Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Fatwa MUI tentang Uang Elektronik

Fatwa MUI tentang Uang Elektronik

Berikut fatwa terkait uang elektronis seperti OVO, GO-PAY, PAY-TREN, E-WALLET, dll

FATWA

DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJELIS ULAMA INDONESIA

NO: 116/DSN-MUI/IX/20I7

Tentang

UANG ELEKTRONIK SYARIAH

Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) setelah,

Menimbang:

a. bahwa alat pembayaran berupa uang elektronik yang diterbitkan oleh bank maupun lembaga selain bank saat ini semakin berkembang di Indonesia;

b. bahwa masyarakat Indonesia memerlukan penjelasan mengenai ketentuan dan batasan hukum terkait uang elektronik dari segi syariah; bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b, DSN-MUI memandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang Uang Elektronik Syariah untuk dijadikan pedoman;

Mengingat: 1. Firman Allah SWT:

a. Q.S. an-Nisa (4): 58:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”.

b. Q.S.al-Maidah (5): 1:

“Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu..”

c. Q.S. al-Isra’ (17):34:

“… Dan tunaikanlah janji-janji itu, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban… “

d. Q.S. an-Nisa’ (4):29:

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian….”

e. Q.S.Al-Kahfi (18): 19:

“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang paling baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun”

f. Q.S. al-Furqan (25): 67 :

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”

g. Q.S. al-Qashash (28′): 26:

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

h. Q.S. al-Baqarah (2): 275 :

“Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

i. Q.S. al-Baqarah (2):282:

“Hai orang yang berimanl Jika kamu bermu’amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis… “

2. Hadis Nabi SAW:

a. Hadits Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i. dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit:

” (Jual beli/pertukaran) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (disyaratkan harus dalam ukuran yang) sama (jika yang dipertukaran) satu jenis dan (harus) secara tunai. Jika jenisnya berbeda, jualah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”

b. Hadis Nabi riwavat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri:

“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (ukurannya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (ukurannya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. “

c. Hadis Nabi riwayat Abu Daud dan Tirmidzi:

“Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.”

d. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin al-Shamit r.a.,riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas r.a., riwayat Malik dari bapaknya Yahya al-Mazini r.a.” dan riwayat al-Hakim dan al-Dar al-Quthni dari Abu Sa’id al-Khudriy r.a.:

“Tidak boleh membahayakan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya). “

e. Hadis Nabi riwayat al-Tirmidzi dart kakeknya’ Amr bin ‘Auf al-Muzani, dan riwayat al-Hakim dari kakeknya Katsir bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf r.a.:

“Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. “

f. Hadis Nabi s.a.w. riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah r.a. dan Abu Sa’id al-Khudri r.a.:

“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”

g. Hadis Nabi riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar r.a., riwayat al-Thabrani dari Jabir r.a., dan riwayat al-Baihaqi dari Abu Hurairah r.a.:

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.”

h. Hadis Nabi riwayat Muslim, dari ‘Aisyah dan dari Tsabit dari Anas:

“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”

3. Kaidah fikih:

“Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya alau meniadakan kebolehannya”.

” Segala dharar (bahaya/kerugian) harus dihilangkan ” .

” Dharar (bahaya/kerugian) harus dicegah sebisa mungkin ” .

“sesuatu yang berlaku berdasarkan adat’ kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat). “

“Hukum yang didasarkan pada adat (kebiasaan) berlaku bersama adat tersebut dan batal (tidak berlaku) bersamanya ketika adat itu batal, seperti mata uang dalam muamalat… ” (Al-Qarafi., Anwar al- Buruq .fi Anwa’ al-Furuq, j.2,h.228)

” (Dikutip) dari kitab al-Dzakhirah sebuah kaidah. Setiap hukum yang didasarkan pada suatu ‘urf (tradisi) atau adat (kebiasaan masyarakat) menjadi batal (tidak berlaku) ketika adat tersebut hilang. Oleh karena itu, jika adat berubah, maka hukum pun berubah.” (Al-Taj wa (tl-Iklil li-Mukhtashar Khalil,j. 7, h. 68)

“Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus mengikuti kepada kemashlahatan (masyarakat) “

“Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah”

Memperhatikan : 1. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, sebagaimana Tafsir al-Shan’any, Jili 3, hal 93:

Umar bin Khattab berkata “Aku berkeinginan membuat uang dirham dari kulit unta”, lalu dikatakan kepadanya “kalau begitu, tidak akan ada lagi unta..”, lalu Umar mengurungkan niatnya”

2. Pendapat Imam Malik, dalam kitab Al-Mudawanah al-Kubra, Jilid 3, Hal. 90:

“Andaikan masyarakat membolehkan uang dibuat dari kulit dan dijadikan sebagai alat tukar, pasti saya melarang uang kulit itu ditukar dengan emas dan perak secara tidak tunai”

3. Pendapat Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla, Jilid 8, hal.477:

“Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan boleh digunakan sebagai alat bayar, dan tidak terdapat satu nash pun yang menyatakan bahwa uang harus terbuat dari emas dan perak”

4. Pendapat Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ al-Fatawa, Jilid 19, hal.251:

“Adapun dinar dan dirham, maka tidak ada batasan secava alami maupun secara syar’i, tapi rujukannya adalah pada kebiasaan (‘adah) dan kesepakatan. Hal itu karena pada dasarnya tujuan orang (dalam penggunaan dinar dan dirham) tidak berhubungan dengan substansinya, tetapi tujuannya adalah agar dinar dan dirham menjadi standar bagi objek transaksi yang mereka lakukan. Fisik dinar dan dirham tidaklah dimaksudkan (bukan tujuan), tetapi hanya sebagai sarana untuk melakukan transaksi dengannya. Oleh karena itu, dinar dan dirham (hanya) berfungsi sebagai tsaman (harga, standar nilai). Berbeda dengan harta yang lain (barang),’ barang dimaksudkan untuk dimanfaatkan fisiknya. Oleh karena itu, barang harus diukur dengan perkara-perkara (ukuran-ukuran) yang bersifat alami atau syar’i. Sarana semata yang fisik maupun bentuknya bukan merupakan tujuan boleh digunakan untuk mencapai tujuan, seperti apa pun bentuknya. “

5. Uang -yang dalam literatur fiqh disebut dengan tsaman atau nuqud fiamak dari naqd)- didefinisikan oleh para ulama, antara lain, sebagai berikut:

“Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun media tersebut.” (Abdullah bin Sulaiman al-Mani’, Buhut,s ./i al-Iqtishad al-Islami, Mekah: al-Maktab al-Islami. 1996, h. 178)

“Naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.” (Muhammad Rawas Qal’ah h. al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirahfi Dhau’ al-Fiqh wa al-Sytari’ah, Beirut: Dar al-Nafa’is, 1999, h.23).

6. Surat permohonan fatwa perihal Uang elektronik yang sesuai dengan prinsip syariah dari PT Veritra Sentosa Internasional (VSI) Nomor: 043/Treni/Legal/2017 tanggal 04 April 2A17.

7. Hasil Diskusi “Kajian Uang Elektronik Ditinjau dari Kesesuaian Prinsip-Prinsip Syariah” antara Tim Paytren dengan Tim Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), di Jakarta, tanggal 22 Agustus 2017.

8. Pendapat dan saran Working Group Perbankan Syariah (WGPS) yang terdiri atas DSN-MUI, OJK, DSAS-IAI, dan Mahkamah Agung, tanggal 07 September 2017 di Jakarta.

9. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia pada hari Selasa tanggal 28 Dzulhijjah 1438 H/19 September 2017.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : FATWA TENTANG UANG ELEKTRONIK SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:

1. Uang elektronik (electronic money) adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur berikut:

a. diterbitkan atas dasar jumlah nominal uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit;

b. jumlah nominal uang disimpan secara elektronik dalam suatu media yang teregistrasi;

c. jumlah nominal uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan; dan

d. digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut.

2. Uang elektronik syariah adalah uang elektronik yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

3. Jumlah nominal uang elektronik adalah jumlah nominal uang yang disimpan secara elektronik yang dapat dipindahkan karena keperluan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana.

4. Penerbit adalah bank atau lembaga selain bank yang menerbitkan uang elektronik.

5. Pemegang uang elektronik adalah pihak yang menggunakan uang elektronik.

6. Prinsipal adalah bank atau lembaga selain bank yang bertanggungjawab atas pengelolaan sistem dan/atau jaingan antar anggotanya yang berperan sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi uang elektronik yang kerja sama dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis.

7. Acquirer adalah bank atau lembaga selain bank yang:

a. melakukan kerja sama dengan pedagang sehingga pedagang mampu memproses transaksi dari uang elektronik yang diterbitkan oleh pihak selain acquirer yang bersangkutan; dan

b. bertanggungjawab atas penyelesaian pembayaran kepada pedagang.

8. Pedagang (merchant) adalah penjual barang dan atau jasa yang menerima transaksi pembayaran dari Pemegang.

9. Penyelenggara kliring adalah bank atau lembaga selain bank yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi uang elektronik.

10. Penyelenggara penyelesaian akhir adalah bank atau lembaga selain bank yang melakukan dan bertanggunglawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing-masing penerbit dan/atau acquirer dalam rangka transaksi uang elektronik berdasarkan hasil perhitungan dari penyelenggara kliring.

11. Agen Layanan Keuangan Digital (LKD) adalah pihak ketiga yang bekerjasama dengan penerbit dan bertindak untuk dan atas nama penerbit dalam memberikan layanan keuangan digital.

12. Akad wadi’ah adalah akad penitipan uang dari pemegang uang elektronik kepada penerbit dengan ketentuan pemegang uang elektronik dapat mengambil/menarik/menggunakan kapan saja sesuai kesepakatan.

13. Akad qardh adalah akad pinjaman dari pemegang uang elektronik kepada penerbit dengan ketentuan bahwa penerbit wajib mengembalikan uang yang diterimanya kepada pemegang kapan saja sesuai dengan kesepakatan.

14. Akad ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran atau upah.

15. Akad ju’alah adalah akad untuk memberikan imbalan (reward/’iwadh/ju’l) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.

16. Akad wakalah bi al-ujrah adalah akad wakalah dengan imbalan (ujrah).

17. Biaya layanan fasilitas uang elektronik adalah biaya yang dikenakan penerbit kepada pemegang berupa:

a. biaya penggantian media uang elektronik untuk penggunaan pertama kali atau penggantian media uang elektronik yang rusak atau hilang:

b. biaya pengisian ulang (top up) melalui pihak lain yang bekerjasama dengan penerbit atau menggunakan deliverry channel pihak lain;

c. biaya tarik tunai melalui pihak lain yang bekerjasama dengan Penerbit atau menggunakan delivery channel pihak lain; dan atau

d. biaya administrasi untuk uang elektronik yang tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu.

18. Riba adalah tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (al-amwal al-ribawiyah) dan tambahan yang diberikan atas pokok utang dengan imbalan penangguhan pembayaran secara mutlak.

19. Gharar adalah ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau kuantitas obyek akad maupun mengenai penyerahannya.

20. Maysir adalah setiap akad yang dilakukan dengan tujuan yang tidak jelas, dan perhitungan yang tidak cermat, spekulasi, atau untung-untungan

21. Tadlis adalah tindakan menyembunyikan kecacatan obyek akad yang dilakukan oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah obyek akad tersebut tidak cacat.

22. Risywah adalah suatu pemberian yang bertujuan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, membenarkan yang batil dan menjadikan sesuatu yang batil sebagai sesuatu yang benar.

23. Israf adalah pengeluaran harta yang berlebihan .

Kedua : Ketentuan Hukum

Uang elektronik boleh digunakan sebagai alat pembayaran dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini.

Ketiga : Ketentuan terkait Akad dan Personalia Hukum

1. Akad antara penerbit dengan pemegang uang elektronik adalah akad wadi’ah atau akad qardh.

a. Dalam hal akad yang digunakan adalah akad wadi’ah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wadi’ah sebagai berikut:

1) Jumlah nominal uang elektronik bersifat titipan yang dapat diambil/digunakan oleh pemegang kapan saja;

2) Jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan tidak boleh digunakan oleh penerima titipan (penerbit), kecuali atas izin pemegang kartu;

3) Dalam hal jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan digunakan oleh penerbit atas izin pemegang kartu, maka akad titipan (wadiah) berubah menjadi akad pinjaman (qardh), dan tanggung jawab penerima titipan sama dengan tanggung jawab dalam akad qardh.

4) Otoritas terkait wajib membatasi penerbit dalam penggunaan dana titipan dari pemegang kartu (dana float).

5) Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan pemndang-undangan.

b. Dalam hal akad yang digunakan adalah akad qardh, maka berlaku ketentuan dan batasan akad qardh sebagai berikut:

1) Jumlah nominal uang elektronik bersifat hutang yang dapat diambil/digunakan oleh pemegang kapan saja.

2) Penerbit dapat menggunakan (menginvestasikan) uang hutang dari pemegang uang elektronik.

3) Penerbit wajib mengembalikan jumlah pokok piutang Pemegang uang elektronik kapan saja sesuai kesepakatan;

4) Otoritas terkait wajib membatasi penerbit dalam penggunaan dana pinjaman (utang) dari pemegang kartu (dana float).

5) Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.

2. Di antara akad yang dapat digunakan penerbit dengan para pihak dalam penyelenggaraan uang elektronik (prinsipal, acquirer, Pedagang (merchant), penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesai akhir) adalah akad ijorah, akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.

a. Dalam hal akad yang digunakan akad ijarah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ijarah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah.

b. Dalam hai akad yang digunakan akad ju’alah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ju’alah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju’alah.

c. Dalam hal akad yang digunakan akad wakalah bi al-ujrah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wakalah bi al-ujrah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah bi al-Ujrah.

3. Di antara akad yang dapat digunakan antara penerbit dengan agen layanan keuangan digital adalah akad ijarah, akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.

a. Dalam hal akad yang digunakan akad ijarah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ijarah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 112/DSN-MUI/IX/2017 &ntang Akad Ijarah.

b. Dalam hal akad yang digunakan akad ju’alah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad ju’alah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 62IDSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju’alah.

c. Dalam hal akad yang digunakan akad wakalah bi al-ujrah, maka berlaku ketentuan dan batasan akad wakalah bi al-ujrah sebagaimana terdapat dalam DSN-MUI Nomor: 113/DSN-MUI/IX/2017 tentang Wakalah bi al-Ujrah.

Keempat : Ketentuan Biaya Layanan Fasilitas

Dalam penyelenggaraan uang elektronik, penerbit dapat mengenakan biaya layanan fasilitas uang elektronik kepada pemegang dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Biaya-biaya layanan fasilitas harus berupa biaya riil untuk mendukung proses kelancaran penyelenggaraan uang elektronik; dan

2. Pengenaan biaya-biaya iayanan fasilitas harus disampaikan kepada pemegang kartu secara benar sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kelima : Ketentuan dan Batasan Penyelenggaraan dan Penggunaan Uang Elektronik

Penyelenggaraan dan penggunaan uang elektronik wajib terhindar dari :

1. Transaksi yang ribawi, gharar, maysir, tadlis, risywah, dan israf:, dan

2. Transaksi atas objek yang haram atau maksiat.

Keenam : Ketentuan Khusus

1. Jumlah nominal uang elektronik yang ada pada penerbit harus ditempatkan di bank syariah.

2. Dalam hal kartu yang digunakan sebagai media uang elektronik hilang maka jumlah nominal uang yang ada di penerbit tidak boleh hilang.

Ketujuh : Penyelesaian Perselisihan

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika teriadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Kedelapan : Ketentuan Penutup

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan akan diubah serta disempurnakan sebagaimana mestinya jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada Tanggal : 28 Dzulhljah 1438 H

19 September 2017 M

DEWAN SYARIAH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua, Sekretaris,

Prof. Dr. KH Maruf Amin Dr. H. Anwar Abbas, MM., M.Ag

Kembali ke Atas