Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Bab Nikah Kitab Fathul Qorib

Bab Nikah Kitab Fathul Qorib

Bab Nikah Kitab Fathul Qorib

Daftar isi

  1. KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM NIKAH
    1. BAB SYARAT-SYARAT NIKAH
    2. BAB WANITA-WANITA MAHRAM
    3. BAB AIB-AIB NIKAH
    4. BAB MAS KAWIN
    5. BAB WALIMAH / RESEPSI
    6. BAB MENGGILIR ISTRI DAN NUSUZ
    7. BAB KHULU’
    8. BAB TALAK
    9. BAB HAK TALAK
    10. BAB TALAK RAJ’I
    11. BAB ILA’
    12. BAB DHIHAR
    13. BAB LI’AN & QADZAF (MENUDUH ZINA)
    14. BAB ‘IDDAH
    15. BAB MACAM-MACAM MU’TADDAH DAN HUKUM-HUKUMNYA
    16. BAB ISTIBRA’
    17. BAB RADLA’ (SUSUAN)
    18. BAB NAFAQAH (MENAFKAHI)
    19. BAB HADLANAH (MENGASUH ANAK)
  2. TERJEMAH KITAB FATHUL QORIB


KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM NIKAH

Dalam sebagian redaksi dengan menggunakan bahasa, “hukum dan permasalahan yang terkait dengan nikah.” وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَمَا يَتَّصِلُ بِهِ

(مِنَ الْأَحْكَامِ وَالْقَضَايَا)

Kalimat ini tidak tercantum di dalam sebagian redaksi matan. وَهَذِهِ الْكَلِمَةُ سَاقِطٌ مِنْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ
Nikah secara bahasa diungkapkan untuk makna mengumpulkan, wathi’ dan akad. وَالنِّكَاحُ يُطْلَقُ لُغَةً عَلَى الضَّمِّ وَالْوَطْءِ وَالْعَقْدِ
Dan secara syara’ diungkapkan untuk menunjukkan akad yang memuat beberapa rukun dan syarat. وَيُطْلَقُ شَرْعًا عَلَى عَقْدٍ مُشْتَمِلٍ عَلَى الْأَرْكَانِ وَالشُّرُوْطِ

 

Hukum Nikah

 

Nikah disunnahkan bagi orang yang membutuhkannya sebab keinginan kuat di dalam dirinya untuk melakukan wathi’ dan ia memiliki biaya seperti mas kawin dan nafkah. (وَالنِّكَاحُ مُسْتَحَبٌّ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ) بِتَوْقَانِ نَفْسِهِ لِلْوَطْءِ وَيَجِدُ اُهْبَتَهُ كَمَهْرٍ وَنَفَقَةٍ
Jika ia tidak memiliki biaya, maka tidak disunnahkan baginya untuk menikah. فَإنْ فَقِدَ الْأُهْبَةَ لَمْ يُسْتَحَبَّ لَهُ النِّكَاحُ .

 

 

Nikah Empat Wanita Bagi Laki-Laki Merdeka

dan Dua Wanita Bagi Budak

 

Bagi laki-laki merdeka hanya diperkenankan untuk mengumpulkan (dalam pernikahan) empat wanita merdeka saja. (وَيَجُوْزُ لِلْحُرِّ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ أَرْبَعِ حَرَائِرَ) فَقَطْ
Kecuali jika haknya hanya satu saja seperti nikahnya lelaki idiot dan sesamanya, yaitu pernikahan yang tergantung pada kebutuhan saja. إِلَّا إِنْ تَتَعَيَّنَ الْوَاحِدَةُ فِيْ حَقِّهِ كَنِكَاحِ سَفِيْهٍ وَنَحْوِهِ مِمَّا يَتَوَقَّفُ عَلَى الْحَاجَةِ
Bagi seorang budak walaupun budak mudabbar, muba’adl, mukatab, atau budak yang digantungkan kemerdekaannya dengan sebuah sifat, diperkenankan hanya mengumpulkan dua istri saja. (وَ) يَجُوْزُ (لِلْعَبْدِ) وَلَوْ مُدَبَّرًا أَوْ مُبَعَّضًا أَوْ مُكَاتَبًا أَوْ مُعَلَّقًا عِتْقُهُ بِصِفَةٍ (أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ اثْنَيْنِ) أَيِ الزَّوْجَتَيْنِ فَقَطْ

 

Menikah Dengan Budak Wanita

 

Laki-laki merdeka tidak diperkenankan menikahi budak wanita orang lain keculai dengan dua syarat, yaitu tidak memiliki mas kawin untuk menikahi wanita merdeka, tidak menemukan wanita merdeka atau tidak ada wanita merdeka yang berkenan menikah dengannya, dan ada kekhawatiran melakukan zina selama tidak menemukan wanita merdeka. (وَلَا يَنْكِحُ الْحُرُّ أَمَّةً) لِغَيْرِهِ (إِلَّا بِشَرْطَيْنِ عَدَمِ صَدَاقِ الْحُرَّةِ) أَوْ فَقْدِ الْحُرَّةِ أَوْ عَدَمِ رِضَاهَا بِهِ (وَخَوْفِ الْعَنَتِ) أَيِ الزِّنَا مُدَّةَ فَقْدِ الْحُرَّةِ
Mushannif meninggalkan dua syarat yang lain, وَتَرَكَ الْمُصَنِّفُ شَرْطَيْنِ آخَرَيْنِ
Yang pertama, dia tidak memiliki istri wanita merdeka, baik muslim atau ahli kitab yang masih bisa untuk dinikmati. أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَكُوْنَ تَحْتَهُ حُرَّةٌ مُسْلِمَةٌ أَوْ كِتَابِيَّةٌ تَصِحُّ لِلْاِسْتِمْتَاعِ
Yang kedua, budak wanita yang akan dinikahi oleh lelaki merdeka tersebut beragama islam. Sehingga bagi lelaki muslim tidak halal menikahi budak wanita ahli kitab. وَالثَّانِيْ إِسْلَامُ الْأَمَّةِ الَّتِيْ يَنْكِحُهَا الْحُرُّ فَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَمَّةٌ كِتَابِيَّةٌ
Ketika lelaki merdeka menikahi budak wanita dengan syarat-syarat tersebut, kemudian ia kaya dan menikah dengan wanita merdeka, maka nikahnya dengan budak wanita tersebut tidak rusak. وَإِذَا نَكَحَ الْحُرُّ أَمَّةً بِالشُّرُوْطِ الْمَذْكُوْرَةِ ثُمَّ أَيْسَرَ وَنَكَحَ حُرَّةً لَمْ يَنْفَسِخْ نِكَاحُ الْأَمَّةِ

 

Pandangan Lawan Jenis

 

Pandangan seorang lelaki pada wanita terbagi menjadi tujuh macam: (وَنَظَرُ الرَّجُلِ إِلَى الْمَرْأَةِ عَلَى سَبْعَةِ أَضْرُبٍ
Yang pertama, pandangan seorang laki-laki, walaupun sudah tua rentah dan tidak mampu lagi berhubungan intim, kepada wanita lain (bukan mahram dan bukan istri) tanpa ada hajat untuk memandangnya, maka hukumnya tidak diperkenankan (Haram). أَحَدُهَا نَظَرُهُ) وَلَوْ كَانَ شَيْخًا هَرَمًا عَاجِزًا عَنِ الْوَطْءِ (إِلَى أَجْنَبِيَّةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ) إِلَى نَظَرِهَا (فَغَيْرُ جَائِزٍ)
Jika pandangannya karena ada hajat seperti bersaksi atas wanita tersebut, maka hukumnya diperkenankan. فَإِنْ كَانَ النَّظَرُ لِحَاجَةٍ كَشَهَادَةٍ عَلَيْهَا جَازَ .
Yang kedua, pandangan seorang laki-laki pada istri dan budak perempuannya. (وَالثَّانِيْ نَظَرُهُ) أَيِ الرَّجُلِ (إِلَى زَوْجَتِهِ وَأَمَّتِهِ
Maka baginya diperkenankan melihat pada masing-masing dari keduanya selain bagian kemaluan keduanya. فَيَجُوْزُ أَنْ يَنْظُرَ) مِنْ كُلٍّ مِنْهُمَا  (إِلَى مَا عَدَا الْفَرْجَ مِنْهُمَا)
Sedangkan bagian kemaluan, maka hukum melihatnya adalah haram. Dan ini pendapat yang lemah. أَمَّا الْفَرْجُ فَيَحْرُمُ نَظَرُهُ وَهَذَا وَجْهٌ ضَعِيْفٌ
Menurut pendapat al ashah adalah diperkenankan melihat bagian kemaluan akan tetapi disertai hukum makruh. وَالْأَصَحُّ جَوَازُ النَّظَرِ إِلَيْهِ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ
Yang ketiga, pandangan seorang laki-laki pada wanita-wanita mahramnya, baik sebab nasab, radla’ ataupun pernikahan, atau pada budak wanitanya yang telah dinikahkan dengan orang lain. (وَالثَّالِثُ نَظَرُهُ إِلَى ذَوَاتِ مَحَارِمِهِ) بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ مُصَاهَرَةٍ (أَوْ أَمَّتِهِ الْمُزَوَّجَةِ
Maka diperkenankan baginya memandang anggota badan selain anggota di antara pusar dan lutut. فَيَجُوْزُ) أَنْ يَنْظُرَ (فِيْمَا عَدَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ)
Sedangkan anggota di antara keduanya, maka hukumnya haram dipandang. أَمَّا الَّذِيْ بَيْنَهُمَا فَيَحْرُمُ نَظَرُهُ.
Yang ke empat adalah memandang pada wanita lain karena ingin dinikah. (وَالرَّابِعُ النَّظَرُ) إِلَى الْأَجْنَبِيَّةِ (لِأَجْلِ) حَاجَةِ (النِّكَاحِ
Ketika seseorang ingin menikahi seorang wanita, maka diperkenankan baginya melihat wajah dan kedua telapak tangan luar dalam wanita tersebut, walaupun calon istri tersebut tidak memberi izin melakukannya. فَيَجُوْزُ) لِلشَّخْصِ عِنْدَ عَزْمِهِ عَلَى نِكَاحِ امْرَأَةٍ النَّظَرُ (إِلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ) مِنْهَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَإِنْ لَمْ تَأْذَنْ لَهُ الزَّوْجَةُ فِيْ ذَلِكَ
Menurut tarjihnya imam an Nawawi, ketika seorang lelaki hendak melamar budak wanita, maka ia diperkenankan melihat dari wanita budak tersebut bagian badan yang diperkenankan untuk dilihat dari wanita merdeka. وَيَنْظُرُ مِنَ الْأَمَّةِ عَلَى تَرْجِيْحِ النَّوَوِيِّ عِنْدَ قَصْدِ خِطْبَتِهَا مَا يَنْظُرُهُ مِنَ الْحُرَّةِ
Yang kelima adalah melihat karena untuk mengobati. (وَالْخَامِسُ النَّظَرُ لِلْمُدَاوَاةِ
Maka bagi seorang dokter laki-laki diperkenankan melihat dari pasien wanita lain bagian-bagian yang butuh ia obati hingga bagian farji sekalipun. فَيَجُوْزُ) نَظَرُ الْطَبِيْبِ مِنَ الْأَجْنَبِيَّةِ (إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِيْ يَحْتَاجُ إِلَيْهَا) فِيْ الْمُدَاوَاةِ حَتَّى مُدَاوَاةِ الْفَرْجِ
Hal itu ia lakukan di hadapan mahram, suami, atau majikan pasien wanita tersebut. Dan di sana memang tidak ada dokter wanita yang bisa mengobati pasien wanita tersebut. وَيَكُوْنُ ذَلِكَ بِحُضُوْرِ مَحْرَمٍ أَوْ زَوْجٍ أَوْ سَيِّدٍ وَأَنْ لَا تَكُوْنَ هُنَاكَ امْرَأَةٌ تُعَالِجُهَا.
Yang ke enam adalah memandang karena tujuan bersaksi atas seorang wanita. (وَالسَّادِسُ النَّظَرُ لِلشَّهَادَةِ) عَلَيْهَا
Maka seorang saksi diperkenankan memandang farji wanita lain ketika ia bersaksi atas perbutan zina atau melahirkan yang dialami oleh wanita tersebut. فَيَنْظُرُ الشَّاهِدُ فَرْجَهَا عِنْدَ شَهَادَتِهِ بِزِنَاهَا أَوْ وِلَادَتِهَا
Sehingga, jika ia sengaja melihat dengan tujuan selain bersaksi, maka ia dihukumi fasiq dan persaksiannya ditolak. فَإِنْ تَعَمَّدَ النَّظَرَ لِغَيْرِ الشَّهَادَةِ فَسَقَ وَرُدَّتْ شَهَادَتُهُ
Atau memandang karena untuk melakukan transaksi jual beli atau yang lain dengan seorang wanita. (أَوِ) النَّظَرُ (لِلْمُعَامَلَةِ) لِلْمَرْأَةِ فِيْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ
Maka baginya diperkenankan memandang pada wanita tersebut. (فَيَجُوْزُ النَّظَرُ) أَيْ نَظَرُهُ لَهَا
Ungkapan mushannif, “tertentu hanya memandang bagian wajahnya saja”, kembali pada permasalahan persaksian dan transaksi. وَقَوْلُهُ (إِلَى الْوَجْهِ) مِنْهَا (خَاصَّةً) يَرْجِعُ لِلشَّهَادَةِ وَالْمُعَامَلَةِ
Yang ke tujuh adalah memandang budak wanita ketika hendak membelinya. (وَالسَّابِعُ النَّظَرُ إِلَى الْأَمَّةِ عِنْدَ ابْتِيَاعِهَا) أَيْ شَرَائِهَا
Maka baginya diperkenankan memandang bagian-bagian badan yang butuh untuk dipandang/ dibolak balik. (فَيَجُوْزُ) النَّظَرُ (إِلَى الْمَوَاضِعِ الَّتِيْ يَحْتَاجُ إِلَى تَقْلِيْبِهَا)
Sehingga ia diperkenankan memandang bagian-bagian tubuh dan rambutnya, tidak bagian auratnya. فَيَنْظُرُ أَطْرَافَهَا وَشَعْرَهَا لَا عَوْرَتَهَا .


BAB SYARAT-SYARAT NIKAH

(Fasal) menjelaskan hal-hal yang mana akad nikah tidak bisa sah kecuali dengan hal-hal tersebut. (فَصْلٌ) فِيْمَا لَا يَصِحُّ النِّكَاحُ إِلَّا بِهِ
Akad nikah hukumnya tidak sah kecuali disertai dengan wali yang adil. (وَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ) عَدْلٍ
Dalam sebagian redaksi dengan bahasa, “dengan seorang wali laki-laki.” وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ بِوَلِيٍّ ذَكَرٍ
Hal ini mengecualikan seorang wanita. Karena sesungguhnya seorang wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri atau orang lain. وَهُوَ احْتِرَازٌ عَنِ الْأُنْثَى فَإِنَّهَا لَا تُزَوِّجُ نَفْسَهَا وَلَا غَيْرَهَا
Akad nikah juga tidak bisa sah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil. (وَ) لَايَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ أَيْضًا إِلَّا بِحُضُوْرِ (شَاهِدَيْ عَدْلٍ)

 

Syarat Wali dan Saksi

 

Mushannif menjelaskan syarat masing-masing dari wali dan dua saksi di dalam perkataan beliau, وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ شَرْطَ كُلٍّ مِنَ الْوَلِيِّ وَشَاهِدَيْنِ فِيْ قَوْلِهِ:
Seorang wali dan dua orang saksi membutuhkan enam syarat : (وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَشَاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شَرَائِطَ)
Yang pertama adalah islam. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang kafir, kecuali permasalahan yang dikecualikan oleh mushannif setelah ini. الْأَوَّلُ (الْإِسْلَامُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ كَافِرًا إِلَّا فِيْمَا يَسْتَثْنِيْهِ الْمُصَنِّفُ بَعْدُ
Yang kedua adalah baligh. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh anak kecil. (وَ) الثَّانِيْ (الْبُلُوْغُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ صَغِيْرًا
Yang ketiga adalah berakal. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang gila, baik gilanya terus menerus atau terputus-putus. (وَ) الثَّالِثُ (الْعَقْلُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ مَجْنُوْنًا سَوَاءٌ أَطْبَقَ جُنُوْنُهُ أَوْ تَقَطَّعَ
Yang ke empat adalah merdeka. Sehingga seorang wali tidak boleh berupa budak di dalam ijab (serah) nikah. (وَ) الرَّابِعُ (الْحُرِّيَةُ) فَلَا يَكُوْنُ الْوَلِيُّ عَبْدًا فِيْ إِيْجَابِ النِّكَاحِ
Seorang budak diperkenankan menjadi orang yang qabul (terima) di dalam akad nikah. وَيَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ قَابِلًا فِيْ النِّكَاحِ
Yang ke lima adalah laki-laki. Sehingga seorang wanita dan khuntsa tidak bisa menjadi wali nikah. (وَ) الْخَامِسُ (الذُّكُوْرَةُ) فَلَا تَكُوْنَ الْمَرْأَةُ وَالْخُنْثَى وَلِيَّيْنِ.
Yang ke enam adalah adil. Sehingga seorang wali tidak boleh fasiq. (وَ) السَّادِسُ (الْعَدَالَةُ) فَلَا يَكُوْنُ الْوَلِيُّ فَاسِقًا
Dari keterangan di atas, mushannif mengecualikan permasalahan yang tercakup di dalam ungkapan beliau, وَاسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مِنْ ذَلِكَ مَا تَضَمَّنَهُ قَوْلُهُ
Hanya saja, sesungguhnya pernikahan wanita kafir dzimmi tidak mengharuskan walinya beragama islam. (إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ
Pernikahan seorang budak wanita tidak mengharuskan majikkannya adil, sehingga hukumnya sah walaupun majikan yang menikahkannya adalah orang fasiq. وَلَا(يَفْتَقِرُ (نِكَاحُ الْأَمَّةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ) فَيَجُوْزُ كَوْنُهُ فَاسِقًا
Semua syarat yang telah disebutkan di dalam wali juga disyaratkan di dalam dua saksi nikah. وَجَمِيْعُ مَا سَبَقَ فِيْ الْوَلِيِّ يُعْتَبَرُ فِيْ شَاهِدَيِ النِّكَاحِ
Adapun buta tidak sampai mencacatkan hak menjadi wali menurut pendapat al ashah. وَأَمَّا الْعَمَى فَلَا يَقْدَحُ فِيْ الْوِلَايَةِ فِيْ الْأَصَحِّ

 

Urutan Wali Nikah

 

Wali-wali yang paling berhak menikahkan adalah ayah, lalu kakek yang menjadi ayahnya ayah, kemudian ayahnya kakek dan seterusnya. (وَأَوْلَى الْوُلَّاةِ) أَيْ أَحَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِالتَّزْوِيْجِ (الْأَبُّ ثُمَّ الْجَدُّ أَبُوْ الْأَبِّ) ثُمَّ أَبُوْهُ وَهَكَذَا
Kakek yang lebih dekat dengan wanita yang hendak dinikahkan harus didahulukan daripada kakek yang lebih jauh. وَيُقَدَّمُ الْأَقْرَبُ مِنَ الْأَجْدَادِ عَلَى الْأَبْعَدِ
Kemudian saudara lelaki seayah seibu (kandung). Seandainya mushannif mengungkapkan, “asy syaqiq (kandung)”, niscaya lebih ringkas. (ثُمَّ الْأَخُّ لِلْأَبِّ وَالْأُمِّ) وَلَوْ عَبَّرَ بِالشَّقِيْقِ لَكَانَ أَخْصَرَ
Kemudian saudara lelaki seayah. Lalu anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu walaupun hingga ke bawah. (ثُمَّ الْأَخُّ لِلْأَبِّ ثُمَّ ابْنُ الْأَخِّ لِلْأَبِّ وَالْأُمِّ) وَإِنْ سَفُلَ
Kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah walaupun hingga ke bawah. (ثُمَّ ابْنُ الْأَخِّ لِلْأَبِّ) وَإِنْ سَفُلَ
Kemudian paman dari jalur ayah yang seayah seibu (dengan ayah). Lalu paman dari jalur ayah yang seayah (dengan ayah). (ثُمَّ الْعَمُّ) الشَّقِيْقُ ثُمَّ الْعَمُّ لِلْأَبِّ
Kemudian anak laki-lakinya, maksudnya anak laki-laki masing-masing dari keduanya walaupun hingga ke bawah sesuai dengan urutan di atas. (ثُمَّ ابْنُهُ) أَيِ ابْنُ كُلٍّ مِنْهُمَا وَإِنْ سَفُلَ (عَلَى هَذَا التَّرْتِيْبِ)
Sehingga anak laki-laki paman yang seayah seibu lebih didahulukan dari pada anak laki-laki paman yang seayah. فَيُقَدَّمُ ابْنُ الْعَمِّ الشَّقِيْقِ عَلَى ابْنِ الْعَمِّ لِلْأَبِّ .
Jika ahli ashabah dari jalur nasab sudah tidak ada, maka yang berhak menikahkan adalah majikan laki-laki yang telah memerdekakannya. (فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ) مِنَ النَّسَبِ (فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ) الذَّكَرُ
Kemudian ahli ashabah majikan tersebut sesuai dengan urutan di dalam masalah warisan. (ثُمَّ عَصَبَاتُهُ) عَلَى تَرْتِيْبِ الْإِرْثِ
Adapun majikan wanita yang telah memerdekakan ketika ia masih hidup, maka yang berhak menikahkan wanita yang telah ia merdekakan adalah orang yang berhak menikahkan majikan tersebut sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan di dalam urutan wali dari jalur nasab. أَمَّا الْمَوْلَاةُ الْمُعْتِقَةُ إِذَا كَانَتْ حَيَّةً فَيُزَوِّجُ عَتِيْقَتَهَا مَنْ يُزَوِّجُ الْمُعْتِقَةَ بِالتَّرْتِيْبِ السَّابِقِ فِيْ أَوْلِيَاءِ النَّسَبِ
Jika majikan wanita yang telah memerdekakan tersebut telah meninggal dunia, maka yang menikahkan wanita yang telah dimerdekakan olehnya adalah orang yang mendapat waris wala’ dari majikan wanita tersebut, kemudian anak laki-lakinya, lalu cucu laki-laki dari anak laki-lakinya. فَإِذَا مَاتَتِ الْمُعْتِقَةُ زَوَّجَ عَتِيْقَتَهَا مَنْ لَهُ الْوَلَاءُ عَلَى الْمُعْتِقَةِ ثُمَّ ابْنُهُ ثُمَّ ابْنُ ابْنِهِ
Kemudian seorang hakim berhak menikahkan ketika wali dari jalur nasab dan wala’ sudah tidak ada. (ثُمَّ الْحَاكِمُ) يُزَوِّجُ عِنْدَ فَقْدِ الْأَوْلِيَاءِ مِنَ النَّسَبِ وَالْوَلَاءِ

 

Lamaran

 

Kemudian mushannif beranjak menjelaskan permasalahan khitbah (melamar). Lafadz “al khitbah” dengan terbaca kasrah huruf kha’nya. ثُمَّ شَرَعَ الْمُصَنِّفُ فِيْ بَيَانِ الْخِطْبَةِ بِكَسْرِ الْخَاءِ
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki yang melamar seorang wanita untuk menikah. وَهِيَ الْتِمَاسُ الْخَاطِبِ مِنَ الْمَخْطُوْبَةِ النِّكَاحَ
Mushannif berkata, “tidak diperkenankan melamar wanita yang sedang menjalankan iddah wafat, talak ba’in dan talak roj’i, dengan bahasa sharih (terang-terangan). فَقَالَ (وَلَا يَجُوْزُ أَنْ يُصَرِّحَ بِخِطْبَةِ مُعْتَدَّةٍ) عَنْ وَفَاةٍ أَوْ طَلَاقٍ بَائِنٍ أَوْ رَجْعِيٍّ
Sharih adalah bahasa yang secara tegas menunjukkan keinginan untuk meminang, seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita yang menjalankan iddah, “aku ingin menikahi kamu.” وَالتَّصْرِيْحُ مَا يَقْطَعُ بِالرَّغْبَةِ فِيْ النِّكَاحِ كَقَوْلِهْ لِلْمُعْتَدَّةِ “اُرِيْدَ نِكَاحُكَ”
Jika seorang wanita yang sedang iddah namun bukan iddah talak raj’i, maka diperkenankan melamarnya dengan ta’ridl (bahasa sindiran), dan menikahinya setelah iddahnya selesai. (وَيَجُوْزُ) إِنْ لَمْ تَكُنِ الْمُعْتَدَّةُ عَنْ طَلَاقٍ رَجْعِيٍّ (أَنْ يُعَرِّضَ لَهَا) بِالْخِطْبَةِ (وَيَنْكِحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا)
Ta’ridl adalah ungkapan yang tidak secara tegas menunjukkan keinginan untuk menikahinya akan tetapi hanya ihtimal (mirip-mirip) saja, seperti ungkapan seorang lelaki yang ingin melamar pada seorang wanita, “banyak sekali laki-laki yang menyukaimu.” وَالتَّعْرِيْضُ مَا لَا يَقْطَعُ بِالرَّغْبَةِ فِيْ النِّكَاحِ بَلْ يَحْتَمِلُهَا كَقَوْلِ الْخَاطِبِ لِلْمَرْأَةِ “رُبَّ رَاغِبٍ فِيْكَ”
Sedangkan wanita yang terbebas dari hal-hal yang mencegah untuk menikah dan sebelumnya tidak ada yang melamar, maka diperkenankan melamarnya dengan bahasa sindiran dan bahasa terang-terangan. أَمَّا الْمَرْأَةُ الْخَلِيَّةُ مِنْ مَوَانِعِ النِّكَاحِ وَعَنْ خِطْبَةٍ سَابِقَةٍ فَيَجُوْزُ خِطْبَتُهَا تَعْرِيْضًا وَتَصْرِيْحًا

 

Pembagian Wanita

 

Wanita terbagi menjadi dua, wanita-wanita janda dan perawan. (وَالنِّسَاءُ عَلَى ضَرْبَيْنِ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارٍ)
Wanita janda adalah wanita yang keperawanannya telah hilang sebab wathi’ yang halal atau haram. Sedangkan wanita perawan adalah sebaliknya. وَالثَّيْبُ مَنْ زَالَتْ بِكَارَتُهَا بِوَطْءٍ حَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ وَالْبِكْرُ عَكْسُهَا
Bagi seorang ayah dan kakek -ketika sama sekali tidak ada ayah atau ayahnya tidak bisa menjadi wali- diperkenankan meng-ijbar (memaksa) anak perawannya untuk menikah, jika memang memenuhi syarat-syarat ijbar. (فَالْبِكْرُ يَجُوْزُ لِلْأَبِّ وَالْجَدِّ) عِنْدَ عَدَمِ الْأَبِّ أَصْلًا أَوْ عَدَمِ أَهْلِيَّتِهِ (إِجْبَارُهَا) أَيِ الْبِكْرِ (عَلَى النِّكَاحِ) إِنْ وُجِدَتْ شُرُوْطُ الْإِجْبَارِ
Yaitu calon mempelai wanita belum pernah diwathi’ vaginanya, dan dinikahkan dengan lelaki sepadan dengan mas kawin standar wanita tersebut yang diambilkan dari mata uang daerah setempat. بِكَوْنِ الزَّوْجَةِ غَيْرَ مَوْطُوْأَةٍ بِقُبُلٍ وَأَنْ تُزَوَّجَ بِكُفْءٍ بِمَهْرِ مِثْلِهَا مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ
Sedangkan wanita janda tidak diperkenankan bagi walinya menikahkan kecuali setelah wanita tersebut baligh dan memberi izin dengan ucapan tidak dengan diam saja. (وَالثَّيِّبُ لَا يَجُوْزُ) لِوَلِيِّهَا (تَزْوِيْجُهَا إِلَّا بَعْدَ بُلُوْغِهَا وَإِذْنِهَا) نُطْقًا لَا سُكُوْتًا.


BAB WANITA-WANITA MAHRAM

(Fasal) wanita-wanita yang diharamkan, maksudnya yang diharamkan untuk dinikahi dengan dalil Nash (Al Qur’an) ada empat belas. (فَصْلٌ وَ الْمُحَرَّمَاتُ) أَيِ الْمُحَرَّمُ نِكَاحُهُنَّ (بِالنَّصِ أَرْبَعَ عَشْرَةَ)
Di dalam sebagian redaksi menggunakan ungkapan, “arba’ata ‘asyara.” وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ أَرْبَعَةَ عَشَرَ

 

Mahram Jalur Nasab

 

Yaitu tujuh wanita sebab nasab. Mereka adalah ibu walaupun hingga ke atas. Dan anak perempuan walaupun hingga ke bawah. (سَبْعٌ بِالنَّسَبِ وَهُنَّ الْأُمُّ وَإِنْ عَلَتْ وَالْبِنْتُ وَإِنْ سَفُلَتْ)
Adapun anak wanita yang dihasilkan dari sperma zinanya seorang laki-laki, maka bagi laki-laki tersebut dihalalkan menikahinya menurut pendapat al ashah, akan tetapi hukumnya makruh. أَمَّا الْمَخْلُوْقَةُ مِنْ مَاءِ زِنَا شَخْصٍ فَتَحِلُّ لَهُ عَلَى اْلأَصَحِّ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ
Baik wanita yang dizinai atas keinginan sendiri ataupun tidak. وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْمَزْنِيُّ بِهَا مُطَاوِعَةً أَوْ لَا
Sedangkan bagi seorang wanita maka tidak dihalalkan menikah dengan anaknya dari hasil zina. وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَلَا يَحِلُّ لَهَا وَلَدُهَا مِنَ الزِّنَا
-yang ketiga- saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja atau seibu saja. (وَالْأُخْتُ) شَقِيْقَةً كَانَتْ أَوْ لِأَبٍّ أَوْ لِأُمٍّ
-yang ke empat- bibik dari jalur ibu, baik secara hakikat atau dengan perantara seperti bibiknya ayah atau bibiknya ibu. (وَالْخَالَةُ) حَقِيْقَةً أَوْ بِتَوَسُّطٍ كَخَالَةِ الْأَبِّ اَوْ الْأُمِّ
-yang ke lima- bibik dari jalur ayah, baik secara hakikat atau dengan perantara seperti bibiknya ayah dari jalur ayah. (وَالْعَمَّةُ) حَقِيْقَةً أَوْ بِتَوَسُّطٍ كَعَمَّةِ الْأَبِّ
-yang ke enam- putrinya saudara laki-laki dan cucu-cucu perempuannya dari anak laki-laki atau perempuan. (وَبِنْتُ الْأَخِّ) وَبَنَاتِ أَوْلَادِهَا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثًى
-yang ke tujuh- putrinya saudara perempuan dan cucu-cucu perempuannya dari anak laki-laki atau perempuan. (وَبِنْتُ الْأَخْتِ) وَبَنَاتِ أَوْلَادِهَا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثًى

 

Mahram Jalur Radla’

 

Mushannif meng-athafkan pada perkataan beliau di depan, “tujuh”, ungkapan beliau di sini, “dan dua wanita, maksudnya wanita-wanita mahram berdasarkan Nash Al Qur’an adalah dua wanita sebab radla’. وَعَطَفَ الْمُصَنِّفُ عَلَى قَوْلِهِ سَابِقًا سَبْعٌ قَوْلَهُ هُنَّا (وَاثْنَتَانِ) أَيِ الْمُحَرَّمَاتُ بِالنَّصِّ اثْنَتَانِ (بِالرَّضَاعِ)
Mereka adalah ibu yang menyusui dan saudara wanita dari radla’. وَهُمَا (الْأُمُّ الْمُرْضِعَةُ وَالْأُخْتُ مِنَ الرَّضَاعِ)
Mushannif hanya menyebutkan dua wanita tersebut karena yang disebutkan di dalam Nash Al Qur’an hanya dua itu saja. وَإِنَّمَا اقْتَصَرَ الْمُصَنِّفُ عَلَى اثْنَتَيْنِ لِلنَّصِّ عَلَيْهِمَا فِيْ الْأَيَةِ
Jika tidak demikian, maka tujuh wanita yang diharamkan sebab nasab juga diharamkan sebab radla’ sebagaimana yang akan ditegaskan di dalam ungkapan matan. وَإِلَّا فَالسَّبْعُ الْمُحَرَّمَةُ بِالنَّسَبِ تَحْرُمُ بِالرَّضَاعِ أَيْضًا كَمَا سَيَأْتِيْ التَّصْرِيْحُ بِهِ بِمَا فِيْ كَلَامِ الْمَتْنِ.

Mahram Jalur Pernikahan

 

Dan wanita-wanita mahram berdasarkan Nash Al Qur’an adalah empat wanita sebab pernikahan. (وَ) الْمُحَرَّمَاتُ بِالنَّصِّ (أَرْبَعٌ بِالْمُصَاهَرَةِ)
Mereka adalah ibunya istri walaupun ibunya yang seatas, baik dari jalur nasab atau radla’. Baik suami sempat jima’ dengan si istri ataupun tidak. وَهِيَ (أُمُّ الزَّوْجَةِ) وَإِنْ عَلَتْ أُمُّهَا سَوَاءٌ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ سَوَاءٌ وَقَعَ دُخُوْلُ الزَّوْجِ بِالزَّوْجَةِ أَمْ لَا
-yang kedua dan ketiga- rabibah (anak tiri), maksudnya putrinya sang istri ketika sang suami sempat melakukan jima’ dengan ibunya rabibah tersebut. Dan istrinya ayah, walaupun ayah seatasnya. (وَالرَّبِيْبَةُ) أَيْ بِنْتُ الزَّوْجَةِ (إِذَا دَخَلَ بِالْأُمِّ وَزَوْجَةُ الْأَبِّ) وَإِنْ عَلَا
-yang ke empat- istrinya anak laki-laki walaupun hingga ke bawah. (وَزَوْجَةُ الْاِبْنِ) وَإِنْ سَفُلَ

 

Wanita Yang Hanya Haram Dikumpulkan

 

Wanita-wanita yang telah dijelaskan di atas adalah wanita yang haram dinikah untuk selamanya. وَالْمُحَرَّمَاتُ السَّابِقَةُ حُرْمَتُهَا عَلَى التَّأْبِيْدِ
Dan ada satu wanita yang haram dinikah namun tidak untuk selamanya akan tetapi dari sisi tidak boleh dikumpulkan saja. (وَ وَاحِدَةٌ) حُرْمَتُهَا لَا عَلَى التَّأْبِيْدِ بَلْ (مِنْ جِهَّةِ الْجَمْعِ) فَقَطْ
Dia adalah saudara perempuannya istri. (وَهِيَ أُخْتُ الزَّوْجَةِ)
Sehingga bagi seorang laki-laki tidak diperkenankan mengumpulkan -dalam pernikahan- antara seorang wanita dengan saudara wanitanya sekaligus, baik yang seayah atau seibu, atau di antara dua wanita tersebut terdapat hubungan nasab atau radla’, walaupun saudara perempuan wanita yang dinikah itu rela untuk dimadu / dikumpulkan. فَلَا يَجْمَعُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ أُخْتِهَا مِنْ أَبٍّ أَوْ أُمٍّ أَوْ بَيْنَهُمَا نَسَبٌ أَوْ رَضَاعٌ وَلَوْ رَضِيَتْ أُخْتُهَا بِالْجَمْعِ.
Seorang laki-laki juga tidak diperkenankan mengumpulkan antara seorang wanita dengan bibik wanita tersebut dari jalur ayah, dan antara seorang wanita dengan bibiknya dari jalur ibu. (وَلَا يَجْمَعُ) أَيْضًا (بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا)
Sehingga, jika seorang laki-laki mengumpulkan antara wanita-wanita yang haram dikumpulkan dengan satu akad untuk menikahi keduanya, maka akad nikah keduanya batal. فَإِنْ جَمَعَ الشَّخْصُ بَيْنَ مَنْ حَرُمَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا بِعَقْدٍ وَاحِدٍ نَكَحَهُمَا فِيْهِ بَطَلَ نِكَاحُهُمَا
Atau tidak mengumpulkan keduanya dalam satu akad akan tetapi menikahi keduanya secara berurutan, maka akad nikah yang kedua batal jika memang diketahui secara pasti wanita yang diakad terlebih dahulu. أَوْ لَمْ يَجْمَعْ بَيْنَهُمَا بَلْ نَكَحَهُمَا مُرَتَّبًا  فَالثَّانِيْ هُوَ الْبَاطِلُ إِنْ عُلِمَتِ السَّابِقَةُ
Sehingga, jika tidak diketahui, maka akad nikah keduanya menjadi batal. فَإِنْ جُهِلَتْ بَطَلَ نِكَاحُهُمَا
Jika akad wanita yang pertama diketahui namun kemudian lupa yang mana, maka laki-laki tersebut dilarang mendekati keduanya. وَإِنْ عُلِمَتِ السَّابِقَةُ ثُمَّ نُسِيَتْ مُنِعَ مِنْهُمَا
Dua wanita yang haram dikumpulkan dalam satu pernikahan, maka juga haram dikumpulkan di dalam wathi’ dengan milku yamin (kepemilikan budak). وَمَنْ حَرُمَ جَمْعُهُمَا بِنِكَاحٍ حَرُمَ جَمْعُهُمَا أَيْضًا فِيْ الْوَطْءِ بِمِلْكِ الْيَمِيْنِ
Begitu juga haram jika salah satunya menjadi istri dan yang lainnya dimiliki sebagai budak. وَكَذَا لَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا زَوْجَةً وَالْأُخْرَى مَمْلُوْكَةً
Jika ia telah mewathi’ salah satu dari dua budak wanita yang ia miliki -yang haram untuk dikumpulkan-, maka budak yang satunya haram untuk diwathi’, kecuali budak wanita yang pertama telah haram baginya dengan salah satu jalan seperti menjual atau menikahkannya dengan orang lain. فَإِنْ وَطِئَ وَاحِدَةً مِنَ الْمَمْلُوْكَتَيْنِ حَرُمَتِ الْأُخْرَى حَتَّى يَحْرُمَ الْأُوْلَى بِطَرِيْقٍ مِنَ الطُّرُقِ  كَبَيْعِهَا أَوْ تَزْوِيْجِهَا
Mushannif memberi isyarah pada batasan secara umum dengan ungkapan beliau, وَأَشَارَ لِضَابِطِ كُلِّيٍّ بِقَوْلِهِ.
Wanita-wanita yang haram dari jalur nasab juga haram dari jalur radla’. (وَيَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ)
Telah dijelaskan bahwa sesungguhnya wanita yang haram dari jalur nasab ada tujuh orang, maka tujuh orang tersebut juga haram dari jalur radla’.  وَسَبَقَ أَنَّ الَّذِيْ يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ سَبْعٌ فَيَحْرُمُ بِالرَّضَاعِ تِلْكَ السَّبْعُ أَيْضًا


BAB AIB-AIB NIKAH

Kemudian mushannif beranjak menjelaskan tentang aib-aib nikah yang menetapkan hak khiyar di dalam nikah. Beliau berkata, ثُمَّ شَرَعَ فِيْ عُيُوْبِ النِّكَاحِ الْمُثْبِتَةِ لِلْخِيَارِ فِيْهِ فَقَالَ

Aib-Aib Istri 

Seorang wanita, maksudnya seorang istri berhak untuk dipulangkan ke keluarganya sebab lima aib. (وَتُرَدُّ الْمَرْأَةُ) أَيِ الزَّوْجَةُ (بِخَمْسَةِ عُيُوْبٍ)
Yang pertama sebab gila, baik gilanya terus menerus atau terputus, bisa diobati ataupun tidak. أَحَدُهَا (بِالْجُنُوْنِ) سَوَاءٌ أَطْبَقَ أَوْ تَقَطَّعَ قَبِلَ الْعِلَاجَ أَوْ لَا
Mengecualikan penyakit epilepsi, maka tidak ada hak khiyar merusak nikah sebab penyakit tersebut walaupun tidak bisa disembuhkan, hal ini berbeda dengan pendapat imam al Mutawwalli. فَخَرَجَ الْإِغْمَاءُ فَلَا يَثْبُتُ بِهِ الْخِيَارُ فِيْ فَسْخِ النِّكَاحِ وَلَوْ دَامَ خِلَافًا لِلْمُتَوَلِّيِّ.
Yang kedua sebab wujudnya judzam, dengan menggunakan huruf dzal yang diberi titik satu di atas. (وَ) ثَانِيْهَا بِوُجُوْدِ (الْجُذَامِ) بِذَالٍ مُعْجَمَةٍ
Judzam adalah penyakit yang membuat anggota badan berwarna merah, lalu menghitam, kemudian terputus-putus dan rontok. وَهُوَ عِلَّةٌ يَحْمَرُّ مِنْهَا الْعُضْوُ ثُمَّ يَسْوَدُّ ثُمَّ يَتَقَطَّعُ ثُمَّ يَتَنَاثَرُ
Yang ketiga sebab wujudnya barash. (وَ) الثَّالِثُ بِوُجُوْدِ (الْبَرَصِ)
Barash adalah warna putih pada kulit yang bisa menghilangkan darah yang terdapat pada kulit dan daging yang berada di bawahnya. وَهُوَ بَيَاضٌ فِيْ الْجِلْدِ يُذْهِبُ دَمَّ الْجِلْدِ وَمَا تَحْتَهُ مِنَ اللَّحْمِ
Sehingga mengecualikan panu. Yaitu penyakit yang merubah warna kulit namun tidak sampai menghilangkan darahnya, sehingga tidak ada hak khiyar sebab panu. فَخَرَجَ الْبَهْقُ وَهُوَ مَا يُغَيِّرُ الْجِلْدَ مِنْ غَيْرِ إِذْهَابِ دَمِّهِ فَلَا يَثْبُتُ بِهِ الْخِيَارُ
Yang ke empat sebab wujudnya rataq. Rataq adalah tersumbatnya tempat jima’ sebab tumbuhnya daging di bagian tersebut. (وَ) الرَّابِعُ بِوُجُوْدِ (الرَّتَقِ) وَهُوَ انْسِدَادُ مَحَلِّ الْجِمَاعِ بِلَحْمٍ
Yang ke lima sebab wujudnya qarn. Qarn adalah tersumbatnya bagian tempat jima’ sebab tulang yang tumbuh di bagian tersebut. (وَ) الْخَامِسُ بِوُجُوْدِ (الْقَرْنِ) وَهُوَ انْسِدَادُ مَحَلِّ الْجِمَاعِ بِعَظْمٍ
Hal-hal selain aib-aib ini seperti bau mulut dan bau badan, maka tidak bisa menetapkan hak khiyar untuk merusah nikah. وَمَا عَدَا هَذِهِ الْعُيُوْبَ كَالْبُخْرِ وَالصَّنَانِ لَا يَثْبُتُ بِهِ الْخِيَارُ.

 

Aib-Aib Suami

 

Seorang laki-laki, maksudnya seorang suami juga berhak dipulangkan sebab memiliki lima aib. (وَيُرَدُّ الرَّجُلُ) أَيْضًا أَيِ الزَّوْجُ (بِخَمْسَةِ عُيُوْبٍ
Yaitu sebab gila, judzam dan barash. Makna semuanya telah dijelaskan. بِالْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَالْبَرَصِ) وَسَبَقَ مَعْنَاهَا
Dan sebab wujudnya jabb. Jabb adalah terputusnya penis seluruhnya atau sebagian saja dan yang tersisa tidak sampai seukuran hasyafah. (وَ) بِوُجُوْدِ (الْجَبِّ) وَهُوَ قَطْعُ الذَّكَرِ كُلِّهِ أَوْ بَعْضِهِ وَالْبَاقِيْ مِنْهُ دُوْنَ الْحَشَفَةِ
Jika yang tersisa seukuran hasyafah atau lebih, maka tidak ada hak khiyar. فَإِنْ بَقِيَ قَدْرُهَا فَأَكْثَرَ فَلَا خِيَارَ
Dan sebab wujudnya ‘unnah. ‘unnah, dengan terbaca dlammah huruf ‘ainnya, adalah ketidakmampuan seorang suami untuk melakukan jima’ di bagian vagina istrinya karena kekuatan kejantanannya hilang sebab lemahnya birahi di dalam hatinya atau lemah alat vitalnya. (وَ) بِوُجُوْدِ (الْعُنَّةِ) وَهِيَ بِضَمِّ الْعَيْنِ عَجْزُ الزَّوْجِ عَنِ الْوَطْءِ فِيْ الْقُبُلِ لِسُقُوْطِ الْقُوَّةِ النَّاشِرَةِ لِضُعْفٍ فِي قَلْبِهِ أَوْ آلَتِهِ
Di dalam aib-aib tersebut disyaratkan harus melapor pada seorang qadli. وَيُشْتَرَطُ فِيْ الْعُيُوْبِ الْمَذْكُوْرَةِ الرَّفْعُ فِيْهَا إِلَى الْقَاضِيْ
Bagi pasangan suami istri tidak boleh melakukan fasakh nikah sebab aib-aib tersebut dengan dasar saling rela sebagaimana indikasi dari keterangan imam al Mawardi dan yang lain. Akan tetapi dhahir nasnya imam asy Syafi’i bertentangan dengan keterangan al Mawardi. وَلَا يَنْفَرِدُ الزَّوْجَانِ بِالتَّرَاضِيْ بِالْفَسْخِ فِيْهَا كَمَا يَقْتَضِيْهُ كَلَامُ الْمَاوَرْدِيُّ وَغَيْرُهُ لَكِنْ ظَاهِرُ النَّصِّ خِلَافُهُ


BAB MAS KAWIN

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum mas kawin. (فَصْلُ) فِيْ أَحْكَامِ الصَّدَاقِ
Lafadz “shadaq” dengan terbaca fathah huruf shadnya adalah bacaan yang lebih fasih daripada dibaca kasrah, dan dicetak dari lafadz “ash shadq” dengan terbaca fathah huruf shadnya. Dan ash shadq adalah nama sesuatu yang sangat keras. وَهُوَ بِفَتْحِ الصَّادِ أَفْصَحُ مِنْ كَسْرِهَا مُشْتَقٌّ مِنَ الصَّدْقِ بِفَتْحِ الصَّادِ وُهَوَ اسْمٌ لِشَدِيْدِ الصُّلْبِ
Dan secara syara’, shadaq adalah nama harta yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki sebab nikah, wathi’ syubhat atau meninggal dunia. وَشَرْعًا اسْمٌ لِمَالٍ وَاجِبٍ عَلَى الرَّجُلِ بِنِكَاحٍ أَوْ وَطْءِ شُبْهَةٍ أَوْ مَوْتٍ
Disunnahkan menyebutkan mas kawin di dalam akad nikah, walaupun pernikahan seorang budaknya majikan dengan budak wanitanya majikan tersebut. (وَيُسْتَحَبُّ تَسْمِيَّةُ الْمَهْرِ) فِيْ عَقْدِ (النِّكَاحِ) وَلَوْ فِيْ نِكَاحِ عَبْدِ السَّيِّدِ أَمَّتَهُ
Sudah dianggap cukup menyebutkan mas kawin berupa apapun, akan tetapi disunnahkan mas kawinnya tidak kurang dari sepuluh dirham dan tidak lebih dari lima ratus dirham murni. وَيَكْفِيْ تَسْمِيَّةُ أَيِّ شَيْئٍ كَانَ وَلَكِنْ يُسَنُّ عَدَمُ النَّقْصِ عَنْ عَشْرَةِ دَرَاهِمَ وَعَدَمُ الزِّيَادَةِ عَلَى خَمْسِ مِائَةِ دِرْهَمٍ خَالِصَةٍ
Dengan ungkapannya, “disunnahkan”, mushannif memberikan isyarah bahwa boleh melakukan akad nikah tanpa menyebutkan mas kawin, dan hukumnya memang demikian. وَأَشْعَرَ بِقَوْلِهِ يُسْتَحَبُّ بِجَوَازِ إِخْلَاءِ النِّكَاحِ عَنِ الْمَهْرِ وَهُوَ كَذَلِكَ

 

At Tafwidl (Memasrahkan)

 

Sehingga, jika di dalam akad nikah tidak disebutkan mas kawinnya, maka hukum akad nikah tersebut sah. Dan inilah yang dimaksud dengan at tafwidl (memasrahkan). (فَإِنْ لَمْ يُسَمَّ) فِيْ عَقْدِ النِّكَاحِ مَهْرٌ (صَحَّ الْعَقْدُ) وَهَذَا مَعْنَى التَّفْوِيْضِ
Tafwidl adakalanya dari mempelai wanita yang sudah baligh dan rasyid, seperti ucapan wanita tersebut pada walinya, “nikahkanlah aku dengan tanpa mas kawin”, atau “dengan tanpa mas kawin yang akan aku miliki”, kemudian sang wali menikahkannya dan mentiadakan mas kawin atau diam tidak mengucapkan mas kawin. وَيَصْدُرُ تَارَةً مِنَ الزَّوْجَةِ الْبَالِغَةِ الرَّشِيْدَةِ كَقَوْلِهَا لِوَلِيِّهَا زَوِّجْنِيْ بِلَا مَهْرٍ أَوْ عَلَى أَنْ لَا مَهْرَ لِيْ فَيُزَوِّجُهَا الْوَلِيُّ وَيُنْفِيْ الْمَهْرَ أَوْ يَسْكُتُ عَنْهُ
Begitu juga seandainya majikan budak wanita berkata pada seseorang, “aku nikahkan engkau dengan budak wanitaku”, dan sang majikan mentiadakan mas kawin atau diam tidak menyebutkannya. وَكَذَا لَوْ قَالَ سَيِّدُ الْأَمَّةِ لِشَخْصٍ زَوَّجْتُكَ أَمَّتِيْ وَنَفَى الْمَهْرَ أَوْ سَكَتَ.

 

Konsekwensi Tafwidl

 

Ketika tafwidl telah sah, maka mas kawin menjadi wajib / tetap dalam permasalahan ini sebab tiga perkara. (وَ) إِذَا صَحَّ التَّفْوِيْضُ (وَجَبَ الْمَهْرُ) فِيْهِ (بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ)
Tiga perkara tersebut adalah sang suami memastikan mas kawin yang akan ia berikan dan sang istri setuju dengan mas kawin yang telah ditetapkan oleh sang suami. وَهِيَ (أَنْ يُفَرِّضَهُ الزَّوْجُ) عَلَى نَفْسِهِ وَتَرْضَى الزَّوْجَةُ بِمَا فَرَّضَهُ
Atau seorang hakim memastikan mas kawin yang dibebankan terhadap sang suami. Dan yang dipastikan oleh seorang hakim pada sang suami adalah mahar mitsil. (أَوْ يُفَرِّضُهُ الْحَاكِمُ) عَلَى الزَّوْجِ وَيَكُوْنُ الْمَفْرُوْضُ عَلَيْهِ مَهْرَ الْمِثْلِ
Dan disyaratkan hakim harus mengetahui ukuran mahar mitsil tersebut. وَيُشْتَرَطُ عِلْمُ الْقَاضِيْ بِقَدْرِهِ
Tidak disyaratkan adanya persetujuan dari kedua mempelai terhadap apa yang telah ditentukan oleh seorang hakim. أَمَّا رِضَا الزَّوْجَيْنِ بِمَا يُفَرِّضُهُ فَلَا يُشْتَرَطُ
Atau sang suami telah menjima’ sang istri, maksudnya istri yang telah tafwidl sebelum ada ketentuan dari sang suami tersebut atau seorang hakim. Sehingga bagi sang istri berhak memiliki mahar mitsil sebab jima’ tersebut. (أَوْ يَدْخُلَ) أَيِ الزَّوْجُ (بِهَا) أَيِ الزَّوْجَةِ الْمُفَوِّضَةِ قَبْلَ فَرْضٍ مِنَ الزَّوْجِ أَوِ الْحَاكِمِ (فَيَجِبُ) لَهَا (مَهْرُ الْمِثْلِ) بِنَفْسِ الدُّخُوْلِ
Mahar mitsil yang dijadikan ukuran adalah mahar mitsil saat akad nikah menurut pendapat al ashah. وَيُعْتَبَرُ هَذَا الْمَهْرُ بِحَالِ الْعَقْدِ فِيِ الْأَصَحِّ
Jika salah satu dari suami istri meninggal dunia sebelum ada kepastian ukuran mas kawinnya dan sebelum terjadi jima’, maka sang suami wajib memberikan mahar mitsli menurut pendapat al adlhar. وَإِنْ مَاتَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ قَبْلَ فَرْضٍ وَوَطْءٍ وَجَبَ مَهْرُ مِثْلٍ فِيْ الْأَظْهَرِ
Yang dikehendaki dengan mahar mitsil adalah ukuran mas kawin yang disetujui / disukai oleh wanita yang selevel dengan istri tersebut secara adatnya. وَالْمُرَادُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ قَدْرُ مَا يُرْغَبُ بِهِ فِيْ مِثْلِهَا عَادَةً

 

Ukuran Mas Kawin

 

Tidak ada batasan tertentu di dalam ukuran minimal mas kawin. Dan juga tidak ada batasan tertentu di dalam ukuran maksimal mas kawin. (وَلَيْسَ لِأَقَلِّ الصَّدَاقِ) حَدٌّ مُعَيَّنٌ فِيْ قِلَّةٍ (وَلَا أَكْثَرِهِ حَدٌّ) مُعَيَّنٌ فِيْ الْكَثْرَةِ
Bahkan batasan dalam hal itu adalah, sesungguhnya setiap sesuatu yang sah dijadikan sebagai tsaman, baik berupa benda atau manfaat, maka sah dijadikan sebagai mas kawin. بَلِ الضَّابِطُ فِيْ ذَلِكَ أَنَّ كُلَّ شَيْئٍ صَحَّ جَعْلُهُ ثَمَنًا مِنْ عَيْنٍ أَوْ مَنْفَعَةٍ صَحَّ جَعْلُهُ صَدَاقًا
Namun telah dijelaskan bahwa sesungguhnya mas kawin yang disunnahkan adalah tidak kurang dari sepuluh dirham dan tidak lebih dari lima ratus dirham. وَسَبَقَ أَنَّ الْمُسْتَحَبَّ عَدَمُ النَّقْصِ عَنْ عَشْرَةِ دَرَاهِمَ وَعَدَمُ الزِّيَادَةِ عَلَى خَمْسِ مِائَةِ دِرْهَمٍ
Bagi seorang laki-laki diperkenankan menikahi seorang wanita dengan mas kawin berupa manfaat yang diketahui/maklum, seperti mengajari Al Qur’an pada wanita tersebut. (وَيَجُوْزُ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ) كَتَعْلِيْمِهَا الْقُرْآنَ

 

Hukum Mas Kawin

 

Separuh dari mas kawin menjadi gugur sebab terjadi talak sebelum melakukan jima’. (وَيَسْقُطُ بِالطَّلَاقِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ نِصْفُ الْمَهْرِ)
Sedangkan talak yang terjadi setelah jima’ walaupun satu kali saja, maka seluruh mas kawin berhak diberikan pada sang istri, walaupun jima’ yang dilakukan hukumnya haram seperti sang suami menjima’ istrinya saat sang istri melakukan ihram atau saat haidl. أَمَّا بَعْدَ الدُّخُوْلِ وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً فَيَجِبُ كُلُّ الْمَهْرِ وَلَوْ كَانَ الدُّخُوْلُ حَرَامًا كَوَطْءِ الزَّوْجِ زَوْجَتَهُ حَالَ إِحْرَامِهَا أَوْ حَيْضِهَا
Sebagaimana keterangan didepan bahwa seluruh mas kawin wajib diberikan pada sang istri sebab salah satu dari suami istri meninggal dunia. Dan mas kawin belum wajib sebab telah berduaan dengan sang istri menurut qaul jadid. وَيَجِبُ كُلُّ الْمَهْرِ كَمَا سَبَقَ بِمَوْتِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ لَا بِخَلْوَةِ الزَّوْجِ بِهَا فِيْ الْجَدِيْدِ
Ketika seorang istri yang merdeka bunuh diri sebelum sang suami berhubungan intim dengannya, maka mas kawin wanita tersebut tidak gugur. وَإِذَا قَتَلَتِ الْحُرَّةُ نَفْسَهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ بِهَا لَا يَسْقُطُ مَهْرُهَا
Berbeda dengan permasalahan ketika seorang istri budak wanita yang melakukan bunuh diri atau dibunuh oleh majikannya sendiri sebelum sang suami melakukan jima’ dengannya, maka sesungguhnya mas kawinnya menjadi gugur. بِخِلَافِ مَا لَوْ قَتَلَتِ الْأَمَّةُ نَفْسَهَا أَوْ قَتَلَهَا سَيِّدُهَا قَبْلَ الدُّخُوْلِ فَإِنَّهُ يَسْقُطُ مَهْرُهَا .


BAB WALIMAH / RESEPSI

(Fasal) melakukan resepsi pernikahan hukumnya disunnahkan. (فَصْلٌ) وَالْوَلِيْمَةُ عَلَى الْعَرْسِ مُسْتَحَبٌّ)
Yang dikehendaki dengan walimah adalah jamuan untuk pernikahan. وَالْمُرَادُ بِهَا طَعَامٌ يُتَّخَذُ لِلْعَرْسِ
Imam asy Syafi’i berkata, “walimah mencakup segala bentuk undangan karena baru saja mengalami kebahagian.” وَقَالَ الشَّافِعِيُّ تَصْدُقُ الْوَلِيْمَةُ عَلَى كُلِّ دَعْوَةٍ لِحَادِثِ سُرُوْرٍ
Minimal walimah yang diadakan oleh orang kaya adalah menyembelih satu ekor kambing. Dan bagi orang miskin adalah jamuan yang mampu ia sajikan. وَأَقَلُّهَا لِلْمُكْثِرِ شَاةٌ وَلِلْمُقِلِّ مَا تَيَسَّرَ
Macam-macam walimah banyak dan disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang keterangannya. وَأَنْوَاعُهَا كَثِيْرَةٌ مَذْكُوْرَةٌ فِي الْمُطَوَّلَاتِ

 

Memenuhi Undangan Walimah

 

Memenuhi undangan resepsi pernikahan hukumnya adalah wajib, maksudnya fardlu ‘ain menurut pendapat al ashah. Dan tidak wajib memakan hidangannya menurut pendapat al ashah. (وَالْإِجَابَةُ إِلَيْهَا) أَيْ وَلِيْمَةِ الْعُرْسِ (وَاجِبَةٌ) أَيْ فَرْضُ عَيْنٍ فِيْ الْأَصَحِّ وَلَا يَجِبُ الْأَكْلُ مِنْهَا فِيْ الْأَصَحِّ
Adapun memenuhi undangan walimah-walimah selain resepsi pernikahan, maka hukumnya tidak fardlu ‘ain akan tetapi hukumnya adalah sunnah. أَمَّا الْإِجَابَةُ لِغَيْرِ وَلِيْمَةِ الْعُرْسِ مِنْ بَقِيَّةِ الْوَلَائِمِ فَلَيْسَتْ فَرْضَ عَيْنٍ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ
Memenuhi undangan walimatul ‘urs itu hanya wajib atau walimah yang lain hukumnya sunnah dengan syarat orang yang mengundang tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, akan tetapi mengundang orang-orang kaya sekaligus orang-orang fakir. وَإِنَّمَا تَجِبُ الإِجَابَةُ لِوَلِيْمَةِ الْعُرْسِ أَوْ تُسَنُّ لِغَيْرِهَا بِشَرْطِ أَنْ لَا يَخُصَّ الدَّاعِيْ الْأَغْنِيَاءَ بِالدَّعْوَةِ بَلْ يَدْعُوْهُمْ وَالْفُقَرَاءَ
Dan dengan syarat mereka diundang pada hari pertama. وَأَنْ يَدْعُوَهُمْ فِيْ الْيَوْمِ الأَوَّلِ
Sehingga, jika seseorang mengadakan resepsi selama tiga hari, maka hukumnya tidak wajib datang di hari yang kedua bahkan hukumnya hanya sunnah, dan makruh datang di hari yang ketiga. فَإِنْ أَوْلَمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ لَمْ تَجِبِ الْإِجَابَةُ فِيْ الْيَوْمِ الثَّانِيْ بَلْ تُسْتَحَبُّ وَتُكْرَهُ فِيْ الْيَوْمِ الثَّالِثِ
Untuk syarat-syarat yang lain dijelaskan di dalam kitab-kitab yang lebih luas keterangannya. وَبَقِيَّةُ الشُّرُوْطِ مَذْكُوْرَةٌ فِيْ الْمُطَوَّلَاتِ
Ungkapan mushannif, “kecuali ada udzur”, maksudnya ada sesuatu yang menghalangi untuk menghadiri resepsi. وَقَوْلُهُ (إِلَّا مِنْ عُذْرٍ) أَيْ مَانِعٍ مِنَ الْإِجَابَةِ لِلْوَلِيْمَةِ
Seperti di tempat acara ada orang yang bisa menyakiti orang yang diundang, atau tidak layak baginya untuk bergabung dengannya. كَأَنْ يَكُوْنَ فِيْ مَوْضِعِ الدَّعْوَةِ مَنْ يَتَأَذَّى بِهِ الْمَدْعُوُّ أَوْ لَا تَلِيْقَ بِهِ مُجَالَسَتُهُ


BAB MENGGILIR ISTRI DAN NUSUZ

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum qasm (menggilir) dan nusuz (purik : jawa). (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْقَسْمِ وَالنُّشُوْزِ)
Yang pertama adalah dari suami dan yang kedua dari istri. وَالْأَوَّلُ مِنْ جِهَّةِ الزَّوْجِ وَالثَّانِيْ مِنْ جِهَّةِ الزَّوْجَةِ
Makna nusuznya seorang istri adalah ia tidak mau melaksanakan hak yang wajib ia penuhi. وَمَعْنَى نُشُوْزِهَا ارْتِفَاعُهَا عَنْ أَدَاءِ الْحَقِّ الْوَاجِبِ عَلَيْهَا
Ketika seorang laki-laki memiliki dua istri atau lebih, maka bagi dia tidak wajib menggilir diantara kedua atau beberapa istrinya. وَإِذَا كَانَ فِيْ عِصْمَةِ شَخْصٍ زَوْجَتَانِ فَأَكْثَرَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَسْمُ بَيْنَهُمَا أَوْ بَيْنَهُنَّ
Sehingga, seandainya dia berpaling dari istri-istrinya atau istri satu-satunya, dengan tidak berada di sisi mereka atau di sisi satu istrinya tersebut, maka dia tidak berdosa. حَتَّى لَوْ أَعْرَضَ عَنْهُنَّ أَوْ عَنِ الْوَاحِدَةِ فَلَمْ يَبِتْ عِنْدَهُنَّ أَوْ عِنْدَهَا لَمْ يَأْثَمْ
Akan tetapi disunnahkan baginya untuk tidak mengosongkan jadwal menginap di sisi mereka, begitu juga di sisi istri satu-satunya. Dengan artian ia berada di sisi mereka atau di sisi istrinya tersebut. وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُعَطِّلَهُنَّ مِنَ الْمَبِيْتِ وَلَا الْوَاحِدَةَ أَيْضًا بِأَنْ يَبِيْتَ عِنْدَهُنَّ أَوْ عِنْدَهَا
Minimal empat hari sekali berada bersama dengan satu orang istri. وَأَدْنَى دَرَجَاتِ الْوَاحِدَةِ أَنْ لَا يُخَلِّيَهَا كُلَّ أَرْبَعِ لَيَالٍ عَنْ لَيْلَةٍ

 

 

Hukum Adil di Dalam Menggilir Istri

 

menyetarakan giliran di antara istri-istri hukumnya wajib bagi sang suami. (وَالتَّسْوِيَةُ فِيْ الْقَسْمِ بَيْنَ الزَّوْجَاتِ وَاجِبَةٌ)
Sama rata adakalanya dipandang dari tempat dan adakalanya dipandang dari waktunya. وَتُعْتَبَرُ التَّسْوِيَّةُ بِالْمَكَانِ تَارَةً وَبِالزَّمَانِ اُخْرَى
Adapun ditinjau dari sisi tempat, maka hukumnya haram mengumpulkan dua orang istri atau lebih didalam satu rumah kecuali mereka rela. أَمَّا الْمَكَانُ فَيَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فَأَكْثَرَ مِنْ مَسْكَنٍ وَاحِدٍ إِلَّا بِالرِّضَا
Adapun dari sisi waktu, maka bagi suami yang tidak menjadi seorang penjaga (bekerja) di malam hari, maka inti giliran yang harus dia lakukan adalah di waktu malam, sedangkan untuk siangnya mengikut pada waktu malam. وَأَمَّا الزَّمَانُ فَمَنْ لَمْ يَكُنْ حَارِسًا فَعِمَادُ الْقَسْمِ فِيْ حَقِّهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ تَبِعَ لَهُ
Dan bagi suami yang menjadi penjaga di malam hari, maka inti giliran yang harus ia lakukan adalah waktu siang, sedangkan untuk waktu malamnya hanya mengikut pada waktu siang tersebut. وَمَنْ كَانَ حَارِسًا فَعِمَادُ الْقَسْمِ فِيْ حَقِّهِ النَّهَارُ وَاللَّيْلُ تَبِعَ لَهُ.

 

Tidak Boleh Melanggar Giliran

 

Bagi seorang suami tidak diperkenankan berkunjung di malam hari pada istri yang tidak mendapat giliran tanpa ada hajat. (وَلَا يَدْخُلُ) الزَّوْجُ لَيْلًا (عَلَى غَيْرِ الْمَقْسُوْمِ لَهَا لِغَيْرِ حَاجَةٍ)
Jika berkunjungnya karena ada hajat seperti menjenguk istrinya yang sakit dan sesamanya, maka ia tidak dilarang untuk masuk pada istri tersebut. فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ كَعِيَادَةٍ وَنَحْوِهَا لَمْ يُمْنَعْ مِنَ الدُّخُوْلِ
Dan ketika masuknya karena ada hajat, jika ia berada di sana dalam waktu yang cukup lama, maka wajib mengqadla’ seukuran waktu berdiamnya dari giliran istri yang telah ia kunjungi. وَحِيْنَئِذٍ إِنْ طَالَ مُكْثُهُ قَضَى مِنْ نَوْبَةِ الْمَدْخُوْلِ عَلَيْهَا مِثْلَ مُكْثِهِ
Sehingga, jika ia sempat melakukan jima’ dengan istri yang ia kunjungi -yang bukan gilirannya-, maka wajib mengqadla’ masa jima’nya, bukan melakukan jima’nya, kecuali jika waktunya sangat pendek, maka tidak wajib untuk diqadla’i. فَإِنْ جَامَعَ قَضَى زَمَنَ الْجِمَاعِ لَا نَفْسَ الْجِمَاعِ إِلَّا أَنْ يَقْصُرَ زَمَنُهُ فَلَا يَقْضِيْهِ

 

Ketika Hendak Bepergian

 

Ketika seorang laki-laki yang memiliki beberapa istri ingin bepergian, maka ia harus mengundi di antara istri-istrinya. Dan ia melakukan perjalanan bersama istri yang mendapatkan undian. (وَإِذَا أَرَادَ) مَنْ فِيْ عِصْمَتِهِ زَوْجَاتٌ (السَّفَرَ أَقْرَعَ بَيْنَهُنَّ وَخَرَجَ) أَيْ سَافَرَ (بِالَّتِيْ تَخْرُجُ لَهَا الْقُرْعَةُ)
Dan bagi suami yang melakukan perjalanan tidak wajib menqadla’ lamanya masa perjalanan pada para istrinya yang tidak diajak bepergian / yang ditinggal di rumah. وَلَا يَقْضِيْ الزَّوْجُ الْمُسَافِرُ لِلْمُتَخَلِّفَاتِ مُدَّةَ سَفَرِهِ ذِهَابًا
Jika ia sampai di tempat tujuan dan muqim di sana, dengan artian ia niat muqim yang bisa merubah status musafirnya di awal pemberangkatan, ketika sampai di tempat tujuan atau sebelum sampai, maka ia wajib mengqadla’i waktu muqimnya, jika istri yang menyertainya dalam perjalanan juga muqim bersamanya sebagai mana keterangan yang disampaikan oleh imam al Mawardi. Jika tidak demikian, maka tidak wajib mengqadla’i. فَإِنْ وَصَلَ مَقْصِدَهُ وَصَارَ مُقِيْمًا بِأَنْ نَوَى إِقَامَةً مُؤَثِّرَةً أَوَّلَ سَفَرِهِ أَوْ عِنْدَ وُصُوْلِ مَقْصِدِهِ أَوْ قَبْلَ وُصُوْلِهِ قَضَى مُدَّةَ الْإِقَامَةِ إِنْ سَاكَنَ الْمَصْحُوْبَةَ مَعَهُ فِيْ السَّفَرِ كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ وَإِلَّا لَمْ يَقْضِ
Adapun waktu perjalanan pulang setelah muqimnya tersebut, maka bagi suami tidak wajib untuk mengqadla’inya. أَمَّا مُدَّةُ الرُّجُوْعِ فَلَا يَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ قَضَاؤُهَا بَعْدَ إِقَامَتِهِ .

 

Pengantin Baru

 

Ketika seorang suami menikahi wanita yang baru, maka ia wajib mengistimewakannya, walaupun istrinya adalah budak wanita, dan ia memiliki istri lama. (وَإِذَا تَزَوَّجَ) الزَّوْجُ (جَدِيْدَةً خَصَّهَا) حَتْمًا وَلَوْ كَانَتْ أَمَّةً وَكَانَ عِنْدَ الزَّوْجِ غَيْرُ الْجَدِيْدَةِ
Suami harus menginap di sisi istri barunya tersebut selama tujuh malam berturut-turut, jika istri barunya tersebut masih perawan, dan tidak wajib mengqadla’ untuk istri-istri yang lain. وَهُوَ يَبِيْتُ عِنْدَهَا (بِسَبْعِ لَيَالٍ) مُتَوَالِيَاتٍ (إِنْ كَانَتْ) تِلْكَ الْجَدِيْدَةُ (بِكْرًا) وَلَا يَقْضِيْ لِلْبَاقِيَاتِ
Dan mengkhususkan pada istri barunya tersebut dengan tiga malam berturut-turut, jika istri barunya tersebut sudah janda. (وَ) خَصَّهَا (بِثَلَاثٍ) مُتَوَالِيَةٍ (إِنْ كَانَتْ) تِلْكَ الْجَدِيْدَةُ (ثَيِّبًا)
Sehingga, seandainya sang suami memisah malam-malam tersebut dengan tidur semalam di sisi sang istri baru, dan semalam tidur di masjid semisal, maka semua itu tidak dianggap. فَلَوْ فَرَّقَ اللَّيَالِيَ بِنَوْمِهِ لَيْلَةً عِنْدَ الْجَدِيْدَةِ وَلَيْلَةً فِيْ مَسْجِدٍ مَثَلًا لَمْ يُحْسَبْ ذَلِكَ
Bahkan sang suami harus memenuhi hak istri barunya secara berturut-turut, dan mengqadla’i malam-malam yang telah ia pisah-pisah untuk istri-istri yang lain. بَلْ يُوْفِيْ الْجَدِيْدَةَ حَقَّهَا مُتَوَالِيًا وَيَقْضِيْ مَا فَرَّقَهُ لِلْبَاقِيَاتِ.

 

Nusuz / Purik

 

Ketika sang suami khawatir istrinya nusuz, dalam sebagian redaksi dengan ungkapan, “ketika nampak bahwa sang istri nusuz”, maka suami berhak memberi nasihat dengan tanpa memukul dan tanpa diam tidak menyapanya. (وَإِذَا خَافَ) الزَّوْجُ (نُشُوْزَ الْمَرْأَةِ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَإِذَا بَانَ نُشُوْزُ الْمَرْأَةِ أَيْ ظَهَرَ (وَعَظَهَا) زَوْجُهَا بِلَا ضَرْبٍ وَلَا هَجْرٍ لَهَا
Seperti ucapannya pada sang istri, “takutlah engkau pada Allah di dalam hak yang wajib bagimu untukku. Dan ketahuilah sesungguhnya nusuz bisa menggugurkan kewajiban nafkah dan menggilir.” كَقَوْلِهِ لَهَا “اتَّقِيْ اللهَ فِيْ الْحَقِّ الْوَاجِبِ لِيْ عَلَيْكَ وَاعْلَمِيْ أَنَّ النُّشُوْزَ مُسْقِطٌ لِلنَّفَقَةِ وَالْقَسْمِ”
Mencela suami bukanlah termasuk nusuz, namun dengan hal itu sang istri berhak diberi pengajaran sopan santun oleh suami menurut pendapat al ashah, dan ia tidak perlu melaporkannya pada seorang qadli. وَلَيْسَ الشَّتْمُ لِلزَّوْجِ مِنَ النُّشُوْزِ بَلْ تَسْتَحِقُّ بِهِ التَّأْدِيْبَ مِنَ الزَّوْجِ فِيْ الْأَصَحِّ وَلَا يَرْفَعُهَا إِلَى الْقَاضِيْ
Jika setelah dinasihati ia tetap nusuz, maka sang suami mendiamkannya di tempat tidurnya, sehingga ia tidak menemaninya di tempat tidur. (فَإِنْ أَبَتْ) بَعْدَ الْوَعْظِ (إِلَّا النُّشُوْزَ هَجَرَهَا) فِيْ مَضْجَعِهَا وَهُوَ فِرَاشُهَا فَلَا يُضَاجِعُهَا فِيْهِ
Mendiamkan tidak menyapanya dengan ucapan hukumnya haram dalam waktu lebih dari tiga hari. وَهِجْرَانُهَا بِالْكَلَامِ حَرَامٌ فِيْمَا زَادَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Imam an Nawawi berkata di dalam kitab ar Raudlah, “sesungguhnya hukum haram tersebut adalah di dalam permasalan tidak menyapa tanpa ada udzur syar’i. Jika tidak demikian, maka hukumnya tidak haram lebih dari tiga hari.” وَقَالَ فِيْ الرَّوْضَةِ أَنَّهُ فِيْ الْهَجْرِ بِغَيْرِ عُذْرٍ شَرْعِيٍّ وَإِلَّا فَلَا تَحْرُمُ الزِّيَادَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Jika sang istri tetap saja nusuz dengan berulang kali melakukannya, maka sang suami berhak tidak menyapa dan memukulnya dengan model pukulan mendidik pada sang istri. (فَإِنْ أَقَامَتْ عَلَيْهِ) أَيِ النُّشُوْزِ بِتَكَرُّرِهِ مِنْهَا (هَجَرَهَا وَضَرَبَهَا) ضَرْبَ تَأْدِيْبٍ لَهَا
Dan jika pukulan tersebut menyebabkan kerusakan / luka / kematian, maka wajib bagi suami untuk mengganti rugi. وَإِنْ أَفْضَى إِلَى التَّلَفِ وَجَبَ الْغَرْمُ
Sebab nusuz, giliran dan nafkah bagi sang istri menjadi gugur. (وَيَسْقُطُ بِالنُّشُوْزِ قَسْمُهَا وَنَفَقَتُهَا).


BAB KHULU’

(Fasal) menjelaskan beberapa hukum khulu’. (فَصْلٌ فِيْ أَحْكَامِ الْخُلْعِ)
Lafadz “al khul’u’” dengan terbaca dlammah huruf kha’nya yang diberi titik satu di atas, adalah lafadz yang tercetak dari lafadz “al khal’u” dengan terbaca fathah huruf kha’nya. Dan lafadz “al khal’u” bermakna mencopot. وَهُوَ بِضَمِّ الْخَاءِ الْمُعْجَمَةِ مُشْتَقٌّ مِنَ الْخَلْعِ بِفَتْحِهَا وَهُوَ النَّزَعُ
Secara syara’, khul’u adalah perceraian dengan menggunakan ‘iwadl (imbalan) yang maqsud (layak untuk diinginkan). وَشَرْعًا فُرْقَةٌ بِعِوَضٍ مَقْصُوْدٍ
Maka mengecualikan khulu’ dengan ‘iwadl berupa darah dan sesamanya. فَخَرَجَ الْخُلْعُ عَلَى دَمٍّ وَنَحْوِهَا

 

Syarat Khulu’

 

Khulu’ hukumnya sah dengan menggunakan ‘iwadl yang ma’lum dan mampu diserahkan. (وَالْخُلْعُ جَائِزٌ عَلَى عِوَضٍ مَعْلُوْمٍ) مَقْدُوْرٍ عَلَى تَسْلِيْمِهِ
Sehingga, jika khulu’ menggunakan ‘iwadl yang tidak ma’lum seperti seorang suami melakukan khulu’ pada istrinya dengan ‘iwadl berupa pakaian yang tidak ditentukan, maka sang istri tertalak ba’in dengan memberikan ganti mahar mitsil. فَإِنْ كَانَ عَلَى عِوَضٍ مَجْهُوْلٍ كَأَنْ خَالَعَهَا عَلَى ثَوْبٍ غَيْرِ مُعَيَّنٍ بَانَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ

 

Konsekwensi Khulu’

 

Dengan khulu’ yang sah, maka seorang wanita berhak atas dirinya sendiri. Dan sang suami tidak bisa ruju’ pada wanita tersebut, baik ‘iwadl yang digunakan sah ataupun tidak. (وَ) الْخُلْعُ الصَّحِيْحُ (تَمْلِكُ بِهِ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَلَا رَجْعَةَ لَهُ) أَيِ الزَّوْجِ (عَلَيْهَا) سَوَاءٌ كَانَ الْعِوَضُ صَحِيْحًا أَوْ لَا
Dan ungkapan mushannif, “kecuali dengan akad nikah yang baru” tidak tercantum di kebanyakan redaksi. وَقَوْلُهُ (إِلَّا بِنِكَاحٍ جَدِيْدٍ) سَاقِطٌ فِيْ أَكْثَرِ النُّسَخِ
Khulu’ boleh dilakukan saat sang istri dalam keadaan suci dan dalam keadaan haidl, dan khulu’ yang dilakukan ini tidaklah haram. (وَيَجُوْزُ الْخُلْعُ فِيْ الطُّهْرِ وَفِيْ الْحَيْضِ) وَلَا يَكُوْنُ حَرَامًا
Wanita yang telah dikhulu’ tidak bisa ditalak. Berbeda dengan istri yang tertalak raj’i, maka bisa untuk ditalak. (وَلَا يَلْحَقُ الْمُخْتَلِعَةَ الطَّلَاقُ) بِخِلَافِ الرَّجْعِيَّةِ فَيَلْحَقُهَا.


BAB TALAK

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum talak. (فَصْلٌ فِيْ أَحْكَامِ الطَّلَاقِ)
Talak secara bahasa adalah melepas ikatan. Dan secara syara’ adalah nama perbuatan untuk melepas ikatan pernikahan. وَهُوَ لُغَةً حَلُّ الْقَيْدِ وَشَرْعًا اسْمٌ لِحَلِّ قَيْدِ النِّكَاحِ
Untuk terlaksananya talak, maka disyaratkan harus dilakukan oleh suami yang mukallaf dan atas kemauan sendiri. وَيُشْتَرَطُ لِنُفُوْذِهِ التَّكْلْيْفُ وَالْاِخْتِيَارُ
Sedangkan orang yang sedang mabuk, maka talak yang dilakukannya tetap sah karena sebagai hukuman baginya. وَأَمَّا السَّكْرَانُ فَيَنْفُذُ طَلَاقُهُ عُقُوْبَةً لَهُ

 

Macam-Macam Talak

 

Talak ada dua macam, talak sharih dan kinayah. (وَالطَّلَاقُ ضَرْبَانِ صَرِيْحٌ وَكِنَايَةٌ)
Talak sharih adalah talak menggunakan bahasa yang tidak mungkin diarahkan pada selain talak. فَالصَّرِيْحُ مَا لَا يَحْتَمِلُ غَيْرَ الطَّلَاقِ
Sedangkan talak kinayah adalah talak menggunakan bahasa yang memungkinkan diarahkan pada selain talak. وَالْكِنَايَةُ مَا تَحْتَمِلُ غَيْرَهُ
Seandainya sang suami mengucapkan bahasa talak yang sharih dan dia berkata, “aku tidak menghendaki bahasa tersebut untuk mentalak”, maka kata-katanya ini tidak bisa diterima. وَلَوْ تَلَفَّظَ الزَّوْجُ بِالصَّرِيْحِ وَقَالَ لَمْ أُرِدْ بِهِ الطَّلَاقَ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ .

 

Talak Sharih

 

Talak sharih ada tiga lafadz. (فَالصَّرِيْحُ ثَلَاثَةُ أَلْفَاظٍ
Yaitu lafadz “talak” dan lafadz-lafadz yang dicetak dari lafadz tersebut, seperti “saya mentalakmu”, “kamu orang yang tertalak”, dan “kamu orang yang ditalak.” الطَّلَاقُ) وَمَا اشْتُقَّ مِنْهُ كَطَلَّقْتُكِ وَ أَنْتِ طَالِقٌ وَمُطْلَقَةٌ
Lafadz “al firaq” dan lafadz “as sarah”, seperti “faraqtuki”, “wa anti mufaraqatun”, “sarahtuki”, dan “anti musarrahatun.” (وَالْفِرَاقُ وَالسَّرَاحُ) كَفَارَقْتُكِ وَأَنْتِ مُفَارَقَةٌ وَسَرَّحْتُكِ وَ أَنْتِ مُسَرَّحَةٌ
Di antara bentuk kalimat talak yang sharih adalah khulu’ yang disertai dengan penyebutan harta yang dijadikan sebagai iwadl. Begitu juga lafadz “al mufadah (tebusan).” وَمِنَ الصَّرِيْحِ أَيْضًا الْخُلْعُ إِنْ ذُكِرَ الْمَالُ وَكَذَا الْمُفَادَاةُ
Bentuk talak yang sharih tidak butuh pada niat. (وَلَا يَفْتَقِرُ) صَرِيْحُ الطَّلَاقِ إِلَى النِّيَةِ)
Dikecualikan orang yang dipaksa melakukan talak, maka bentuk kalimat talak sharih yang ia lakukan menjadi bentuk talak kinayah. Jika ia niat menjatuhkan talak, maka jatuh talak. Dan jika tidak niat mentalak, maka tidak jatuh talak. وَيُسْتَثْنَى الْمُكْرَهُ عَلَى الطَّلَاقِ فَصَرِيْحُهُ كِنَايَةٌ فِيْ حَقِّهِ إِنْ نَوَى وَقَعَ وَإِلَّا فَلاَ

 

Talak Kinayah

 

Kinayah adalah bentuk lafadz yang memungkinkan diarahkan pada talak dan juga pada selain talak, dan butuh pada niat. (وَالْكِنَايَةُ كُلُّ لَفْظٍ احْتَمَلَ الطَّلَاقَ وَغَيْرَهُ وَيَفْتَقِرُ إِلَى النِّيَةِ)
Sehingga, jika lafadz kinayah tersebut diniati untuk menjatuhkan talak, maka jatuh talak. Dan jika tidak niat menjatuhkan talak, maka tidak jatuh talak. فَإِنْ نَوَى بِالْكِنَايَةِ الطَّلَاقَ وَقَعَ وَإِلَّا فَلاَ
Bentuk talak kinayah adalah seperti, “anti bariyah khaliyah (engkau adalah wanita yang bebas dan sepi)”, “susullah keluargamu”, dan bentuk-bentuk lain yang ada di dalam kitab-kitab yang lebih luas penjelasannya. وَ كِنَايَةُ الطَّلَاقِ كَأَنْتِ بَرِيَّةٌ خَلِيَّةٌ الْحِقِيْ بِأَهْلِكِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ فِيْ الْمُطَوَّلَاتِ.

 

Macam-Macam Wanita Dalam Talak

 

Wanita di dalam permasalahan talak ada dua macam : (وَالنِّسَاءُ فِيْهِ) أَيِ الطَّلَاقِ (ضَرْبَانِ
Satu macam adalah wanita yang bila ditalak, maka talaknya bisa berstatus sunnah dan bisa berstatus bid’ah. Mereka adalah wanita-wanita yang memiliki (berusia) haidl. ضَرْبٌ فِيْ طَلَاقِهِنَّ سُنَّةٌ وَبِدْعَةٌ وَهُنَّ ذَوَاتُ الْحَيْضِ)
Yang dikehendaki mushannif dengan talak sunnah adalah talak yang diperbolehkan, sedangkan talak bid’ah adalah talak yang haram. وَأَرَادَ الْمُصَنِّفُ بِالسُّنَّةِ الطَّلَاقَ الْجَائِزَ وَبِالْبِدْعَةِ الطَّلَاقَ الْحَرَامَ
Talak sunnah adalah talak yang dijatuhkan oleh sang suami pada istri saat masa suci yang belum dijima’ pada masa suci tersebut. (فَالسُّنَّةُ أَنْ يُوْقِعَ) الزَّوْجُ (الطَّلَاقَ فِيْ طُهْرٍ غَيْرِ مُجَامِعٍ فِيْهِ
Dan talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh sang suami pada istri saat masa haidl atau masa suci namun sudah melakukan jima’ pada masa suci tersebut. وَالْبِدْعَةُ أَنْ يُوْقِعَ) الزَّوْجُ (الطَّلَاقَ فِيْ الْحَيْضِ أَوْ فِيْ طُهْرٍ جَامَعَهَا فِيْهِ
Dan satu macam lagi adalah wanita yang bila ditalak, maka talaknya tidak berstatus sunnah juga tidak berstatus bid’ah. وَضَرْبٌ لَيْسَ فِيْ طَلَاقِهِنَّ سُنَّةٌ وَلَا بِدْعَةٌ
Mereka adalah empat wanita, yaitu wanita yang masih kecil, wanita ayisah yaitu wanita yang sudah tidak mengeluarkan darah haidl lagi, wanita hamil, wanita yang menerima khulu’, dan wanita yang belum dijima’ oleh suaminya. وَهُنَّ أَرْبَعٌ الصَّغِيْرَةُ الْآيِسَةُ) وَهِيَ الَّتِيْ انْقَطَعَ حَيْضُهَا (وَالْحَامِلُ وَالْمُخْتَلِعَةُ الَّتِيْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا) الزَّوْجُ

 

Hukum-Hukum Talak

 

Dengan pertimbangan yang lain, talak terbagi menjadi talak wajib seperti talak yang dilakukan oleh suami yang sumpah ila’. وَيَنْقَسِمُ الطَّلَاقُ بِاعْتِبَارٍ آخَرَ إِلَى وَاجِبٍ كَطَلَاقِ الْمُوْلِيْ
Talak sunnah seperti mentalak istri yang tidak beres kelakukannya seperti berbudi jelek. وَمَنْذُوْبٍ كَطَلَاقِ امْرَأَةٍ غَيْرِ مُسْتَقِيْمَةِ الْحَالِ كَسَيِّئَةِ الْخُلُقِ
Talak makruh seperti mentalak istri yang baik keadaannya. وَمَكْرُوْهٍ كَطَلَاقِ مُسْتَقِيْمَةِ الْحَالِ
Talak haram seperti talak bid’ah dan sudah dijelaskan di depan. وَحَرَامٍ كَطَلَاقِ الْبِدْعَةِ وَقَدْ سَبَقَ
Imam al Haramain memberi isyarah pada bentuk talak mubah dengan contoh mentalak istri yang tidak dicintai oleh suaminya dan hati sang suami tidak rela memberi nafkah tanpa ada unsur bersenang-senang dengan istri tersebut. وَأَشَارَ الْإِمَامُ لِلطَّلَاقِ الْمُبَاحِ بِطَلَاقِ مَنْ لَا يَهْوَاهَا الزَّوْجُ وَلَا تَسْمَحُ نَفْسُهُ بِمُؤْنَتِهَا بَلَا اسْتِمْتَاعٍ بِهَا


BAB HAK TALAK

(Fasal) menjelaskan hak talak suami yang merdeka, suami yang berupa budak dan permasalahan-permasalahan yang lain. (فَصْلٌ) فِيْ طَلَاقِ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
Suami yang merdeka memiliki hak talak tiga kali atas istrinya walaupun istrinya berstatus budak. (وَيَمْلِكُ) الزَّوْجُ (الْحُرُّ) عَلَى زَوْجَتِهِ وَلَوْ كَانَتْ أَمَّةً (ثَلَاثَ تَطْلِيْقَاتٍ
Dan suami yang berstatus budak hanya memiliki hak talak dua kali atas istrinya, baik istrinya berstatus merdeka ataupun budak. وَ) يَمْلِكُ (الْعَبْدُ) عَلَيْهَا (تَطْلِيْقَيْنِ) فَقَطْ حُرَّةً كَانَتِ الزَّوْجَةُ أَوْ أَمَّةً
Budak muba’adl, mukatab, dan budak mudabbar itu sama dengan budak yang murni. وَالْمُبَعَّضُ وَالْمُكَاتَبُ وَالْمُدَبَّرُ كَالْعَبْدِ الْقِنِّ

 

Istisna’ (Mengecualikan) Dalam Talak

 

Istisna’ dalam talak hukumnya sah ketika istisna’ bersambung dengan talak yang diucapkan. (وَيَصِحُّ الْاِسْتِثْنَاءُ فِيْ الطَّلَاقِ إَذَا وَصَلَهُ بِهِ)
Maksudnya sang suami menyambung lafadz “mustasna (yang dikecualikan)” dengan lafadz “mustasna minhu (yang diambil pengecualiannya) dengan bentuk penyambungan secara ‘urf, dengan arti kedua lafadz tersebut dianggap satu perkataan secara ‘urf. أَيْ وَصَلَ الزَّوْجُ لَفْظَ الْمُسْتَثْنَى بِالْمُسْتَثْنَى مِنْهُ اتِّصَالًا عُرْفِيًّا بِأَنْ يُعَدَّ بِالْعُرْفِ كَلَامًا وَاحِدًا
Juga disyaratkan suami harus niat mengecualikan sebelum selesai mengucapkan kalimat talak. وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا أَنْ يَنْوِيَ الْاِسْتِثْنَاءَ قَبْلَ فَرَاغِ الْيَمِيْنِ
Dan tidak cukup mengucapkan pengecualian tanpa disertai niat untuk mengecualikan. وَلَا يَكْفِيْ التَّلَفُّظُ بِهِ مِنْ غَيْرِ نِيَّةِ الْاِسْتِثْنَاءِ
Dan juga disyaratkan yang dikecualikan (mustasna) tidak menghabiskan jumlah yang diambil pengecualiannya (mustasna minhu). وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا عَدَمُ اسْتِغْرَاقِ الْمُسْتَثْنَى الْمُسْتَثْنَى مِنْهُ
Sehingga, jika menghabiskan seperti ucapan “engkau tertalak tiga kecuali tiga”, maka pengecualian tersebut batal. فَإِنِ اسْتَغْرَقَ كَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إِلَّا ثَلَاثًا بَطَلَ الْاِسْتِثْنَاءُ  .

 

Ta’liq (Penggantungan) Talak

 

Sah menta’liq talak dengan sifat dan syarat. Seperti kata-kata “jika engkau masuk rumah, maka engkau tertalak”, maka sang istri menjadi tertalak ketika masuk rumah. (وَيَصِحُّ تَعْلِيْقُهُ) أَيِ الطَّلَاقِ (بِالصِّفَةِ وَالشَّرْطِ) كَإِنْ دَخَلْتِ الدَّارَ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَتُطَلَّقُ إِذَا دَخَلَتْ
Talak tidak bisa jatuh kecuali terhadap istri. (وَ) الطَّلَاقُ لَا يَقَعُ إِلَّا عَلَى زَوْجَةٍ
Kalau demikian, maka talak tidak bisa jatuh -terhadap seorang wanita- sebelum menikah. وَحِيْنَئِذٍ (لَا يَقَعُ الطَّلَاقُ قَبْلَ النِّكَاحِ)
Sehingga tidak sah mentalak wanita lain -bukan istri- dengan bentuk talak secara langsug seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita tersebut, “aku mentalakmu.” فَلَا يَصِحُّ طَلَاقُ الْأَجْنَبِيَّةِ تَنْجِيْزًا كَقَوْلِهِ لَهَا طَلَّقْتُكِ
Dan juga tidak dengan bentuk talak yang digantungkan seperti ucapan seorang laki-laki pada wanita yang bukan istrinya, “jika aku menikah denganmu, maka engkau tertalak”, atau “jika aku menikah dengan fulanah, maka ia tertalak.” وَلَا تَعْلِيْقًا كَقَوْلِهِ لَهَا إِنْ تَزَوَّجْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ أَوْ إِنْ تَزَوَّجْتُ فُلَانَةً فَهِيَ طَالِقٌ .

 

Orang-Orang Yang Tidak Sah Menjatuhkan Talak

 

Ada empat orang yang tidak bisa menjatuhkan talak, yaitu anak kecil, orang gila, yang semakna dengan orang gila adalah orang epilepsi. (وَأَرْبَعٌ لَا يَقَعُ طَلَاقُهُمُ الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُوْنُ) وَفِيْ مَعْنَاهُ الْمُغْمَى عَلَيْهِ
Orang yang tidur dan orang yang dipaksa menjatuhkan talak, maksudnya dengan tanpa alasan yang benar. (وَالنَّائِمُ وَالْمُكْرَهُ) أَيْ بِغَيْرِ حَقٍّ
Sehingga, jika pemaksaan tersebut di dasari dengan alasan yang benar, maka jatuh talak. فَإِنْ كَانَ بِحَقٍّ وَقَعَ
Bentuk pemaksaan dengan alasan yang benar seperti penjelasan sekelompok ulama’, adalah pemaksaan talak yang dilakukan oleh seorang qadli terhadap suami yang melakukan sumpah ila’ setelah melewati masa ila’. وَصُوْرَتُهُ كَمَا قَالَ جَمْعٌ إِكْرَاهُ الْقَاضِيْ لِلْمُوْلِيْ بَعْدَ مُدَّةِ الْإِيْلَاءِ عَلَى الطَّلَاقِ

 

 

Syarat-Syarat Pemaksaan

 

Syarat ikrah / paksaan adalah kemampuan al mukrih (orang yang memaksa), dengan terbaca kasrah huruf ra’nya, untuk membuktikan ancamannya terhadap al mukrah (orang yang dipaksa), dengan terbaca fathah huruf ra’nya,  baik dengan mengandalkan kekuasaan atau kekuatan. وَشَرْطُ الْإِكْرَاهِ قُدْرَةُ الْمُكْرِهِ بِكَسْرِ الرَّاءِ عَلَى تَحْقِيْقِ مَا هَدَّدَ بِهِ الْمُكْرَهَ بِفَتْحِهَا بِوِلَايَةٍ أَوْ تَغَلُّبٍ
Lemahnya al mukrah (orang yang dipaksa), dengan terbaca fathah huruf ra’nya, untuk melawan / menghentikan al mukrih (orang yang memaksa), dengan terbaca kasrah huruf ra’nya, baik dengan lari darinya, meminta tolong pada orang yang bisa menyelamatkannya, atau cara-cara sesamanya. وَعَجْزُ الْمُكْرَهِ بِفَتْحِ الرَّاءِ عَنْ دَفْعِ الْمُكْرِهِ بِكَسْرِهَا بِهَرَبٍ مِنْهُ أَوْ اسْتِغَاثَةٍ بِمَنْ يُخْلِصُهُ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
Dan al mukrah (orang yang dipaksa) mempunyai dugaan bahwa sesungguhnya jika ia tidak mau melakukan apa yang dipaksakan padanya, maka al mukrih (orang yang memaksa) akan membuktikan ancamannya. وَظَنُّهُ أَنَّهُ إِنِ امْتَنَعَ مِمَّا أُكْرِهَ عَلَيْهِ فَعَلَ مَا خَوَّفَهُ بِهِ
Pemaksaan bisa hasil dengan ancaman pukulan keras, penjara, merusakkan harta atau sesamanya. وَيَحْصُلُ الْإِكْرَاهُ بِالتَّخْوِيْفِ بِضَرْبٍ شَدِيْدٍ أَوْ حَبْسٍ أَوْ إِتْلَافِ مَالٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
 Ketika dari al mukrah (orang yang dipaksa) nampak ada qarinah (petunjuk) bahwa ia melakukan dengan keinginan sendiri, dengan contoh semisal seseorang dipaksa menjatuhkan talak tiga namun kemudian dia menjatuhkan talak satu, maka talak yang ia lakukan sah / jatuh. وَإِذَا ظَهَرَ مِنَ الْمُكْرَهِ بِفَتْحِ الرَّاءِ قَرِيْنَةُ إخْتِيَارٍ بِأَنْ أُكْرِهَ شَخْصٌ عَلَى طَلَاقِ ثَلَاثٍ فَطَلَّقَ وَاحِدَةً وَقَعَ الطَّلَاقُ
Ketika ada orang mukallaf menggantungkan talak dengan sifat dan sifat tersebut baru wujud ketika orang tersebut tidak dalam keadaan mukallaf, maka sesungguhnya talak yang dita’liq dengan sifat tersebut menjadi jatuh. وَإِذَا صَدَرَ تَعْلِيْقُ الطَّلَاقِ بِصِفَةٍ مِنْ مُكَلَّفٍ وَوُجِدَتْ تِلْكَ الصِّفَةُ فِيْ غَيْرِ تَكْلِيْفٍ فَإِنَّ الطَّلَاقَ الْمُعَلَّقَ بِهَا يَقَعُ
Orang yang sedang mabuk ketika menjatuhkan talak, maka talaknya sah seperti penjelasan di depan. وَالسَّكْرَانُ يَنْفُذُ طَلَاقُهُ كَمَا سَبَقَ


BAB TALAK RAJ’I

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum talak raj’i. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الرَّجْعَةِ
Lafadz “ar raj’ah” dengan terbaca fathah huruf ra’nya. Ada keterangan bahwa ra’nya terbaca kasrah. Raj’ah secara bahasa adalah kembali satu kali. بِفَتْحِ الرَّاءِ وَحُكِيَ كَسْرُهَا وَهِيَ لُغَةً الْمَرَّةُ مِنَ الرُّجُوْعِ
Dan secara syara’ adalah mengembalikan istri pada ikatan pernikahan saat masih menjalankan ‘iddah talak selain talak ba’in dengan cara tertentu. وَشَرْعًا رَدُّ الزَّوْجَةِ إِلَى النِّكَاحِ فِيْ عِدَّةِ طَلَاقٍ غَيْرِ بَائِنٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
Dengan bahasa “talak” mengecualikan wathi syubhat dan dhihar. Karena sesungguhnya halalnya melakukan wathi dalam kedua permasalahan tersebut setelah hilangnya sesuatu yang mencegah kehalalannya tidak bisa disebut ruju’. وَخَرَجَ بِطَلَاقٍ وَطْءُ الشُّبْهَةِ وَالظِّهَارُ فَإِنَّ اسْتِبَاحَةَ الْوَطْءِ فِيْهِمَا بَعْدَ زَوَالِ الْمَانِعِ لَا تُسَمَّى رَجْعَةً
Ketika seseorang mentalak istrinya satu atau dua kali, maka bagi dia diperkenankan ruju’ tanpa seizin sang istri selama masa ‘iddahnya belum habis. (وَإِذَا طَلَقَ) شَخْصٌ (امْرَأَتَهُ وَاحِدَةً أَوْ اثْنَتَيْنِ فَلَهُ) بِغَيْرِ إِذْنِهَا (مُرَاجَعَتُهَا مَا لَمْ تَنْقَضِ عِدَّتُهَا)

Cara Ruju’

 

Ruju’ yang dilakukan oleh orang yang bisa bicara sudah bisa hasil dengan menggunakan kata-kata, di antaranya adalah “raja’tuki (aku meruju’mu)” dan lafadz lafadz yang ditasrif dari lafadz “raj’ah.” وَتَحْصُلُ الرَّجْعَةُ مِنَ النَّاطِقِ بِأَلْفَاظٍ مِنْهَا رَاجَعْتُكِ وَمَا تَصَرَّفَ مِنْهَا
Menurut pendapat al ashah sesungguhnya ucapan al murtaji’ (suami yang ruju’),”aku mengembalikanmu pada nikahku” dan, “aku menahanmu pada nikahku” adalah dua bentuk kalimat ruju’ yang sharih. وَالْأَصَحُّ إِنَّ قَوْلَ الْمُرْتَجِعِ “رَدَّدْتُكِ لِنِكَاحِيْ” وَ “أَمْسَكْتُكِ عَلَيْهِ” صَرِيْحَانِ فِيْ الرَّجْعَةِ
-menurut al ashah- Sesungguhnya ucapan al murtaji’, “aku menikahimu”, atau, “aku menikahimu” adalah dua bentuk kalimat ruju’ yang kinayah. وَإِنَّ قَوْلَهُ “تَزَوَّجْتُكِ” أَوْ “نَكَحْتُكِ” كِنَايَتَانِ

 

Syarat Orang Yang Ruju’

 

Syarat al murtaji’, jika ia tidak dalam keadaan ihram, adalah orang yang sah melakukan akad nikah sendiri. وَشَرْطُ الْمُرْتَجِعِ إِنْ لَمْ يَكُنْ مُحْرِمًا أَهْلِيَةُ النِّكَاحِ بِنَفْسِهِ
Kalau demikian maka ruju’nya orang yang mabuk hukumnya sah. وَحِيْنَئِذٍ فَتَصِحُّ رَجْعَةُ السَّكْرَانِ
Tidak sah ruju’nya orang murtad, anak kecil dan orang gila. Karena sesungguhnya masing-masing dari mereka bukan orang yang sah melakukan akad nikah sendiri. لَا رَجْعَةُ الْمُرْتَدِّ وَلَا رَجْعَةُ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُوْنِ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمْ لَيْسَ أَهْلًا لِلنِّكَاحِ بِنَفْسِهِ
Berbeda dengan orang yang safih dan budak. Maka ruju’ yang dilakukan keduanya sah tanpa ada izin dari wali dan majikan. بِخِلَافِ السَّفِيْهِ وَالْعَبْدِ فَرَجْعَتُهُمَا صَحِيْحَةٌ مِنْ غَيْرِ إِذْنِ الْوَلِيِّ وَالسَّيِّدِ
Walaupun awal pernikahan keduanya membutuhkan / tergantung pada izin wali dan majikannya. وَإِنْ تَوَقَّفَ ابْتِدَاءً نِكَاحُهُمَا عَلَى إِذْنِ الْوَلِيِّ وَالسَّيِّدِ.
Jika ‘iddah wanita yang tertalak raj’i telah selesai, maka bagi sang suami halal menikahinya dengan akad nikah yang baru. (فَإِنِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا) أَيِ الرَّجْعِيَّةِ (حَلَّ لَهُ) أَيْ زَوْجِهَا (نِكَاحُهَا بِعَقْدٍ جَدِيْدٍ
Dan setelah akad nikah yang baru tersebut, maka sang istri hidup bersama suaminya dengan memiliki hak talak yang masih tersisa. Baik wanita tersebut sempat menikah dengan laki-laki lain ataupun tidak. وَتَكُوْنُ مَعَهُ) بَعْدَ الْعَقْدِ (عَلَى مَا بَقِيَ مِنَ الطَّلَاقِ) سَوَاءٌ اتَّصَلَتْ بِزَوْجٍ غَيْرِهِ أَمْ لَا

 

Talak Ba’in Kubra

 

Jika suami mentalak sang istri dengan talak tiga,  jika memang sang suami berstatus merdeka, atau talak dua jika sang suami berstatus budak, baik menjatuhkan sebelum melakukan jima’ atau setelahnya, maka wanita tersebut tidak halal bagi sang suami kecuali setelah wujudnya lima syarat. (فَإِنْ طَلَّقَهَا) زَوْجُهَا (ثَلَاثًا) إِنْ كَانَ حُرًّا أَوْ طَلْقَتَيْنِ إِنْ كَانَ عَبْدًا قَبْلَ الدُّخُوْلِ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ تَحِلَّ لَهُ إِلَّا بَعْدَ وُجُوْدِ خَمْسِ شَرَائِطَ)
Yang pertama, ‘iddah wanita tersebut dari suami yang telah mentalak itu telah habis. أَحَدُهَا (انْقِضَاءُ عِدَّتِهَا مِنْهُ) أَيِ الْمُطَلِّقِ.
Yang kedua, wanita tersebut telah dinikahkan dengan laki-laki lain, dengan akad nikah yang sah. (وَ) الثَّانِيْ (تَزْوِيْجُهَا بِغَيْرِهِ) تَزْوِيْجًا صَحِيْحًا
Yang ketiga, suami yang lain tersebut telah men-dukhul dan menjima’nya. (وَ) الثَّالِثُ (دُخُوْلُهُ) أَيِ الْغَيْرِ (بِهَا وَإِصَابَتُهَا)
Yaitu suami yang lain tersebut memasukkan hasyafah atau seukuran hasyafah orang yang hasyafah-nya terpotong pada bagian vagina sang wanita, tidak pada duburnya. بِأَنْ يُوْلِجَ حَشَفَتَهُ أَوْ قَدْرَهَا مِنْ مَقْطُوْعِهَا بِقُبُلِ الْمَرْأَةِ لَا بِدُبُرِهَا
Dengan syarat penisnya harus intisyar (berdiri), dan orang yang memasukkan alat vitalnya termasuk orang yang memungkinkan melakukan jima’, bukan anak kecil. بِشَرْطِ الْاِنْتِشَارِ فِيْ الذَّكَرِ وَكَوْنِ الْمُوْلِجِ مِمَّنْ يُمْكِنُ جِمَاعُهُ لَا طِفْلًا
Yang ke empat, wanita tersebut telah tertalak ba’in dari suami yang lain itu. (وَ) الرَّابِعُ (بَيْنُوْنَتُهَا مِنْهُ) أَيِ الْغَيْرِ
Yang kelima, ‘iddahnya dari suami yang lain tersebut telah selesai. (وَ) الْخَامِسُ (انْقِضَاءُ عِدَّتِهَا مِنْهُ).


BAB ILA’

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ila’. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْإِيْلَاءِ
Ila’ secara bahasa adalah bentuk kalimat masdar dari fi’il “aala yuli ila’an” ketika seseorang bersumpah. وَهُوَ لُغَةً مَصْدَرُ آلَى يُولِيْ إِيْلَاءً إِذَا حَلَفَ
Dan secara syara’ adalah sumpah seorang suami yang sah menjatuhkan talak bahwa ia tidak akan mewathi istrinya pada bagian vaginanya dengan secara mutlak atau dalam masa lebih dari empat bulan. وَشَرْعًا حَلْفُ زَوْجٍ يَصِحُّ طَلَاقُهُ لِيَمْتَنِعَ مِنْ وَطْءِ زَوْجَتِهِ فِيْ قُبُلِهَا مُطْلَقًا أَوْ فَوْقَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ
Makna ini diambil dari penjelasan mushannif -di bawah ini-, وَهَذَا الْمَعْنَى مَأْخُوْذٌ مِنْ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ

Praktek ‘Ila’

 

Ketika seorang suami bersumpah tidak akan mewathi istrinya secara mutlak atau dalam waktu tertentu, maksudnya tidak mewathi yang dibatasi dengan waktu lebih dari empat bulan, maka ia, maksudnya suami yang bersumpah tersebut adalah orang yang melakukan sumpah ila’ pada istrinya. (وَإِذَا حَلَفَ أَنْ لَا يَطَأَ زَوْجَتَهُ) وَطْأً (مُطْلَقًا أَوْ مُدَّةً) أَيْ وَطْأً مُقَيَّدًا بِمُدَّةٍ (تَزِيْدُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَهُوَ) أَيِ الْحَالِفُ الْمَذْكُوْرُ (مُوْلٍ) مِنْ زَوْجَتِهِ
Baik ia bersumpah dengan nama Allah Ta’ala atau dengan salah satu sifat-sifatNya. سَوَاءٌ حَلَفَ بِاللهِ تَعَالَى أَوْ بِصِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ
Atau ia menggantungkan wathi terhadap istrinya dengan talak atau memerdekakan budak. Seperti ucapan sang suami, “jika aku mewathimu, maka engkau tertalak, atau “maka budakku merdeka.” أَوْ عَلَّقَ وَطْءَ زَوْجَتِهِ بِطَلَاقٍ أَوْ عِتْقٍ كَقَوْلِهِ إِنْ وَطَأْتُكِ فَأَنْتِ طَالِقٌ أَوْ فَعَبْدِيْ حُرٌّ
Sehingga ketika ia betul-betul mewathi, maka istrinya tertalak dan budaknya merdeka. فَإِذَا وَطِئَ طُلِّقَتْ وَعَتِقَ الْعَبْدُ
Begitu pula seandainya sang suami berkata, “jika aku mewathimu, maka aku harus melakukan shalat, puasa, haji, atau memerdekakan budak karena Allah Swt.” Maka sesungguhnya dia juga melakukan sumpah ila’. وَكَذَا لَوْ قَالَ إِنْ وَطَأْتُكِ فَلِلَّهِ عَلَيَّ صَلَاةٌ أَوْ صَوْمٌ أَوْ حَجٌّ أَوْ عِتْقٌ فَإِنَّهُ يَكُوْنُ مُوْلِيًا أَيْضًا.

 

Konsekwensi Ila’

 

Wajib memberi tenggang waktu terhadap lelaki yang melakukan sumpah ila’ selama empat bulan, baik lelaki tersebut berstatus merdeka atau budak, di dalam permasalahan istri yang mampu untuk diwathi jika memang sang istri meminta hal itu. (وَيُؤَجَّلُ لَهُ) أَيْ يُمْهَلُ الْمُوْلِيْ حَتْمًا حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا فِيْ زَوْجَةٍ مُطِيْقَةٍ لِلْوَطْءِ (إِنْ سَأَلَتْ ذَلِكَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ)
Permulaan waktu tersebut dalam permasalahan wanita yang masih berstatus istri adalah sejak terjadinya sumpah ila’. Dan di dalam permasalahan wanita yang tertalak raj’i adalah sejak terjadinya ruju’. وَابْتِدَاؤُهَا فِيْ الزَّوْجَةِ مِنَ الْإِيْلَاءِ وَفِيْ الرَّجْعِيَّةِ مِنَ الرَّجْعَةِ
Kemudian, setelah masa tenggang itu habis, maka sang suami yang melakukan sumpah ila’ disuruh memilih di antara al fai’ah (kembali pada sang istri) dengan cara ia memasukkan hasyafahnya atau kira-kira ukuran hasyafah bagi suami yang terpotong hasyafahnya ke dalam vagina istrinya. (ثُمَّ) بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ (يُخَيَّرُ) الْمُوْلِيْ (بَيْنَ الْفَيْئَةِ) بِأَنْ يُوْلِجَ الْمُوْلِيْ حَشَفَتَهُ أَوْ قَدْرَهَا مِنْ مَقْطُوْعِهَا بِقُبُلِ الْمَرْأَةِ
Dan membayar kafarat yamin, jika sumpah akan meninggalkan wathi dengan nama Allah. (وَ التَّكْفِيْرِ) لِلْيَمِيْنِ إِنْ كَانَ حَلْفُهُ بِاللهِ عَلَى تَرْكِ وَطْئِهَا
Atau mentalak istri yang disumpah tidak akan diwathi. (أَوِ الطَّلَاقِ) لِلْمَحْلُوْفِ عَلَيْهَا
Kemudian, jika sang suami tidak mau melakukan fai’ah dan talak, maka hakim menjatuhkan satu talak raj’i atas nama sang suami. (فَإِنِ امْتَنَعَ) الزَّوْجُ مِنَ الْفَيْئَةِ وَالطَّلَاقِ (طَلَّقَ عَلَيْهِ الْحَاكِمُ) طَلْقَةً وَاحِدَةً رَجْعِيَّةً
Sehingga, jika sang hakim menjatuhkan talak lebih dari satu, maka talak tersebut tidak jatuh. فَإِنْ طَلَّقَ أَكْثَرَ مِنْهَا لَمْ يَقَعْ
Jika sang suami hanya tidak mampu fai’ah, maka sang hakim memerintahkan dia agar menjatuhkan talak. فَإِنِ امْتَنَعَ مِنَ الْفَيْئَةِ فَقَطْ أَمَرَهُ الْحَاكِمُ بِالطَّلَاقِ


BAB DHIHAR

(Fasal) di dalam menjelaskan hukum-hukum dhihar. (فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ أَحْكَامِ الظِّهَارِ
Dhihar secara bahasa diambil dari kata “adh dhahru” (punggung). Dan secara syara’ adalah perkataan suami yang menyerupakan istrinya yang tidak tertalak ba’in dengan wanita yang tidak halal dinikahi oleh sang suami tersebut. وَهُوَ لُغَةً مَأْخُوْذٌ مِنَ الظَّهْرِ وَشَرْعًا تَشْبِيْهُ الزَّوْجِ زَوْجَتَهُ غَيْرَ الْبَائِنِ بِأُنْثًى لَمْ تَكُنْ حِلاًّ لَهُ

 

Praktek Dhihar

 

Dhihar adalah ucapan seorang laki-laki pada istrinya, “engkau bagiku seperti punggung ibuku. (وَالظِّهَارُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِزَوْجَتِهِ أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ اُمِّيْ)
Ungkapan dhihar tertentu pada kata “adh dhahru (punggung)” bukan perut semisal, karena sesungguhkan  punggung adalah tempat menunggang dan istri adalah tunggangan sang suami. وَخُصَّ الظَّهْرُ دُوْنَ الْبَطْنِ مَثَلًا لِأَنَّ الظَّهْرَ مَوْضِعُ الرُّكُوْبِ وَالزَّوْجَةُ مَرْكُوْبُ الزَّوْجِ

 

Konsekwensi Dhihar

 

Ketika sang suami mengatakan hal itu pada istrinya, maksudnya kata “engkau bagiku seperti punggung ibuku”, dan ia tidak melanjutkan langsung dengan talak, maka ia dianggap kembali pada sang istri. Dan kalau demikian, maka wajib membayar kafarat. (فَإِذَا قَالَ لَهَا ذَلِكَ) أَيْ أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّيْ (وَلَمْ يُتْبِعْهُ بِالطَّلَاقِ صَارَ عَائِدًا) مِنْ زَوْجَتِهِ (وَلَزِمَتْهُ) حِيْنَئِذٍ (الْكَفَارَةُ)
Kafarat tersebut bertahap. Mushannif menyebutkan penjelasan tentang tahapan pelaksanaan kafarat tersebut di dalam perkataan beliau, وَهِيَ مُرَتَّبَةٌ وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ بَيَانَ تَرْتِيْبِهَا فِيْ قَوْلِهِ

 

Kafarat Dhihar

 

Kafarat dhihar adalah memerdekakan budak mukmin yang beragama islam walaupun sebab islamnya salah satu dari kedua orang tuanya, yang selamat / bebas dari aib yang bisa mengganggu / membahayakan pekerjaan dengan gangguan yang begitu jelas. (وَالْكَفَارَةُ عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ) مُسْلِمَةٍ وَلَوْ بِإِسْلَامِ أَحَدِ أَبَوَيْهَا (سَلِيْمَةٍ مِنَ الْعُيُوْبِ الْمُضِرَّةِ بِالْعَمَلِ وَالْكَسْبِ) ضِرَارًا بَيِّنًا .
Kemudian, jika orang yang melakukan dhihar tidak menemukan budak yang telah disebutkan, dengan gambaran ia tidak mampu mendapatkan budak secara kasat mata atau secara tinjauan syara’, maka wajib melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut. (فَإِنْ لَمْ يَجِدْ) الْمُظَاهِرُ الرَّقَبَةَ الْمَذْكُوْرَةَ بِأَنْ عَجَزَ عَنْهَا حِسًّا أَوْ شَرْعًا (فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ)
Yang dibuat acuan menghitung dua bulan tersebut adalah hitungan tanggal, walaupun masing-masing kurang dari tiga puluh hari. وَيُعْتَبَرُ الشَّهْرَانِ بِالْهِلَالِ وَلَوْ نَقَصَ كُلٌّ مِنْهُمَا عَنْ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا
Puasa dua bulan tersebut disertai dengan niat kafarat di malam hari. وَيَكُوْنُ صَوْمُهُمَا بِنِيَّةِ الْكَفَارَةِ مِنَ اللَّيْلِ
Tidak disyaratkan niat tatabu’ (berturut-turut) menurut pendapat al ashah. وَلَا يُشْتَرَطُ نِيَّةُ تَتَابُعٍ فِيْ الْأَصَحِّ
Kemudian, jika orang yang melakukan sumpah dhihar tidak mampu berpuasa dua bulan atau tidak mampu melaksanakannya secara terus menerus / berturut-turut, maka wajib memberi makan enam puluh orang miskin atau orang faqir. (فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ) الْمُظَاهِرُ صَوْمَ الشَّهْرَيْنِ أَوْ لَمْ يَسْتَطِعْ تَتَابُعَهُمَا (فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا) أَوْ فَقِيْرًا
Setiap orang miskin atau faqir mendapatkan satu mud dari jenis biji-bijian yang dikeluarkan di dalam zakat fitri. (كُلُّ مِسْكِيْنٍ) أَوْ فَقِيْرٍ (مُدٌّ) مِنْ جِنْسِ الْحَبِّ الْمُخْرَجِ فِيْ زكَاَةِ الْفِطْرِ
Kalau demikian, maka jenis biji-bijian tersebut diambilkan dari makanan pokok negara orang yang membayar kafarat seperti gandum putih dan gandum merah, tidak berupa tepung dan sawiq  (sagu). وَحِيْنَئِذٍ فَيَكُوْنُ مِنْ غَالِبِ قُوْتِ بَلَدِ الْمُكَفِّرِ كَبُرٍّ وَشَعِيْرٍ لَا دَقِيْقٍ وَ سَوِيْقٍ
Ketika orang yang wajib membayar kafarat tidak mampu melaksanakan ketiga-tiganya, maka kewajiban kafarat masih menjadi tanggungannya. وَإِذَا عَجَزَ الْمُكَفِّرُ عَنِ الْخِصَالِ الثَّلَاثِ اسْتَقَرَّتِ الْكَفَارَةُ فِيْ ذِمَّتِهِ
Sehingga, ketika setelah itu ia mampu melaksanakan salah satunya, maka wajib ia laksanakan. فَإِذَا قَدَرَ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى خَصْلَةٍ فَعَلَهَا
Seandainya ia hanya mampu melaksanakan sebagian dari salah satu kafarat seperti hanya mampu memberikan satu mud atau setengah mud saja, maka wajib ia keluarkan. وَلَوْ قَدَرَ عَلَى بَعْضِهَا  كَمُدِّ طَعَامٍ أَوْ بَعْضِ مُدٍّ أَخْرَجَهُ
Bagi laki-laki yang melakukan dhihar maka tidak diperkenankan mewathi istrinya yang telah ia dhihar, hingga ia melaksanakan kafarat yang telah disebutkan. (وَلَا يَحِلُّ لِلْمُظَاهِرِ وَطْؤُهَا) أَيْ زَوْجَتِهِ الَّتِيْ ظَاهَرَ مِنْهَا (حَتَّى يُكَفِّرَ) بِالْكَفَارَةِ الْمَذْكُوْرَةِ


BAB LI’AN & QADZAF (MENUDUH ZINA)

(Fasal) menjelaskan hukum qadzaf dan li’an. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْقَذَفِ وَاللِّعَانِ
Secara bahasa, li’an adalah bentuk kalimat masdar yang diambil dari lafadz “al la’nu” yang berati jauh. وَهُوَ لُغَةً مَصْدَرٌ مَأْخُوْذٌ مِنَ اللَّعْنِ أَيِ الْبُعْدِ
Dan secara syara’ adalah beberapa kalimat tertentu yang dijadikan sebagai hujjah bagi orang yang terpaksa menuduh zina terhadap orang yang telah menodahi kehormatannya dan mempertemukan cacat padanya. وَشَرْعًا كَلِمَاتٌ مَخْصُوْصَةٌ جُعِلَتْ حُجَّةً لِلْمُضْطَرِ إِلَى قَذَفِ مَنْ لَطَخَ فِرَاشَهُ وَ أَلْحَقَ الْعَارَ بِهِ
Ketika seorang laki-laki menuduh zina terhadap istrinya, maka wajib baginya untuk menerima had qadzaf, dan akan dijelaskan bahwa sesungguhnya had qadzaf adalah delapan kali cambukan. (وَإِذَا رَمَى) أَيْ قَذَفَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ بِالزِّنَا فَعَلَيْهِ حَدُّ الْقَذَفِ) وَسَيَأْتِيْ أَنَّهُ ثَمَانُوْنَ جَلْدَةً
Kecuali lelaki yang menuduh zina tersebut mampu mendatangkan saksi atas perbuatan zina wanita yang ia tuduh. (إِلَّا أَنْ يُقِيْمَ) الرَّجُلُ الْقَاذِفُ (الْبَيِّنَةَ) بِزِنَا الْمَقْذُوْفَةِ
Atau lelaki tersebut melakukan sumpah li’an terhadap istrinya yang ia tuduh berzina. (أَوْ يُلَاعِنَ) زَوْجَتَهُ الْمَقْذُوْفَةَ
Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “atau ia berkenan melakukan sumpah li’an dengan perintah seorang hakim atau orang yang hukumnya sama dengan hakim seperti muhakkam (orang yang diminta untuk menjadi juru hukum). وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ أَوْ يَلْتَعِنُ بِأَمْرِ الْحَاكِمِ أَوْ مَنْ فِيْ حُكْمِهِ كَالْمُحَكَّمِ

 

Proses Li’an

 

Kemudian lelaki tersebut berkata di hadapan hakim di masjid jami’ di atas mimbar di hadapan sekelompok orang minimal empat orang, “aku bersaksi demi Allah bahwa sesungguhnya aku termasuk golongan yang jujur atas tuduhan zina yang telah aku tuduhkan terhadap istriku, fulanah yang sedang tidak berada di sini.” (فَيَقُوْلُ عِنْدَ الْحَاكِمِ فِيْ الْجَامِعِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِيْ جَمَاعَةٍ مِنَ النَّاسِ) أَقَلُّهُمْ أَرْبَعَةٌ (أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّنِيْ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتِيْ) الْغَائِبَةَ (فُلَانَةً مِنَ الزِّنَا)
Jika sang istri juga berada di tempat, maka lelaki itu memberi isyarah pada istrinya dengan ucapan, “istriku ini.” وَإِنْ كَانَتْ حَاضِرَةً أَشَارَ لَهَا بِقَوْلِهِ زَوْجَتِيْ هَذِهِ
Jika di sana terdapat anak yang ia putus  dari nasabnya, maka iapun harus menyebutkan anak tersebut di dalam kalimat-kalimat sumpah li’an itu, maka ia berkata, وَإِنْ كَانَ هُنَاكَ وَلَدٌ يَنْفِيْهِ ذَكَرَهُ فِيْ الْكَلِمَاتِ فَيَقُوْلُ:
“dan sesungguhnya anak ini hasil dari zina, bukan dari saya.” (وَإِنَّ هَذَا الْوَلَدَ مِنَ الزِّنَا وَلَيْسَ مِنِّيْ)
Lelaki yang sumpah li’an tersebut harus mengucapkan kalimat-kalimat ini sebanyak empat kali. وَيَقُوْلُ الْمُلَاعِنُ هَذِهِ الْكَلِمَاتِ (أَرْبَعَ مَرَّاتٍ
Dan pada tahapan kelima, setelah hakim atau muhakkam menasihatinya dengan memperingatkannya atas siksaan Allah di akhirat dan sesungguhnya siksa Allah di akhirat jauh lebih pedih daripada siksa di dunia, maka sang suami mengatakan, “dan saya berhak mendapatkan laknat Allah swt jika saya termasuk orang-orang yang bohong atas tuduhan zina yang saya tuduhkan pada istriku ini.” وَيَقُوْلُ فِيْ) الْمَرَّةِ (الْخَامِسَةِ بَعْدَ أَنْ يَعِظَهُ الْحَاكِمُ) أَوِ الْمُحَكَّمُ بِتَخْوِيْفِهِ لَهُ مِنْ عَذَابِ اللهِ فِيْ الْآخِرَةِ وَأَنَّهُ أَشَدُّ مِنْ عَذَابِ الدُّنْيَا (وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ) فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ هَذِهِ مِنَ الزِّنَا
Dan ungkapan mushannif, “di atas mimbar di hadapan jama’ah” adalah sesuatu yang tidak wajib dilakukan di dalam li’an bahkan hal itu hukumnya adalah sunnah. وَقَوْلُ الْمُصَنِّفِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِيْ جَمَاعَةٍ لَيْسَ بِوَاجِبٍ فِيْ اللِّعَانِ بَلْ هُوَ سُنَّةٌ .

 

Konsekwensi Li’an

 

Li’an yang dilakukan oleh seorang suami walaupun sang istri tidak melakukan sumpah li’an, berhubungan dengan lima hukum : (وَيَتَعَلَّقُ بِلِعَانِهِ) أَيِ الزَّوْجِ وَإِنْ لَمْ تُلَاعِنِ الزَّوْجَةُ (خَمْسَةُ أَحْكَامٍ:)
Yang pertama, gugurnya had dari sang suami maksudnya had qadzaf yang dimiliki oleh istri yang dili’an, jika memang sang istri adalah wanita yang muhshan (terjaga), dan gugurnya ta’zir jika sang istri bukan wanita yang muhshan. أَحَدُهَا (سُقُوْطُ الْحَدِّ) أَيْ حَدِّ الْقَذَفِ لِلْمُلَاعِنَةِ (عَنْهُ) إِنْ كَانَتْ مُحْصَنَةً وَسُقُوْطُ التَّعْزِيْرِ عَنْهُ إِنْ كَانَتْ غَيْرَ مُحْصَنَةٍ
Yang kedua, tetapnya hukum had atas sang istri, maksudnya had zina baginya, baik ia wanita muslim ataupun kafir jika ia tidak melakukan sumpah li’an. (وَ) الثَّانِيْ (وُجُوْبُ الْحَدِّ عَلَيْهَا) أَيْ حَدِّ زِنَاهَا مُسْلِمَةً كَانَتْ أَوْ كَافِرَةً إِنْ لَمْ تُلَاعِنْ
Yang ketiga, hilangnya hubungan suami istri. (وَ) الثَّالِثُ (زَوَالُ الْفِرَاشِ)
Selain mushannif mengungkapkan hal ini dengan bahasa “perceraian untuk selama-lamanya”. Perceraian tersebut hukumnya sah / hasil dhahir batin, walaupun sang suami yang melakukan sumpah li’an tersebut mendustakan dirinya. وَعَبَّرَ عَنْهُ غَيْرُ الْمُصَنِّفِ بِالْفُرْقَةِ الْمُؤَبَّدَةِ وَهِيَ حَاصِلَةٌ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَإِنْ كَذَّبَ الْمُلَاعِنُ نَفْسَهُ
Yang ke empat, memutus hubungan anak dari suami yang melakukan sumpah li’an. (وَ) الرَّابِعُ (نَفْيُ الْوَلَدِ) عَنِ الْمُلَاعِنِ
Sedangkan untuk istri yang melakukan sumpah li’an, maka nasab sang anak tidak bisa terputus dari dirinya. أَمَّا الْمُلَاعِنَةُ فَلَا يَنْتَفِيْ عَنْهَا نَسَبُ الْوَلَدِ
Yang kelima, mengharamkan sang istri yang melakukan sumpah li’an untuk selama-lamanya. (وَ) الْخَامِسُ التَّحْرِيْمُ) لِلزَّوْجَةِ الْمُلَاعِنَةُ (عَلَى الْأَبَدِ)
Sehingga bagi lelaki yang melakukan sumpah li’an tidak halal menikahinya lagi dan juga tidak halal mewathinya dengan alasan milku yamin, walaupun wanita tersebut berstatus budak yang ia beli. فَلَا يَحِلُّ لِلْمُلَاعِنِ نِكَاحُهَا وَلَا وَطْؤُهَا بِمِلْكِ الْيَمِيْنِ وَ لَوْ كَانَتْ أَمَّةً وَاشْتَرَاهَا
Di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya terdapat keterangan tambahan atas kelima hal ini. وَفِيْ الْمُطَوَّلَاتِ زِيَادَةٌ عَلَى هَذِهِ الْخَمْسَةِ
Di antaranya adalah gugurnya status muhshan sang wanita bagi sang suami jika memang sang wanita tidak melakukan sumpah li’an juga. مِنْهَا سُقُوْطُ حَصَانَتِهَا فِيْ حَقِّ الزَّوْجِ إِنْ لَمْ تُلَاعِنْ
Sehingga, seandainya setelah itu sang suami menuduhnya berbuat zina lagi, maka sang suami tidak berhak dihad. حَتَّى لَوْ قَذَفَهَا بِزِنَا بَعْدَ ذَلِكَ لَا يُحَدُّ

 

Li’annya Sang Istri

 

Had zina bisa gugur dari sang istri dengan cara ia membalas sumpah li’an, maksudnya melakukan sumpah li’an terhadap sang suami setelah li’an sang suami sempurna. (وَيَسْقُطُ) الْحَدُّ (عَنْهَا بِأَنْ تَلْتَعِنَ) أَيْ تُلَاعِنَ الزَّوْجَ بَعْدَ تَمَامِ لِعَانِهِ
Di dalam li’annya dan sang suami hadir, maka sang istri berkata, “saya bersaksi demi Allah bahwa sesungguhnya fulan ini sungguh termasuk dari orang-orang yang dusta atas tuduhan zina yang ia tuduhkan padaku.” (فَتَقُوْلُ) فِيْ لِعَانِهَا إِنْ كَانَ الْمُلَاعِنُ حَاضِرًا (أَشْهَدُ بِاللهِ أَنَّ فُلَانًا هَذَا لَمِنَ الْكَاذِبِيْنَ فِيْمَا رَمَانِيْ بِهِ مِنَ الزِّنَا)
Wanita tersebut mengulangi ucapannya ini sebanyak empat kali. وَتُكَرِّرُ الْمُلَاعِنَةُ هَذَا الْكَلَامَ (أَرْبَعَ مَرَّاتٍ
Pada tahapan kelima dari li’annya setelah hakim atau muhakkam menasihatinya dengan memperingatkan padanya akan siksaan Allah Swt di akhirat dan sesungguhnya siksa-Nya di akhirat jauh lebih pedih daripada siksaan di dunia, maka wanita tersebut berkata, “dan saya berhak mendapat murka Allah Swt jika dia termasuk orang-orang yang jujur atas tuduhan zina yang ia tuduhkan padaku.” وَتَقُوْلُ فِيْ الْمَرَّةِ الْخَامِسَةِ) مِنْ لِعَانِهَا (بَعْدَ أَنْ يَعِظَهَا الْحَاكِمُ) أَوِ الْمُحَكَّمُ بِتَخْوِيْفِهِ لَهَا مِنْ عَذَابِ الله ِفِيْ الْآخِرَةِ وَأَنَّهُ أَشَدُّ مِنْ عَذَابِ الدُّنْيَا (وَعَلَيَّ غَضَبُ اللهِ إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ) فِيْمَا رَمَانِيْ بِهِ مِنَ الزِّنَا
Perkataan yang telah dijelaskan di atas tempatnya adalah bagi orang yang bisa bicara. وَمَا ذُكِرَ مِنَ الْقَوْلِ الْمَذْكُوْرِ مَحَلُّهُ فِيْ النَّاطِقِ
Adapun orang bisu, maka ia melakukan sumpah li’an dengan menggunakan isyarah yang bisa memahamkan orang lain. أَمَّا الْأَخْرَسُ فَيُلَاعِنُ بِإِشَارَةٍ مُفْهِمَةٍ
Seandainya di dalam kalimat-kalimat li’an tersebut, ia mengganti lafadz “asy sahadah” dengan lafadz “al halfu” seperti ucapan orang yang melakukan sumpah li’an, “saya bersumpah demi Allah”, atau mengganti lafadz “al ghadlab” dengan lafadz “al la’nu”, atau sebaliknya seperti ucapan wanita yang melakukan sumpah li’an, “laknat Allah wajib atas diriku” dan ucapan lelaki yang sumpah li’an, “murka Allah atas diriku”, atau masing-masing dari lafadz “al ghadlab” dan “al la’nu” diucapkan sebelum  empat kalimat sahadat sempurna, maka li’an dalam semua permasalahan ini tidak sah. وَلَوْ أَبْدَلَ فِيْ كَلِمَاتِ اللِّعَانِ لَفْظَ الشَّهَادَةِ بِالْحَلْفِ كَقَوْلِ الْمُلَاعِنِ أَحْلِفُ بِاللهِ أَوْ لَفْظَ الْغَضَبِ بِاللَّعْنِ أَوْ عَكْسِهِ كَقَوْلِهَا لَعْنَةُ اللهِ عَلَيَّ وَقَوْلِهِ غَضَبُ اللهِ عَلَيَّ أَوْ ذُكِرَ كُلٌّ مِنَ الْغَضَبِ وَاللَّعْنِ قَبْلَ تَمَامِ الشَّهَادَاتِ الْأَرْبَعِ لَمْ يَصِحَّ فِيْ الْجَمِيْعِ .


BAB ‘IDDAH

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ‘iddah dan macam-macam mu’taddah (wanita yang menjalankan ‘iddah). (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْعِدَّةِ وَأَنْوَاعِ الْمُعْتَدَّةِ
‘Iddah secara bahasa adalah kalimat isim dari fi’il madli “i’tadda.” وَهِيَ لُغَةً الْاِسْمُ مِنْ اعْتَدَّ
Dan secara syara’ adalah penantian seorang perempuan dalam jangka waktu yang bisa diketahui dalam rentan waktu tersebut bahwa kandungannya telah bersih, dengan beberapa masa suci, beberapa bulan atau melahirkan kandungan. وَشَرْعًا تَرَبُّصُ الْمَرْأَةِ مُدَّةً يُعْرَفُ فِيْهَا بَرَاءَةُ رَحْمِهَا بِأَقْرَاءٍ أَوْ أَشْهُرٍ أَوْ وَضْعِ حَمْلٍ

 

Macam-Macam Mu’taddah (Wanita Yang Menjalankan ‘Iddah)

 

Wanita mu’taddah ada dua macam, yaitu mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha (yang ditinggal mati suami) dan mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha (yang tidak ditinggal mati suami). (وَالْمُعْتَدَّةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ مُتَوَفَّى عَنْهَا) زَوْجُهَا  (وَغَيْرُ مُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا

 

Mu’taddah MutawaffaAnha Zaujuha

 

Untuk mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha, jika berstatus merdeka dan sedang hamil, maka ‘iddahnya sebab wafatnya sang suami adalah dengan melahirkan kandungan secara utuh hingga kandungan yang berupa dua anak kembar dengan syarat dimungkinkan nasab sang anak bersambung pada suami yang meninggal dunia walaupun hanya kemungkinan saja seperti anak yang dinafikan dengan sumpah li’an. فَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا) زَوْجُهَا)إِنْ كَانَتْ) حُرَّةً (حَامِلًا فَعِدَّتُهَا) عَنْ وَفَاةِ زَوْجِهَا (بِوَضْعِ الْحَمْلِ) كُلِّهِ حَتَّى ثَانِيَ تَوْأَمَيْنِ مَعَ إِمْكَانِ نِسْبَةِ الْحَمْلِ لِلْمَيِّتِ وَلَوْ احْتِمَالًا كَمَنْفِيٍّ بِلِعَانٍ
Sehingga, seandainya ada anak kecil meninggal dunia yang tidak mungkin bisa memiliki keturunan dan meninggalkan istri yang sedang hamil, maka ‘iddahnya sang istri adalah dengan melewati beberapa bulan, tidak dengan melahirkan kandungan. فَلَوْ مَاتَ صَبِيٌّ لَا يُوْلَدُ لِمِثْلِهِ عَنْ حَامِلٍ فَعِدَّتُهَا بِالْأَشْهُرِ لَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ
Jika mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari sepuluh malam. (وَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا فَعِدَّتُهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ) مِنَ الْأَيَّامِ بِلَيَالِيْهَا
Empat bulan tersebut dihitung sesuai dengan perhitungan tanggalan yang memungkinkan, dan untuk tanggal bulan yang tidak utuh, maka disempurnakan menjadi tiga puluh hari. وَتُعْتَبَرُ الْأَشْهُرُ بِالْأَهِلَّةِ مَا أَمْكَنَ وَيُكَمَّلُ الْمُنْكَسِرِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا

 

Mu’taddah Ghairu Mutawaffa ‘Anha Zaujuha

 

Untuk mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha jika dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan yang bisa dihubungkan nasabnya pada suami yang memiliki ‘iddah tersebut. (وَغَيْرُ الْمُتَوْفَى عَنْهَا) زَوْجُهَا (إِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَعِدَّتُهَا بِوَضْعِ الْحَمْلِ) الْمَنْسُوْبِ لِصَاحِبِ الْعِدَّةِ.
Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha itu tidak dalam keadaan hamil dan ia termasuk golongan wanita yang memiliki / memungkinkan haidl, maka ‘iddahnya adalah tiga kali aqra’, yaitu tiga kali suci. (وَإِنْ كَانَتْ حَائِلًا وَهِيَ مِنْ ذَوَاتِ) أَيْ صَوَاحِبِ (الْحَيْضِ فَعِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ قُرُوْءٍ وَهِيَ الْأَطْهَارُ)
Jika ia tertalak saat dalam keadaan suci dengan arti setelah tertalak masih berada dalam waktu suci, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haidl yang ketiga. وَإِنْ طُلِقَتْ طَاهِرًا بِأَنْ بَقِيَ مِنْ زَمَنِ طُهْرِهَا بَقِيَّةٌ بَعْدَ طَلَاقِهَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالطَّعْنِ فِيْ حَيْضَةٍ ثَالِثَةٍ
Atau tertalak saat dalam keadaan haidl atau nifas, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haidl yang ke empat. أَوْ طُلِقَتْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِطَعْنِهَا فِيْ حَيْضَةٍ رَابِعَةٍ
Sedangkan sisa masa haidlnya tidak terhitung masa suci. وَمَا بَقِيَ مِنْ حَيْضِهَا لَا يُحْسَبُ قُرْأً
Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha tersebut masih kecil atau sudah besar dan sama sekali belum pernah haidl dan belum mencapai usia ya’si (monupause), atau dia adalah wanita yang sedang mengalami mutahayyirah (bingung akan haidl dan sucinya) atau sudah mencapai usia monupause, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan sesuai tanggal jika talaknya bertepatan dengan awal bulan. (وَإِنْ كَانَتْ) تِلْكَ الْمُعْتَدَّةُ (صَغِيْرَةً) أَوْ كَبِيْرَةً لَمْ تَحِضْ أَصْلًا وَلَمْ تَبْلُغْ سِنَّ الْيَأْسِ أَوْ كَانَتْ مُتَحَيِّرَةً (أَوْ آيِسَةً فَعِدَّتُهَا ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ) هِلَالِيَّةٍ إِنِ انْطَبَقَ طَلَاقُهَا عَلَى أَوَّلِ الشَّهْرِ
Sehingga, jika ia tertalak di tengah bulan, maka ‘iddahnya adalah dua bulan setelahnya sesuai dengan tanggal dan untuk jumlah bulan yang tidak utuh disempurnakan menjadi tiga puluh hari dari bulan ke empat. فَإِنْ طُلِقَتْ فِيْ أَثْنَاءِ شَهْرٍ فَبَعْدَهُ هِلَالَانِ وَيُكَمَّلُ الْمُنْكَسِرِ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا مِنَ الشَّهْرِ الرَّابِعِ
Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha -yang telah disebutkan ini- mengalami haidl di saat menjalankan ‘iddah dengan penghitungan bulan, maka wajib bagi dia melakukan ‘iddah dengan penghitungan masa suci. فَإِنْ حَاضَتِ الْمُعْتَدَةُ فِيْ الْأَشْهُرِ وَجَبَ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِالْأَقْرَاءِ
Atau mengalami haidl setelah selesai menjalankan ‘iddah dengan penghitungan beberapa bulan, maka ia tidak wajib menjalankan ‘iddah lagi dengan penghitungan masa suci. أَوْ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْأَشْهُرِ لَمْ تَجِبِ الْأَقْرَاءُ.
Wanita yang tertalak sebelum sempat dijima’, maka tidak ada kewajiban ‘iddah bagi wanita tersebut. (وَالْمُطَلَّقَةُ قَبْلَ الدُّخُوْلِ بِهَا لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا)
Baik sang suami sudah pernah berhubungan badan dengannya selain pada bagian farji ataupun tidak. سَوَاءٌ بَاشَرَهَا الزَّوْجُ فِيْمَا دُوْنَ الْفَرْجِ أَمْ لاَ

 

‘Iddahnya Budak Wanita

 

‘Iddahnya budak wanita yang sedang hamil ketika tertalak raj’i atau ba’in adalah dengan melahirkan kandungan dengan syarat anak tersebut bisa dihubungkan nasabnya pada lelaki yang memiliki ‘iddahnya (suami yang mentalak). (وَعِدَّةُ الْأَمَّةِ) الْحَامِلِ إِذَا طُلِّقَتْ طَلَاقًا رَجْعِيًّا أَوْ بَائِنًا (بِالْحَمْلِ) أَيْ بِوَضْعِهِ بِشَرْطِ نِسْبَتِهِ إِلَى صَاحِبِ الْعِدَّةِ
Ungkapan mushannif “seperti ‘iddahnya wanita merdeka yang sedang hamil” maksudnya di dalam semua hukum yang telah dijelaskan di depan. وَقَوْلُهُ (كَعِدَّةِ الْحُرَّةِ) الْحَامِلِ أَيْ فِيْ جَمِيْعِ مَا سَبَقَ
Dan jika ‘iddah dengan beberapa masa suci, maka budak wanita tersebut melaksanakan ‘iddah dengan dua kali masa suci. (وَبِالْأَقْرَاءِ أَنْ تَعْتَدَّ بِقُرْأَيْنِ)
Budak wanita muba’adl, mukatab, dan ummu walad hukumnya seperti budak wanita yang murni. وَالْمُبَعَّضَةُ وَالْمُكَاتَبَةُ وَأُمُّ الْوَلَدِ كَالْأَمَّةِ.
Jika budak wanita tersebut melaksanakan ‘iddah dengan penghitungan bulan sebab ditinggal mati suami, maka ‘iddahnya dengan dua bulan lima hari. (وَبِالشُّهُوْرِ عَنِ الْوَفَاةِ أَنْ تَعْتَدَّ بِشَهْرَينِ وَخَمْسِ لَيَالٍ
‘Iddahnya budak wanita sebab talak adalah ‘iddah dengan satu bulan setengah, yaitu separuh dari ‘iddahnya wanita merdeka. وَ) عِدَّتُهَا (عَنِ الطَّلَاقِ أَنْ تَعْتَدَّ بِشَهْرٍ وَ نِصْفٍ) عَلَى النِّصْفِ
Satu pendapat mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah dua bulan, dan ungkapan imam al Ghazali menetapkan keunggulan pendapat ini. وَفِيْ قَوْلٍ شَهْرَانِ وَكَلَامُ الْغَزَالِيِّ يَقْتَضِيْ تَرْجِيْحَهُ
Sedangkan mushannif hanya menjadikan dua bulan sebagai bentuk yang lebih utama saja, sehingga beliau berkata, “sehingga, jika budak wanita itu melaksanakan ‘iddah dengan dua bulan, maka itu lebih utama.” وَأَمَّاالْمُصَنِّفُ فَجَعَلَهُ أَوْلَى حَيْثُ قَالَ (فَإِنِ اعْتَدَّتْ بِشَهْرَيْنِ كَانَ أَوْلَى)
Satu pendapat mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah tiga bulan, dan ini adalah yang lebih hati-hati sebagaimana yang disampaikan oleh imam asy Syafi’i Ra. وَفِيْ قَوْلٍ عِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَهُوَ الْأَحْوَطُ كَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
Dan ini pendapat yang diikuti oleh beberapa golongan al ashhab[1][1]. وَعَلَيْهِ جَمْعٌ مِنَ الْأَصْحَابِ.

[1][1] Al ashhab adalah ulama’-ulama’ yang mengikuti madzhab imam asy syafi’i.

BAB MACAM-MACAM MU’TADDAH DAN HUKUM-HUKUMNYA

(Fasal) menjelaskan mu’taddah (wanita yang menjalankan ‘iddah) dan hukum-hukumnya. (فَصْلٌ) فِيْ أَنْوَاع ِالْمُعْتَدَّةِ وَأَحْكَامِهَا

 

Wanita Talak Raj’i

 

Bagi wanita yang menjalankan ‘’iddah talak raj’i maka wajib menetap di rumah yang menjadi tempat saat ia tertalak jika memang layak baginya. (وَيَجِبُ لِلْمُعْتَدَّةِ الرَّجْعِيَّةِ السُّكْنَى) فِيْ مَسْكَنِ فِرَاقِهَا إِنْ لاَقَ بِهَا
Dan wajib diberi nafkah dan pakaian kecuali ia nusuz sebelum tertalak atau di tengah-tengah pelaksaan ‘iddah. (وَالنَّفَقَةُ) وَالْكِسْوَةُ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ نَاشِزَةً قَبْلَ طَلَاقِهَا أَوْ فِيْ أَثْنَاءِ عِدَّتِهَا
Sebagaimana wajib diberi nafkah, ia juga wajib diberi kebutuhan hidup yang lain kecuali alat membersihkan badan. وَكَمَا يَجِبُ لَهَا النَّفَقَةُ يَجِبُ لَهَا بَقِيَّةُ الْمُؤَنِ إِلَّا آلَةَ التَّنْظِيْفِ

 

Wanita Talak Ba’in

 

Bagi wanita yang tertalak ba’in wajib diberi tempat tinggal tidak wajib diberi nafkah kecuali ia dalam keadaan hamil. (وَ) يَجِبُ (لِلْبَائِنِ السُّكْنَى دُوْنَ النَّفَقَةِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ حَامِلًا)
Maka wajib memberi nafkah padanya sebab kehamilan menurut pendapat ash shahih. فَتَجِبُ النَّفَقَةُ لَهَا بِسَبَبِ الْحَمْلِ عَلَى الصَّحِيْحِ
Ada yang mengatakan sesungguhnya nafkah itu untuk kandungan. وَقِيْلَ إِنَّ النَّفَقَةَ لِلْحَمْلِ .

 

 

Wanita Yang Ditinggal Mati Suami

 

Wajib bagi mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha untuk melakukan ihdad. (وَ يَجِبُ عَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا الْإِحْدَادُ
Ihdad secara bahasa diambil dari lafadz “al had”. Al had adalah bermakna mencegah. وَهُوَ) لُغَةً مَأْخُوْذٌ مِنَ الْحَدِّ وَهُوَ الْمَنْعُ
Ihdad secara syara’ adalah mencegah diri dari berhias dengan tidak memakai pakaian yang diwarna dengan warna yang ditujukan untuk berhias seperti pakaian yang berwarna kuning atau merah. وَشَرْعًا (الْاِمْتَنَاعُ مِنَ الزِّيْنَةِ) بِتَرْكِ لَبْسِ مَصْبُوْغٍ يُقْصَدُ بِهِ زِيْنَةٌ كَثَوْبٍ أَصْفَرَ أَوْ أَحْمَرَ
Hukumnya mubah memakai pakaian yang tidak berwarna dari bahan kapas, bulu, katun, sutra ulat, dan pakaian berwarna yang tidak ditujukan untuk berhias. وَيُبَاحُ غَيْرُ الْمَصْبُوْغِ مِنْ قُطْنٍ وَصُوْفٍ وَكَتَّانٍ وَإِبْرَيْسِمٍ وَمَصْبُوْغٍ لَا يُقصَدُ لِزِيْنَةٍ
Dan mencegah diri dari wewangian, maksudnya menggunakan wewangian di badan, pakaian, makanan, atau celak yang tidak diharamkan. (وَ) الْاِمْتِنَاعُ مِنَ (الطِّيْبِ) أَيْ مِنِ اسْتِعْمَالِهِ فِيْ بَدَنٍ أَوْ ثَوْبٍ أَوْ طَعَامٍ أَوْ كُحْلٍ غَيْرِ مُحَرَّمٍ
Adapun celak yang diharamkan seperti bercelak dengan itsmid yang tidak berbau wangi, maka hukumnya haram -ditinjau dari barangnya-. أَمَّا الْمُحَرَّمُ كَالْاِكْتِحَالِ بِالإِثْمِدِ الَّذِيْ لَا طِيْبَ فِيْهِ فَحَرَامٌ
Kecuali karena ada hajat seperti sakit mata, maka diperkenankan menggunakannya bagi wanita yang sedang ‘iddah. إِلاَّ لِحَاجَةٍ كَرَمَدٍ فَيُرْخَصُ فِيْهِ لِلْمُحِدَّةِ
Walaupun demikian, namun dia harus menggunakannya di malam hari dan membersihkannya di siang hari kecuali ada keadaan darurat yang menuntut untuk memakainya di siang hari. وَمَعَ ذَلِكَ فَتَسْتَعْمِلُهُ لَيْلًا وَتَمْسَحُهُ نَهَارًا إِلاَّ إِنْ دَعَتْ ضَرُوْرَةٌ لِاسْتِعْمَالِهِ نَهَارًا
Bagi seorang wanita -selain istri yang ditinggal- diperkenankan melakukan ihdad atas kematian selain suaminya, baik kerabat atau lelaki lain selama tiga hari atau kurang. وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى غَيْرِ زَوْجِهَا مِنْ قَرِيْبٍ لَهَا أَوْ أَجْنَبِيٍّ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَأَقَلَّ
Maka bagi dia haram melakukan ihdad lebih dari tiga hari jika memang sengaja untuk ihdad. فَتَحْرُمُ الزِّيَادَةُ عَلَيْهَا إِنْ قَصَدَتْ ذَلِكَ
Sehingga, jika ia melakukannya lebih dari tiga hari tanpa ada tujuan untuk melakukan ihdad, maka hal itu tidaklah haram. فَإِنْ زَادَتْ عَلَيْهَا بِلَا قَصْدٍ لَا يَحْرُمُ .
Bagi mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha dan wanita yang tertalak ba’in wajib menetap di dalam rumah. (وَ) يَجِبُ (عَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا وَالْمَبْتُوْتَةِ مُلَازَمَةُ الْبَيْتِ)
Maksudnya rumah yang menjadi tempat terjadinya perpisahan antara dia dengan suaminya, jika rumah itu layak baginya. أَيْ وَهُوَ الْمَسْكَنُ الَّذِيْ كَانَتْ فِيْهِ عِنْدَ الْفُرْقَةِ إِنْ لَاقَ بِهَا
Bagi suami dan yang lain tidak diperkenankan mengeluarkan wanita tersebut dari rumah tempat terjadinya perpisahan. وَلَيْسَ لِزَوْجٍ وَلَا غَيْرِهِ إِخْرَاجُهَا مِنْ مَسْكَنِ فِرَاقِهَا
Begitu juga bagi wanita tersebut tidak diperkenankan keluar dari sana walaupun sang suami rela. وَلاَ لَهَا خُرُوْجٌ مِنْهُ وَإِنْ رَضِيَ زَوْجُهَا
Kecuali karena ada hajat, maka bagi dia diperkenankan keluar rumah. (إِلَّا لِحَاجَةٍ) فَيَجُوْزُ لَهَا الْخُرُوْجُ
Seperti ia keluar di siang hari karena untuk membeli makanan, kain katun, menjual tenunan atau kapas dan sesamanya. كَأَنْ تَخْرُجَ فِيْ النَّهَارِ لِشِرَاءِ طَعَامٍ وَكَتَّانٍ وَبَيْعِ غَزْلٍ أَوْ قُطْنٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ
Bagi wanita tersebut diperkenankan keluar malam ke rumah tetangga perempuannya karena untuk menenun, ngobrol dan sesamanya dengan syarat pulang dan bermalam di rumahnya sendiri. وَيَجُوْزُ لَهَا الْخُرُوْجُ لَيْلًا إِلَى دَارِ جَارَتِهَا لِغَزْلٍ وَحَدِيْثٍ وَنَحْوِهِمَا بِشَرْطِ أَنْ تَرْجِعَ وَتَبِيْتَ فِيْ بَيْتِهَا
Bagi dia juga diperkenankan keluar ketika khawatir pada dirinya, anaknya  dan sesamanya, yaitu permasalahan-permasalahan yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang panjang penjelasannya. وَيَجُوْزُ لَهَا الْخُرُوْجُ أَيْضًا إِذَا خَافَتْ عَلَى نَفْسِهَا أَوْ وَلَدِهَا وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ مَذْكُوْرٌ فِيْ الْمُطَوَّلَاتِ .


BAB ISTIBRA’

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum istibra’. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ اْلِاسْتِبْرَاءِ
Istibra’ secara bahasa adalah mencari kebebasan. وَهُوَ لُغَةً طَلَبُ الْبَرَاءَةِ
Dan secara syara’ adalah penantian seorang wanita sebab baru datangnya kepemilikan pada dirinya, atau hilangnya kepemilikan dari dirinya, karena unsur ta’abbudi atau karena membersihkan rahimnya dari janin. وَشَرْعًا تَرَبُّصُ الْمَرْأَةِ بِسَبَبِ حُدُوْثِ الْمِلْكِ فِيْهَا أَوْ زَوَالِهِ عَنْهَا تَعَبُّدًا أَوْ لِبَرَاءَةِ رَحْمِهَا مِنَ الْحَمْلِ

Hukum Istibra’

 

Istibra’ wajib dilakukan sebab dua perkara. وَالْاِسْتِبْرَاءُ يَجِبُ بِشَيْئَيْنِ
Salah satunya adalah hilangnya firasy (kepemilikan) atas diri budak wanita. Dan akan dijelaskan di dalam ungkapan matan, “ketika majikan budak ummu walad meninggal dunia” hingga akhir penjelasannya. أَحَدُهُمَا زَوَالُ الْفِرَاشِ وَسَيَأْتِيْ فِيْ قَوْلِ الْمَتْنِ وَإِذَا مَاتَ سَيِّدُ أُمِّ الْوَلَدِ إِلَخْ
Sebab yang kedua adalah baru datangnya kepemilikan -atas diri budak wanita-. Dan mushannif menjelaskannya di dalam perkataan beliau, وَالسَّبَبُ الثَّانِيْ حُدُوْثُ الْمِلْكِ وَذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ فِيْ قَوْلِهِ
Barang siapa baru memiliki budak wanita dengan cara membeli yang sudah tidak ada hak khiyar lagi, dengan warisan, wasiat, hibbah, atau yang lain dari cara-cara kepemilikan atas diri si budak wanita dan budak wanita tersebut bukanlah istrinya, ketika hendak mewathinya, maka bagi dia haram bersenang-senang dengan budak wanita tersebut hingga ia melakukan istibra’ padanya. (وَمَنِ اسْتَحْدَثَ مِلْكَ أَمَّةِ) بِشِرَاءٍ لَا خِيَارَ فِيْهِ أَوْ بِإِرْثٍ أَوْ وَصِيَّةٍ أَوْ هِبَّةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ طُرُقِ الْمِلْكِ لَهَا وَلَمْ تَكُنْ زَوْجَتَهُ (حَرُمَ عَلَيْهِ) عِنْدَ إِرَادَةِ وَطْئِهَا (الْاِسْتِمْتَاعُ بِهَا حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
Jika budak wanita tersebut termasuk golongan wanita yang memiliki haidl, maka dengan satu kali haidl. إِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْحَيْضِ بِحَيْضَةٍ)
Walaupun dia masih perawan, walaupun sudah diistibra’ oleh penjualnya sebelum dijual, dan walaupun kepemilikannya perpindah dari anak kecil atau majikan wanita. وَلَوْ كَانَتْ بِكْرًا وَلَوِ اسْتَبْرَأَهَا بَائِعُهَا قَبْلَ بَيْعِهَا وَلَوْ كَانَتْ مُنْتَقِلَةً مِنْ صَبِيٍّ أَوِ امْرَأَةٍ.
Jika budak wanita tersebut termasuk golongan wanita yang memakai perhitungan bulan, maka ‘iddahnya adalah satu bulan saja. (وَإِنْ كَانَتْ)  الْأَمَّةُ (مِنْ ذَوَاتِ الشُّهُوْرِ) فَعِدَّتُهَا بِشَهْرٍ فَقَطْ
Jika budak wanita tersebut termasuk dari wanita hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan. وَ إِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْحَمْلِ) فَعِدَّتُهَا (بِالْوَضْعِ)
Ketika seseorang membeli istrinya yang berstatus budak, maka disunnahkan baginya untuk melakukan istibra’ pada istrinya tersebut. وَإِذَا اشْتَرَى زَوْجَتَهُ سُنَّ لَهُ اسْتِبْرَاؤُهَا
Adapun budak perempuan yang telah dinikahkan atau sedang melaksanakan ‘iddah, ketika seseorang membelinya, maka tidak wajib melakukan istibra’ padanya seketika itu. وَأَمَّا الْأَمَّةُ الْمُزَوَّجَةُ أَوِ الْمُعْتَدَّةُ إِذَا اشْتَرَاهَا شَخْصٌ فَلَا يَجِبُ اسْتِبْرَاؤُهَا حَالًا
Kemudian, ketika ikatan pernikahan dan ‘iddahnya telah hilang semisal budak wanita tersebut ditalak sebelum dijima’ ataupun setelahnya dan ‘iddahnya telah selesai, maka pada saat itulah wajib melakukan istibra’. فَإِذَا زَالَتِ الزَّوْجِيَّةُ وَالْعِدَّةُ كَأَنْ طُلِقَتِ الْأَمَّةُ قَبْلَ الدُّخُوْلِ أَوْ بَعْدَهُ وَانْقَضَتِ الْعِدَّةُ وَجَبَ الْاِسْتِبْرَاءُ حِيْنَئِذٍ
Ketika majikan budak ummu walad meninggaldunia dan ia tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak pula dalam pelaksanaan ‘iddah nikah, maka wajib baginya melakukan istibra’ pada dirinya sendiri seperti halnya budak wanita. (وَإِذَا مَاتَ سَيِّدُ أُمِّ الْوَلَدِ) وَلَيْسَتْ فِيْ زَوْجِيَّةٍ وَلَا عِدَّةِ نِكَاحٍ (اسْتَبْرَأَتْ) حَتْمًا (نَفْسَهَا كَالْأَمَّةِ)
Maksudnya, istibra’ yang dia lakukan adalah dengan satu bulan jika ia termasuk wanita-wanita yang menggunakan penghitungan bulan. Jika tidak, maka dengan satu kali haidl jika memang termasuk wanita-wanita yang menggunakan penghitungan masa suci. أَيْ فَيَكُوْنُ اسْتِبْرَاؤُهَا بِشَهْرٍ إِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَشْهُرِ وَإِلَّا فَبِحَيْضَةٍ إِنْ كَانَتْ مِنْ ذَوَاتِ الْأَقْرَاءِ
Seandainya sang majikan melakukan istibra’ terhadap budak wanitanya yang pernah dijima’ kemudian ia merdekakan, maka bagi sang budak tidak wajib melakukan istibra’, dan baginya diperkenankan menikah seketika itu juga. وَلَوِ اسْتَبْرَأَ السَّيِّدُ أَمَّتَهُ الْمَوْطُوْأَةَ ثُمَّ أَعْتَقَهَا فَلَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهَا وَلَهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ فِيْ الْحَالِ.


BAB RADLA’ (SUSUAN)

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum radla’ dengan terbaca fathah atau kasrah huruf ra’nya. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الرَّضَاعِ بِفَتْحِ الرَّاءِ وَكَسْرِهَا
Radla’ secara bahasa adalah nama untuk menghisap puting dan meminum air susunya. وَهُوَ لُغَةً اسْمٌ لِمَصِّ الثَّدْيِ وَشُرْبِ لَبَنِهِ
Dan secara syara’ adalah masuknya air susu wanita anak Adam tertentu ke dalam perut anak adam tertentu dengan cara yang tertentu juga. وَشَرْعًا وُصُوْلُ لَبَنِ آدَمِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ لِجَوْفِ آدَمِيٍّ مَخْصُوْصٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
Radla’ hanya bisa sah dengan air susu wanita yang masih hidup dan mencapai usia sembilan tahun Qamariyah, baik perawan atau janda, tidak bersuami atau memiliki suami. وَإِنَّمَا يَثْبُتُ الرَّضَاعُ بِلَبَنِ امْرَأَةٍ حَيَّةٍ بَلَغَتْ تِسْعَ سِنِيْنَ قَمَرِيَّةً بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا خَلِيَّةً كَانَتْ أَوْ مُزَوَّجَةً

Konsekwensi Radla’ dan Syarat-Syaratnya

 

Ketika seorang wanita menyusui seorang anak dengan air susunya, baik sang anak meminum air susu tersebut saat si wanita masih hidup atau setelah meninggal dunia dengan syarat air susu itu diambil saat si wanita masih hidup, maka anak yang ia susui menjadi anaknya dengan dua syarat. (وَإِذَا أَرْضَعَتِ الْمَرْأَةُ بِلَبَنِهَا وَلَدًا) سَوَاءٌ شَرَبَ اللَّبَنَ فِيْ حَيَاتِهَا أَوْ بَعْدَ مَوْتِهَا وَكَانَ مَحْلُوْبًا فِيْ حَيَاتِهَا (صَارَ الرَّضِيْعُ وَلَدَهَا بِشَرْطَيْنِ
Salah satunya, usia anak tersebut kurang dari dua tahun sesuai dengan hitungan tanggal. أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُوْنَ لَهُ) أَيِ الرَّضِيْعِ (دُوْنَ الْحَوْلَيْنِ) بِالْأَهِلَّةِ
Dan permulaan dua tahun tersebut terhitung dari kelahiran anak tersebut secara sempurna. وَابْتِدَاؤُهُمَا مِنْ تَمَامِ انْفِصَالِ الرَّضِيْعِ
Anak yang sudah mencapai dua tahun, maka menyusuinya tidak bisa memberikan dampak ikatan mahram. وَمَنْ بَلَغَ سَنَتَيْنِ لَا يُؤَثِّرُ ارْتِضَاعُهُ  تَحْرِيْمًا .
Syarat kedua, wanita yang menyusui telah menyusui anak tersebut sebanyak lima kali susuan yang terpisah-pisah dan masuk ke perut sang bocah.

 

(وَ) الشَّرْطُ (الثَّانِيْ أَنْ تُرْضِعَهُ)أَيِ الْمُرْضِعَةُ (خَمْسَ رَضَعَاتٍ مُتَفَرِّقَاتٍ) وَاصِلَةً جَوْفَ الرَّضِيْعِ
Yang digunakan batasan lima kali susuan itu adalah ‘urf. Sehingga susuan yang dianggap satu atau beberapa susuan oleh ‘urf, maka itulah yang dianggap. Jika tidak, ya maka tidak dianggap. وَضَبْطُهُنَّ بِالْعُرْفِ فَمَا قَضَى بِكَوْنِهِ رَضْعَةً أَوْ رَضَعَاتٍ اُعْتُبِرَ وَإِلَّا فَلاَ
Sehingga, seandainya bocah yang disusui itu memutus hisapan di antara masing-masing lima susuan dengan berpaling dari puting, maka hisapan-hisapan itu dihitung terpisah(tidak jadi satu). فَلَوْ قَطَعَ الرَّضِيْعُ الْإِرْتِضَاعَ بَيْنَ كُلٍّ مِنَ الْخَمْسِ إِعْرَاضًا عَنِ الثَّدْيِ تَعَدَّدَ الْاِرْتِضَاعُ
Suami wanita yang telah menyusui menjadi ayah sang bocah yang disusui. (وَيَصِيْرُ زَوْجُهَا) أَيِ الْمُرْضِعَةِ (أَباً لَهُ) أَيِ الرَّضِيْعِ
Bagi murdla’ (bocah yang disusui), dengan terbaca fathah huruf dladnya, haram menikahi wanita yang menyusuinya dan wanita-wanita yang memiliki hubungan nasab dengan ibu susunya. (وَيَحْرُمُ عَلَى الْمُرْضَعِ) بِفَتْحِ الضَّادِ (التَّزْوِيْجُ إِلَيْهَا) أَيِ الْمُرْضِعَةِ (وَإِلَى كُلِّ مَنْ نَاسَبَهَا) أَيِ انْتَسَبَ إِلَيْهَا بِنَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ
Dan bagi wanita yang menyusui haram menikah dengan murdla’, anaknya walaupun hingga ke bawah, dan orang yang memiliki ikatan nasab dengannya walaupun hingga ke atas.[1][1] (وَيَحْرُمُ عَلَيْهَا) أَيِ الْمُرْتَضِعَةِ (التَّزْوِيْجُ إِلَى الْمُرْضَعِ وَوَلَدِهِ) وَإِنْ سَفُلَ وَمَنِ انْتَسَبَ إِلَيْهِ وَإِنْ عَلَا
Bukan orang yang sederajat dengannya, maksudnya dengan bocah yang disusui seperti saudara-saudara laki-lakinya yang tidak ikut menyusu bersamanya. (دُوْنَ مَنْ كَانَ فِيْ دَرَجَتِهِ) أَيِ الرَّضِيْعِ كَإِخْوَتِهِ الَّذِيْنَ لَمْ يَرْضَعُوْا مَعَهُ
Atau orang yang seatasnya, maksudnya dan bukan orang yang tingkatannya lebih atas daripada murdla’, maksudnya bocah yang disusui seperti paman-pamannya. (أَوْ أَعْلَى) أَيْ وَدُوْنَ مَنْ كَانَ أَعْلَى (طَبْقَةً مِنْهُ) أَيِ الرَّضِيْعِ كَأَعْمَامِهِ
Di dalam fasal yang menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dinikah, telah disinggung tentang orang-orang yang haram dinikah sebab nasab dan radla’ secara terperinci, maka ruju’lah kesana. وَتَقَدَّمَ فِيْ فَصْلِ مُحَرَّمَاتِ النِّكَاحِ مَا يَحْرُمُ بِالنَّسَبِ وَالرَّضَاعِ مُفَصَّلًا فَارْجِعْ إِلَيْهِ.

[2][1] Hal ini memiliki kejanggalan, dan penjelasannya terdapat di dalam kitab al Bajuri.

BAB NAFAQAH (NAFKAH)

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum nafkah kerabat. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ نَفَقَةِ الْأَقَارِبِ
Di dalam sebagian redaksi matan fasal ini diakhirkan dari fasal setelahnya. وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ تَأْخِيْرُ هَذَا الْفَصْلِ عَنِ الَّذِيْ بَعْدَهُ
Lafadz “an nafaqah” itu diambil dari lafadz “al infaq”, dan artinya adalah mengeluarkan. Lafadz “infaq” tidak digunakan kecuali di dalam kebaikan. وَالنَّفَقَةُ مَأْخُوْذَةٌ مِنَ الْإِنْفَاقِ وَهُوَ الْإِخْرَاجُ وَلَا يُسْتَعْمَلُ إِلَّا فِيْ الْخَيْرِ

Sebab-Sebab Nafaqah

 

Nafaqah memiliki tiga sebab, kerabat, milku yamin, dan ikatan suami istri. وَلِلنَّفَقَةِ أَسْبَابٌ ثَلَاثَةٌ الْقَرَابَةُ وَمِلْكُ الْيَمِيْنِ وَالزَّوْجِيَّةُ
Mushannif menjelaskan sebab yang pertama di dalam perkataan beliau, وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ السَّبَبَ الْأَوَّلَ فِيْ قَوْلِهِ

Nafkah Orang Tua dan Anak

 

Nafaqah orang tua dan anak dari jalur keluarga wajib diberikan pada para anak dan orang tua. (وَنَفَقَةُ الْعَمُوْدَيْنِ مِنَ الْأَهْلِ وَاجِبَةٌ لِلْوَالِدِيْنَ وَالْمَوْلُوْدِيْنَ)
Maksudnya nafaqah orang tua yang laki-laki atau perempuan, satu agama atau berbeda agama wajib diberikan oleh anak-anaknya. أَيْ ذُكُوْرًا كَانُوْا أَوْ إِنَاثًا اِتَّفَقُوْا فِيْ الدِّيْنِ أَوِاخْتَلَفُوْا فِيْهِ وَاجِبَةٌ عَلَى أَوْلَادِهِمْ.
Adapun para orang tua walaupun hingga ke atas, maka wajib diberi nafaqah dengan dua syarat. (فَأَمَّا الْوَالِدُوْنَ) وَإِنْ عَلَوْا (فَتَجِبُ نَفَقَتُهُمْ بِشَرْطَيْنِ
Mereka faqir, yaitu tidak memiliki harta atau tidak mampu bekerja dan lumpu, atau faqir dan gila. الْفَقْرِ) لَهُمْ وَهُوَ عَدَمُ قُدْرَتِهِمْ عَلَى مَالٍ أَوْ كَسْبٍ (وَالزَّمَانَةِ أَوِ الْفَقْرِ وَ الْجُنُوْنِ)
Az zamanah adalah bentuk kalimat masdar dari rangkaian “zamuna ar rajulu zamanatan (lelaki yang benar-benar lumpuh) ketika ia memiliki penyakit”. وَ الزَّمَانَةُ هِيَ مَصْدَرٌ زَمُنَ الرَّجُلُ زَمَانَةً إِذَا حَصُلَ لَهُ آفَةٌ
Sehingga, jika mereka memiliki harta atau mampu bekerja, maka tidak wajib diberi nafaqah. فَإِنْ قَدَرُوْا عَلَى مَالٍ أَوْ كَسْبٍ لَمْ تَجِبْ نَفَقَتُهُمْ
Adapun para anak walaupun hingga ke bawah, maka nafaqah mereka diwajibkan kepada para orang tua dengan tiga syarat : (وَأَمَّا الْمَوْلُوْدُوْنَ) وَإِنْ سَفَلُوْا (فَتَجِبُ نَفَقُتُهُمْ) عَلَى الْوَالِدِيْنَ (بِثَلَاثَةِ شَرَائِطَ)
Salah satunya adalah fakir dan masih kecil. Sehingga anak yang kaya dan sudah besar, maka tidak wajib diberi nafaqah. أَحَدُهَا (الْفَقْرُ وَالصِّغَرُ) فَالْغَنِيُّ الْكَبِيْرُ لَا تَجِبُ نَفَقَتُهُ
Atau faqir dan lumpuh. Sehingga anak yang kaya dan kuat, maka tidak wajib diberi nafaqah. (أَوِ الْفَقْرُ وَالزُّمَانَةُ) فَالْغَنِيُّ الْقَوِيُّ لَا تَجِبُ نَفَقَتُهُ
Atau faqir dan gila. Sehingga anak yang kaya dan mempunyai akal, maka tidak wajib diberi nafaqah. (أَوِ الْفَقْرُ وَالْجُنُوْنُ) فَالْغَنِيُّ الْعَاقِلُ لَا تَجِبُ نَفَقَتُهُ

Nafkah Budak dan Binatang Ternak

 

Mushannif menyebutkan sebab yang kedua di dalam perkataan beliau, “memberi nafaqah kepada budak dan binatang ternak hukumnya wajib.” وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ السَّبَبَ الثَّانِيَ فِيْ قَوْلِهِ (وَنَفَقَةُ الرَّقِيْقِ وَالْبَهَائِمِ وَاجِبَةٌ)
Sehingga, barang siapa memiliki budak, baik budak laki-laki, perempuan, mudabbar, ummu walad atau memiliki binatang ternak, maka wajib baginya untuk memberi nafaqah pada mereka. فَمَنْ مَلِكَ رَقِيْقًا عَبْدًا أَوْ أَمَّةً أَوْ مُدَبَّرًا أَوْ أُمِّ وَلَدٍ أَوْ بَهِيْمَةً وَجَبَ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ
Sehingga wajib baginya memberi makan budaknya dengan makanan pokok penduduk setempat dan lauk pauk yang biasa mereka konsumsi dengan kadar kecukupan. Dan wajib memberi pakaian sesuai dengan pakaian penduduk daerah setempat. فَيُطْعِمُ رَقِيْقَهُ مِنْ غَالِبِ قُوْتِ أَهْلِ الْبَلَدِ وَمِنْ غَالِبِ أُدُمِهِمْ بِقَدْرِ الْكِفَايَةِ وَيَكْسُوْهُ مِنْ غَالِبِ كِسْوَتِهِمْ
Di dalam memberi pakaian terhadap budak, tidak cukup memberi pakaian yang hanya menutupi aurat saja. وَلَا يَكْفِيْ فِيْ كِسْوَةِ رَقِيْقِهِ سَتْرُ الْعَوْرَةِ فَقَطْ
Budak dan binatang ternak tidak boleh dipaksa melakukan pekerjaan yang tidak mampu mereka lakukan. (وَلَا يُكَلَّفُوْنَ مِنَ الْعَمَلِ مَا لَا يُطِيْقُوْنَ)
Ketika majikan mempekerjakan budaknya di siang hari, maka wajib mengistirahatkan di malam hari. Dan ketika musim kemarau, wajib mengistirahatkan di waktu qailulah (tengah hari). فَإِذَا اسْتَعْمَلَ الْمَالِكُ رَقِيْقَهُ نَهَارًا أَرَاحَهُ لَيْلًا وَعَكْسَهُ وَيُرِيْحُهُ صَيْفًا وَقْتَ الْقَيْلُوْلَةِ
Majikan juga tidak boleh memaksa binatang ternaknya memuat barang yang tidak mampu dimuat oleh binatang tersebut. وَلَا يُكَلِّفُ دَابَّتَهُ أَيْضًا مَا لَا تُطِيْقُ حَمْلَهُ

 

Nafkah Istri

 

Mushannif menyebutkan sebab yang ketiga di dalam perkataan beliau, وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ السَّبَبَ الثَّالِثَ فِيْ قَوْلِهِ.
Nafaqah untuk seorang istri yang telah memasrahkan dirinya hukumnya wajib bagi seorang suami. (وَنَفَقَةُ الزَّوْجَةِ الْمُمَكِّنَةِ مِنْ نَفْسِهَا وَاجِبَةٌ) عَلَى الزَّوْجِ
Karena nafaqah untuk istri itu berbeda-beda sesuai dengan keadaan sang suami, maka mushannif menjelaskannya di dalam perkataan beliau, وَلَمَا اخْتَلَفَتْ نَفَقَةُ الزَّوْجَةِ بِحَسَبِ حَالِ الزَّوْجِ بَيَّنَ الْمُصَنِّفُ ذَلِكَ فِيْ قَوْلِهِ
Nafaqah untuk istri itu dikira-kirakan. Sehingga, jika sang suami adalah orang kaya, kayanya sang suami dipertimbangkan saat terbitnya fajar setiap hari, maka wajib memberikan nafaqah bahan makanan sebanyak dua mud yang wajib ia berikan setiap hari hingga malam harinya kepada istrinya, baik beragama islam atau kafir dzimmi, merdeka ataupun budak. (وَهِيَ مُقَدَّرَةٌ فَإِنْ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ إِنْ (كَانَ الزَّوْجُ مُوْسِرًا) وَيُعْتَبَرُ يَسَارُهُ بِطُلُوْعِ فَجْرِ كُلِّ يَوْمٍ (فَمُدَّانِ) مِنْ طَعَامٍ وَاجِبَانِ عَلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ مَعَ لَيْلَتِهِ الْمُتَأَخِّرَةِ عَنْهُ لِزَوْجَتِهِ مُسْلِمَةً كَانَتْ أَوْ ذِمِّيَّةً حُرَّةً كَانَتْ أَوْ رَقِيْقَةً
Dua mud tersebut diambilkan dari makanan pokok sang istri. وَالْمُدَّانِ (مِنْ غَالِبِ قُوْتِهَا)
Yang dikehendaki adalah makanan pokok daerah setempat, baik gandum putih, gandum merah, atau selainnya hingga susu kental bagi penduduk pedalaman yang menjadikannya sebagai makanan pokok. وَالْمُرَادُ غَالِبُ قُوْتِ الْبَلَدِ مِنْ حِنْطَةٍ أَوْ شَعِيْرٍ أَوْ غَيْرِهِمَا حَتَّى الْأَقِطِّ فِيْ أَهْلِ بَادِيَّةٍ يَقْتَاتُوْنَهُ.
Dan wajib memberikan lauk pauk dan pakainya yang biasa terlaku kepada sang istri. (وَيَجِبُ) لِلزَّوْجَةِ (مِنَ الْأُدُمِ وَالْكِسْوَةِ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ) فِيْ كُلٍّ مِنْهُمَا
Sehingga, jika daerah setempat biasa memakai lauk pauk dengan miyak zait, miyak wijen, mentega dan sesamanya, maka kebiasaan tersebut diikuti. فَإِنْ جَرَتْ عَادَةُ الْبَلَدِ فِيْ الْأُدُمِ بِزِيْتٍ وَشَيْرَجٍ وَجُبْنٍ وَنَحْوِهَا اُتُّبِعَتِ الْعَادَةُ فِيْ ذَلِكَ
Jika di daerah setempat tidak ada lauk pauk yang dominan, maka wajib memberikan lauk pauk yang layak dengan keadaan sang suami. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْ الْبَلَدِ أُدُمٌ غَالِبٌ فَيَجِبُ اللَّائِقُ بِحَالِ الزَّوْجِ
Lauk pauk berbeda-beda dengan berbeda-bedanya  musim. وَيَخْتَلِفُ الْأُدُمُ بِاخْتِلَافِ الْفُصُوْلِ
Sehingga di setiap musim wajib memberikan lauk pauk yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat pasa saat itu. فَيَجِبُ فِيْ كُلِّ فَصْلٍ مَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ النَّاسِ فِيْهِ مِنَ الْأُدُمِ
Istri juga wajib diberi daging yang sesuai dengan keadaan suaminya. وَيَجِبُ لِلزَّوْجَةِ أَيْضًا لَحْمٌ يَلِيْقُ بِحَالِ زَوْجِهَا
Jika kebiasaan daerah setempat dalam urusan pakaian bagi orang sekelas sang suami adalah dengan bahan katun atau sutra, maka wajib untuk memberikan pakaian dengan bahan tersebut pada sang istri. وَإِنْ جَرَتْ عَادَةُ الْبَلَدِ فِيْ الْكِسْوَةِ لِمِثْلِ الزَّوْجِ بِكَتَّانٍ أَوْ حَرِيْرٍ وَجَبَ
Jika sang suami adalah orang miskin, ukuran miskinnya dipertimbangkan saat terbitnya fajar setiap harinya, maka wajib memberikan makanan satu mud. (وَإِنْ كَانَ) الزَّوْجُ (مُعْسِرًا) وَيُعْتَبَرُ إِعْسَارُهُ بِطُلُوْعِ فَجْرِ كُلِّ يَوْمٍ (فَمُدٌّ)
Maksudnya wajib bagi suami memberikan makanan satu mud dari makanan pokok yang dominan di daerah setempat kepada istrinya setiap hari hingga malam harinya. أَيْ فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ لِزَوْجَتِهِ مُدُّ طَعَامٍ (مِنْ غَالِبِ قُوْتِ الْبَلَدِ) كُلَّ يَوْمٍ مَعَ لَيْلَتِهِ الْمُتَأَخِّرَةِ عَنْهُ
Dan memberikan lauk pauk yang biasa dikonsumsi oleh orang-orang miskin daerah setempat. (وَمَا يَتَأَدَّمُ الْمُعْسِرُوْنَ) مِمَّا جَرَتْ بِهِ عَادَتُهُمْ مِنَ الْأُدُمِ
Dan memberikan pakaian yang biasa digunakan oleh mereka. (وَيَكْسُوْنَهُ) مِمَّا جَرَتْ بِهِ عَادَتُهُمْ مِنَ الْكِسْوَةِ
Jika sang suami adalah orang yang tengah-tengah, dan ukuran tengah-tengahnya ini dipertimbangkan saat terbitnya fajar setiap harinya hingga malam harinya, maka wajib satu mud setengah, maksudnya wajib bagi sang suami memberikan satu mud setengah dari bahan makanan pokok yang dominan daerah setempat. (وَإِنْ كَانَ) الزَّوْجُ (مُتَوَسِّطًا) وَيُعْتَبَرُ تَوَسُّطُهُ بِطُلُوْعِ فَجْرِ كُلِّ يَوْمٍ مَعَ لَيْلَتِهِ الْمُتَأَخِّرَة ِعَنْهُ (فَمُدٌّ) أَيْ فَالْوَاجِبُ عَلَيْهِ لِزَوْجَتِهِ مُدٌّ (وَنِصْفٌ) مِنْ طَعَامٍ مِنْ غَالِبِ قُوْتِ الْبَلَدِ
Dan wajib memberikan lauk pauk dan pakaian yang tengah-tengah pada sang istri. (وَ) يَجِبُ لَهَا (مِنَ الْأُدُم ِ) الْوَسَطُ (وَ) مِنَ (الْكِسْوَةِ الْوَسَطُ)
Yang dimaksud dengan tengah-tengah adalah sesuatu yang berada di antara sesuatu yang wajib bagi suami yang kaya dan yang wajib bagi suami yang miskin. وَهُوَ مَا بَيْنَ مَا يَجِبُ عَلَى الْمُوْسِرِ وَالْمُعْسِرِ
Bagi sang suami wajib memberikan milik berupa bahan makanan biji-bijian kepada sang istri. وَيَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ تَمْلِيْكُ زَوْجَتِهِ الطَّعَامِ حَبًّا
Dan bagi sang suami wajib untuk menggiling dan membuat roti bahan makanan tersebut. وَعَلَيْهِ طَحْنُهُ وَخَبْزُهُ
Sang istri berhak diberi alat makan, minum dan memasak. وَيَجِبُ لَهَا آلَةُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَطَبْحٍ
Sang istri juga berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak baginya secara adat. وَيَجِبُ لَهَا مَسْكَنٌ يَلِيْقُ بِهَا عَادَةً
Jika sang istri termasuk orang-orang yang biasa dilayani, maka bagi suami wajib mencari pembantu untuk sang istri. (وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ يُخْدَمُ مِثْلُهَا فَعَلَيْهِ) أَيِ الزَّوْجِ (إِخْدَامُهَا)
Baik pembantu wanita merdeka, budak perempuannya, budak perempuan sewaan, atau dengan memberi nafkah kepada wanita yang menemani istrinya baik wanita merdeka atau budak karena untuk melayani sang istri, jika memang sang suami rela dengan wanita tersebut. بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَّةٍ لَهُ أَوْ أَمَّةٍ مُسْتَأْجَرَةٍ أَوْ بِالْإِنْفَاقِ عَلَى مَنْ صَحِبَ الزَّوْجَةَ مِنْ حُرَّةٍ أَوْ أَمَّةٍ لِخِدْمَةٍ إِنْ رَضِيَ الزَّوْجُ بِهَا.

 

Jika Suami Gak Mampu Menafkahi

 

Jika sang suami tidak mampu memberi nafkah sang istri, maksudnya nafkah di hari-hari yang akan datang, maka bagi sang istri diperkenankan bersabar atas ketidakmampuan sang suami dan menafkahi dirinya sendiri dari hartanya sendiri, atau dari hutang dan apa yang ia nafkahkan itu menjadi tanggungan hutang sang suami. (وَإِنْ أَعْسَرَ بِنَفَقَتِهَا) أَيِ الْمُسْتَقْبَلَةِ (فَلَهَا) الصَّبْرُ عَلَى إِعْسَارِهِ وَتُنْفِقُ عَلَى نَفْسِهَا مِنْ مَالِهَا أَوْ تَقْتَرِضُ وَيَصِيْرُ مَا أَنْفَقَتْهُ دَيْنًا عَلَيْهِ
Dan dia juga diperkenankan merusak nikah. وَلَهَا (فَسْخُ النِّكَاحِ)
Ketika sang istri merusak nikah, maka terjadilah perceraian. Dan ini adalah perceraian sebab merusak nikah, bukan perceraian sebab talak. وَإِذَا فَسَخَتْ حَصَلَتِ الْمُفَارَقَةُ وَهِيَ فُرْقَةُ فَسْخٍ لَا فُرْقَةُ طَلَاقٍ
Sedangkan masalah nafkah hari-hari yang sudah lewat, maka tidak ada hak bagi sang istri untuk merusak nikah sebab sang suami tidak mampu memberikannya. أَمَّا النَّفَقَةُ الْمَاضِيَةُ فَلَا فَسْخَ لِلزَّوْجَةِ بِسَبَبِهَا
Begitu juga bagi sang istri berhak merusak nikah jika suaminya tidak mampu memberikan mas kawin sebelum berhubungan intim. (وَكَذَلِكَ) لِلزَّوْجَةِ فَسْخُ النِّكَاحِ (إِنْ أَعْسَرَ) زَوْجُهَا (بِالصَّدَاقِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ) بِهَا
Baik sebelum akad sang istri sudah tahu bahwa sang suami tidak mampu memberikannya ataupun tidak. سَوَاءٌ عَلِمَتْ يَسَارَهُ قَبْلَ الْعَقْدِ أَمْ لاَ


BAB HADLANAH (MENGASUH ANAK)

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum hadlanah. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْحَضَانَةِ
Secara bahasa, hadlanah diambil dari lafadz “al hadln” dengan terbaca kasrah huruf ha’nya, yaitu bermakna lambung. Karena ibu yang merawat anak kecil akan menempelkan anak tersebut ke lambung sang ibu. وَهِيَ لُغَةً مَأْخُوْذَةٌ مِنَ الْحِضْنِ بِكَسْرِ الْحَاءِ وُهَوَ الْجَنْبُ لِضَمِّ الْحَاضِنَةِ الطِّفْلَ إِلَيْهِ
Dan secara syara’ adalah menjaga anak yang belum bisa mengurusi dirinya sendiri dari hal-hal yang bisa menyakitinya karena belum tamyiz seperti anak kecil dan orang dewasa yang gila. وَشَرْعًا حِفْظُ مَنْ لَا يَسْتَقِلُّ بِأَمْرِ نَفْسِهِ عَمَّا يُؤْذِيْهِ لِعَدَمِ تَمْيِيْزِهِ كَطِفْلْ وَكَبِيْرٍ مَجْنُوْنٍ
Ketika seorang lelaki bercerai dengan istrinya dan ia memiliki anak dari istri tersebut, maka sang istri lebih berhak untuk merawat sang anak. (وَإِذَا فَارَقَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ وَلَهُ مِنْهَا وَلَدٌ فَهِيَ أَحَقُّ بِحَضَانَتِهِ)
Maksudnya merawat sang anak dengan sesuatu yang positif padanya dengan mengurusi makanan, minuman, memandikan, mencuci pakaian, merawatnya saat sakit dan hal-hal positif yang lain bagi sang anak. أَيْ بِتَرْبِيَتِهِ بِمَا يُصْلِحُهُ بِتَعَهُّدِهِ بِطَعَامِهِ وَشَرَابِهِ وَغَسْلِ بَدَنِهِ وَثَوْبِهِ وَتَمْرِيْضِهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ مَصَالِحِهِ

 

Biaya Asuh

 

Biaya hadlanah ditanggung oleh orang yang wajib menafkahi anak tersebut. وَمُؤْنَةُ الْحَضَانَةِ عَلَى مَنْ عَلَيْهِ نَفَقَةُ الطِّفْلِ
Ketika sang istri enggan merawat anaknya, maka hak asuh berpindah pada ibu sang istri. وَإِذَا امْتَنَعَتِ الزَّوْجَةُ مِنْ حَضَانَةِ وَلَدِهَا انْتَقَلَتِ الْحَضَانَةُ لِأُمَّهَاتِهَا

Masa Asuh

 

Hak asuh sang istri terus berlangsung hingga melewati usia tujuh tahun. وَتَسْتَمِرُّ حَضَانَةُ الزَّوْجَةِ (إِلَى) مُضِيِّ (سَبْعِ سِنِيْنَ)
Mushannif mengungkapkan tujuh tahun karena sesungguhnya tamyiz biasanya sudah wujud pada usia tersebut, akan tetapi intinya adalah hingga tamyiz, baik wujudnya sebelum tujuh tahun atau setelahnya. وَعَبَّرَ بِهَا الْمُصَنِّفُ لِأَنَّ التَّمْيِيْزَ يَقَعُ فِيْهَا غَالِبًا لَكِنِ الْمَدَارُ إِنَّمَا هُوَ عَلَى التَّمْيِيْزِ سَوَاءٌ حَصَلَ قَبْلَ سَبْعِ سِنِيْنَ أَوْ بَعْدَهَا
Kemudian setelah itu, bocah yang sudah tamyiz tersebut disuruh memilih di antara kedua orang tuanya. Mana yang dia pilih, maka sang anak diserahkan padanya. (ثُمَّ) بَعْدَهَا (يُخَيَّرُ) الْمُمَيِّزُ (بَيْنَ أَبَوَيْهِ فَأَيَّهُمَا اخْتَارَ سُلِّمَ إِلَيْهِ)
Lalu, jika salah satu dari kedua orang tuanya memiliki kekurangan seperti gila, maka sang anak diserahkan pada orang tua yang satunya selama sifat kurang tersebut masih ada pada orang tua yang satu itu. فَإِنْ كَانَ فِيْ أَحَدِ الْأَبَوَيْنِ نَقْصٌ كَجُنُوْنٍ فَأُلْحِقَ لِلْآخَرِ مَا دَامَ النَّقْصُ قَائِمًا بِهِ
Jika ayahnya sudah tidak ada, maka sang anak disuruh memilih di antara kakek dan ibunya. وَإِذَا لَمْ يَكُنِ الْأَبُّ مَوْجُوْدًا خُيِّرَ الْوَلَدُ بَيْنَ الْجَدِّ وَالْأُمِّ
Begitu juga sang anak disuruh memilih di antara ibu dan orang-orang yang masih memiliki hubungan nasab dari jalur samping seperti saudara atau paman dari ayah. وَكَذَا يَقَعُ التَّخْيِيْرُ بَيْنَ الْأُمِّ وَمَنْ عَلَى حَاشِيَةِ النَّسَبِ كَأَخٍّ وَعَمٍّ..

 

Syarat-Syarat Hadlanah

 

Syarat-syarat hadlanah ada tujuh : (وَشَرَائِطُ الْحَضَانَةِ سَبْعٌ)
Salah satunya adalah berakal. Sehingga tidak ada hak asuh bagi orang gila, baik gilanya terus menerus atau terputus-putus. أَحَدُهَا (الْعَقْلُ) فَلَا حَضَانَةَ لِمَجْنُوْنٍ أَطْبَقَ جُنُوْنُهَا أَوْ تَقَطَّعَ
Lalu, jika gilanya sang istri hanya sebentar seperti sehari dalam satu tahun, maka hak asuhnya tidak batal sebab penyakit tersebut. فَإِنْ قَلَّ جُنُوْنُهَا كَيَوْمٍ فِيْ سَنَةٍ لَمْ يَبْطُلْ حَقُّ الْحَضَانَةِ بِذَلِكَ
Yang kedua adalah merdeka. Sehingga tidak hak asuh bagi seorang budak wanita walaupun majikannya memberi  izin padanya untuk mengasuh. (وَ) الثَّانِيْ (الْحُرِّيَّةُ) فَلَا حَضَانَةَ لِرَقِيْقَةٍ وَإِنْ أَذِنَ لَهَا سَيِّدُهَا فِيْ الْحَضَانَةِ
Yang ketiga adalah agama. Sehingga tidak ada hak asuh bagi wanita kafir atas anak yang beragama islam. (وَ) الثِّالِثُ (الدِّيْنُ) فَلَا حَضَانَةَ لِكَافِرَةٍ عَلَى مُسْلِمٍ
Yang ke empat dan kelima adalah ‘iffah (terhormat) dan amanah. Sehingga tidak ada hak asuh bagi wanita fasiq. (وَ) الرَّابِعُ وَالْخَامِسُ (الْعِفَّةُ وَالْأَمَانَةُ) فَلَا حَضَانَةَ لِفَاسِقَةٍ
Di dalam hak asuh, sifat adil yang bathin tidak disyaratkan harus nampak nyata, bahkan sudah cukup dengan sifat adil yang dhohir saja. فَلَا يُشْتَرَطُ فِيْ الْحَضَانَةِ تَحَقُّقُ الْعَدَالَةِ الْبَاطِنَةِ بَلْ تَكْفِيْ الْعَدَالَةُ الظَّاهِرَةُ.
Yang ke enam adalah bermuqim di daerah sang anak. Dengan artian kedua orang tuanya muqim di satu daerah. (وَ) السَّادِسُ (الْإِقَامَةُ) فِيْ بَلَدِ الْمُمَيِّزِ بِأَنْ يَكُوْنَ أَبَوَاهُ مُقِيْمَيْنِ فِيْ بَلَدٍ وَاحِدٍ
Sehingga, seandainya salah satu dari keduanya ingin bepergian karena ada hajat seperti haji dan berdagang, baik jarak perjalanannya jauh atau dekat, maka anak yang sudah tamyiz atau belum diserahkan kepada orang yang muqim dari kedua orang tuanya hingga yang sedang bepergian telah kembali. فَلَوْ أَرَادَ أَحَدُهُمَا سَفَرَ حَاجَةٍ كَحَجٍّ وَتِجَارَةٍ طَوِيْلًا كَانَ السَّفَرُ أَوْ قَصِيْرًا كَانَ الْوَلَدُ الْمُمَيِّزُ وَغَيْرُهُ مَعَ الْمُقِيْمِ مِنَ الْأَبَوَيْنِ حَتَّى يَعُوْدَ الْمُسَافِرُ مِنْهُمَا
Seandainya salah satu dari kedua orang tuanya ingin pindah daerah, maka sang ayah lebih berhak daripada sang ibu untuk mengasuh, sehingga sang anak diambil oleh sang ayah dari tangan sang ibu. وَلَوْ أَرَادَ أَحَدُ الْأَبَوَيْنِ سَفَرَ نُقْلَةٍ فَالْأَبُّ أَوْلَى مَنَ الْأُمِّ بِحَضَانَتِهِ فَيَنْزِعُهُ مِنْهَا
Syarat ketujuh adalah sepi, maksudnya sepinya ibu sang anak yang tamyiz dari seorang suami yang bukan termassuk dari mahramnya sang anak. (وَ) الشَّرْطُ السَّابِعُ (الْخُلُوُّ) أَيْ خُلُوُّ أُمِّ الْمُمَيِّزِ (مِنْ زَوْجٍ) لَيْسَ مِنْ مَحَارِمِ الطِّفْلِ
Sehingga, jika sang ibu menikah dengan seorang lelaki dari mahramnya sang bocah seperti paman, anak laki-laki paman, atau anak laki-laki saudara laki-laki sang bocah, dan masing-masing dari mereka rela dengan sang bocah, maka hak asuh ibunya tidak bisa gugur sebab pernikahan. فَإِنْ نَكَحَتْ شَخْصًا مِنْ مَحَارِمِهِ كَعَمِّ الطِّفْلِ أَوِ ابْنِ عَمِّهِ أَوِ ابْنِ أَخِيْهِ وَرَضِيَ كُلٌّ مِنْهُمْ بِالْمُمَيِّزِ فَلَا تَسْقُطُ حَضَانَتُهُ بِذَلِكَ
Jika salah satu tujuh syarat tersebut tidak terpenuhi oleh sang ibu, maka hak asuhnya menjadi gugur sebagaimana penjelasan yang telah diperinci. (فَإِنِ اخْتَلَّ شَرْطٌ مِنْهَا) أَيِ السَّبْعَةِ فِيْ الْأُمِّ (سَقَطَتْ) حَضَانَتُهَا كَمَا تَقَدَّمَ شَرْحُهُ مُفَصَّلًا .

 

[1][1] Hal ini memiliki kejanggalan, dan penjelasannya terdapat di dalam kitab al Bajuri.

2 tanggapan pada “Bab Nikah Kitab Fathul Qorib

  1. Ping-balik: Terjemah Kitab Fathul Qorib - Islamiy.com

Komentar ditutup.

Kembali ke Atas