Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Sanggahan pada Gus Najih: Dalil Perlunya Kitab Sezaman

Judul asli: Muhammad Najih Sarang di Buku Resmi Rabitah Alwiyyah

Penulis: Penulis Imaduddin Utsman Al-Bantani

Sumber: PP NU

Sebagian dari yang disampaikan Muhmamad Najih Sarang (MNS) dalam Kata Pengantar di buku resmi Rabitah Alwiyah: Keabsahan Nasab Ba’alwi, yang ditulis Hanif Alatas dkk adalah sebagai berikut:

“Selanjutnya, buku ini secara tegas membuktikan bahwa klaim yang sering diembuskan oleh pihak-pihak pembatal nasab mengenai syarat kitab se- zaman sebagai prasyarat keabsahan nasab adalah omong kosong. Tidak ada referensi ilmiah yang mendukung klaim tersebut…” (h. xviii)

MNS tidak memahami bab “Thara’iq Itsbat al-Nasab” (metode-metode menetapkan nasab). Ia tampak kurang literasi. Sudah penulis sampaikan dalam berbagai kesempatan, bahwa karena ilmu nasab terutama nasab jauh seperti nasab kepada Nabi Muhammad SAW adalah termasuk dalam lingkup ilmu sejarah, maka untuk memvalidasi kesahihan klaim suatu silsilah nasab yang jauh, ia memerlukan sumber-sumber rujukan baik sumber primer maupun sekunder. Dan yang demikian itu adalah sesuatu yang sudah mafhum tidak mesti ditanyakan lagi referensinya.

Daftar Artikel soal Nasab Habib

  1. Kesalahan KH Fahrur Rozi dalam Membela Nasab Baalawi
  2. Pembelaan Kurtubi Lebak atas Nasab Baalwi
  3. Betulkah al-Sakhawi mengitsbat Nasab Baalwi? Tanggapan Kyai Imaduddin
  4. Tanggapan Kyai Imad atas Itsbat Yusuf an-Nabhani pada Nasab Baalwi
  5. Ini Makalah Kyai Imaduddin yg akan Disampaikan di UIN Jakarta bersama Prof. Dr. Said Agil Al-Munawar
  6. Nasab Ba’Alwi dalam Pandangan Ibnu Hajar al-Haitami
  7. Apakah Kitab Al-Raud al-Jali karya Al-Zabidi Dapat Dipercaya? Respons Kyai Imad pada Kyai Afifuddin
  8. Mengapa Asumsi Walisongo Keturunan Baalwi itu Tidak Benar
  9. Surat Kyai Imaduddin kepada Habib Taufik Segaf (Ketua RA)
  10. Respons KH Imaduddin Utsman pada Gus Najih Maimun
  11. Isbat Baalwi oleh Mahdi Rojai, Tanggapan Kyai Imaduddin
  12. Tanggapan atas Sanggahan Habib dari Oman
  13. Pakar DNA Yaman: Habib bukun cucu Nabi
  14. Tanggapan Kyai Imaduddin atas Habib Muhdor Jember
  15. Pemalsuan sejarah Yaman: kesaksian seorang ulama Yaman
  16. Sejarawan Yaman, Al-Barihi, Di Abad 9 H. Tidak Menyebut Ba’alwi Sebagai Keturunan Nabi Muhammad SAW
  17. 9 Hijrah Tidak Menyebut Ba’alwi Sebagai Keturunan Nabi Muhammad SAW

Buku Kyai Imaduddin soal Nasab

Tetapi baiklah, jika memang yang penulis hadapai adalah orang yang memang belum memahami permasalahan seperti MNS ini, penulis akan sampaikan pendapat-pendapat ulama tentang kitab sezaman atau yang mendekati berikut ini:

Silahkan baca dalam Kitab Ushulu ‘Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al-Ansab karya pakar ilmu nasab Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani halaman 76-77 dikatakan:

وعندما نحقق النسب فان المصادر التى يمكن ان نستقي منها النسب يجب ان تكون من كتب الانساب القديمة التي كتبت فيما قبل العصر الحديث حيث كان الناس اقرب الى معرفة اصولهم

“Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita mengambil darinya, wajib berupa kitab-kitab nasab terdahulu yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka”

Ia juga mengatakan dikatakan:

ولا يمكننا الحديث عن النسب القديم بناءاً على ما ورد في الكتب الحديثة المستندة إلى كلام غير منطقى أو على الذاكرة الشعبية فقط ،

“Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab yang baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja” (lihat h. 47)

Dalam Kitab “Dalil Insya’I wa Tahqiqi Salasili al Ansab” karya Dr. Imad Muhammad al-‘Atiqi dikatakan:

ويختلف المرجع عن المصدر في ان المصدر اقرب زمان ومكان وبيئة الاحداث التي يرويها اما المرجع فهو مختلف عن المصدر في بعض او كل العناصر السابقة فيحتاج مؤلف المرجع الى مصادر ومواد اولية اخرى لانجاز بحثه ويترتب على ذلك ان المصدر يكون اجدر بالاعتبار في حالة التعارض مع المرجع مالم يحتو المرجع على تحليل دقيق يفند اوجه التعارض من خلال مصادر او مواد اولية اخرى

“Marji’ (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya. Adapun marji’ berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur sebelumnya. Maka penulis marji’ membutuhkan mashdar dan sumber lain yang primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik dihitung apabila terjadi pertentangan dengan marji’, kecuali jika marji’ tersebut memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan primer lainnya”. (lihat h. 58)

Jadi jelaskan, pak. Bahwa kitab-kitab sezaman atau yang mendekati itu adalah sumber dalam meneliti nasab. Dengan kitab-kitab itu kita akan mengetahui apakah pengakuan nasab dari suatu klan itu sahih atau palsu. Jadi apa yang Anda ungkapkan terbukti bahwa Anda kurang literasi.

MNS juga mengatakan:

“Sebagai bagian dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, kita seharusnya memelihara i’tiqâd baik dan percaya penuh terhadap nasab para Habaib Bani ‘Alawi. Menolak nasab mereka berarti telah terjerumus dalam keharaman tha’nu finnasab (menuduh nasab orang) yang dalam hadis dijelaskan sebagai kekufuran.” (h. xviii)

Kalimat di atas aneh. Apa kaitan ajaran Ahlussunnah Waljama’ah dengan nasab klan Ba’alwi. Jangan-jangan MNS belum faham makna Ba’alwi. Jangan-jangan ia memahaminya bahwa kalimat Ba’alwi itu bernisbat kepada nama Ali bin Abi Thalib. Wahai MNS, Ba’alwi itu bukan bernisbat kepada nama Ali bin Abi Thalib, tetapi kepada Alwi bin Ubaid atau Alwi bin Himham. Jadi Ba’alwi itu maknanya adalah anak keturunan Alwi, atau anak keturunan Himham, bukan anak keturunan Sayyidina Ali.

Sepanjang yang penulis tahu sebagaian dari ajaran Ahlussunah Waljamaah itu adalah tentang mencintai Ahli Bait Nabi, bukan mencintai klan Ba’alwi. Sedangkan Ba’alwi bukan Ahli Bait Nabi. Bagaimana Klan Ba’alwi menjadi Ahli Bait Nabi, sedangkan mereka keturunan Nabi saja bukan. Lalu apa alasan MNS mengharuskan umat Islam percaya penuh terhadap pengakuan Klan Ba’alwi. apa alasannya. Mana dalilnya?

Memasukan orang yang bukan keturunan Nabi seperti Klan Ba’alwi menjadi bagian keturunan Nabi, dosanya sama dengan menafikan orang yang benar-benar keturunan Nabi menjadi bukan keturunan Nabi dan masuk dalam kategori kekufuran. Orang yang tidak percaya kepada Klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi hukumnya adalah men-tha’n Klan Ba’alwi, tetapi orang yang memasukan Klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi dengan banyaknya dalil bahwa mereka bukan keturunan Nabi hukumnya dia telah men-tha’n nasab Nabi. Bandingkan wahai MNS, antara penulis yang telah men-tha’n Klan Ba’alwi dan anda yang telah men-tha’n nasabnya Baginda Nabi.

Memasukan orang yang bukan keturunan Nabi sebagai keturunan Nabi telah merendahkan harkat martabat Nabi dan dzuriyah Nabi yang asli. Karena genetic kenabian memiliki sifat “iradat al-tathir minallah” (diinginkan kesuciannya dari Allah) yang diwarisi dari Ahli Bait Nabi. Potensi mereka menjadi orang yang shalih dzahir dan batin itu sangatlah tinggi. Hal demikian itu tidak dimiliki oleh genetic selainnya. Maka ketika anda memasukan orang yang bukan keturunan Nabi seperti Alwi bin Ubaid sebagai keturunannya, maka anda akan bertanggung jawab jika dikemudian hari banyak keturunan Alwi bin Ubaid berbuat dosa dan kerendahan, lalu manusia menyematkan hubungan mereka dengan Baginda Nabi. Wahai MNS, sesungguhnya khathar (bahaya) yang engkau miliki dengan memasukan Ba’alwi kepada bagian keturunan Nabi lebih besar daripada yang penulis miliki.

MNS juga mengatakan:

“Selain itu juga, menolak nasab para Habaib Bani ‘Alawi sama artinya dengan sû’ul adab atau menolak kredibilitas para kiai dan guru-guru kita yang telah mengakui dan menerima nasab tersebut…”

Banyak sekali nama-nama yang disebutkan MNS yang katanya mengakui nasab Klan Ba’alwi. satu nama yang MNS lupakan, yaitu penulis. Penulis tahun 2018 telah menulis kitab Al-Fikrat al-Nahdliyyat yang di dalam kitab tersebut penulis mengitsbat Ba’alwi. tetapi pengitsbatan itu bukan hasil penelitian dari kitab-kitab nasab, ia hanya beri’timad (bersandar) kepada husnudzon dan Al-Syuhrah wa al-Istifadlah saja. Ketika penulis tahun 2022 meneliti secara dalam dari berbagai macam sumber-sumber, baik kitab-kitab nasab maupun kitab-kitab sejarah, maka penulis berkesimpulan bahwa pengakuan Klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi itu batal. Penulis yakin, nama-nama ulama yang disebutkan oleh MNS itu, jika telah sampai kepada mereka kitab-kitab nasab abad ke-4 sampai abad ke-9 maka mereka juga akan membatalkan nasab Ba’alwi.

Sebagai seorang ulama MNS harusnya mengajarkan kepada para santrinya bagaimana menggunakan “nalar kritis ilmiyah” dalam setiap menghadapi masalah keagamaan, bukan malah mengajarkan “taklid buta”. MNS pandai mengkritik pengurus PBNU, mengkritik Presiden dan pejabat-pejabat Negara, tetapi mengapa dalam ilmu pengetahuan “nalar kritis”-nya tumpul.

MNS harus ingat ucapan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din:

ما من أحد إلا يؤخذ من علمه ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Tidak ada seorangpun keculai ilmunya dapat diterima atau ditolak kecuali Rasulullah SAW.” (Ihya Ulum al-Din, Maktabah Syamilah, 1/78)

MNS juga, jika ia sudah mengaji kitab Ihya Ulum a-din dengan pemahaman yang benar, maka akan menemukan keterangan bahwa para ulama zaman dahulu biasa berbeda dengan gurunya dan itu tidak dianggap sebagai “su’ul adab”. Bagaimana Imam Syafi belajar kepada Imam Malik lalu ia berbeda pendapatnya dengan Imam Malik bahkan membuat Madzhab Fikih sendiri; bagaimana Imam Ahmad belajar kepada Imam Syafi’I lalu ia berbeda pendapat dengan Imam Syafi’I bahkan ia pula membuat Madzhab Fikih sendiri. Imam Al-Ghazali meriwayatkan, Ibnu Abbas belajar ilmu fikih kepada Zaid bin Tsabit lalu ia berbeda dengannya dalam masalah fikih; Ibnu Abbas belajar Ilmu Qiraat kepada Ubay bin Ka’ab lalu ia berbeda dengannya dalam Ilmu Qiraat.

Imam Al-Ghazali berkata:

وقد كان تعلم من زيد بن ثابت الفقه وقرأ على أبي بن كعب ثم خالفهما في الفقه

Terjemah:

“Dan dulu Ibnu Abbas belajar fikih kepada Zaid bin Tsabit dan belajar qira’at kepada Ubay bin Ka’ab lalu ia berbeda pendapat dengan keduanya” (Ihya Ulum al-Din, Maktabah Syamilah 1/7)

Jadi berbeda dengan guru dalam ilmu pengetahuan itu adalah hal yang dicontohkan oleh para ulama-ulama Ahlussunah wa al-jamaah. Tidak seperti MNS yang mendoktrin muridnya harus sama pandangannya tentang nasab Ba’alwi bahkan mengancam jika muridnya tidak mengakui Ba’alwi seperti dirinya maka ilmunya tidak barakah. Sungguh itu bukan adab para ulama tuntunan Ahlussunah wa al-Jama’ah. Itu mungkin ajaran sekte Ba’alwi. madzhab doktrin dan khurafat. Bukan ajaran NU dan Ahlussunah wa al-Jama’ah yang ilmiyah.

Dalam tradisi ulama-ulama Ahlussunnah wa al-Jama’ah, murid itu didik untuk menjadi manusia merdeka dan berilmu pengetahuan. Bukan untuk menjadi budak gurunya selamanya. Sebagian pondok pesantren yang membuat selebaran untuk alumninya untuk mengikuti pendapat gurunya tentang pendapat keagamaan atau hanya sekedar politik electoral pemilu adalah tidak patut dicontoh, itu menunjukan seorang guru tidak ikhlas dalam mendidik sehingga ia mengemis balas jasa kepada muridnya berupa taklid buta seumur hidup. Sungguh kasihan seorang murid yang ditakdirkan mendapat guru seperti itu dalam hidupnya.

Kembali kepada pembahasan nasab. wahai MNS, apakah anda memiliki dalil ketika mengatakan bahwa jika Murtadla al-Zabidi telah mengitsbat nasab Ba’alwi lalu kita yang hidup sekarang wajib bertaklid kepadanya? Mana dalilnya? Kitab apa? Halaman berapa?

Kalau penulis punya dalil ketika mengatakan bahwa jika seorang ulama, seperti Murtadla al-Zabidi, mengitsbat nasab yang bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya maka itsbat itu tidak dapat diterima. Penulis juga punya dalil bahwa kita sebagai seorang peneliti nasab ketika menemukan itsbat ulama tentang suatu nasab dalam suatu kitab, maka kita harus memverifikasi itsbat itu untuk mengetahui apakah itsbat itu betul atau tidak.

Ini dalilnya, wahai MNS. Pakar nasab Syekh Kholil bin Ibrahim mengatakan:

وينبغي على باحث الأنساب أن لا يقدس النصوص، فكل نص عدا كلام الله وحديث رسوله صلى الله عليه واله، فهو يخضع للتحقيق والتدقيق وهو معرض للخطأ والصواب

Terjemah:

“Dan seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan didalami; ia bisa salah dan benar.” (Muqaddimat h. 85)

MNS juga mengatakan: “Gus Dur, langsung turun tangan untuk membela kehormatan para Habaib.”

Pertama, penulis merasa aneh ketika seorang MNS mengutip pendapat Waliyullah Gusdur. Bukankah MNS ketika Gusdur hidup mengatakan Gus Dur makan uang haram; Gus Dur liberal; Gusdur perusak NU. Lah kok sekarang mengutip pendapat Gus Dur untuk dijadikan hujjah. Mungkin ini adalah salah satu “karomah” dari seorang wali seperti Gus Dur: seorang pembenci seperti MNS pun ketika Gus Dur hidup, akan berubah menjadi pengagum ketika ia telah wafat. Inilah keramat kiai-kiai NU.

Kedua tentang ucapan Gus Dur yang dikutip itu di sana tidak ada satupun kata “habib” atau “Ba’alwi” disebutkan Gus Dur. Maksud dari yang Gus Dur katakan adalah bahwa kita tidak boleh menyamakan keturunan Rasulullah dengan yang bukan keturunan Rasulullah. Itu pernyataan sangat betul sekali. Tetapi Gus Dur tidak mengatakan Klan Ba’alwi itu cucu Rasulullah. Pernyataan Gus Dur itu respon terhadap ungkapan seorang tokoh bahwa Rasulullah tidak punya keturunan, jelas itu keliru. Jadi konteksnya Gus Dur sedang membela Rasulullah yang dikatakan tidak mempunyai keturunan bukan sedang membela Ba’alwi.

MNS juga mengatakan:

“Dalil ilmiah saya dalam masalah ini adalah kenyataannya tidak ada satu pun dari ahli nasab pada masa lalu yang menafikan keterhubungan nasab keluarga Bani ‘Alawi dengan Rasulullah Saw. Oleh karena itu, konsep dasar yang digunakan dalam fikih madzahib al-arba’ah adalah mempertahankan sesuatu berdasarkan apa yang telah ada استصحاب الأصل وهو بقاء ما كان على ما كان yaitu keadaan yang riil (yaqin). Keyakinan ini tidak bisa dihapus dengan keraguan atau dengan upaya mempertanyakan, termasuk oleh penelitian Imaduddin dan اليقين لايزال بالشك) lainnya”

Untuk tetap meyakini nasab Ba’alwi sebagai keturunan Nabi, MNS menggunakan dalil sebuah kaidah Ushul Fikih:

بقاء ما كان على ما كان و الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ

Terjemah:
“Tetapnya sesuatu sebagaimana adanya dan keyakinan tidak bisa dirubah oleh keraguan”

MNS lupa bahwa dua kaidah itu berasal dari hadist Nabi yang berbunyi:

إذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِد حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Terjemah:

“Jika salah seorang di antara kamu menemukan dari perutnya sesuatu yang menyulitkannya: apakah telah keluar dari perut sesuatu (kentut) atau tidak, maka jangan keluar dari masjid (sholat) sampai ia mendengar suara atau bau.” (H.R. Muslim)

Maksud hadits itu adalah keyakinan kita belum kentut itu gugur jika kita mendengar suara kentut dari kita. Jika orang yang mendengar dan merasa dirinya kentut lalu ia masih meyakini bahwa dia belum kentut maka itu bukan keyakinan tetapi kebodohan. Begitu juga keyakinan seseorang bahwa nasab Ba’alwi itu sahih tidak ada artinya ketika dalil yang membatalkan itu telah datang. Dalinya sudah datang kitab-kitab nasab abad ke-4 sampai ke-9 yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunya anak bernama Ubaid. Siki endi dalilmu?

MNS juga mengatakan:

“Adapun tidak adanya penyebutan silsilah nasab mereka dalam buku- buku sebelum al-Burqah al-Musyiqah bukanlah bukti putusnya nasab mereka, karena sudah adanya dokumen silsilah mereka yang dimiliki dan disebutkannya Ubaidullah dalam dokumen tersebut…”

Bagaimana MNS bisa memahami kebenaran itu secara terbalik. Harusnya MNS curiga kenapa setelah 550 tahun baru muncul pengakuan dari Ali al Sakran bahwa mereka keturunan Ahmad bin Isa? kenapa sebelumnya tidak ada ulama nasab yang mencatat Ubaid/Ubaidillah/Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa? kenapa Imam Al-Fakhrurazi di abad ke-6 H. hanya menyebut anak Ahmad bin Isa tiga: Muhammad, Ali dan Husain? Kenapa tiba-tba muncul di abad ke-9 H. bahwa Ubaid adalah anak Ahmad bin Isa?

Harusnya begitu cara berfikir seorang yang mencari kebenaran. Bukan dengan: karena di abad sembilan sudah dicatat ada nama Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa berarti sebelumnya juga dicatat. Bagaimana kalau Ali al-Sakran berdusta? Kira-kira mungkin tidak dia berdusta? Kalau dia malaikat mustahil dia berdusta; kalau dia Nabi mustahil dia berdusta karena Nabi itu maksum. Tapi Ali al-Sakran bukan malaikat juga bukan Nabi, maka kemungkinan dia berdusta atau minimal mendapat informasi yang salah itu mungkin. Begitu dong cara meneliti sebuah kesahihan. Kemudian tanpa menganggapnya berdusta kita bisa meneliti kitab-kitab nasab sebelum abad ke-9 H. apakah yang disebutkan oleh Ali al-Sakran itu terkonfirmasi atau tidak. Setelah diteliti tidak ada kitab nasab yang menyebut nama Ubaid/ Ubaidillah/Abdullah sebagai naka Ahmad. maka, pengakuan di abad sembilan itu bahasa halusnya “tidak terkonfirmasi”, bahasa kasarnya “dusta”. Begitu.

MNS juga mengatakan:

“Tidak dapat dimungkiri bahwa bisa dipastikan, argumen apa pun yang membela nasab Bani ‘Alawi akan mendapat kecaman dari mereka yang mem- batalkan nasab-di mana penolakan itu terkesan sangat masif dan terorganisasi- baik dengan gaya yang sok ilmiah maupun dengan narasi caci-maki. Sikap ini menunjukkan keangkuhan dan ketidakmauan untuk menerima kebenaran. Ini seperti Iblis, yang angkuh dan selalu mencari celah untuk menolak kebenaran.”

Loh loh, apa tidak terbalik ini. Siapa yang tidak menerima kebenaran. Anda yang tidak mau menerima kebenaran. Penulis sampaikan dalil: ini kitab Al-Syajarah al-Mubarakah abad ke-6 anak Ahmad Cuma tiga Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada Ubaid. Anda tidak mau menerima dalil itu dan mengabaikannya. Bahkan menuduh itu kitab Syi’ah hanya karena kitab itu menjadi dalil batalnya nasab Ba’alwi. sikap angkuh tidak mau menerima dalil seperti itulah yang seperti Iblis, bukan penulis. Dalil yang anda sampaikan semuanya telah terbantah. Bukan penulis tidak menerima dalil anda, tetapi dalil anda salah. Bagaimana anda berdalil untuk kesahihan nasab Ba’alwi hanya berdasar catatan Ba’alwi. seorang hakim tidak mungkin menerima kesaksian dari tertuduh mencuri bahwa ia tidak mencuri. Pengakuan tertuduh itu diabaikan: hakim mencari bukti dari keterangan orang lain. Kan begitu? Kalau mencari dalil batalnya nasab Ba’alwi jangan dari Ba’alwi, tentu mereka maunya nasab mereka tersambung, tetapi carilah dari kesaksian para ulama dalam kitab-kitab nasab. kitabnya harus bertitimangsa sebelum pengakuan mereka. Begitu. Kitabnya kan sudah ada Al-Syajarah al-Mubarakah, kenapa anda tidak mau menerima?

MNS juga mengatakan:

“Keangkuhan yang tergambar begitu nyata saat Imaduddin melontarkan pernyataan, “Meskipun ulama sedunia menetapkan Ba ‘Alawi, saya, Imaduddin Utsman akan tetap menolaknya. Saya siap bertanggung jawab dunia-akhirat…”

Kalimat itu tidak lengkap, saudara. Yang lengkap adalah: “Meskipun ulama sedunia menetapkan Ba ‘Alwi karena suatu hal”. “karena suatu hal”. Apa itu “suatu hal”? hal yang selain kebenaran. Missal karena dia pendukung FPI, dan pemimpin FPI itu dari Klan Ba’alwi, maka ia membelanya karena itu tanpa ada dalil yang benar, maka penulis wajib menolaknya agar nasab Rasululah terjaga dari para dukhala (penyusup) dan lusaqa (pencangkok).

Lalu tentang bahwa penulis menukil bahwa seorang pemusik adalah seorang wali itu sah-sah saja. Tidak ada orang yang tahu siapa orang yang dicintai Allah, semuanya hanya meraba-raba saja. Seorang pemusik yang siap berdiri membela kebenaran seperti Rhoma Irama lebih pantas dihusnudzoni sebagai seorang wali, daripa orang yang seperti ulama tapi berdiri membela pemalsu nasab dzuriyah Nabi. Lalu jika dikatakan pemusik adalah seorang fasik, bukankah Ba’alwi juga banyak para pemusik seperti Ahmad Albar, Fahmi Sahab, Muksin Alatas, Husain Mutahar, Lutfi bin Yahya dll. Bahkan mayoritas mereka suka berjoged yang dalam fikih adalah termasuk ciri kefasikan? Jika demikian, ketika anda membela Ba’alwi berarti anda sedang membela orang-orang yang fasik.

MNS juga mengatakan:

“Saya merasa prihatin dan heran melihat kelompok-kelompok ini begitu sigap menolak argumen tentang nasab Bani ‘Alawi, namun acuh tak acuh pada kemungkaran yang lebih nyata di sekitar kita. Kasus-kasus seperti judi online, riba, kejahatan-kejahatan pemerintah,…”

Judi online memang haram tetapi itu penangannannya serahkan kepada pihak yang berwenang; hal itu bisa dilakukan oleh polisi dan penegak hukum lainnya. Tetapi tentang nasab Ba’alwi ini polisi tidak mengerti, Pak. Kasus-kasus lain, seperti riba, usia calon wapres, Pelarangan untuk Paskibraka, PP kesehatan, aborsi, pelarangan sunat bagi wanita, pelarangan jual rokok eceran itu hal-hal sudah banyak yang memperhatikan. Tetapi, nasab Ba’alwi yang batal ini, kiai-kianya aja banyak yang malah membela nasab yang batal, Pak, termasuk Anda. Sedangkan bahayanya dalam beberapa kasus sosial lebih bahaya dari hanya sekedar pelarangan jilbab bagi seorang Paskibraka untuk alasan keseragaman.

Di mana Anda ketika ada Ba’alwi yang merubah sejarah NU? Di mana Anda, ketika kiai-kiai keturunan Walisongo ditampar oleh oknum Ba’alwi hanya karena memakai gelar “habib”? ke mana Anda ketika oknum Ba’alwi mengatakan bahwa Indonesia ini “Bintu Tarim”? ke mana Anda ketika oknum-oknum Ba’alwi meminta uang secara paksa kepada kiai-kiai? Ke mana Anda ketika makam-makam palsu didirikan atas nama tokoh Ba’alwi? ke mana Anda ketika Faisal Assegaf menghina Mbah Hasyim Asy’ari dan menyamakan sejarahnya dengan karya-karya fiksi Ko Ping Hoo? Ke mana Anda ketika Rizieq Syihab mengatakan Waliyullah Gus Dur Radiyallahu ‘anhu sebagai buta mata buta hati? Ke mana Anda ketika oknum Ba’alwi mengharamkan anak-anak muda masuk Ansor? Ke mana Anda ketika oknum Ba’alwi mengatakan seorang habib yang bodoh lebih mulia dari 70 kiai yang alim? ke mana Anda ketika ada oknum Ba’alwi menjadi begal motor di Kalimantan? Ke mana Anda Ketika ada oknum Ba’alwi yang mencuri motor seorang Kades di Bekasi? Ke mana Anda ketika ada anak Taufiq Assegaf mengatakan bahwa Ba’alwi yang mabok jangan dibenci tapi dikasih beras? Ke mana Anda ketika ada dua orang Ba’alwi mabok lalu ketika ditegur masyarakat salah seorang di antara mereka mengatakan “saya habib”? di mana Anda ketika ada oknum mengatakan telapak kaki habib yang narkoba, yang maksiat, yang nakal dan kotor, dibandingkan dengan kepala kiai yang pakai sorban lebih mulia telapak kaki yang maksiat?

Anda bertanya: ke mana kami ketika rezim mendatangkan ratusan ribu pekerja China. Narasi-narasi khas Ormas terlarang FPI. Data dari mana, Pak? Hoak itu. justru TKI kita di China lebih banyak dari pada tenaga kerja China di Indonesia. Menurut data dari BRIN jumlah pekerja China di Indonesia hanya 59 ribu orang. Bandingkan dengan TKI kita yang di China mencapai 200 ribu orang. Jadi jangan mudah menerima dan menyebarkan berita hoaks lah.

Anda mengatakan komunis China mengeruk kekayaan Indonesia. Dan Anda mengatakan bahwa kajian nasab harus dicurigai adanya agenda tersembunyi. Data, mana data? Jangan asal ngomong. Kebanyakan denger orasi Riziq Syihab jadi begini. Otak Anda dipenuhi teori-teori konspirasi yang miskin data; kebanyakan Su’udzon pada pemerintah sendiri; suudzon pada ulama NU, sementara bahaya doktrin Ba’alwi terhadap umat Anda abaikan.

MNS juga mengatakan:
“Sudah dua tahun lamanya (hingga tulisan ini dibuat) polemik ini dipelihara terus-menerus. Kita layak bertanya, apa jangan-jangan ada pendanaan di balik polemik yang subur dan bertahan lama ini? “

Heran ya, kenapa isu nasab ini tetap bertahan selama dua tahun. Mau tahu jawabannya? Anda bertanya jangan-jangan ada pendanaan di baliknya. Mau tahu, atau mau tahu banget? Akan penulis jelaskan. Begini: umat Islam Indonesia sangat mencintai Nabi Muhammad SAW. mereka adalah umat Islam hasil didikan para Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam penuh kasih-sayang rahmatan lil alamin. Salah satu ajarannya adalah mencinta Nabi, ahli bait Nabi dan keturunannya. Selama ini, untuk menterjemahkan cinta mereka kepada Nabi, mereka menghormati keturunannya. Kebetulan di sekitar mereka ada klan yang selalu mengaku bahwa mereka adalah keturunan Nabi, yaitu Klan Ba’alwi.

Selama ini mereka husnudzon bahwa Klan Ba’alwi adalah benar dzuriyat Nabi. Seiring berjalannya waktu mereka mulai curiga jangan-jangan Klan Ba’alwi ini bukan keturunan Nabi. Kecurigaan itu karena melihat akhlak mereka yang jauh panggang daripada api. Oknum-oknum mereka ada yang terjerumus kasus zina, sodomi, penganiyayaan, pembunuhan, minum khamar, dsb. Oknum-oknum Ba’alwi juga banyak yang berbuat seenaknya kepada para kiai dan umat Islam; sering datang mengemis meminta-minta ke rumah-rumah para kiai dan orang-orang kaya. Tidak seperti pengemis lainnya, mereka membawa-bawa nama Nabi dalam mengemis. Tentu lama-kelamaan ini membuat para kiai resah. Ketika kebenaran datang memancar bahwa sebenarnya mereka bukan dzuriyat Nabi, mereka mulai sadar; mereka berusaha merangkai puzzle-puzle kecurigaan itu dengan kesimpulan ilmiyah bahwa Ba’alwi bukan dzuriyat Nabi. Akhirnya, mereka merasa bahagia, bahwa kecurigaan dan suudzon mereka selama ini beralasan, ternyata memang benar sesuai kecurigaan mereka, bahwa Ba’alwi ini memang bukan dzuriyat Nabi. Akhirnya, mereka bukan hanya menerima kesimpulan ilmiyah itu dan membenarkannya, bahkan mereka bertekad untuk menyadarkan saudara-saudara mereka yang lain yang masih menjadi mukibin.

Bukan hanya tenaga yang mereka rela korbankan, secara ikhlas dan yakin demi membela nasab Rasulullah ini, dan demi menyelamatkan saudara-saudara mereka umat Islam, mereka juga rela mensisihkan sebagaian harta mereka untuk perjuangan ini. perlu Anda ketahui, untuk sebuah acara pelantikan Perjuangan Walisongo Indonesia tingkat kabupaten, kadang memerlukan biaya puluhan juta rupiah. Dari mana para pejuang itu mendapatkan dana? dari iuran Umat Islam. Yang punya sepuluh ribu menyumbang sepuluh ribu; yang punya seratus ribu menyumbang seratus ribu dst. Yang tidak punya uang, mereka andil dengan diri mereka untuk menunjukan “Aku bersama kalian”. Yang lain banyak yang hanya bisa menangis di malam hari mendoakan para pejuang tabah dalam cacian dan makian para Ba’alwi dan mukibinnya. Hati mereka bersedih ingin lebih mengabdi namun keadaan tidak mengizinkan.

Apa Anda mengira ratusan para Youtuber itu ada yang membiayai dan menggerakan? Yang membiayai tidak ada, tetapi yang menggerakan ada: mereka digerakan oleh panggilan jiwa dan sanubari yang dalam; keikhlasan dan ketulusan; jiwa-jiwa perjuangan yang diwarisi dari leluhur mereka yang juga para pejuang. Sejarah selalu berulang hanya waktu dan sosok pemerannya yang berbeda. Nuthfahnya tetap sama: nuthfah pejuang. Zaman penjajahan Belanda yang gelisah hanya pejuang. Yang lain hidup normal, bahkan banyak yang malah menikmati penjajahan itu karena dengannya ia mendapatkan posisi penting sebagai antek Belanda yang bisa hidup sejahtera. Tapi tidak bagi pejuang. Kehormatan sebagai bangsa jauh lebih penting dari hanya sekedar hidup aman dan mapan. Manusia diciptakan sama terhormat, tidak boleh ada suatu bangsa menjajah bangsa lain; mengambil dan menguasi tanah yang sudah didiami bangsa lain; menguasai sumberdayanya dan mengahncurkan kehormatannya sebagai suatu bangsa. Hari ini, jiwa-jiwa itu yang mengalir di dalam jiwa para pejuang PWI LS, Pak. Ini yang sedang dirasakan Umat Islam Indonesia hari ini. lalu Anda ada di mana?[]

Kembali ke Atas