Keceplosan Talak Sharih, Apakah Jatuh Talak?
KECEPLOSAN TALAK SHARIH, APAKAH JATUH TALAK?
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Alkhoirot
Saya Iman Saputra,
1. Apakah lafadz sharih yang terucapkan karena sabqul lisan (keceplosan) berdampak hukum?
2A. Tepat saat melonggarkan pelukan (saat memeluk istri) terjadi sabqul lisan dalam hati. Saya bermaksud melintaskan kalimat “Yang di[kata sharih]kan adalah pelukan, bukan…” Tapi seperti saya katakan, kalimatnya di dalam hati salah menjadi kalimat sharih yang saya khawatirkan akan berdampak bila terucap. Alhamdulillah hanya dalam hati.
Apakah ketepatan waktu antara lintasan dan tindakan tersebut berdampak hukum?
2B. Apakah cara saya menanyakan pertanyaan di atas mungkin berdampak hukum? Apakah tetap secara mutlak pasti berada dam konteks bertanya?
3. Saya agak bingung dengan kata ‘open’, yanv bisa berarti ‘buka’ namun juga bisa berarti kata lafadz sharih.
3A. Dalam bahasa Inggris), anak saya minta izin membuka sepatu (dengan kata open tersebut), saya mengizinkan dengan kata yang sama, dalam kalimat “Yes, you can open your shoes.”
Sesudah kalimat tersebut baru saya menyadari dualisme translasinya.
Apakah ada dampak apapun?
3B. Esoknya (hari ini), anak saya meminta saya membuka seragamnya. Saya terlalu ketakutan, dan saya duduk tanpa berucap, dengan maksud membiarkan istri saya mengerjakannya, karena berpikir bila dia yang mengerjakan pasti tidak berdampak. Saya tahu saya tidak bertindak logis. Hari ini serangan kekalutannya hebat sekali.
Apakah ada dampak dari tindakan saya tersebut?
3C. Sorenya, anak bungsu saya meminta saya membuka jaketnya dengan kalimat sejenis dan kata yang sama. Saya melakukannya tanpa verkata-kata sama sekali. Apakah ada dampaknya?
4. Pada salah satu konsultasi sebelumnya, saya pernah bertanya suatu kejadian. Saat itu mulut saya tidak sengaja membentuk kalimat tanpa suara (tidak bahkan berbisik), di mana kalimat tersebut adalah sebuah lafadz kinayah, dan kondisi saya saat itu adalah sedang dalam emosi tinggi. Namun tidak ada suara apapun yang bisa terdengar oleh siapun, termasuk oleh saya sendiri.
Saya mendapatkan fatwa dari KSIA bahwa tidak ada dampak karena dianggap ucapan dalam hati.
Apakah walau lidah bergerak, selama tidak ada suara yang terdengar oleh siapa pun, termasuk diri sendiri, dianggap bukan lisan?
5. Pada konsultasi bertopik “[Penting] Lanjutan Pertanyaan Pendalaman topik Was-was seputar Pernikahan.” Saya menanyakan sebuah pertanyaan sbb.
Saya sudah pernah dijelaskan ucapan talak orang OCD tidak sah, tapi bagaimana pada orang was-was akut yang bukan OCD?
Saya pernah menjelaskan, bahwa saya pernah bertanya pada istri apakah syarat talak muallaq nya tidak terjadi, tapi alih-alih mengatakan ‘tidak terjadi’ saya malah menggunakan kata ‘jatuh’ (maksud saya gugur, tidak berlaku lagi), dikarenakan sedang was-was berat. Dan istri saya membenarkan saya bahwa memang syaratnya tidak terjadi/tidak terpenuhi menggunakan kata yang sama (yaitu ‘jatuh’) karena mengikuti kata yang saya gunakan dan dia mengerti maksud saya sebenarnya.
Saya tidak tahu apakah was-was berat saya termasuk OCD, yang pasti kata itu saya tidak sengaja ucapkan karena sedang terus-terusan khawatir perkara tersebut.
» Apakah hukumnya sama dengan pada orang OCD?
» Apakah termasuk sabqul lisan?
» Apakah jawaban istri saya berdampak hukum? mengingat dia mengikuti kosakata saya, bukan sabqul lisan?
Saya mendapat jawaban KSIA bahwa semuanya tidak berdampak. Karena saya dalam keadaan penyakit was-was, bahkan mungkin was-was qahry.
Yang masih ingin saya tanyakan adalah:
Sabqul lisan saya berbentuk pertanyaan, dan istri saya yang tidak sabqul lisan dan tidak was-was, mengikuti kosa-kata saya, sehingga menyebut kata yang sama.
Boleh mohon penjelasannya untuk pegangan saya saat diganggu was-was, mengapa seluruh elemen pada tanya jawab (percakapan) tersebut tidak berdampak?
6. Pada pertanyaan no. 5 di atas, lafadz muallaq yang di maksud adalah sebuah lafadz sharih muallaq, yang saya (merasa terpaksa) ucapkan (pada awal Maret 2018) setelah ditekan istri saat kondisi penyakit was-was saya sedang teramat parah.
Saat itu, saya tidak tahu bahwa kata yang saya pakai adalah kata lafadz sharih. Bahkan sayaq pikir artinya hanya ‘tinggal di rumah/tempat tinggal yang berbeda”.
Dan syarat yang diucapkan adalah “bila dalam 6 bulan kondisi saya tidak ada progress”.
6A. Apakah lafadz tersebut sah? Mengingat saya tidak tahu konsekuensi kata tersebut?
6B. Apakah kondisi saya yang sudah maju jauh dari keadaan saat itu, sejak mendapat bimbingan intensif KSIA, (pada saat itu saya amat sering histeris, terbekukan karena ketakutan, menangis tidak terkontrol, dll) dan progress ini sudah dikonfirmasi oleh istri, otomatis menjadikan tidak ada dampak?
6C. Sebenarnya saya sudah mencabut lafadz muallaq tersebut sesuai petunjuk yang diberikan KSIA, namun saya masih cemas tentang hal tersebut. Boleh mohon penjelasannya.
6D. Apakah dengan ‘kejadian’ tanggal 5 Mei 2018 (yang sudah dirujuk), lafadz tersebut masih berlaku?
6E. Maaf, terus terang saya menambahkan kalimat ‘sejak mendapat bimbingan intensif KSIA’ untuk menunjukkan niat baik, penghargaan, dan terima kasih saya pada pihak Al Khoirot. Apakah sisipan ini, yang terus terang saya tambahkan setelah penulisan, membuat konteks tulisan saya berubah, atau tetap berkonteks bertanya/bercerita bagaimanapun juga?
Maafkan kekurangsopanan saya. Saya hanya ingin menyenangkan guru-guru saya yang sudah sangat sabar membantu saya. Saya malu sekali.
7. Pada kejadian lainnya (beberapa bulan sebelumnya), saya juga pernah mengucap sebuah lafadz muallaq dengan kata kinayah yang saya paham arahnya, di mana syaratnya adalah bila kami sudah kaya dan bila istri saya ‘tidak menginginkan saya lagi’. Di mawna kedua kondisi tersebut harus ada bersamaan.
Saya sebenarnya sudah mencabut lafadz ini juga sesuai petunjuk KSIA. (Saya mencabut semua lafadz muallaq sekaligus), namun saya masih mencemaskan lafadz tersebut.
Sama dengan pertanyaan di atas
7A. Bagaimana status hukum lafadz tersebut?
7B. Apakah masih berlaku pasca 5 Mei 2018?
8. Bila ada kata yang memiliki arti translasi ganda, seperti kata bahasa Inggris untuk kata pencar (bukan kata fadz sharih/kinayah), yang juga memiliki arti kata lafadz sharih, arti mana yang di ambil bila mendapat pertanyaan/pernyataan dengan kata tersebut?
9. Apakah mengerjakan suatu tindakan yang sama artinya dengan sebuah kata lafdz sharih, saat kata tersebut terlintas (bukan terucapkan), berdampak hukum?
10. Apakah mengucapkan kata yang memiliki arti translasi kata sharih, tapi bukan kata sharih pada bahasa tersebut (seperti kata concede, atau surrender, atau discern) berdampak hukum?
11. Apakah ada kalimat (atau cara saya menuliskan/menanyakannya) dari sepuluh nomor pertanyaan saya di atas yang mungkin berbahaya bagi pernikahan saya? Apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut ada yang masuk kategori “bertanya dengan menggunakan lafadz sharih”? Saya masih takut karena khawatir ada bisikan syaithan yang bertentangan dengan niat saya yang sebenarnya.
12. Bila konsentrasi saya terpecah,(karena harus menjawab, atau memperingatkan anak atau dipanggil istri) sehingga kadang ada kondisi blank atau auto-writing, apakah dapat mengubah konteks tulisan saya di atas dari konteks bertanya/bercerita?
13. Saat mengucap syahadat, ada bisikan syaithan. Saya segera membantah fitnah tersebut dengan melintaskan niat saya adalah mengukuhkan keIslaman saya, bukan ada maksud aneh-aneh. Apakah ada dampak pada pernikahan saya?
14. Apakah menekan suatu tombol pada game, di mana artinya (atau kata tersebut adalah sebuah kata sharih) berdampak hukumkah?
15. Apakah mengerjakan sebuah instruksi pada game, yang kata perintahnya adalah kata lafadz sharih/kinayah namun objeknya jelas hal yang aman, berdampak hukum?
15. Tidak ada. Tampaknya di sini ada kekurangfahaman anda. Kata sharih itu baru disebut sharih (dalam arti berakibat talak) apabila diucapkan dengan maksud menceraikan istri. Sedangkan kata sharih yang dipakai untuk memencet tombol game atau bukan pintu atau semacamnya, maka itu tidak disebut kata sharih.
16. Apakah boleh memainkan sebuah game, di mana elemen nya kadang secara tidak sengaja membentuk bentuk salib? Seperti pada tipe permainan match-3 atau tipe connect dots, di mana kadang bidak/biji permainannya membentuk konstruksi salib?
17. Bolehkah memainkan permainan bukan judi, bukan ramalan, yang menggunakan dadu atau kartu remi (seperti monopoli atau ular tangga)?
Setahu saya kartu remi berasal dari set arcana minor kartu tarot. Sehingga saya sudah lama melarang keluarga saya main dengan kartu remi. Apakah saya berdosa melarang mereka main dengan kartu remi?
18. Bagaimana hukumnya bersekolah/bekerja di tempat yang lambang lembaganya berupa gambar sesembahan orang musyrik (seperti di ITB atau Universitas kristen), sehingga sering harus menempatkan lambang/logo pada cover laporan atau makalah?
Apakah ijazah atau gajinya halal?
19. Pertanyaan ini membuat saya sangat malu.
Setelah berhubungan suami istri, istri saya meminta saya memijat kakinya dengan kalimat “ayo bayar”. Saya berkata “jangan bilang bayar”. Karena bagaimanapun, kami suami istri yang sah. Namun saya tetap mengerjakan permintaannya.
Sesudahnya, terus terang saya membungkam seharian karena menghadapi serangan was-was yang bertubi-tubi. Saya juga menyampaikan niat saya bertanya pada KSIA. Istri saya cemas, dan meminta maaf dengan bertanya apakah itu karena dia mengacau (merujuk pada kalimat di atas, dan saya tahu dia merujuk pada seloroh nya tersebut).
Saya berkata, dia tidak mengacau. Maksud saya alasan saya bungkam bukan karena kata-katanya, tapi karena menghadapi serangan was-was.
Apakah ada dampak hukum dari jawaban saya?
Apakah saya sudah na’udzubillahi mindzalik mengatakan sesuatu yang berbahaya?
Mohon penjelasan dan bimbingannya.
JAWABAN
1. Kasus ini sudah pernah dijelaskan. Jawabannya: tidak ada dampak hukum. Karena: ucapan anda bukan ucapan pernyataan, tapi ucapan kondisional. Ucapan kondisional, walaupun sharih, tidak terjadi karena menunjukkan waktu yg akan datang (future tense). Baca detail: Cerai Masa yang akan Datang
Ucapan kondisional yang sharih akan berdampak hukum dalam kasus talak muallaq. Baca detail: Talak Muallaq dan Cara Rujuk
Baca juga: Ucapan Talak yang Keceplosan
2a. Tidak ada dampak secara mutlak. Ucapan kinayah dalam konteks di luar perceraian tidak berdampak hukum baik tidak ada niat ataupun ada niat.
2b. Sudah disebutkan, ada niatpun tidak ada dampak hukumnya.
2c. Tidak ada dampak apapun karena di luar konteks.
2d. Tidak ada dampak.
2e. Tidak ada dampak. Soal takdir, silahkan baca detail: Takdir
2f. Tidak ada dampak.
2g. Tidak.
2h. Tidak ada dampak. Sekali lagi fahami ini (harap dicetak besar dan taruh di meja anda agar hafal secara instingtif): Ucapan kinayah di luar konteks tidak ada dampak secara mutlak. Baik tanpa niat atau dengan niat.
2i. Tidak ada dampak.
3a. Kata ‘Open’ tidak ada unsur kinayahnya sama sekali. Kinayah itu kata yang ada kemiripan dengan makna “pisah” atau “cerai” dan jumlahnya sangat terbatas. Misalnya, “pergi”, “kuantar kau ke orang tuamu”, “pulang”, atau “Aku usir kamu dari rumahku”. Dan baru disebut kinayah apabila dalam konteks sedang bertengkar. Apabila di luar konteks, maka tidak ada dampak sama sekali walaupun seandainya ada niat. Contoh, suami berkata pada istri: “Tolong kucing itu usir dari sini!”, dll.
3b. Tidak ada. Lihat 3a.
3c. Tidak ada. Lihat 3a.
=====
4. Ya. Dianggap bukan ucapan.
5. Ya, was-was berat sama dengan OCD. Dalam bahasa Arab, OCD itu disebut was-was qahriyah (الوسوسة الهقرية). Beda dengan sabqul lisan (keceplosan). Walaupun hukumnya sama-sama tidak berdampak. Baca detail: Ucapan Talak yang Keceplosan
Ucapan istri tidak ada dampak apapun pada pernikahan. Penentu status pernikahan itu hanya ada dua: a) suami; b) hakim di pengadilan agama. Baca detail: Cerai dalam Islam
6a. Tidak sah. Baca detail: Talak orang Awam Hukum
6b. Ya.
6c. Sudah dijelaskan bahwa talak muallaq boleh dicabut. Dan kalau sudah dicabut, maka tidak lagi berlaku walaupun seandainya kondisinya terjadi di kemudian hari.
6d. Kalau tidak sah, maka rujuk itu tidak perlu. Kalau pun dilakukan tidak ada dampak apapun.
6e. Tidak berubah.
7a. Sudah terhapus.
7b. Tidak berlaku.
8. Ambil arti yang sesuai dengan pertanyaan. Tidak perlu takut akan berdampak. Kembali pada jawaban awal: ucapan sharih pun kalau di luar konteks menceraikan istri itu tidak ada dampak apapun. Apalagi kinayah.
9. Tidak berdampak.
10. Tidak berdampak.
11. Tidak ada.
12. Tidak merubah.
13. Tidak ada.
14. Tidak ada. Jauh dari itu.
16. Boleh.
17. Boleh. alat permainan hukum asalnya adalah mubah. Ia berubah menjadi haram ketika dipakai untuk perbuatan haram yaitu judi, dst.
Tidak apa-apa melarang anak main remi, tapi jangan karena masalah fikih. Tapi karena sebab lain yang bersifat pedagogi. Misalnya, agar tidak terbiasa hidup malas, dll.
18. Tidak apa-apa dan gajinya halal. Halal dan haram itu terletak pada jenis kerjanya. Bukan pada yang lain. Baca detail: Bisnis dalam Islam
19. Tidak ada dampak hukum apapun. Ucapan istri anda tentunya niat bercanda. Dan sebagai suami, sebaiknyalah anda menjawab dengan candaan pula. Agar kehidupan bertambah mesra. Jangan takut dengan dampak. Kami kira ilmu anda sudah cukup dalam soal ini. Yang diperlukan adalah keberanian untuk melawan rasa was-was. Caranya adalah dengan melawannya.
Ingat pedoman ini (silahkan dicetak kalau perlu):
A. Ucapan sharih (talak, cerai, pisah, lepas) hanya disebut sharih apabila dalam konteks ketika anda bermaksud menceraikan istri. Di luar konteks itu, maka ucapan sharih itu tidak ada makna dan tidak ada dampak hukum apapun.
B. Ucapan kinayah (pergi, pulang, kembali ke orang tua, dll) hanya disebut kinayah (yang apabila disertai niat berdampak talak) apabila dimaksudkan untuk menceraikan istri. Kalau dipakai untuk kondisi di luar itu, maka tidak ada makna dan dampak hukum apapun. Walaupun disertai dengan niat.
Kalau anda sudah paham dengan poin a dan b di atas tapi tetap was-was, maka ada dua kemungkinan: a) penyakit ocd anda masih belum sembuh; atau b) ada gangguan jin yang terus membisikkan sesuatu yang meresahkan pikiran anda. Apabila kasus (b) yang terjadi, maka perbanyak berdzikir. Baca detail: Doa Gangguan Setan
MELARANG
17. Sebenarnya karena peristiwa ini terjadi belum lama, saya sudah dalam kondisi sudah diberi tahu oleh KSIA tentang hukum rumah ibadah nonmuslim. Namun saat saya melarang istri saya menonton itu, saya dalam kondisi terlupa, dan saya dalam kondisi takut, karena masih ada sisa pengaruh wahabi yang tertanam di bawah sadar.
17A. Apakah saya sudah berdosa murtad karena mengharamkan yang halal?
17B. Apakah saya benar lintasan rancu mengenai hukum yang terbetik dalam benak, mengenai masalah ini, tidak mempengaruhi bagaimana keadaan saya dan pernikahan saya dan istri dihukumi?
Saya masih terus menekankan pada diri sendiri kaidah ini
Satu pertanyaan tambahan:
28. Sesudah khutbah Jum’at, seperti biasa khatib berdoa. Salah satu doa saya tidak tahu artinya, dan tiba-tiba ada bisikan kekhawatiran bahwa jangan-jangan mengamini doa tersebut bisa berdampak pada pernikahan. Saya langsung membantah bisikan tersebut. Saat masih dalam keadaan takut, saya mengatakan amin karena saya tahu adabnya demikian, dan tidak ada niat lain. Rasa takut tersebut kemudian datang lagi, menuduh seakan saya bersengaja.
Apakah benar bahwa tidak ada dampak pada pernikahan saya?
JAWABAN
17a. Tidak. karena di luar kesengajaan dan karena ketidaktahuan.
17b. Benar.
28. Tidak ada dampak.