia tidak terkena khithab berpuasa. Karena itu, fidyah 1 mud tersebut merupakan kewajiban asal, bukan sebagai ganti dari meninggalkan puasa. Wajib fidyah dan qadha puasa bagi wanita hamil atau menyusui yang meninggalkan puasa karena mengkhawatirkan keadaan anak (atau kandungan; Jika yang dikhawatirkan keadaan diri wanita itu, maka kewąjibannya hanya qadha puasa saja -pen). Wajib membayar mud bagi orang yang menunda qadha puasa Ramadhan, hingga datang. bułan Ramadhan berikutnya, tanpa ada uzu -misalnya tidak ada safar atau sakit yang ditanggungnya-.

Satu mud itu untuk satu hari qadha puasa dałam satu tahun penundaan, sehingga pembayaran mud menjadi berlipat ganda karena penundaan qadha dałam beberapa tahun; begitulah menurut pendapat yang Muktamad. Terkecualikan dari ucapan kami “tanpa ada uzur”, yaitu jika penundaan qadha puasa sebab ada uzur, misalnya terus-menerus dałam perjalanan, sakit atau menyusui hingga masuk Ramadhan berikutnya; Karena itu, ia tidak dikenakan kewajiban fidyah selama uzur itu, sekałipun sampai bertahun-tahun. Jika seseorang menunda qadha puasa Ramadhan, hingga datang Ramadhan berikutnya, padahal ia sudah mampu menunaikannya, kemudian ia meninggal dunia, maka dari harta peninggalan mayat harus diambil 2 mud untuk 1 qadha puasa, yakni 1 mud sebagai ganti dari qadha dan yang 1 mud lagi sebagai fidyah penundaan; Ha! ini jika puasa itu tidak diqadhakan oleh kerabat atau orang yang telah diberi izin oleh si mayat;

Kalau puasa sudah diqadhakan, maka yang wajib hanya 1 mud per hari sebagai fidyah penundaan saja. Menurut kaul Jadid Imam Asy-Syafi’i: Tidak diperbolehkan mengqadhakan puasa orang mati tersebut secara mutlak (baik sudah berkesempatan mengqadha atau belum, dan baik dałam meninggalkan puasa tersebut sebab ada uzur atau tidak -pen), tapi cukup dikeluarkan fidyah 1 mud per hari qadha dari harta peninggalannya. Demikian pula berlaku untuk puasa nazar dan kafarat. Imam An-Nawawi sebagai mana dengan golongan ulama Muhaqqiqin, berpendapat membenarkan pendapat kaul Qadim yang menyalakan, bahwa tidak ditentukan harus membayar fidyah bagi orang yang mati, tapi bagi sang wali boleh melakukan puasa qadha atas mayat itu, kemudian, jika si mayat meninggalkan harta, maka wajib mengerjakan salah satunya (mengqadha atau membayar fidyah); kalau tidak meninggalkan harta benda, maka baginya sunah mengerjakan salah satunya. Fidyah-fidyah tersebut diberikan kepada fakir miskin; dan baginya boleh memberikan seluruh mudnya kepada seorang saja.

Orang Mati Punya Hutang Puasa

فائدة:من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية وفي قول كجمع مجتهدين أنها تقضى عنه لخبر البخاري [رقم: 1952, مسلم رقم: 1147, وهو في الصوم لا الصلاة] وغيره1 ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا وفعل به السبكي عن بعض أقاربه [راجع الصفحة: 38, 433] ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي إن خلف تركه أن يصلي عنه كالصوم وفي وجه عليه كثيرون من أصحابنا أنه يطعم عن كل صلاة مدا

وقال المحب الطبري: يصل للميت كل عبادة تفعل عنه: واجبة أو مندوبة. وفي شرح المختار لمؤلفه: مذهب أهل السنة أن للإنسان أن
يجعل ثواب عمله وصلاته لغيره ويصله. [راجع الصفحات: 37, 433] . وسن لصائم رمضان وغيره تسحر وتأخيره ما لم يقع في شك وكونه على تمر لخبر فيه [مسند أحمد رقم: 20996] ويحصل ولو بجرعة ماء. ويدخل وقته بنصف الليل. وحكمته: التقوي أو مخالفة أهل الكتاب؟ وجهان. وسن تطيب وقت سحر وسن تعجيل فطر إذا تيقن الغروب ويعرف في العمران والصحارى التي بها جبال بزوال الشعاع من أعالي الحيطان والجبال. وتقديمه على الصلاة إن لم يخش من تعجيله فوات الجماعة أو تكبيرة الإحرام. وكونه بتمر للأمر به والأكمل أن يكون بثلاث. فإن لم يجده فعلى حسوات ماء ولو من زمزم. فلو تعارض التعجيل على الماء والتأخير على التمر قدم الأول فيما استظهره شيخنا. وقال أيضا: يظهر في تمر قويت شبهته وماء حفت شبهته أن الماء أفضل. قال الشيخان: لا شيء أفضل بعد التمر غير الماء فقول الروياني: الحلو أفضل من الماء ضعيف كقول الأذرعي: الزبيب أخو التمر وإنما ذكره لتيسره غالبا بالمدينة.

Faedah:

Barangsiapa meninggal dunia dan masih mempunyai tanggungan sałat maka tidak diwajibkan qadha dan tidak wajib fidyah. Menurut pendapat segolongan ulama Mujtahidin, bahwa sałat itu harus diqadha atas nama mayat, hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan lainnya. Dari sini pendapat tersebut lantas dipilih oleh segolongan dari ulama-ulama kita (mazhab Syafi’i). Qadha salat atas mayat pernah dikerjakan oleh Imam As-Subki kepada kerabat-kerabatnya. Imamłbnu Burhanmenukil pendapat kaul Qadim, bahwa bagi sang wali beikewajiban mengerjakan sałat atas (qadha) mayat, sebagaimana mengqadha puasanya, jika si mayat meninggalkan harta.

Berdasarkan pendapat Asy- SyatTiyah, dan pendapat ini menjadi pedoman kebanyakan ulama, bahwa bagi sang wali boleh membayar 1 mud untuk fidyah satu sałat. Imam Al-Muhib Ath-Thabari berkata: Semua ibadah, baik wajib atau sunah yang dikerjakan atas nama mayat, adalah pahalanya bisa sampai kepadanya. Dałam kitab Syarhil Mukhtar, pengarangnya berkata: Menurut pendapat Ahlusunah, bahwa bagi manusia dapat menjadikan amal dan salatnya kepada orang lain, dan pahalanya bisa sampai kepadanya.

Sunah bagi orang yang berpuasa Ramadhan atau lainnya: Makan sahur dan melakukannya diakhir waktu, selagi tidak terjadi waktu syak (keraguan atas terbit fajar). Kesunahan makan sahur tersebut adalah dengan buah kurma, berdasarkan hadis. Kesunahan makan sahur juga sudah bisa didapatkan dengan meminum seteguk air. Kesunahan makan sahur waktu mulai tengah malam. Sedangkan hikmahnya, adalah menghimpun kekuatan menyelisihi perbuatan ahli kitab; di sini ada dua pendapat. Menggunakan harum-haruman diwaktu sahur (baik di bulan Ramadhan ataupun lainnya). Tajil buka (segera berbuka puasa) bila diyakini sudah terbenam matahari. Terbenam matahari ditempat ramai atau padang belantara yang bergunung-gunung bisa diketahui dengankelenyapan berkas sinar matahari dari atas pagar atau puncakgunung. Berbuka terlebih dahulu sebelum mengerjakati sałat Magrib, jika seseorang tidak khawatir akan tertinggal jamaah atau takbiratulihram.

Berbuka puasa dengan memakan buah kurma, sebab hal ini diperintahkan, dan yang lebih sempurna adalah makan tiga butir. Kalau tidak bisa mendapatkan buah kuima, maka yang disunahkan berbuka dengan beberapa teguk air, sekalipun berupa air Zamzam, Kemudian, jika bertentangan antara bersegera buka dengan air dan meng- akhirkan buka dengan kurma, maka menurut penjelasan Gutu kita, yang lebih baik adalah bersegera buka dengan air. Beliau juga berkata: Jelaslah bahwa antara berbuka dengan buah kurma yang banyak syubhatnya dan dengan air yang sedikit syubhatnya, adalah lebih utama dengan air. Dua Guru kita (Imam Rafi’i dan Nawawi) berkata: tiada hidangan berbuka yang lebih utama setelah kurma dan air; Maka ucapan Imam Ar-Rauyani, bahwa manisan itu lebih utama daripada air, adalah pendapat yang lemah, sebagaimana ucapan Imam Al-Adzra’i, bahwa buah ąnggur itu sepadan dengan kurma. Imam Al-Adzra’i berkata demikian karena pada ghałib (kebiasaan)nya buah anggur itu mudah didapatkan di Madinah.

Sunnahnya Puasa

ويسن أن يقول عقب الفطر: اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت [أبو داود رقم: 2358] ويزيد من أفطر بالماء: ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله تعالى. [أبو داود رقم: 2357] . وسن غسل عن نحو جنابة قبل فجر لئلا يصل الماء إلى باطن نحو أذنه أو دبره.

قال شيخنا: وقضيته أن وصوله لذلك مفطر وليس عمومه مرادا كما هو ظاهر أخذا مما مر: إن سبق ماء نحو المضمضة المشروع أو غسل الفم المتنجس: لا يفطر لعذره فليحمل هذا على مبالغة منهي عنها. وسن كف نفس عن طعام فيه شبهة وشهوة مباحة من مسموع ومبصر ومس طيب وشمه ولو تعارضت كراهة مس الطيب للصائم ورد الطيب: فاجتناب المس أولى لان كراهته تؤدي إلى نقصان العبادة.
قال في الحلية: الأولى للصائم ترك الاكتحال

ويكره سواك بعد الزوال وقت غروب وإن نام أو أكل كريها ناسيا. وقال جمع: لم يكره بل يسن إن تغير الفم بنحو نوم. ومما يتأكد للصائم: كف اللسان عن كل محرم ككذب وغيبة

—-
1 قال النووي في شرحه لصحيح مسلم الحديث رقم: 1148: قال القاضي [أي: القاضي عياض] : وأصحابنا أجمعوا على أنه لا يصلى عنه [أي: عن الميت] صلاة فائتة.
—-

ومشاتمة لأنه محبط للأجر كما صرحوا به ودلت عليه الأخبار الصحيحة ونص عليه الشافعي والأصحاب وأقرهم في المجموع وبه يرد بحث الأذرعي حصوله وعليه إثم معصيته.

وقال بعضهم: يبطل أصل صومه وهو قياس مذهب أحمد في الصلاة في المغصوب.

ولو شتمه أحد فليقل ولو في نفل إني صائم مرتين أو ثلاثا في نفسه تذكيرا لها وبلسانه: حيث لم يظن رياء فإن اقتصر على أحدهما: فالأولى بلسانه. وسن مع التأكيد برمضان وعشره الأخير آكد إكثار صدقة وتوسعة على عيال وإحسان على الأقارب والجيران للاتباع وأن يفطر الصائمين أي يعشيهم إن قدر وإلا فعلى نحو شربة وإكثار تلاوة للقرآن في غير نحو الحش ولو نحو طريق وأفضل الأوقات للقراءة من النهار: بعد الصبح ومن الليل: في السحر. فبين العشاءين وقراءة الليل أولى وينبغي أن يكون شأن القارئ: التدبر.

قال أبو الليث في البستان: ينبغي للقارئ أن يختم القرآن في السنة مرتين إن لم يقدر على الزيادة. وقال أبو حنيفة: من قرأ القرآن في كل سنة مرتين: فقد أدى حقه. وقال أحمد: يكره تأخير ختمة أكثر من أربعين يوما بلا عذر,

لحديث ابن عمر1.
(و)إكثار عبادة و(اعتكاف) للاتباع سيما بتشديد الياء وقد يخفف والأفصح جر ما بعدها وتقديم لا عليها. وما زائدة وهي دالة على أن ما بعدها أولى بالحكم مما قبلها.(عشر آخره) فيتأكد له إكثار الثلاثة المذكورة للاتباع.
ويسن أن يمكث معتكفا إلى صلاة العيد وأن يعتكف قبل دخول العشر ويتأكد إكثار العبادات المذكورة فيه رجاء مصادفة ليلة القدر أي الحكم والفصل2 أو الشرف والعمل فيها خير من العمل في ألف شهر ليس فيها ليلة القدر وهي منحصرة عندنا فيه فأرجاها: أو تارة وأرجى أوتاره عند الشافعي: ليلة الحادي أو الثالث والعشرين واختار النووي وغيره انتقالها. وهي أفضل ليالي السنة وصح [البخاري رقم: 2014, مسلم رقم: 760] : “من قام ليلة القدر إيمانا” أي تصديقا بأنها حق وطاعة واحتسابا أي طلبا لرضا الله تعالى وثوابه غفر له ما تقدم من ذنبه وفي رواية: “وما تأخر”. وروى البيهقي خبر: “من صلى المغرب والعشاء في جماعة حتى
ينقضي شهر رمضان: فقد أخذ من ليلة القدر بحظ وافر” [الدر المنثور تفسير سورة القدر] .
وروى أيضا: “من شهد العشاء الأخيرة في جماعة من رمضان فقد أدرك ليلة القدر”. [الدر المنثور تفسير سورة القدر] . وشذ من زعم أنها ليلة النصف من شعبان.

Sesudah berbuka sunah berdoa: Allahumma… dan seterusnya (Ya, Allah, untuk-Mu-lah kami berpuasa, dan dengan rezeki-Mu-lah kami berbuka). Bagi yang berbuka dengan air, adalah sunah menambah doanya: Dzahaba … dan seterusnya (Haus telah hilang, urat-urat telah segar kernbali, dan pahala puasa ada disisi-Mu, insya Allah Ta’ala). Melakukan mandi sernacam janabah sebelum terbit fąjar, agar dengan begitu tidak terjadi ada air yang masukke jauf semacam telinga atau dubur. Guru kita (Ibnu Hajar) berkata: Kesesuaian alasan tersebut adalah sampainya air ke dałam rongga-rongga tersebut dapat membatalkan puasa, sebagaimana yang dapat kita tangkap pemahamannya (bukan secara umum). Hal ini berdasarkan keteranganyang telah lewat, bahwa keterlanjuran air semacam berkumur yang diperintahkan syarak atau air pencuci mułut yang terkena najis, adalah tidak membatalkan puasa, sebab dianggap suatu uzur. Karena itu, masalah sampai air ke ronggahidung atau dubur membatalkan puasa, adalah diarahkan pada mubalaghah (penyangatan) yang dilarang adanya.

Sunah menghindari makanan yang syubhat, dan menahan diri dari menuruti kehendak hawa nafsu yang mubah, baik berupa suara, pandangan mata, menyentuh bau-bauan atau membaunya. Jika terjadi pertentangan antara kemakruhan menyentuh harum-haruman bagi orang yang sedang berpuasa dengan kemakruhan menolak (hadiah) harum-haruman, maka yang lebih utama adalah menghindari menyentuhnya, sebab kemakruhan memegangnya dapat mengurangi pahala puasa. Imam Ar-Rauyani dałam kitab Al-Hilyah berkata: Yang lebih utama bagi orang yang sedang berpuasa adalah tidak memakai celak mata. bersiwak setelah tergelincir matahari dan sebelum matahari terbenam, sekalipun baru bangun dari tidur atau setelah makan makanan yang berbau busuk karena lupa.

Dałam hal ini segolongan ułama berkata: Bersiwak dałam hal ini adalah tidak makruh, dan bahkan disunahkan jika mulut berbau busuk, karena semisal bangun dari tidur. Termasuk sunah muakkad bagi orang yang berpuasa, adalah menjaga lisan dari perkara yang diharamkan, misalnya berdusta, menggunjing dan memaki-maki, sebab perbuatan itu dapat menghilangkan pahala puasa, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama dan ditunjukkan oleh beberapa hadis sahih, yang telah dinash oleh Imam Asy-Syafi’i dan Ashhabnya, serta diakui oleh Imam Nawawi dałam kitab Al-Majmu’. Berdasarkan penjelasan ulama diatas, maka tertolaklah pembahasan Imam Al-Adzra’i, bahwa pahala puasa tetap bisa didapatkan, namun menanggung dosa dari perbuatan maksiat itu.

Sebagian para ulama berkata: Ucapan haram seseorang dapat membatalkan puasanya, yaitu sebagai hukum kias terhadap mazhab Ahmad mengenai hukum mengerjakan sałat di tempat hasil gasab. Jika seseorang yang berpuasa dimaki oleh orang lain, maka hendaknya ia mengatakan (dałam hati) -sekałipun puasa sunah-: “Sungguh aku sedang berpuasa”, sebanyak dua atau tiga kali, sebagai peringatan untuk dirinya sendiri. bisa juga diucapkan dengan lisannya, sekira ia tidak disangka riya. Jika ia ingin mencukupkan salah satunya, maka yang lebih utama adalah diucapkan secara lisan. Sunah Muakkad di bulan Ramadhan -utamanya di tanggał 10 yang akhir-, agar memperbanyak sedekah, memberi. kelonggaran kepada keluarga dalam biaya, berbuat kebajikan kepada kerabat dan tetangga, karena mengikuti tindak Nabi saw.; Sunah juga memberi buka pada orang-orang yang berpuasa, jika mampu; dan jika tidak mampu, maka cukuplah dengan memberi semacam minuman.

Sunab muakkad memperhanyak bacaan Alqur-an selain bila berada dałam kamar kecil, sekalipun ditengah jalan. Sunah muakkad memperbanyak bacaan Ałqur-an selain bila berada dałam kamar kecil, sekalipun di tengahjalan. Waktu siang yang paling utama untuk membaca Alqur-an, adalah setelah Subuh; Sedang untuk malam hari, adalah waktu sahur, kemudian waktu antara Magrib dan Isyak; Membaca di malamhari adalah Iebih utama. Sebaiknya orang yang membaca Alqur-an adalah menghayati isinya. Imam Abul Laits berkata dalam kitabAl-Bustan (Bustanul ‘Arifin?): Sebaiknya seseorang mengkhatamkan Qur-an dua kali pertahun, jika memang tidak bisa Iebih dari itu.

Imam Abu Hanifah berkata: Barangsiapa yang setiap tahun mengkhatamkan Alqur-an sebanyak dua kali, maka ia telah memenuhi hak Alqur-an. Imam Ahmad berkata: Makruh mengulur waktu sekali mengkhatamkan Alqur-an sampai melebihi 40 hari tanpa uzur. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ibnu Umar. Sunah muakkad memperbanyak mengerjakan ibadah dan iktikaf karena mengikuti tindak Nabi saw. Terutama pada 10 hari yang akhir; karena itu, menjadi muakkad kesunahannya memperbanyak tiga hal di atas, karena ittiba’ dengan Nabi saw. Lafal “siyaman” adalah dibaca tasydid ya’nya. Kadang- kadang tidak ditasydid; yang lebih ashah adalah lafal yang jatuh setelahnya dibaca (dii’rabi) jar, serta diawali dengan huruf “La” sedangkan huruf “Ma” adalah huraf zaidah. Lafal siyama menunjukkan bahwa hal yang terletak sesudahnya, adalah lebih utama daripada yang sebelumnya. Sunah melakukan iktikaf hingga waktu sałat Idul Fitri, juga sunah sebelum menginjak 10 hari akhir Ramadhan. Sunah muakkad dałam 10 hari tersebut, memperbanyak ketiga macam ibadah tersebut, karena mengharapkan bisa bertepatan dengan hikmah, keutamaan dan kemuliaan malam Lailatul Qadar.

Beramal di malam yang ada Lailatul Qadarnya, adalah lebih bagus daripada ibadah 1000 bulan yang tidak ada Lailatul Qadarnya. Lailatul Qadar menurut pendapat kita (mazhab Syafi’iyah) adalah terbatas, yaitu turun pada 10 hari tersebut; Yang paling bisa diharapkan, adalah pada malam yang ganjil; Menurut Imam Syafi’i: Tanggal ganjil yang bisa diharapkan turunnya, adalah tanggal 21 dan 23. Sedangkan Imam Nawawi dan lainnya memilih pendapat yang mengatakan, bahwa malam Lailatul Qadar bisa pindah dari 10 hari tersebut ke malam lainnya; dan Lailatul Qadar adalah satu-satunya malam yang paling utama sepanjang tahun.

Sahlah hadis yang menyebutkan: “Barangsiapa mengerjakan taat dimalam Lailatul Qadar dengan membenarkan bahwa Lailatul Qadar itu hak dan taat, dan karena memohon rida serta pahala Allah Ta’ala, maka diampuni semua dosa yang telah terjadi”; menurut sebuah riwayat: “… dan dosa yang akan terjadi .” Imam Al-Baihaqi meriwayatkan hadis, yang artinya: “Barangsiapa selalu berjamaah sałat Magrib dan Isyak sampai habis butan Ramadhan, maka sungguh berarti ia telah mengambil bagian Lailatul Qadar dengan sempurna.” Beliau meriwayatkan hadis lagi, yang artinya: “Barangsiapa mengikuti sałat Isyak yang akhir dałam jamaah di bulan Ramadhan, maka ia telah mendapatkan LailatulQadar.” Pendapat yang mengatakan, bahwa Lailatul Qadar itu terjadi pada tanggal 15 Sya’ban adalah menyimpang ( syadz ).


I’tikaf di Masjid

تتمة [في بيان حكم الاعتكاف] يسن اعتكاف كل وقت وهو لبث فوق قدر طمأنينة الصلاة ولو مترددا في مسجد أو رحبته التي لم يتيقن حدوثها بعده وأنها غير مسجد بنية اعتكاف.

ولو خرج ولو لخلاء من لم يقدر الاعتكاف المندوب أو المنذور بمدة بلا عزم عود جدد النية وجوبا إن أراده وكذا إذا عاد بعد الخروج لغير نحو خلاء من قيده بها كيوم فلو خرج عازما لعود فعاد لم يجب تجديد النية.

ولا يضر الخروج في اعتكاف نوى تتابعه كأن نوى اعتكاف أسبوع أو شهر متتابع وخرج لقضاء حاجة ولو بلا شدتها وغسل جنابة وإزالة نجس وإن أمكنهما في المسجد لأنه أصون لمروءته ولحرمة المسجد أكل طعام لأنه يستحيا منه في المسجد وله الوضوء بعد قضاء الحاجة تبعا له لا الخروج له قصدا ولا لغسل مسنون ولا يضر بعد موضعها إلا أن يكون لذلك موضع أقرب منه أو يفحش البعد فيضر مالم يكن الأقرب غير لائق به ولا يكلف المشي على غير سجيته. وله صلاة على جنازة إن لم ينتظر ويخرج جوازا في اعتكاف متتابع لما استثناه من غرض دنيوي: كلقاء أمير أو أخروي كوضوء وغسل مسنون وعيادة مريض وتعزية مصاب وزيارة قادم من سفر. ويبطل بجماع وإن استثناه أو كان في طريق قضاء الحاجة وإنزال مني بمباشرة بشهوة كقبلة. وللمعتكف الخروج من التطوع لنحو عيادة مريض.

وهل هو أفضل أو تركه أو سواء؟ وجوه والأوجه كما بحث البلقيني أن الخروج لعيادة نحو رحم وجار وصديق أفضل واختار ابن الصلاح الترك لأنه ص كان يعتكف ولم يخرج لذلك.

مهمة: قال في الأنوار: يبطل ثواب الاعتكاف بشتم أو غيبة أو أكل حرام.

—-
1 قال الشيخ علوي السقاف رحمه الله: لعله ابن عمرو بفتح العين انتهى.
2 قال الشيخ السيد البكري رحمه الله بالصاد المهملة وما يوجد في غالب النسخ من أنه بالضاد المعجمة تحريف من النساخ انتهى.

Penyempurnaan:

Iktikaf ialah: Diam lebih lama sedikit daripada thuma’ninah solat di dalam mesjid atau rahbah (serambi)nya yang tidak diyakini terbangun setelah pembangunan mesjid atau bahwa serambi itu tidak termasuk mesjid, di mana diamnya itu dengan niat iktikaf, (sekalipun iktikaf sambil ke sana-ke mari). Apabila orang tersebut keluar dari mesjid, sekalipun ke WC, di mana ia tidak mengkhususkan waktu iktikaf sunah atau nazar, dan keluarnya tidak ada niat kembali lagi, maka ia harus memperbarui niatnya jika menginginkan iktikaf lagi. Demikian juga wajib memperbarui niatnya jika ingin iktikaf kembali, bagi orang yang menentukan batas iktikafnya, misalnya 1 hari, setelah keluar dari mesjid untuk selain semacam ke WC (kamar kecil).

Apabila keluar dengan niat akan kembali lagi, lalu ia kembali, maka ia tidak wajib memperbarui niatnya. Tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap iktikaf seseorang, yang berniat melaksanakan iktikaf secara berturut-turut, misalnya niat iktikaf selama satu minggu atau satu bulan sambung-menyambung, di mana keluarnya karena untuk buang air -sekalipun tidak begitu hajat- atau untuk mandi janabah atau mencuci najis -sekalipun dua hal ini bisa dilakukan di dałam mesjid; Hal ini karena untuk menjagahargadiri orang itu dan kehormatan mesjid. Atau keluamya dań mesjid untuk makan (ini pun tidak membawa akibat apa-apa), karena makan di dałam mesjid adalah memalukan; Baginya juga boleh berwudu setelah buang air, karena mengikuti hukumnya.

Sengaja keluar untuk berwudu atau mandi sunah adalah tidak diperbolehkan (berarti memutus sambung-menyambung iktikaf). Tidaklah memutus sambung-menyambung iktikaf, karena keluar dari mesjid (untuk buang hajat dan sebagainya) di tempat yang jauh; Kecuali ada tempat buang air yang lebih dekat atau yang jauh itu tidak seyogyanya, maka keluar dari mesjid dałam masalah ini adalah memutus sambung-menyambung iktikaf, selama tempat yang dekat masih patut untuk buang air bagi dirinya. Orang tersebut tidak diharuskan berjalan (ketika akan buang hajat) yang bukan menjadi sikap kebiasaannya.

(Ketika keluar dari mesjid) ia boleh melakukan sałat Jenazah, jika memang tanpa menunggu terlebih dahuiu. Boleh keluar dari mesjid di tengah sedang beriktikaf yang sambung-menyambung, untuk keperluan yang dikecualikan (misalnya aku nazar beriktikaf selama satu bulan berturut-turut, tapi dengan syarat jika aku dihadapkan suatu keperluan, maka aku akan keluar mesjid -pen), baik berupa keperluan duniawi, misalnya menemui pejabat, atau keperluan ukhrawi, misalnya berwudu, mandi sunah, menjenguk orang sakit, takziah orang yang terkena musibah atau mengunjungi orang yang baru datang dari bepergian. Iktikaf hukumnya batal sebab bersetubuh, sekalipun termasuk yang ia kecualikan atau dilakukan sewaktu buang air, (iktikaf) juga batal sebab keluar mani lantaran persentuhan kulit dengan syahwat seperti mencium. Boleh keluar dari mesjid bagi orang yang beriktikaf sunah, karena tujuan semacam menjenguk orang sakit; Apakah keluar semacam ini lebih utama (daripada tetap berada dałam iktikafnya) atau dua-duanya sama saja? Menurut Al-Aujah, sebagaimana yang dibahas oleh Imam Al-Bulqini, bahwa keluar untuk menjenguk semacam kerabat, tetangga dan teman dekat adalah lebih utama (daripada masih tetap berada dałam mesjid). Imam Ibnush Shałah memilih pendapat yang tidak keluar dari mesjid, sebab Nabi saw. beriktikaf dan beliau tidak keluar dari mesjid untuk keperluan tersebut.

Penting: Imam Yusuf Al-Ardabili di dalam kitab Al-Anwar berkata: Pahala iktikaf menjadi hilang sebab memaki-maki, menggunjing atau memakan makanan haram.

Puasa Sunnah

فصل في صوم التطوع

وله من الفضائل والمثوبة ما لا يحصيه إلا الله تعالى ومن ثم أضافه وفي الأم: لا بأس أن يفرده. وأما أحاديث الاكتحال والغسل والتطيب في يوم عاشوراء فمن وضع الكذابين.

وصوم ستة أيام من شوال لما في الخبر الصحيح [مسلم رقم: 1164] أن صومها مع صوم رمضان كصيام الدهر واتصالها بيوم العيد أفضل: مبادرة للعبادة. وأيام الليالي البيض وهي: الثالث عشر وتالياه لصحة الأمر بصومها لان صوم الثلاثة كصوم الشهر إذ لحسنة بعشر أمثالها ومن ثم تحصل السنة بثلاثة وغيرها لكنها أفضل ويبدل على الأوجه ثالث عشر ذي الحجة بسادس عشره. وقال الجلال البلقيني: لا بل يسقط. ويسن صوم أيام السود: وهي الثامن والعشرون وتالياه. وصوم الاثنين والخميس للخبر الحسن [الترمذي رقم: 745] أنه صلى الله عليه وسلم كان يتحرى صومهما وقال: “تعرض فيهما الأعمال فأحب أن يعرض عملي وأنا صائم” [الترمذي رقم: 747] والمراد عرضها على الله تعالى. وأما رفع الملائكة لها: فإنه مرة بالليل ومرة بالنهار ورفعها في شعبان محمول على رفع أعمال العام مجملة. وصوم الاثنين أفضل من صوم الخميس لخصوصيات ذكروها فيه وعد الحليمي اعتياد صومهما مكروها: شاذ.

فرع [في بيان أن صوم هذه الأيام المتأكد يندرج في غيره] : أفتى جمع متأخرون بحصول ثواب عرفة وما بعده بوقوع صوم فرض فيها خلاف للمجموع وتبعه الأسنوي فقال: إن نواهما لم يحصل له شيء منهما.

قال شيخنا كشيخه والذي يتجه أن القصد وجود صوم فيها فهي كالتحية فإن نوى التطوع أيضا حصلا وإلا سقط عنه الطلب.

فرع أفضل الشهور للصوم بعد رمضان: الأشهر الحرم وأفضلها المحرم ثم رجب ثم الحجة ثم القعدة ثم شهر شعبان وصوم تسع ذي الحجة أفضل من صوم عشر المحرم اللذين يندب صومهما.

فائدة: من تلبس بصوم تطوع أو صلاته فله قطعهما لا نسك تطوع ومن تلبس بقضاء واجب حرم قطعه ولو موسعا. ويحرم على الزوجة أن تصوم تطوعا أو قضاء موسعا وزوجها حاضر إلا بإذنه أو علم رضاه.

تتمة: يحرم الصوم في أيام التشريق والعيدين وكذا يوم الشك لغير ورد وهو يوم ثلاثي شعبان وقد شاع الخبر بين الناس برؤية الهلال ولم يثبت وكذا بعد نصف شعبان ما لم يصله بما قبله أو لم يوافق عادته أو لم يكن عن نذر أو قضاء ولو عن نفل.

pasal TENTANG PUASA SUNAH

Baca juga: Daftar Isi Terjemah Kitab Fathul Muin

Hanyalah Allah swt. yang mampu menghitung keutamaan dan pahala puasa sunah. Dari sinilah Allah menyandarkan ibadah puasa -tidak seperti halnya ibadali lainnya- pada Zat-Nya sendiri. Allah swt. berfirman dałam hadis Qudsi, yang artinya: “Semua perbuatan manusia adalah untuknya sendiri, kecuali ibadah puasa, karena puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya.” Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari-Muslim, tersebutkan: “Barangsiapa berpuasa satu hari karena jihad fisabilillah, maka Allah akan memisahkan dirinya sejauh 70 tahun perjalanan dari neraka.” Sunah muakkad puasa di hari Arafah (9 Zulhijah) bagi selain orang yang berhaji. Sebab, puasa ini dapat menghapus dosa selama 1 tahun yang tełah berjalan dan 1 tahun yang akan terjadi; Sebagaimana yang tersebutkan dałam hadis Imam Muslim. Hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah. Untuk berhati-hati, hendaklah pada tanggal 8 dan 9 Zulhijah berpuasa. Dosa yang dihapus dalam hadis diatas, adalah dosa-dosa kecil yang tidak ada hubungannya dengan hak adami, sebab dosa besar tidaklah bisa dihapus, kecuali dengan tobat yang sahih, sedangkan hak adami terserah pada kerelaan orang yang diambil haknya.

Baca juga: Bab Shalat

Jika orang yang berpuasa itu tidak punya dosa kecil, maka kebajikan-kebajikannya ditambah. Sunah muakkad berpuasa pada tanggal 8 Zulhijah. Dasarnya adalah hadis yang menunjukkan bahwa 10 hari di bulan Zulhijah (maksudnya tanggal 1 sampai 9 Zuihijah/9 hari) itu lebih utama dari 10 hari yang akhir di bulan Ramadhan. Sunah muakkad berpuasa di hari ‘Asyura -yaitu tanggal 10 bulan Muharram. Sebab, sebagaimana yang diterangkan dalam hadis Muslim, bahwa berpuasa di hari itu dapat menghapus dosa 1 tahun yang telah berlalu. Sunah juga berpuasa di hari Tasu’a -yaitu 9 Muharram-, karena berdasarkan hadis Muslim, bahwa Nabi saw. bersabda: “Jika ternyata aku masih hidup sampai di tahun depan, pastilah aku akan berpuasa di tanggal 9 Muharram.” Ternyata beiiau wafat sebelum sampai tanggal tersebut. Hikmah yang terkandung dałam berpuasa tanggal tersebut, adalah menyelisihi ibadah orang Yahudi.

Berdasarkan hikmah tersebut, maka bagi orang yang tidak berpuasa dihari Tasu’a, adalah disunahkan berpuasa di tanggal 11, bahkan sekalipun telah berpuasa di hari Tasu’a, berdasarkan hadis. Di dalam kitab Al-Um (milik Imam Syafi’i) disebutkan: Tidakmakruh berpuasa hari ‘Asyura (10 Muhairam) saja. Mengenai hadis yang menerangkan tentang bercelak mata, mandi dan memakai wangi-wangian di hari ‘Asyura, adalah hasil buatan para pendusta hadis (Maudhu 1 , seperti kata Imam Ibnu Hajar r.a. -pen). Sunah muakkad berpuasa 6 hari setelah hari Idul Fitri (bulan Syawal). Hal ini berdasarkan hadis sahih, bahwa puasa pada hari-har tersebut beserta puasa Ramadhan adalah seperti puasa sepanjang masa. l(menyambung puasa 6 hari dengan hari Idul Fitri adalah lebih utama, karena berarti bersegera dalam melakukan ibadah. Sunah muakkad berpuasa di hari baidh, yaitu tanggal 13,14, dan 15, sebab terdapat hadis sahih yang menjelaskannya. Karena puasa tiga hari di hari-hari tersebut sama dengan puasa selama sebulan, sebab kebajikan itu dihpatkan 10 kali. Berdasarkan hal itu, maka kesunahannya bisa didapatkan dengan puasa 3 hari selain tanggal-tanggal di atas, tapi puasa di tanggal-tanggal yang tersebutkan di atas adalah lebih utama.

Menurutpendapat Al-Aujah: Uńtuk tanggal 13 Zulhijah, adalah diganti puasa pada tanggal 16 (sebab puasa tanggal 13 Zulhijah hukumnya haram). Imam Al-Jalalul Buląini berkata: Tidaklah begitu, tapi kesunahannya menjadi gugur. Sunah beipuasa di hari Sud (malam yang gelap), yaitu tanggal 28 dan dua hari berikutnya. Sunah berpuasa di hari Senen dan Kamis. Karena berdasarkan hadis hasan, bahwa Nabi saw. mementingkan untuk berpuasa di hari itu. Beliau bersabda: “Amal-amal itu dilaporkan pada hari Senen dan Kamis, maka aku senang bila amalku diiaporkan, sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” Maksudnya: Amal itu diiaporkan kepada Allah swt. Adapun amal-amal yang dibawa malaikat adalah sekali di malam hari dan sekali di siang hari; Tentang dibawanya di bułan Sya’ban adalah diarahkan pengertian, bahwa amal satu tahun dibawanya secara keseluruhan. Puasa di hari Senen adalah lebih utama daripada hari Kamis, sebab adanya kekhususan yang banyak dituturkan oleh para ulama. Pendapat Imam Al-Halimi, bahwa puasa di hari Senen dan Kamis itu imkumnya makruh, adalah pendapat yang menyimpang (syadz).

Cabang: Segolongan ulama fatwa, bahwa puasa Arafah dan seterusnya adalah tetap bisa didapatkan dengan melakukan pula puasa fardu (qadha atau nazar) pada hari-hari di atas. Pendapat (fatwa) tersebut bertentangan dengan yang ada di dałam kitab Al-Majmu ‘ (milik Imam Nawawi) yang diikuti oleh Imam Al-Asnawi, sebagaimana yang beliau katakan: “Jika puasa fardu dan diniatkan bersama, maka kedua-duanya tidak bisa berhasil. Guru kita (Ibnu Hajar) berkata sebagaimana guru beliau: Menurut pendapat yang terkemuka, bahwa jika di dałam puasa-puasa tersebut (Arafah dan sebagainya) diniati, maka puasa itu sebagaimana halnya dengan sałat Tahiyatul mesjid; artinya jika seseorang juga berniat puasa sunah, maka berhasillah puasa kedua-duanya (fardu dan sunah); Kalau dia tidak berniat puasa sunah (cuma fardu), maka telah gugurlah tuntutan kesunahannya (sebab sudah masuk di dalam fardu).

Cabang:

Setelah bulan Ramadhan, bulan-bulan yang paling utama untuk dilakukan puasa adalah bulan Haram (Zulkaidah, Zulhijah, Muharram dan Rajab); Adapun yang paling , adalah urutan sebagai berikut: Muharram, Rajab, Zulhijah, Zulkaidah, kemudian Sya’ban. Puasa pada tanggal 9 Zulhijah adalah lebih utama daripada hari. Asyura (10 Muharram), di mana keduanya sunah ditunaikan.

Faedah:

Barangsiapa sedang berada ditengah-tengah mengerjakan puasa atau solat sunah, baginya boleh memutusnya (tidak meneruskannya); Kalau yang dikerjakan itu ibadah haji sunah, maka tidak boleh diputuskan, Barangsiapa sedang berada di tengah mengerjakan qadha wajib, maka baginya haram memutus di tengah jalan, sekalipun qadhanya adalah luas waktunya. Bagi seorang istri haram melakukan puasa sunah atau qadha wajib Muwassa’, sedang suaminya berada di sampingnya, kecuali atas izin suami atau diyakini kerelaannya.

Hari yang Haram Puasa

Penyempurnaan:

Haram hukumnya mengerjakan puasa pada hari Tasyriq (11, 12, 13 Zulhijah), Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Syak bagi orang yang tidak membiasakan puasa pada (misalnya biasa puasa selama hidup, puasa sehari dan buka sehari, atau biasa puasa di hari Senen atau Kamis). Hari Syak adaiah tanggal 30 Sya’ban, di mana telah meluas berita bahwa orang-orang telah melihat bulan sabit Ramadhan, tetapi ru’yah itu belum ditetapkan (didepan Hakim). Demikian juga (termasuk hari Syak), yaitu tanggal setelah 15 Sya’ban, selama puasany a tidak disambung dengan hari sebelumnya, tidak bertepatan dengan kebiasaannya, atau bukan puasa nazar atau qadha, sekalipun puasa qadha sunah.[islamiy.com]

Baca juga: Bab Puasa Kitab Fathul Qorib

Satu tanggapan pada “Bab Puasa Kitab Fathul Muin Terjemah

  1. Ping-balik: Daftar isi terjemah kitab Fathul Muin - Islamiy.com

Komentar ditutup.

Kembali ke Atas