Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Hukum menerima hadiah dari non-muslim

Hukum menerima hadiah dari non-muslim

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang

7C. Bagaimana hukumnya angku kwee dan menerima hadiah berupa makanan dari non muslim? Karena kadang di atasnya diberi cap untuk ritual konghucu juga.

7D. Bagaimana hukumnya nonton barongsai?

Saya mencoba menjalankan pelajaran yang saya dapat dari KSIA dengan mengabaikan was-was dan lintasan yang terjadi pada saya. Namun saya masih ada beberapa pertanyaan

1A. Setelah dijelaskan oleh KSIA (terima kasih atas kesabarannya, maaf saya merepotkan) saya sudah mengerti bahwa baik lafadz kinayah dan sharih tidak berdampak bila konteksnya memang konteks ‘aman’. Namun kadang saat saya menggunakan salah satu kata lafadz sharih atau kinayah, yang jelas dalam konteks aman (dan juga tanpa niat), ada was-was khawatir dampak. Biasanya saya tabrak was-was tersebut, walau kemudian saya tetap gelisah, kadang bahkan agak ketakutan. Pertanyaan saya, apakah sikap saya menabrak was-was tersebut menjadikan berdampak hukum? Apakah kesengajaan saya menabrak was-was tersebut untuk menyampaikan maksud asli saya (bukan mengubah status hukum) dianggap niat?

1B. Bahkan saat menuliskan kata’mengucapkan’, ‘lafadz sharih’ atau ‘lafadz kinayah’ pun saya harus mengingatkan diri bahwa saya sedang bertanya. Saya tahu bertanya/bercerita tidak ada dampak hukumnya. Namun bila niat bercerita/bertanya tersebut tidak terlafalkan dalam hati, dan hanya berupa kesengajaan yang langsung dilakukan (dalam bentuk kegiatan menulis pertanyaan) apakah sudah cukup untuk membuat tidak ada dampak, walau ada was-was yang menakut-nakuti?

1C. Bagaimana cara terbaik saya menterapi diri sendiri agar tidak panik saat mendengar kata lafadz sharih/kinayah yang jelas berada pada konteks aman? (Saya mulai dari mendengar dulu) Saya sudah paham hukumnya, terima kasih atas penjelasannya yang sudah disampaikan dengan begitu sabar, hanya saja saya harus mensinkronkan reaksi emosional saya dengan pengetahuan saya.

2. Apakah suara bukan kata-kata seperti hembusan nafas, deheman, atau suara lain yang tidak membentuk huruf dan kata dihukumi sama dengan isyarat tubuh? Bagaimana dengan gumaman yang tidak membentuk kata-kata?

3. Pertanyaan ini tentang dua lagu yang syairnya saya tulis bertahun-tahun yang lalu, sebelum saya menikah, namun masih sering saya nyanyikan sesudah saya menikah.

3A. Pada kasus lagu pertama, saya menuliskan lagu dengan dua lafadz kinayah yang dinyanyikan berulang-ulang sepanjang lagu (you made me see forever has gone dan (you) said our love forever has gone). Sebetulnya lagu tersebut membayangkan keadaan bila saya meninggal dunia, karena dulu saya sangat sakit-sakitan. Dan yang dimaksudkan dengan ‘you’ di sini adalah istri saya, walau lagu tersebut ditulis sebelum kami menikah.

Sesudah menikah lagu tersebut saya nyanyikan sebagai lagu saja, tanpa maksud apa-apa. Bagaimana hukumnya?

3A1. Saat menuliskan lirik di atas saya memberanikan diri sendiri dengan mengatakan dalam hati bahwa kalimat-kalimat tersebut sudah saya nyanyikan dan tuliskan berkali-kali, sehingga apapun hukumnya, saya tidak bisa mengubahnya. Namun saya tidak ingat apakah saya sempat meneguhkan niat saya bercerita sebelum menuliskan kata lafadz kinayah tersebut. Apakah pikiran tersebut menyebabkan ada dampak hukum?
Saya tahu betul saya tidak berniat aneh-aneh.

3B. Pada lagu kedua, saya menuliskan syair yang saya posisikan sebagai ucapan istri saya pada saya. Namun karena kesalahan penggunaan frase (karena saat menuliskannya, bahasa Inggris saya masih banyak kekurangan), Saat saya memaksudkan “I’ll be over there with you”, yang saya tuliskan dan nyanyikan malahan “I’ll be over you” yang artinya sepenuhnya bertolak belakang. Lagu ini juga saya tuliskan sebelum menikah.

Sesudah menikah, saya menyadari kesalahan penulisan frase tersebut namun belum sempat memperbaikinya.

Sesudah menikah lagu tersebut kadang saya nyanyikan saat latihan band kami. Kadang tetap dalam maksud aslinya, yaitu sebagai ucapan istri pada saya, atau kadang tanpa pikiran apa-apa, hanya dianggap rangkaian kata-kata saja. Tidak pernah terlintas niat macam-macam, apalagi syair lagu ini sebenarnya bertema romantik
Bagaimanakah hukumnya?

3C. Pada kedua kasus pertanyaan no. 3 di atas, keadaan saya dan istri sepenuhnya awam tentang hukum fiqih yang berhubungan dengan pernikahan. Pada waktu itu, kami tidak tahu ada yang namanya lafadz kinayah, dan jelas tidak pernah berniat macam-macam saat menyanyikannya. Apakah keawaman total kami ini dapat menyebabkan tidak ada dampak?

4A. Istri saya sempat tidak mengerjakan beberapa waktu shalat. Tiba-tiba terlintas sebuah pikiran yang saya segera luruskan dengan mengingat pendapat madzhab Syafi’i tentang orang yang tidak mengerjakan shalat namun mengakui kewajiban shalat. Apakah lintasan sekilas tersebut berdampak hukum pada pernikahan kami?

4B. Untuk menyemangati diri sendiri saya sempat berpikir ‘Saya tidak punya was-was’. Maksudnya saat itu pikiran saya memang sedang jernih. Namun segera itu juga ada was-was datang. Saya lawan dengan berkata pikiran saya tidak ada urusannya dengan bagaimana kejadian yang sudah lampau dihukumi. Dan saya berkata pada diri saya sendiri:

– Walau saya berkata demikian, tetap saja was-was/kekhawatiran yang terjadi saat saya menggunakan kata lafadz sharih/kinayah pada konteks aman dan tanpa niat adalah was-was, bukan niat.

– Dan lintasan-lintasan yang terjadi pada pikiran saya yang bukan kesengajaan tetap adalah was-was, bukan ucapan hati yang disengaja.

Apakah saya benar memikirkan dua pernyataan di atas?

5A. Apakah ada dampak saat saya melakukan sabqul lisan saat salah dengan berkata ‘suami istri seperti kita, yang selalu rela berkorban satu sama lain.” Seharusnya “berkorban untuk satu sama lain”? Bagaimana hukumnya?

5B. Apakah mengucapkan frase ‘keluarga kami’ saat memaksudkan orang tua saya dan anak-anaknya, berdampak hukum? Saya khawatir karena saya punya istri dan anak-anak, yang tentunya adalah keluarga saya.

6. Sedikit pendalaman mengenai konteks ‘aman’ dan status bercerita.
Bagaimana hukumnya menggunakan kata lafadz sharih saat memijat istri, saat membicarakan otot istri yang sudah kembali ke posisi seharusnya dengan kata itu. Apakah berdampak hukum? Saya khawatir karena pernah membaca tentang ucapan yang disandarkan pada bagian tubuh. Apakah tetap dianggap konteks yang berbeda?

7B. Bagaimana pula hukumnya makanan bacang (bukan yang diisi babi)? Karena bacang juga digunakan dalam festival konghucu

JAWABAN

7c. Sama saja. Tidak ada pengaruhnya. Hukum menerima hadiah makanan dari non muslim adalah boleh secara hukum dengan syarat seperti disebut di atas yakni makanan itu suci (tidak ada najisnya). Terkait hal ini, bahkan Ibnu Taimiyah, yang notabene dianggap pelopor ulama Salafi, membolehkan juga. Dalam kitab Iqtidha Shiratil Mustaqim, hlm. 2/455, Ibnu Taimiyah menyatakan:

فهذا كله يدل على أنه لا تأثير للعيد في المنع من قبول هديتهم؛ بل حكمها في العيد وغيره سواء لأنه ليس في ذلك إعانة لهم على شعائر كفرهم

Artinya: Ini semua menunjukkan bahwa tidak ada larangan dalam menerima hadiah mereka (orang kafir). Hukumnya sama saja bolehnya dalam hari raya atau lainnya karena hal itu tidak berarti menolong mereka atas syiar kekufuran mereka.

Namun khusus hadiah yang berupa daging, maka selain bukan daging haram juga harus disembelih secara islami oleh Muslim atau disembelih oleh Ahli Kitab. Untuk kehalalan sembelihan ahli kitab ini, mayoritas madzhab empat kecuali madzhab Syafi’i menghalalkan secara mutlak. Sedangkan madzhab Syafi’i memberi syarat tertentu.

7d. Barongsai yang kami tahu bukan termasuk bagian dari ritual keagamaan. Ia merupakan tradisi kultural. Karena itu hukum asalnya boleh. Namun bisa saja berubah menjadi haram apabila ada unsur yang haram di dalamnya. Misalnya, pelaku barongsai adalah lawan jenis yang membuka aurat, dll.

Lintasan hati untuk ceraikan istri

1a. Tidak ada dampak hukum. Apapun yang terlintas dalam hati/pikiran anda, selagi lafadz sharih itu digunakan dalam konteks bercerita, maka tidak ada dampak hukumnya. Jadi, tidak perlu takut untuk menggunakannya dalam konteks cerita.

1b. Tidak ada dampak. Sama saja terlafalkan dalam hati atau tidak, selagi dalam konteks bertanya atau bercerita.

1c. Selalu mengingatkan diri sendiri bahwa kata sharih yang berdampak hukum hanyalah apabila ada kesengajaan mengucapkan kata itu untuk menceraikan istri. Sedangkan pemakaian lafadz sharih yang bersifat di luar itu (untuk cerita, tanya, menyanyi, baca puisi, dll) maka tidak ada dampak hukum secara mutlak. Pemahaman ini harus diulang-ulang dibaca dan difahami agar menjadi insting yang inheren ke dalam emosi bawah sadar anda.

2. Tidak sama. Namun secara hukum sama-sama tidak ada dampaknya sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Baca detail: Isyarat cerai suami yang tidak bisu

3a. Tidak ada dampak hukum. Sama dengan bercerita. Bahkan seandainya ada kata sharih di lagu tersebut. Baca detail: Cerita Talak

3a1. Tidak ada dampak hukum walaupun tidak ada niat cerita.
3b. Tidak ada dampak hukum. Sama dengan bercerita.
3c. Ya, tidak ada dampak karena awam. Namun, seandainya pun tahu hukumnya juga tidak berdampak selagi mengucapkannya dalam konteks bercerita. Dan menyanyi itu sama dengan bercerita. Baca detail: Cerita Talak

4a. Tidak ada dampak hukum pada pernikahan anda berdua.
4b. Benar.

5a. Tidak ada dampak dari ucapan seperti itu. Ucapan itu bukan sharih juga bukan kinayah.
5b. Tidak ada dampak apapun.

6. Tidak ada dampak hukum. Mungkin maksud anda apa termasuk zhihar?Jawab: Itu tidak termasuk zhihar.

7b. Boleh, selagi terpenuhi syaratnya seperti disebut di poin 7a.

 

Kembali ke Atas