Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Hukum Bayi Tabung dalam Islam

Hukum Bayi Tabung dalam Islam
BAYI TABUNG DALAM ISLAM

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya Sigit Ahmad Fauzan dari Universitas Indraprasta PGRI Ingin bertanya..

Melihat perkembangan zaman dan teknologi yang semakin berkembang, banyak fenomena yang terjadi seperti kasus bayi tabung, dimana orang bisa punya keturunan ataupun anak tanpa harus mengalami proses hamil. Misal seperti kasus almarhumah Julia Perez, beliau pernah ingin punya anak tapi karena rahimnya tidak kuat, karena faktor penyakit, sehingga mencari jalan pintas yaitu dengan cara bayi tabung, namun belum terwujud.

Bagaimanakah dalam pandangan agama tentang bayi tabung, jika itu berhasil? Apakah nantinya si bayi itu mempunyai hak waris atau tidak? Ulama mana yang membolehkan dan tidak, dalam kasus bayi tabung tersebut! Mohon penjelasannya. Terimakasih. Wassalamualaikum Wr. Wb

JAWABAN

Pertama, secara teknis, metode bayi tabung (Arab: atfal anabib – أطفال الأنابيب) atau inseminasi buatan (Arab: talqih shina’i) ada dua cara yaitu:

a) FERTILAZION INI Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian di proses di vitro (tabung) dan kemudian kalau sudah terjadi pembuahan lalu ditranfer di rahim istri.

b) Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka segera ditanam di saluran telur (Tuba palupi).

Kedua, dua metode bayi tabung di atas dibolehkan dengan syarat,
a) sperma pria dan ovum/mani wanita yang dimasukkan ke dalam alat berasal dari pasangan suami istri yang sah. Tidak boleh sperma dari pria dan ovum wanita yang tidak ada hubungan suami istri.

b) Hasil inseminasi tidak boleh diletakkan di rahim wanita lain. Harus ditaruh di rahim ibunya sendiri / pemilik ovum. Walaupun wanita lain itu adalah salah satu istri si pria.

Hal ini berdasarkan pada
a) dalil umum haramnya berzina pada QS Al-Isra 17:32.
b) Hadis Nabi atas haramnya meletakkan mani pria di rahim wanita bukan istrinya sebagaimana terdapat dalam Al-jami’ul Shoghir hadis no. 8030


شرك أعظم عند الله من نطفة وضعها رجل فى رحم لايحل له. رواه ابن الدنا عن الهشيم بن مالك الطائ الجامع الصغير

Artinya: Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik (menyekutukan Allah ) disisi Allah dari pada maninya seorang laki-laki yang ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal baginya. (HR. Ibnu Abid-dunya dari Hasyim bin Malik al-thoi).

Dan hadis sahih sebagaimana disebut dalam kitab Hikmat Tasyri’ wa Sifatuhu, hlm. 2/48 Nabi bersabda:


من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسق ماءه زرع غيره

Artinya: Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali menyiram air (maninya ) pada lahan tanaman (rahim) orang lain.

Cara mengeluarkan sperma harus dengan cara yang muhtarom artinya dibolehkan secara syariah.
Al-Hashni dalam Kifayah al-Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtishar, hlm. 1/478, menyatakan:


(فَائِدَةٌ) لَوِ اسْتَمْنَى الرَّجُلُ مَنِيَّهُ بِيَدِ امْرَأَتِهِ أَوْ أَمَتِهِ جَازَ ِلأَنَّهَا مَحَلُّ اسْتِمْتَاعِهَا

Artinya: Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (beronani) dengan tangan istrinya , maka hal tersebut boleh karena istri itu memang tempat bersenang-senangnya.

Hal ini dijelaskan dengan lebih detail dalam kitab Bujairami Iqna’, hlm. 4/36, sbb:


المراد بالمنى المحترام حال خروجه فقط على ما اعتمده مر وان كان غير محترم حال الدخول، كما اذا احتلم الزوج وأخذت الزوجة منيه فى فرجها ظانة أنه من منىّ اجنبى فإن هذا محترم حال الخروج وغير محترم حال الدخول وتجب العدة به إذا طلقت الزوجة قبل الوطء على المعتمد خلافا لإبن حجر لأنه يعتبر أن يكون محترما فى الحالين كماقرره شيخنا.

Artinya: (Kesimpulan) yang dimaksud mani muhtarom (mulia) adalah pada waktu keluarnya saja, seperti yang dikuatkan Imam Romli, meskipun tidak muhtarom pada waktu masuk. Contoh: suami bermimpi keluar mani, dan istrinya mengambilnya (air mani tersebut) lalu dimasukan ke farjinya dengan persangkaan, bahwa air mani tersebut milik laki-laki lain (bukan suaminya) maka hal ini dinamakan mani muhtarom keluarnya, tapi tidak muhtarom waktu masuknya ke farji, dan dia wajib punya iddah (masa penantian) jika suaminya menceraikan sebelum disetubui. Menurut yang mu’tamad, berbeda dengan pendapatnya imam Ibnu Hajar yang mengatakan, kriterianya harus muhtarom keduanya (waktu masuk dan keluar) seperti ketetapan dari Syaikhuna (Rofi’i Nawawi).

Pendapat di atas berdasarkan hasil keputusan KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA
Di Kaliurang Yogyakarta Pada Tanggal 30 Syawal 1401 H. / 30 Agustus 1981 M sebagaimana dimuat di buku Ahkamul Fuqaha no. 331

Selanjutnya pada 1986 terdapat Hasil Keputusan Akademi Fikih Islam Dunia (Majmak Al-Fiqh Al-Islami) yang diadakan di Makkah, Arab Saudi, pada 8-13 Sofar 1407 H; 11 s/d 16 Oktober 1986 dan dimuat di Majallah Al-Majmak, edisi 3/1/423, menjelaskan sbb:


بعد استعراضه لموضوع التلقيح الصناعي ” أطفال الأنابيب ” ، وذلك بالاطلاع على البحوث المقدمة ، والاستماع لشرح الخبراء والأطباء ، وبعد التداول تبين للمجلس : “أن طرق التلقيح الصناعي المعروفة في هذه الأيام هي سبع :

الأولى : أن يجرى تلقيح بين نطفة مأخوذة من زوج وبييضة مأخوذة من امرأة ليست زوجته ثم تزرع اللقيحة في رحم زوجته .

الثانية : أن يجرى التلقيح بين نطفة رجل غير الزوج وبييضة الزوجة ثم تزرع تلك اللقيحة في رحم الزوجة .

الثالثة : أن يجرى تلقيح خارجي بين بذرتي زوجين ثم تزرع اللقيحة في رحم امرأة متطوعة بحملها .

الرابعة : أن يجرى تلقيح خارجي بين بذرتي رجل أجنبي وبييضة امرأة أجنبية وتزرع اللقيحة في رحم الزوجة .

الخامسة : أن يجرى تلقيح خارجي بين بذرتي زوجين ثم تزرع اللقيحة في رحم الزوجة الأخرى .

السادسة : أن تؤخذ نطفة من زوج وبييضة من زوجته ويتم التلقيح خارجيا ثم تزرع اللقيحة في رحم الزوجة .

السابعة : أن تؤخذ بذرة الزوج وتحقن في الموضع المناسب من مهبل زوجته أو رحمها تلقيحا داخليّاً .

وقرر :

أن الطرق الخمسة الأول كلها محرمة شرعا وممنوعة منعا باتا لذاتها ، أو لما يترتب عليها من اختلاط الأنساب ، وضياع الأمومة ، وغير ذلك من المحاذير الشرعية .

أما الطريقان السادس والسابع فقد رأى مجلس المجمع أنه لا حرج من اللجوء إليهما عند الحاجة مع التأكيد على ضرورة أخذ كل الاحتياطات اللازمة ” انتهى .

Artinya: Setelah meninjau topik seputar inseminasi buatan “bayi tabung” dan meninjau pembahasan yang lain dan mendengar penjelasan para pakar dan dokter dan setelah diskusi maka menjadi jelas bagi majlis bahwa metode inseminasi buatan atau bayi tabung yang populer di zaman ini ada tujuh cara:

Yang pertama: melakukan inokulasi antara sperma yang diambil dari seorang suami dan sel telur yang diambil dari seorang wanita yang bukan istrinya, dan kemudian ditanamkan di dalam rahim istrinya.

Yang kedua: Bahwa penyerbukan terjadi antara sperma lelaki selain dari suami dan sel telur isteri, maka penyerbukan itu ditanamkan di dalam rahim isteri.

Yang ketiga: bahwa pembuahan eksternal dilakukan di antara benih pasangan yang sudah menikah, dan kemudian penyerbukan ditanamkan di dalam rahim wanita sukarelawan (surrogate) yang mengandungnya.

Keempat: vaksinasi eksternal dilakukan antara benih pria asing dan telur wanita asing, dan hasilnya ditanamkan di dalam rahim istri.

Kelima: bahwa pembuahan eksternal dilakukan antara benih pasangan yang sudah menikah, dan kemudian hasilnya ditanamkan di dalam rahim istri yang lain.

Keenam: mengambil sperma dari suami dan telur dari istrinya, dan penyerbukan dilakukan secara eksternal, dan kemudian hasilnya ditanamkan di dalam rahim istri.

Ketujuh: Benih suami diambil dan disuntikkan ke posisi yang sesuai dari vagina atau rahim istrinya.

Dari praktek yang terjadi di atas, Majelis memutuskan:

Bahwa lima metode pertama semuanya dilarang oleh hukum dan dilarang keras untuk diri mereka sendiri, atau karena percampuran garis keturunan, kehilangan peran sebagai ibu, dan tindakan pencegahan hukum lainnya.

Adapun jalan keenam dan ketujuh, dewan melihat bahwa tidak ada yang salah dengan menggunakan jalan itu saat dibutuhkan, sambil menekankan perlunya mengambil semua tindakan pencegahan yang diperlukan.

KESIMPULAN

Bayi tabung atau inseminasi buatan adalah boleh dengan syarat:
a) Sperma berasal dari suami dan ovum dari istri yang sah.
b) Hasil bibit harus ditanamkan di rahim istri. Tidak boleh ditaruh di rahim perempuan lain.

Baca juga: Menikahi Wanita Hamil Zina, Bolehkah?

Kembali ke Atas