Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Hukum Pakai Celana dalam Saat Ihram Haji atau Umrah

Hukum Pakai Celana dalam Saat Ihram
HUKUM MEMAKAI CELANA DALAM SAAT IHRAM HAJI ATAU UMRAH BAGI LAKI-LAKI

Assalamu’alaikum

Izin bertanya pak ustadz

1. Jika ragu kain ihram terpercik air seni apa kaidah yang harus dilakukan dalam agama islam pak ustadz ?

2. bolehkah saat memakai kain ihram saya pakai celana dalam ?

JAWABAN

1. Asumsi adanya percikan dianggap tidak ada. Oleh karena itu, kain ihram dianggap suci kecuali terbukti jelas terlihat ada air kencing yang mengena kain ihram. Baca detail: Najis yang Dimaafkan (Makfu)

2. Ringkasan: memakai celana dalam tidak boleh bagi muhrim (orang ihram) laki-laki karena Islam melarang bagi muhrim memakai seluruh pakaian yang berjahit termasuk celana, baju, dan celana dalam, dll. Namun bagi yang ada udzur syar’i, maka dibolehkan tanpa harus membayar kafarat dalam madzhab Syafi’i. Saat ini, telah diproduksi celana dalam tidak berjahit, yang menurut fatwa ulama Mesir boleh dipakai saat ihram.

URAIAN

Ulama sepakat akan tidak bolehnya memakai pakaian yang berjahit bagi laki-laki saat ihram baik ihram haji atau umrah. Namun ulama berbeda pendapat terkait celana dalam. Dalam sebuah hadits seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, apakah pakaian yang boleh dipakai oleh orang yang sedang ihram?” Beliau menjawab,


لاَ يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيْصَ وَلاَ السَّرَاوِيْلَ وَلاَ البُرْنُسَ وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ مَا هُوَ أَسْفَلُ مِن الْكَعْبَيْنِ

Artinya: “Orang yang sedang berihram tidak boleh memakai pakaian, celana, burnus (jubah yang mempunyai tutup kepala) dan khuf (kaos kaki kulit). Namun jika ia tidak mempunyai sepasang sandal, maka hendaknya ia memakai khuf yang lebih rendah dari mata kaki.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadits ini Ibnu Hajar Asqalani dalam Fathul Bari, hlm. 3/402, menyatakan:


” قال عياض : أجمع المسلمون على أن ما ذُكر في هذا الحديث لا يلبسه المحرم ، وأنه نبَّه بالقميص والسراويل على كل مخيط ، وبالعمائم والبرانس على كل ما يغطي الرأس به مخيطاً أو غيره ، وبالخفاف على كل ما يستر الرجل . انتهى . وخصَّ ابن دقيق العيد الإجماع الثاني بأهل القياس ، وهو واضح . والمراد بتحريم المخيط : ما يلبس على الموضع الذي جعل له ، ولو في بعض البدن ” انتهى.

Artinya: Iyadh berkata: Ulama sepakat (ijmak) bahwa hadis ini menjelaskan pakaian yang tidak boleh dipakai oleh orang yang ihram (muhrim). Bahwa larangan memakai gamis dan celana itu meliputi larang pada setiap pakaian yang dijahit. Termasuk surban dan burnus yang menutup kepala baik dijahit atau tidak. Dan larangan memakai khuf meliputi sesuatu yang menutup kaki. Ibnu Daqiq mengkhususkan ijmak dengan ahli qiyas. Yang dimaksud dengan haramnya pakaian berjahit yaitu pakaian yang dipakai berdasarkan bentuk tubuh walaupun untuk sebagian badan.

HUKUM MEMAKAI CELANA DALAM BAGI MUHRIM

Namun terkait celana dalam, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pertama, ada yang menyatakan tidak boleh berdasarkan pada keumuman hadis di atas. Yakni, bahwa celana dalam termasuk jenis pakaian yang dijahit dan dipotong berdasarkan bentuk badan.

Kedua, ada pula yang menyatakan boleh berdasarkan pada pandangan Aisyah (Atsar Sahabat) yang membolehkan bagi muhrim (orang yang ihram) memakai tubban yakni celana dalam yang menutupi kemaluan dan Sahabat Ammar bin Yasir juga pernah memakainya.

Dalam Sahih Bukhari, hlm. 2/558, Bukhari berkata sbb:


باب الطيب عند الإحرام وما يلبس إذا أراد أن يحرم… ولم تر عائشة رضي الله عنها بالتُبَّانِ بأساً للذين يرحلون هودجها .
انتهى

Artinya: Bab tentang minya wangi saat ihram dan perkara yang dipakai apabila hendak ihram … Aisyah berpendapat tidak apa-apa memakai tubban bagi yang naik kendaraan dan duduk di pelana unta.

Dalam menjelaskan pandangan Bukhari ini, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, hlm. 3/397, menyatakan:


” وقد وصل أثر عائشة : سعيد بن منصور ، من طريق عبد الرحمن بن القاسم عن أبيه عن عائشة : ” أنها حجت ومعها غلمان لها ، وكانوا إذا شدوا رحلها يبدو منهم الشيء ، فأمرتهم أن يتخذوا التبابين ، فيلبسونها وهم محرمون ” .
وفي هذا رد على ابن التين في قوله ” أرادت النساء ” ؛ لأنهن يلبسن المخيط ، بخلاف الرجال ، وكأن هذا رأي رأته عائشة ، وإلا فالأكثر على أنه لا فرق بين التبان والسراويل في منعه للمحرم “.

Artinya: “Aisyah melakukan ibadah haji bersama beberapa pria asistennya. Mereka apabila terasa berat dalam perjalanan maka tampak sesuatu dari mereka. Lalu Aisyah memerintahkan mereka untuk memakai tubban (celana dalam). Lalu mereka memakainya dalam keadaan ihram. Riwayat ini merupakan sanggah atas pandangan Ibnut Tin yang menyatakan “konteksnya adalah kaum wanita”. Karena wanita memang boleh memakai pakaian berjahit. Ini tampaknya pendapat dari Aisyah. Sebab kalau tidak, maka kebanyakan tidak ada beda antara tubban dan celana dalam segi terlarang bagi muhrim.”

Ulama yang tidak setuju dengan kebolehan ini berargumen bahwa sikap Aisyah itu dibolehkan dalam keadaan darurat. Karena terbukanya aurat kaum lelaki dan sama sekali tidak menunjukkan kebolehan memakainya tanpa darurat.

Ada juga riwayat di mana seorang Sahabat bernama Ammar bin Yasir yang memakai tubban saat ihram. Ibnu Abi Syaibah dalam Musonnaf Ibnu Abi Syaibah, hlm. 6/34, menyatakan:


: رأيت على عمار بن ياسر تُبَّاناً ، وهو بعرفات .

Artinya: Aku melihat Ammar bin Yasir memakai tubban saat di Arafah.

Kisah ini tampaknya dalam konteks keadaan darurat. Karena, ternyata Ammar bin Yasir melakukan itu disebabkan oleh penyakit beser yang dideritanya di era Usman bin Affan sehingga dia tidak bisa menahan kencing. Hal ini disebutkan dalam kitab Akhbarul Madinah (hlm. 3/1100) ada ucapan “فلا يستمسك بولي”

Dalam kitab An-Nihayah fi Gharib Al-Atsar (hlm. 2/126) disebutkan riwayat bahwa Ammar menderita penyatakan kencing. Dalam hadis Abdu Khair ia berkata:


رأيت على عمار دقرارة ، وقال : ” إني ممثون “

Artinya: Aku melihat Ammar memakai celana dalam. Ammar berkata: Aku menderita penyakit kencing.

Kesimpulan: memakai celana dalam yang berjahit tidak boleh pada saat sedang ihram. Baik Ihram umrah atau ihram haji kecuali dalam keadaan darurat.

Apabila dalam keadaan darurat, maka boleh memakainya tanpa harus membayar fidyah/kafarat. Ibnu Hajar Al Haitami (madzhab Syafi’i) dalam Al-Fatawa menyatakan:


فقد سئل ابن حجر الهيتمي – رحمه الله تعالى – عن شد الذكر من أجل السلس، هل فيه فدية أم لا؟ فأجاب بقوله: لا فدية عليه بالشد المذكور؛ لأمور: منها قولهم: كل محظور في الإحرام أبيح للحاجة فيه الفدية، إلا نحو السراويل، والخفين؛ لأن ستر العورة، ووقاية الرجل من النجاسة مأمور بهما لمصلحة الصلاة، وغيرها، فخفف فيها.

Artinya: Ibnu Hajar Al Haitami ditanya tentang menutup kemaluan karena beser apakah harus bayar fidyah? Ia menjawab: Tidak wajib membayar fidyah karena beberapa hal: a) setiap yang dilarang dalam ihram itu dibolehkan apabila ada hajat dengan membayar fidyah kecuali yang sejenis celana dan kaus kaki (maka tidak wajib fidyah). Karena menutup aurat dan menjaga kaki dari najis itu diperintahkan untuk kemaslahatan shalat dan lainnya. Maka diringankan dari fidyah.

Namun Al Mardawi (madzhab Hanbali) dalam Al-Inshaf menyatakan harus membayar fidyah:


إذَا احْتَاجَ إلَى فِعْلِ شَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الْمَحْظُورَاتِ مِثْلُ: أَنْ احْتَاجَ إلَى حَلْقِ شَعْرِهِ لِمَرَضٍ، أَوْ قَمْلٍ، أَوْ غَيْرِهِ، أَوْ إلَى تَغْطِيَةِ رَأْسِهِ، أَوْ لُبْسِ الْمَخِيطِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَفَعَلَهُ، فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ بِلَا خِلَافٍ أَعْلَمُهُ، وَيَجُوزُ تَقْدِيمُ الْفِدْيَةِ بَعْدَ وُجُودِ الْعُذْرِ، وَقَبْلَ فِعْلِ الْمَحْظُورِ

Artinya: Apabila muhrim ingin melakukan sesuatu dari larangan ini seperti memotong rambut karena sakit atau lainnya atau menutup kepalanya atau memakai pakaian berjahit dll lalu melakukannya maka dia harus membayar fidyah tanpa perbedaan ulama sepanjang yang aku ketahui. Boleh mendahulukan bayar fidyah setelah adanya udzur dan sebelum melakukan yang dilarang.

Adapun fidyah yang harus dibayar ada tiga pilihan yaitu menyembelih kambing atau sedekahan pada 60 orang miskin atau puasa tiga hari. Sebagaimana disebut dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah:


اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ مَنْ فَعَل مِنَ الْمَحْظُورَاتِ شَيْئًا لِعُذْرِ مَرَضٍ، أَوْ دَفْعِ أَذًى، فَإِنَّ عَلَيْهِ الْفِدْيَةَ، يَتَخَيَّرُ فِيهَا: إِمَّا أَنْ يَذْبَحَ هَدْيًا، أَوْ يَتَصَدَّقَ بِإِطْعَامِ سِتَّةِ مَسَاكِينَ، أَوْ يَصُومَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ} وَلِمَا وَرَدَ عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال لَهُ حِينَ رَأَى هَوَامَّ رَأْسِهِ: أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ؟ قَال: قُلْتُ: نَعَمْ، قَال: فَاحْلِقْ، وَصُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوِ انْسُكْ نَسِيكَةً. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. اهــ

Artinya: Ulama sepakat bahwa orang yang melakukan larangan saat ihram karena sakit atau menolak penyakit maka wajib bayar fidyah yang boleh memilih antara menyembelih kambing, bersedekah memberi makan 60 orang miskin atau puasa tiga hari berdasarkan firman Allah QS Al-Baqarah 2:196 dan hadis dari Ka’ab bin Ujrah.

CELANA DALAM TAK BERJAHIT

Di luar hukum di atas, ada solusi yang diberikan oleh ulama Dewan Fatwa Mesir yang menyatakan bahwa celana dalam yang tidak berjahit, yang diproduksi secara khusus oleh perusahaan untuk orang ihram, maka dibolehkan.


وعليه وفي واقعة السؤال: فنفيد بأن السترة المسؤول عنها جائز لُبسُها مِن قِبل المُحرِم حاجًّا كان أو معتمرًا، ويجوز التعامل فيها صناعيًّا وتجاريًّا.

Dengan demikian, kain penutup yang digambarkan dalam pertanyaan di atas boleh dipakai oleh orang yang berihram untuk haji ataupun umrah. Sehingga, perusahaan anda dibolehkan untuk memproduksi barang tersebut.

Baca detail:
Celana Dalam tak Berjahit saat Ihram
Haji dan Umroh

Kembali ke Atas