Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Bab Jihad Kitab Fathul Qorib

Bab Jihad Kitab Fathul Qorib

Bab Jihad Kitab Fathul Qorib

Daftar isi

  1. KITAB HUKUM-HUKUM JIHAD
    1. BAB SALAB & GHANIMAH
    2. BAB HARTA FAI’
    3. BAB JIZYAH
  2. KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM BINATANG BURUAN, KURBAN DAN BINATANG YANG HALAL DIMAKAN
    1. BAB BINATANG YANG DIMAKAN
    2. BAB KURBAN
    3. BAB AQIQAH
  3. KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM PERLOMBAAN DAN LOMBA MEMANAH
  4. KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM SUMPAH DAN NADZAR
    1. BAB NADZAR
  5. KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM QADLA’ DAN PERSAKSIAN
    1. BAB QISMAH (MEMBAGI HAK)
    2. BAB BAYYINAH (SAKSI)
    3. BAB SYARAT-SYARAT SAKSI
    4. BAB HAK-HAK (HUQUQ)
  6. KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM MEMERDEKAKAN
    1. BAB WALA’
    2. BAB BUDAK MUDABBAR
    3. BAB KITABAH (BUDAK MUKATAB)
    4. BAB UMMU WALAD
  7. TERJEMAH KITAB FATHUL QORIB


KITAB HUKUM-HUKUM JIHAD

Hukum jihad Di masa Rasulullah Saw setelah hijrah adalah fardlu kifayah. وَكَانَ الْأَمْرُ بِهِ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْهِجْرَةِ فَرْضَ كِفَايَةٍ

 

Keadaan Orang Kafir

 

Sedangkan setelah masa beliau, maka kaum kafir memiliki dua keadaan. وَ أَمَّا بَعْدَهُ فَلِلْكُفَّارِ حَالَانِ
Salah satunya adalah mereka berada di daerahnya sendiri. Maka hukum jihad adalah fardlu kifayah bagi kaum muslimin di dalam setiap tahun. أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُوْنُوْا بِبِلَادِهِمْ فَالْجِهَادُ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ
Sehingga, ketika sudah ada orang yang melakukannya dan ia bisa mencukupi, maka hukum dosa gugur dari yang lainnya. فَإِذَا فَعَلَهُ مَنْ فِيْهِ كِفَايَةٌ سَقَطَ الْحَرَجُ عَنِ الْبَاقِيْنَ
Kedua, orang-orang kafir masuk ke salah satu daerah kaum muslimin, atau mereka berada di dekat daerah tersebut, maka ketika demikian, hukum jihad adalah fardlu ‘ain bagi kaum muslimin. وَالثَّانِيْ أَنْ يَدْخُلَ الْكُفَّارُ بَلْدَةً مِنْ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ يَنْزِلُوْا قَرِيْبًا مِنْهَا فَالْجِهَادُ حِيْنَئِذٍ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَيْهِمْ
Sehingga, bagi penduduk daerah tersebut wajib menolak kaum kafir dengan apapun yang mereka bisa. فَيَلْزَمُ أَهْلَ ذَلِكَ الْبَلَدِ الدَّفْعُ لِلْكُفَّارِ بِمَا يُمْكِنُ مِنْهُمْ

 

 

Syarat-Syarat Jihad

 

Syarat wajibnya jihad ada tujuh perkara. (وَشَرَائِطُ وُجُوْبِ الْجِهَادِ سَبْعُ خِصَالٍ)
Pertama adalah islam, sehingga tidak wajib jihad bagi orang kafir. أَحَدُهَا (الْإِسْلَامُ) فَلَا جِهَادَ عَلَى كَافِرٍ
Yang kedua adalah baligh, sehingga tidak wajib jihad bagi anak kecil. (وَ) الثَّانِيْ (الْبُلُوْغُ) فَلَا جِهَادَ عَلَى صَبِيٍّ
Yang ketiga adalah berakal, sehingga tidak wajib jihad bagi orang gila. (وَ) الثَّالِثُ (الْعَقْلُ) فَلَا جِهَادَ عَلَى مَجْنُوْنٍ
Yang ke empat adalah merdeka, sehingga tidak wajib jihad bagi seorang budak walaupun majikannya memerintahkan, dan walaupun dia adalah budak muba’adl. Dan tidak wajib pula bagi budak mudabbar dan budak mukatab. (وَ) الرَّابِعُ (الْحُرِّيَّةُ) فَلَا جِهَادَ عَلَى رَقِيْقٍ وَلَوْ أَمَرَ سَيِّدُهُ وَلَوْ مُبَعَّضًا وَلَا مُدَبَّرًا وَلَا مُكَاتَباً
Yang kelima adalah laki-laki, sehingga tidak wajib jihad bagi orang perempuan dan khuntsa musykil. (وَ) الْخَامِسُ ( الذُّكُوْرِيَّةُ) فَلَا جِهَادَ عَلَى امْرَأَةٍ وَخُنْثًى مُشْكِلٍ
Yang ke enam adalah sehat, sehingga tidak wajib jihad bagi orang yang sakit yang menghalanginya untuk berperang dan naik kendaraan kecuali dengan menanggung kesulitan yang berat seperti demam yang terus menerus. (وَ) السَّادِسُ (الصِّحَّةُ) فَلَا جِهَادَ عَلَى مَرِيْضٍ بِمَرَضٍ يَمْنَعُهُ عَنْ قِتَالٍ وَرُكُوْبٍ إِلَّا بِمَشَقَّةٍ شَدِيْدَةٍ كَحُمًى مُطْبِقَةٍ
Yang ke tujuh adalah mampu berperang sehingga tidak wajib jihad bagi semisal orang yang tangannya terpotong, dan tidak wajib bagi orang yang tidak menemukan / memiliki bekal berperang seperti senjata, kendaraan dan nafaqah. (وَ) السَّابِعُ (الطَّاقَةُ) عَلَى الْقِتَالِ (فَلَا جِهَادَ عَلَى أَقْطَعِ يَدٍّ مَثَلًا وَلَا عَلَى مَنْ عَدِمَ اُهْبَةَ الْقِتَالِ كَسِلَاحٍ وَمَرْكُوْبٍ وَنَفَقَةٍ

 

Macam-Macam Tawanan

 

Tawanan dari pihak kaum kafir ada dua kelompok  : (وَمَنْ أُسِرَ مِنَ الْكُفَّارِ فَعَلَى ضَرْبَيْنِ
Satu kelompok adalah kelompok yang tidak ada hak bagi imam untuk memilih kebijakan, bahkan mereka langsung menjadi budak dengan penawanan tersebut. Dalam sebagian redaksi menggunakan lafadz “yashiru” sebagai ganti dari lafadz “yakunu”. ضَرْبٍ) لَا تَخْيِيْرَ فِيْهِ لِلْإِمَامِ بَلْ (يَكُوْنُ) وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ بَدَلَ يَكُوْنُ يَصِيْرُ (رَقِيْقًا بِنَفْسِ السَّبْيِ) أَيِ الْأَخْذِ
Mereka adalah anak-anak kecil dan para wanita, maksudnya anak-anak kecil dan para wanita dari pihak kaum kafir. (وَهُمُ الصِّبْيَانُ وَالنِّسَاءُ) أَيْ صِبْيَانُ الْكُفَّارِ وَنِسَاؤُهُمْ
Kaum khuntsa dan orang-orang gila disamakan dengan mereka. وَيُلْحَقُ بِمَا ذُكِرَ الْخُنَاثَى

وَالْمَجَانِيْنُ

Dengan keterangan “pihak kaum kafir”, mengecualikan para wanitanya kaum muslimin. Karena sesungguhnya penawanan tidak bisa diberlakukan pada kaum muslimin. وَخَرَجَ بِالْكُفَّارِ نِسَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ لِأَنَّ الْأَسْرَ لَا يُتَصَوَّرُ فِيْ الْمُسْلِمِيْنَ
Dan satu kelompok adalah kelompok yang tidak langsung menjadi budak dengan penawanan tersebut. (وَضَرْبٍ لَا يُرَقُّ بِنَفْسِ السَّبْيِ
Mereka adalah orang-orang kafir asli yang laki-laki, baligh, merdeka dan berakal. وَهُمُ) الْكُفَّارُ الْأَصْلِيُّوْنَ (الرِّجَالُ الْبَالِغُوْنَ) الْأَحْرَارُ الْعَاقِلُوْنَ.
Bagi imam diperkenankan memilih kebijakan pada mereka di antara empat perkara : (وَالْإِمَامُ مُخَيَّرٌ فِيْهِمْ بَيْنَ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ)
Salah satunya adalah membunuh dengan memenggal leher tidak dengan membakar dan menenggelamkan semisal. أَحَدُهَا (الْقَتْلُ) بِضَرْبِ رَقَبَةٍ لَا بِتَحْرِيْقٍ وَلَا تَغْرِيْقٍ مَثَلًا
Yang kedua adalah menjadikan budak. Hukum mereka setelah dijadikan budak adalah seperti hukum harta-harta ghanimah. (وَ) الثَّانِيْ (الْاِسْتِرْقَاقُ) وَحُكْمُهُمْ بَعْدَ الْاِسْتِرْقَاقِ كَبَقِيَّةِ أَمْوَالِ الْغَنِيْمَةِ
Yang ketiga adalah memberi anugerah kepada mereka dengan membebaskan jalan mereka. (وَ) الثَّالِثُ (الْمَنُّ) عَلَيْهِمْ بِتَخْلِيَّةِ سَبِيْلِهِمْ
Yang ke empat adalah meminta tebusan adakalanya dengan harta atau dengan kaum laki-laki, maksudnya dengan tawanan dari kaum muslimin. (وَ) الرَّابِعُ (الْفِدْيَةُ) إِمَّا (بِالْمَالِ أَوْ بِالرِّجَالِ) أَيِ الْأُسْرَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Uang tebusan mereka hukumnya seperti harta rampasan yang lain. وَمَالُ فِدَائِهِمْ كَبَقِيَّةِ أَمْوَالِ الْغَنِيْمَةِ
Satu orang kafir boleh ditebus dengan satu orang islam atau lebih, dan boleh beberapa orang kafir ditebus dengan satu orang muslim. وَيَجُوْزُ أَنْ يُفَادَى مُشْرِكٌ وَاحِدٌ بِمُسْلِمٍ أَوْ أَكْثَرَ وَمُشْرِكُوْنَ بِمُسْلِمٍ
Dari semua itu, sang imam melakukan apa yang mendatangkan kemaslahatan pada kaum muslimin. (يَفْعَلُ) الْإِمَامُ (مِنْ ذَلِكَ مَا فِيْهِ الْمَصْلَحَةُ) لِلْمُسْلِمِيْنَ
Sehingga, jika yang lebih bermanfaat masih samar bagi sang imam, maka ia menahan para tawanan tersebut hingga jelas baginya mana yang paling bermanfaat kemudian ia lakukan. فَإِنْ خَفِيَ عَلَيْهِ الْأَحَظُّ حَبَسَهُمْ حَتَّى يَظْهَرَ لَهُ الْأَحَظُّ فَيَفْعَلُهُ
Dengan keterangan saya di depan “kafir asli”, mengecualikan pasukan kafir yang tidak asli seperti orang-orang murtad, maka sang imam menuntut mereka agar masuk islam. Sehingga, jika mereka tidak mau melakukannya, maka sang imam membunuhnya. وَخَرَجَ بِقَوْلِنَا سَابِقًا الْأَصْلِيُّوْنَ الْكُفَّارُ غَيْرُ الْأَصْلِيِّيْنَ كَالْمُرْتَدِّيْنَ فَيُطَالِبُهُمُ الْإِمَامُ بِالْإِسْلَامِ فَإِنِ امْتَنَعُوْا قَتَلَهُمْ
Barang siapa dari pihak kafir yang telah masuk islam sebelum tertangkap, maksudnya tertangkap oleh imam, maka harta, nyawa, dan anak-anak kecil mereka harus dijaga dari penawanan. (وَمَنْ أَسْلَمَ) مِنَ الْكُفَّارِ (قَبْلَ الْأَسْرِ) أَيْ أَسْرِ الْإِمَامِ لَهُ (أُحْرِزَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَصِغَارُ أَوْلَادِهِ) عَنِ السَّبْيِ
Anak-anak kecil tersebut dihukumi islam sebab islamnya orang tua mereka karena mengikut padanya, berbeda dengan anak-anak mereka yang sudah baligh, maka status islam orang tua mereka tidak bisa melindungi mereka. وَحُكِمَ بِإِسْلَامِهِمْ تَبْعًا لَهُ بِخِلَافِ الْبَالِغِيْنَ مِنْ أَوْلَادِهِ فَلَا يَعْصِمُهُمْ إِسْلَامُ أَبِيْهِمْ
Islamnya kakek juga bisa melindungi cucu mereka yang masih kecil. وَإِسْلَامُ الْجَدِّ يَعْصِمُ أَيْضًا الْوَلَدَ الصَّغِيْرَ
Islamnya laki-laki kafir tidak bisa melindungi istrrinya dari hak untuk dijadikan sebagai budak walaupun istrinya tersebut dalam keadaan hamil. وَإِسْلَامُ الْكَافِرِ لَا يَعْصِمُ زَوْجَتَهُ عَنِ اسْتِرْقَاقِهَا وَلَوْ كَانَتْ حَامِلاً
Sehingga, ketika sang istri menjadi budak, maka status pernikahannya menjadi terputus seketika. فَإِنِ اسْتَرَقَّتْ انْقَطَعَ نِكَاحُهُ فِيْ الْحَالِ.

 

Anak Kecil Hukumnya Islam

 

Anak kecil dihukumi islam ketika wujud tiga sebab. (وَ يُحْكَمُ لِلصَّبْيِ بِالْإِسْلَامِ عِنْدَ وُجُوْدِ ثَلَاثَةِ أَسْبَابٍ)
Salah satunya adalah salah satu dari kedua orang tuanya masuk islam, maka anak tersebut dihukumi islam karena mengikut pada orang tuanya. أَحَدُهَا (أَنْ يُسْلِمَ أَحَدُ أَبَوَيْهِ) فَيُحْكَمُ بِإِسْلَامِهِ تَبْعًا لَهُمَا
Adapun anak yang baligh dalam keadaan gila, atau baligh dalam keadaan berakal namun kemudian gila, maka ia seperti anak kecil. وَأَمَّا مَنْ بَلَغَ مَجْنُوْنًا أَوْ بَلَغَ عَاقِلًا ثُمَّ جُنَّ فَكَالصَّبِيِّ
Sebab kedua disebutkan di dalam perkataan mushannif, “atau anak kecil tersebut ditawan oleh orang islam ketikaa ia tidak bersamaan dengan kedua orang tuanya.” وَالسَّبَبُ الثَّانِيْ مَذْكُوْرٌ فِيْ قَوْلِهِ (أَوْ يَسْبِيْهِ مُسْلِمٌ) حَالَ كَوْنِ الصَّبِيِّ (مُنْفَرِدًا عَنْ أَبَوَيْهِ)
Sehingga, jika anak kecil tersebut ditawan bersama dengan salah satu kedua orang tuanya, maka sang anak tidak mengikuti agama orang yang menawannya. فَإِنْ سُبِيَّ الصَّبِيُّ مَعَ أَحَدِ أَبَوَيْهِ فَلَا يَتْبَعُ الصَّبِيٌّ السَّابِيَ لَهُ
Maksud dari keberadaan sang anak bersama dengan salah satu dari kedua orang tuanya adalah mereka berada dalam satu pasukan dan ghanimah yang satu juga, tidak harus orang yang memiliki keduanya adalah orang satu. وَمَعْنَى كَوْنِهِ مَعَ أَحَدِ أَبَوَيْهِ أَنْ يَكُوْنَا فِيْ جَيْشٍ وَاحِدٍ وَغَنِيْمَةٍ وَاحِدَةٍ لَا أَنَّ مَالِكَهُمَا يَكُوْنَ وَاحِدًا
Seandainya anak kecil tersebut ditawan oleh orang kafir dzimmi dan ia membawa anak tersebut ke daerah islam, maka sang anak tidak dihukumi islam menurut pendapat al ashah. وَلَوْسَبَّاهُ ذِمِّيٌ وَحَمَلَهُ إِلَى دَارِ الْإِسْلَامِ لَمْ يُحْكَمْ بِإِسْلَامِهِ فِيْ الْأَصَحِّ
Bahkan anak tersebut mengikuti agama orang yang menawannya. بَلْ هُوَ عَلَى دِيْنِ السَّابِيْ لَهُ
Sebab yang ketiga disebutkan di dalam perkataan mushannif, “atau anak kecil yang ditemukan terlantar di daerah islam, walaupun di sana ada penduduk kafir dzimmi. Maka sesungguhnya anak tersebut adalah islam.” وَالسَّبَبُ الثَّالِثُ مَذْكُوْرٌ فِيْ قَوْلِهِ (أَوْ يُوْجَدُ) أَيِ الصَّبِيُّ (لَقِيْطًا فِيْ دَارِ الْإِسْلَامِ) وَإِنْ كَانَ فِيْهَا أَهْلُ ذِمَّةٍ فَإِنَّهُ يَكُوْنَ مُسْلِمًا
Begitu juga -hukumnya islam- seandainya anak kecil tersebut ditemukan terlantar di daerah kafir dan di sana ada penduduk muslimnya. وَكَذَا لَوْ وُجِدَ فِيْ دَارِ كُفَّارٍ وَفِيْهَا مُسْلِمٌ.


BAB SALAB & GHANIMAH

(Fasal) di dalam menjelaskan hukum-hukum salab dan pembagian ghanimah. (فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ أَحْكَامِ السَّلْبِ وَقَسْمِ الْغَنِيْمَةِ

 

Salab

 

Barang siapa membunuh seseorang dari pihak kafir, maka ia berhak diberi harta salab kafir tersebut. Lafadz “salab” dengan membaca fathah huruf lamnya. (وَمَنْ قَتَلَ قَتِيْلًا أُعْطِيَ سَلَبَهُ) بِفَتْحِ اللَّامِ
Dengan syarat orang yang membunuh adalah orang muslim, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak, imam telah mensyaratkan salab itu padanya ataupun tidak. بِشَرْطِ كَوْنِ الْقَاتِلِ مُسْلِمًا ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثًى حُرًّا أَوْ عَبْدًا شَرَّطَهُ الْإِمَامُ لَهُ أَوْ لاَ
Salab adalah pakaian yang dikenakan oleh orang yang terbunuh, muza, ar ran yaitu muza yang tanpa alas dan dikenakan pada betis saja (kaos kaki), peralatan perang, kendaraan yang ia gunakan bertempur atau ia pegang kendalinya, pelana, alat kendali, penutup tunggangan, gelang, kalung, sabuk yang digunakan mengikat perut, cincin, bekal nafaqah yang ada bersamanya, dan kuda serepan yang digiring bersamanya. وَالسَّلَبُ ثِيَابُ الْقَتِيْلِ الَّتِيْ عَلَيْهِ وَالْخُفُّ وَالرَّانُ وَهُوَ خُفٌّ بِلَا قَدَمٍ يُلبَسُ لْلسَّاقِّ فَقَطْ وَآلَاتُ الْحَرْبِ وَالْمَرْكُوْبُ الَّذِيْ قَاتَلَ عَلَيْهِ أَوْ أَمْسَكَهُ بِعِنَانِهِ وَالسَّرْجُ وَاللِّجَامُ وَمَقُوْدُ الدَّابَّةِ وَالسِّوَارُ وَالطُّوْقُ وَالْمِنْطَقَةُ وَهِيَ الَّتِيْ يُشَدُّ بِهَا الْوَسَطُ وَالْخَاتَمُ وَالنَّفَقَةُ الَّتِيْ مَعَهُ وَالْجَنِيْبَةُ الَّتِيْ تُقَادُ مَعَهُ
Sang pembunuh hanya bisa menghaki salab-nya orang kafir ketika ia melakukan hal yang membahayakan dirinya dalam membunuh kafir tersebut saat pertempuran. وَإِنَّمَا يَسْتَحِقُّ الْقَاتِلُ سَلْبَ الْكَافِرِ إِذَا غَرَّ بِنَفْسِهِ حَالَ الْحَرْبِ فِيْ قَتْلِهِ
Sekira dengan melakukan hal tersebut ia mampu menahan bahaya kafir tersebut. بِحَيْثُ يَكْفِيْ بِرُكُوْبِ هَذَا الْغَرَرِ شَرَّ ذَلِكَ الْكَافِرِ
Sehingga, seandainya ia membunuh kafir tersebut saat si kafir dalam keadaan tertawan, tidur, atau ia membunuhnya setelah pasukan kafir melarikan diri, maka ia tidak berhak mendapatkan salab kafir tersebut. فَلَوْ قَتَلَهُ وَهُوَ أَسِيْرٌ أَوْ نَائِمٌ أَوْ قَتَلَهُ بَعْدَ انْهِزَامِ الْكُفَّارِ فَلَا سَلْبَ لَهُ
Mencegah bahaya orang kafir adalah menghilangkan kekuatannya, seperti membutakan kedua matanya, memotong kedua tangannya atau kedua kakinya. وَكِفَايَةُ شَرِّ الْكَافِرِ أَنْ يُزِيْلَ امْتِنَاعَهُ كَأَنْ يَفْقَأَ عَيْنَيْهِ أَوْ يَقْطَعَ يَدَّيْهِ أَوْ رِجْلَيْهِ

Ghanimah

 

Ghanimah secara bahasa adalah diambil dari lafadz “al ghanmi” yang mempunyai makna laba / untung. وَالْغَنِيْمَةُ لُغَةً مَأْخُوْذٌ مِنَ الْغَنْمِ وَهُوَ الرِّبْحُ
Dan secara syara’ adalah harta yang dihasilkan oleh kaum muslimin dari kaum kafir harbi dengan pertempuran dan mengerahkan pasukan berkuda atau onta. وَشَرْعًا الْمَالُ الْحَاصِلُ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُفَّارِ أَهْلِ حَرْبٍ بِقِتَالٍ وَإِيْجَافِ خَيْلٍ أَوْ إِبِلٍ
Dengan keterangan “ahli harbi”, mengecualikan harta yang dihasilkan dari orang-orang murtad, maka sesungguhnya harta tersebut adalah harta fai’ bukan ghanimah. وَخَرَجَ بِأَهْلِ الْحَرْبِ الْمَالُ الْحَاصِلُ مِنَ الْمُرْتَدِّيْنَ فَإِنَّهُ فَيْئٌ لَا غَنِيْمَةٌ.

 

Pembagian Ghanimah

 

Setelah itu, maksudnya setelah mengeluarkan salab dari ghanimah, maka ghanimah dibagi menjadi seperlima. (وَتُقَسَّمُ الْغَنِيْمَةُ بَعْدَ ذَلِكَ) أَيْ بَعْدَ إِخْرَاجِ السَّلْبِ مِنْهَا (عَلَى خَمْسَةِ أَخْمَاسٍ
Empat seperlimanya, barang menetap atau bisa dipindah, diberikan kepada orang-orang yang hadir di medan laga, dari orang-orang yang ikut merampas harta tersebut dengan niat berperang walaupun belum sempat ikut berperang bersama pasukan. فَيُعْطَى أَرْبَعَةُ أخْمَاسِهَا) مِنْ عَقَارٍ وَمَنْقُوْلٍ (لِمَنْ شَهِدَ) أَيْ حَضَرَ (الْوَقْعَةَ) مِنَ الْغَانِمِيْنَ بِنِيَّةِ الْقِتَالِ وَإِنْ لَمْ يُقَاتِلْ مَعَ الْجَيْشِ
Begitu juga orang yang hadir tidak dengan niat berperang namun ternyata dia ikut berperang menurut pendapat al adhhar. وَكَذَا مَنْ حَضَرَ لَابِنِيَّةِ الْقِتَالِ وَقَاتَلَ فِيْ الْأَظْهَرِ
Tidak ada bagian apa-apa bagi orang yang hadir setelah pertempuran usai. وَلَا شَيْئَ لِمَنْ حَضَرَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْقِتَالِ
Tiga bagian diberikan kepada pasukan berkuda yang hadir ke medan pertempuran dan dia termasuk golongan yang memenuhi syarat-syarat berperang, dengan menggunakan kuda yang dipersiapkan untuk berperang, baik ia benar-benar sempat berperang ataupun tidak. Dua bagian diberikan untuk kudanya dan satu bagian untuk dirinya. (وَيُعْطَى لِلْفَارِسِ) الْحَاضِرِ الْوَقْعَةِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْقِتَالِ بِفَرَسٍ مُهَيَّإٍ لِلْقِتَالِ عَلَيْهِ سَوَاءٌ قَاتَلَ أَمْ لاَ (ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ) سَهْمَيْنِ لِفَرَسِهِ وَسَهْمًا لَهُ
Yang diberi hanya satu kuda saja walaupun ia membawa kuda yang berjumlah banyak. وَلَا يُعْطَى إِلَّا لِفَرَسٍ وَاحِدٍ وَلَوْكَانَ مَعَهُ أَفْرَاسٌ كَثِيْرَةٌ
Bagi pejalan kaki, maksudnya pasukan yang berperang dengan berjalan, maka mendapatkan satu bagian. (وَلِلرِّجَالِ) أَيِ الْمُقَاتِلِ عَلَى رِجْلَيْهِ (سَهْمٌ) وَاحِدٌ
Yang diberi bagian dari ghanimah hanyalah orang yang memenuhi lima syarat, yaitu islam, baligh, berakal, merdeka dan laki-laki. (وَلَا يُسْهَمُ إِلَّا لِمَنْ) أَيْ شَخْصٍ (اسْتَكْمَلَتْ فِيْهِ خَمْسُ شَرَائِطَ الْإِسْلَامُ وَالْبُلُوْغُ وَالْعَقْلُ وَالْحُرِّيَّةُ وَالذُّكُوْرِيَّةُ

Radlkh (Persenan)

 

Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka ia hanya diberi radlukh (persenan) tidak diberi sahmun (bagian). فَإِنِ اخْتَلَّ شَرْطٌ مِنْ ذَلِكَ رُضِخَ لَهُ وَلَا يُسْهَمُ) لَهُ
Maksudnya, orang yang tidak memenuhi syarat adakalanya karena ia adalah anak kecil, orang gila, budak, orang wanita atau kafir dzimmi. أَيْ لِمَنِ اخْتَلَّ فِيْهِ الشَّرْطُ إِمَّا لِكَوْنِهِ صَغِيْرًا أَوْ مَجْنُوْنًا أَوْ رَقِيْقًا أَوْ أُنْثًى أَوْ ذِمِّيًا
Ar radlkh secara bahasa adalah pemberian yang sedikit. Dan secara syara’ adalah sesuatu yang kadarnya di bawah bagian yang diberikan pada pasukan pejalan kaki. وَالرَّضْخُ لُغَةً الْعَطَاءُ الْقَلِيْلُ وَشَرْعًا شَيْئٌ دُوْنَ سَهْمٍ يُعْطَى لِلرَّاجِلِ
Sang imam melakukan ijtihad di dalam menentukan ukuran persenan tersebut sesuai dengan kebijakannya. وَيَجْتَهِدُ الْإِمَامُ فِيْ قَدْرِ الرَّضْخِ بِحَسَبِ رَأْيِهِ
Maka sang imam memberi lebih orang yang ikut berperang dari pada yang tidak, dan memberi lebih pada orang yang lebih banyak berperangnya daripada yang lebih sedikit ikut berperang. فَيَزِيْدُ الْمُقَاتِلَ عَلَى غَيْرِهِ وَالْأَكْثَرَ قِتَالًا عَلَى الْأَقَلِّ قِتَالًا
Tempat pengambilan persenan adalah empat seperlima menurut pendapat al adhhar. وَمَحَلُّ الرَّضْخِ الْأَخْمَاسُ الْأَرْبَعَةُ فِيْ الْأَظْهَرِ
Dan menurut pendapat yang kedua, tempat persenan tersebut adalah seluruh ghanimah. وَالثَّانِيْ مَحَلُّهُ أَصْلُ الْغَنِيْمَةِ
Seperlima yang tersisa setelah empat seperlima yang tadi, maka di bagi menjadi lima sahm (bagian)

 

(وَيُقْسَمُ الْخُمُسُ) الْبَاقِيْ بَعْدَ الْأَخْمَاسِ الْأَرْبَعَةِ (عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ
Satu bagian diberikan kepada Rasulullah Saw. Bagian tersebut menjadi hak beliau saat beliau masih hidup. سَهْمٌ) مِنْهُ (لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) وَهُوَ الَّذِيْ كَانَ لَهُ فِيْ حَيَاتِهِ
Kemudian setelah beliau meninggal dunia, maka ditasharrufkan kepada bentuk kemaslahatan yang berhubungan dengan kaum muslimin seperti para qadli yang menjadi juru hukum di daerah-daerah. (يُصْرَفُ بَعْدَهُ لِلْمَصَالِحِ) الْمُتَعَلِّقَةِ بِالْمُسْلِمِيْنَ كَالْقُضَّاةِ الْحَاكِمِيْنَ فِيْ الْبِلَادِ
Adapun qadli-qadli pasukan perang, maka diberi razqu dari bagian empat seperlima sebagaimana yang diungkapkan imam al Mawardi dan yang lain. أَمَّا قُضَّاةُ الْعَسْكَرِ فَيُرْزَقُوْنَ مِنَ الْأَخْمَاسِ الْأَرْبَعَةِ كَمَا قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَغَيْرُهُ
Dan seperti penjagaan ats tsughur, yaitu tempat-tempat yang mengkhawatirkan, yaitu area-area batas daerah-daerah kaum muslimin yang bersambung dengan bagian dalam daerah-daerah kita. وَكَسَدِّ الثُّغُوْرِ وَهِيَ الْمَوَاضِعُ الْمَخُوْفَةُ مِنْ أَطْرَافِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ الْمُلَاصِقَةِ لِبِلَادِنَا
Yang dikehendaki adalah menjaga ats tsughur dengan pasukan dan peralatan perang. وَالْمُرَادُ سَدُّ الثُّغُوْرِ بِالرِّجَالِ وَآلَاتِ الْحَرْبِ
Kemaslahatan yang terpenting harus didahulukan, kemudian yang agak penting. وَيُقَدَّمُ الْأَهَمُّ مِنَ الْمَصَالِحِ فَالْأَهَمُّ
Satu bagian -dari seperlima- dimiliki oleh orang-orang yang memiliki ikatan kerabat, maksudnya kerabat Rasulullah Saw. (وَسَهْمٌ لِذَوِيْ الْقُرْبَى) أَيْ قُرْبَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthallib. (وَهُمْ بَنُوْ هَاشِمٍ وَبَنُوْ الْمُطَلِّبِ)
Bagian tersebut dihaki oleh yang laki-laki, perempuan, kaya dan yang miskin dari mereka. وَيَشْتَرِكُ فِيْ ذَلِكَ الذَّكَرُ وَ الْأُنْثَى وَالْغَنِيُّ وَالْفَقِيْرُ
Untuk yang laki-laki diberi dua kali lipat bagian perempuan. وَيُفَضَّلُ الذَّكَرُ فَيُعْطَى مِثْلَ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Satu bagian dimiliki oleh anak-anak yatim kaum muslimin. (وَسَهْمٌ لِلْيَتَامَى) الْمُسْلِمِيْنَ
Lafadz “al yatama” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “yatim”. Yatim adalah anak kecil yang sudah tidak memiliki ayah. جَمْعُ يَتِيْمٍ وَهُوَ صَغِيْرٌ لَا أَبَّ لَهُ
Baik anak kecil tersebut laki-laki atau perempuan, memiliki kakek ataupun tidak, ayahnya terbunuh saat berperang ataupun tidak. Namun disyaratkan ia adalah anak yang faqir. سَوَاءٌ كَانَ الصَّغِيْرُ ذَكَرًا أَوْ أُنْثًى لَهُ جَدٌّ أَوْ لاَ قُتِلَ أَبُوْهُ فِيْ الْجِهَادِ أَوْ لاَ وَيُشْتَرَطُ فَقْرُ الْيَتِيْمِ
Satu bagian milik kaum miskin dan satu bagian untuk ibn sabil. Dan keduanya telah dijelaskan hampir mendekati KITAB PUASA. (وَسَهْمٌ لِلْمَسَاكِيْنِ وَسَهْمٌ لِأَبْنَاءِ السَّبِيْلِ) وَسَبَقَ بَيَانُهُمَا قُبَيْلَ كِتَابِ الصِّيَامِ


BAB HARTA FAI’

(Fasal) menjelaskan pembagian harta fai’ kepada orang-orang yang berhak. (فَصْلٌ) فِيْ قِسْمِ الْفَيْئِ عَلَى مُسْتَحِقِّيْهِ
Fai’ secara bahasa diambil dari kata “fa’a idza raja’a” (kembali ketika ia kembali). وَالْفَيْئُ لُغَةً مَأْخُوْذٌ مِنْ فَاءَ إِذَا رَجَعَ
Kemudian digunakan untuk menunjukkan arti harta yang kembali dari orang-orang kafir kepada kaum muslimin. ثُمَّ اسْتُعْمِلَ فِيْ الْمَالِ الرَّاجِعِ مِنَ الْكُفَّارِ إِلَى الْمُسْلِمِيْنَ
Dan secara syara’ adalah harta yang dihasilkan dari orang-orang kafir tanpa peperangan, dan tanpa mengerahkan kuda dan onta seperti harta jizyah dan sepersepuluh harta dagangan. وَشَرْعًا هُوَ مَالٌ حَصَلَ مِنْ كُفَّارٍ بِلَا قِتَالٍ وَلَا إِيْجَافِ خَيْلٍ وَلَا إِبِلٍ كَالْجِزْية وَعُشُرِ التِّجَارَةِ

 

 

Pembagian Harta Fai’

 

Harta fai’ dibagikan kepada lima kelompok / golongan. (وَيُقْسَمُ مَالُ الْفَيْئِ عَلَى خَمْسِ فِرَقٍ
Seperlimanya, yang dikehendaki mushannif adalah seperlima fai’ di berikan / ditasharrufkan kepada orang, maksudnya lima golongan yang diberi seperlima ghanimah. Lima golongan tersebut baru saja telah dijelaskan. يُصْرَفُ خُمُسُهُ) يَعْنِيْ الْفَيْئَ (عَلَى مَنْ) أَيِ الْخَمْسَةِ الَّذِيْنَ (يُصْرَفُ عَلَيْهِمْ خُمُسُ الْغَنِيْمَةِ) وَسَبَقَ قَرِيْبًا بَيَانُ الْخَمْسَةِ.
Empat seperlimanya fai’ diberikan kepada golongan muqatilah (tentara).

 

 

(وَيُعْطَى أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهَا) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ أَخْمَاسُهُ أَيِ الْفَيْئِ (لِلْمُقَاتِلَةِ)
Mereka adalah prajurit yang telah ditentukan oleh imam untuk berjihad, dan nama-namanya telah dicantumkan di dalam buku besar negara setelah mereka memenuhi kriteria islam, mukallaf, merdeka dan sehat. وَهُمُ الْأَجْنَادُ الَّذِيْنَ عَيَّنَهُمُ الْإِمَامُ لِلْجِهَادِ وَأَثْبَتَ أَسْمَاءَهُمْ فِيْ دِيْوَانِ الْمُرْتَزِقَةِ بَعْدَ اتِّصَافِهِمْ بِالْإِسْلَامِ وَالتَّكْلِيْفِ وَالْحُرِّيَّةِ وَالصِّحَّةِ
Imam membagikan empat seperlima tersebut pada mereka sesuai dengan kadar kebutuhannya. فَيُفَرِّقُ الْإِمَامُ عَلَيْهِمُ الْأَخْمَاسَ الْأَرْبَعَةَ عَلَى قَدْرِ حَاجَاتِهِمْ
Sehingga imam meneliti setiap keadaan dari tentara dan keluarga yang wajib ia nafkahi serta apa yang menjadi kecukupan mereka. فَيَبْحَثُ عَنْ كُلِّ حَالٍ مِنَ الْمُقَاتَلَةِ وَعَنْ عِيَالِهِ اللَّازِمَةِ نَفَقَتُهُمْ وَمَا يَكْفِيْهِمْ
Maka imam memberikan kebutuhan yang mencukupi mereka berupa nafkah, pakaian, dan yang lainnya. فَيُعْطِيْهِ كِفَايَتَهُمْ مِنْ نَفَقَةٍ وَكِسْوَةٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ
Dalam ukuran kebutuhan, imam juga harus memperhatikan waktu, tempat, saat harga kebutuhan murah dan saat mahal. وَيُرَاعِيْ فِيْ الْحَاجَةِ الزَّمَانَ وَالْمَكَانَ وَالرَّخْصَ وَالْغِلَاءَ
Dengan ungkapan, “dan ditasharrufkan untuk kemaslahatan kaum muslimin”, mushannif memberi isyarah bahwa sesungguhnya bagi seorang imam diperkenankan mentasharrufkan lebihan dari kebutuhan pasukan untuk kemaslahatan kaum muslimin baik berupa memperbaiki benteng, ats tsughur, membeli senjata, dan kuda menurut pendapat ash shahih. وَأَشَارَ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَفِيْ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ) إِلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَصْرِفَ الْفَاضِلَ عَنْ حَاجَةِ الْمُرْتَزِقَةِ فِيْ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِصْلَاحِ الْحُصُوْنِ وَالثُّغُوْرِ وَمِنْ شِرَاءِ سِلَاحٍ وَخَيْلٍ عَلَى الصَّحِيْحِ


BAB JIZYAH

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum jizyah. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ (الْجِزْيَةِ)
Jizyah secara bahasa adalah nama suatu kharraj (pajak) yang dibebankan kepada kafir ahli dzimmah. وَهِيَ لُغَةً اسْمٌ لِخَرَّاجٍ مَجْعُوْلٍ عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ
Disebut demikian karena sesungguhnya jizyah dapat melindungi nyawa mereka. سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا جَزَتْ عَنِ الْقَتْلِ أَيْ كَفَتْ عَنْ قَتْلِهِمْ
Dan secara syara’ adalah harta yang disanggupi oleh orang kafir dengan akad tertentu. وَشَرْعًا مَالٌ يَلْتَزِمُهُ كَافِرٌ بِعَقْدٍ مَخْصُوْصٍ

 

 

Proses Akad Jizyah

 

Akad jizyah disyaratkan harus dilakukan oleh seorang imam atau wakilnya dengan tanpa ada pembatasan waktu. وَيُشْتَرَطُ أَنْ يَعْقِدَهَا الْإِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ لَا عَلَى جِهَّةِ التَّأْقِيْتِ
Maka seorang imam berkata, “aku mempersilahkan kalian bertempat di daerah islam selain daerah hijaz”, atau, “aku memberi izin kalian untuk bermukim di daerah islam dengan syarat kalian memberikan jizyah dan tunduk pada hukum islam.” فَيَقُوْلُ “أَقْرَرْتُكُمْ بِدَارِ الْإِسْلَامِ غَيْرِ الْحِجَازِ أَوْ أَذِنْتُ فِيْ إِقَامَتِكُمْ بِدَارِ الْإِسْلَامِ عَلَى أَنْ تَبْذُلُوْا الْجِزْيَةَ وَتَنْقَادُوْا لِحُكْمِ الْإِسْلَامِ”
Seandainya seorang kafir mengawali pada sang imam dengan berkata, “tetapkanlah aku di daerah islam”, maka hal itu sudah mencukupi. وَلَوْ قَالَ الْكَافِرُ لِلْإِمَامِ ابْتِدَاءً “أَقْرِرْنِيْ بِدَارِ الْإِسْلَامِ” كَفَى

 

Syarat-Syarat Wajib Jizyah

 

Syarat kewajiban jizyah ada lima perkara: (وَشَرَائِطُ وُجُوْبِ الْجِزْيَةِ خَمْسُ خِصَالٍ)
Pertama adalah baligh, sehingga tidak ada kewajiban membayar jizyah bagi anak kecil. أَحَدُهَا (الْبُلُوْغُ) فَلَا جِزْيَةَ عَلَى صَبِيٍّ
Kedua adalah berakal, sehingga tidak ada kewajiban jizyah bagi orang gila yang gilanya terus menerus. (وَ) الثَّانِيْ (الْعَقْلُ) فَلَا جِزْيَةَ عَلَى مَجْنُوْنٍ أَطْبَقَ جُنُوْنُهُ
Sehingga, jika gilanya terputus-putus dalam waktu yang sebentar seperti dalam satu bulan gilanya kambuh selama satu jam, maka ia wajib membayar jizyah. فَإِنْ تَقَطَّعَ جُنُوْنُهُ قَلِيْلًا كَسَاعَةٍ مِنْ شَهْرٍ لَزِمَتْهُ الْجِزْيَةُ
Atau gilanya terputus-putus dalam waktu yang lebih dari masa di atas seperti gila satu hari dan sembuh satu hari, maka waktu sembuhnya dijumlah, jika mencapai satu tahun, maka selama setahun wajib membayar jizyah. أَوْ تَقَطَّعَ جُنُوْنُهُ كَثِيْرًا عَلَى ذَلِكَ كَيَوْمٍ يَجُنُّ فِيْهِ وَيَوْمٍ يُفِيْقُ فِيْهِ لُفِّقَتْ أَيَّامُ الْإِفَاقَةِ فَإِنْ بَلَغَتْ سَنَةً وَجَبَ جِزْيَتُهَا
Ketiga adalah merdeka. Sehingga tidak ada kewajiban jizyah bagi seorang budak, dan juga tidak wajib bagi majikannya -atas nama si budak-. Budak mukatab, mudabbar dan muba’adl hukumnya seperti budak murni. (وَ) الثَّالِثُ (الْحُرِّيَّةُ) فَلَا جِزْيَةَ عَلَى رَقِيْقٍ وَلَا عَلَى سَيِّدِهِ أَيْضًا وَالْمُكَاتَبُ وَالْمُدَبَّرُ وَالْمُبَعَّضُ كَالرَّقِيْقِ.
Ke empat adalah laki-laki. Sehingga tidak ada kewajiban jizyah bagi seorang wanita dan khuntsa. (وَ) الرَّابِعُ (الذُّكُوْرِيَّةُ) فَلَا جِزْيِةَ عَلَى امْرَأَةٍ وَخُنْثًى
Kemudian, jika nampak jelas kelaki-lakiannya, maka jizyah untuk tahun-tahun yang sudah lewat harus diambil dari orang khuntsa tersebut sebagaimana yang dibahas oleh imam an Nawawi di dalam tambahan kitab ar Raudlah, dan yang dimantapkan oleh beliau di dalam kitab syarh al Muhadzdzab. فَإِنْ بَانَتْ ذُكُوْرَتُهُ أُخِذَتْ مِنْهُ الْجِزْيَةُ لِلسِّنِيْنَ الْمَاضِيَّةِ كَمَا بَحَثَهُ النَّوَوِيُّ فِيْ زِيَادَةِ الرَّوْضَةِ وَجَزَمَ بِهِ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ
Kelima, orang yang diakadi jizyah adalah golongan ahli kitab seperti orang Yahudi dan orang Nashrani, atau orang yang memiliki syubhat kitab. (وَ) الْخَامِسُ (أَنْ يَكُوْنَ) الَّذِيْ تُعْقَدُ لَهُ الْجِزْيَةُ (مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ) كَالْيَهُوْدِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ (أَوْ مِمَّنْ لَهُ شُبْهَةُ كِتَابٍ)
Akad jizyah juga dilakukan pada keturunan orang-orang yang mengikuti agama Yahudi atau Nashrani sebelum kitabnya dinusakh, atau kita ragu-ragu terhadap waktu orang tuanya masuk agama tersebut. وَتُعْقَدُ أَيْضًا لِأَوْلَادِ مَنْ تَهَوَّدَ أَوْ تَنَصَّرَ قَبْلَ النَّسْخِ أَوْ شَكَكْنَا فِيْ وَقْتِهِ
Akad jizyah juga diberlakukan untuk orang yang salah satu orang tuanya adalah penyembah berhala dan yang lain adalah kafir kitabi. وَكَذَا تُعْقَدُ لِمَنْ أَحَدُ أَبَوَيْهِ وَثَنِيٌّ وَالْآخَرُ كِتَابِيٌّ
Dan bagi orang yang menyangka bahwa dirinya berpegang pada kitab Shuhuf-nya nabi Ibrahim yang diturunkan kepada beliau atau kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud. وَلِزَاعِمِ التَّمَسُّكِ بِصُحُفِ إِبْرَاهِيْمَ الْمُنَزَّلِ عَلَيْهِ أَوْ بِزَبُوْرِ دَاوُدَ الْمُنَزَّلِ عَلَيْهِ.

 

Kadar Jizyah

 

Minimal kadar yang wajib di dalam jizyah atas setiap orang kafir adalah satu dinar setiap tahunnya, dan tidak ada batas maksimal dalam ukuran jizyah. (وَأَقَلُّ) مَا يَجِبُ فِيْ (الْجِزْيَةِ) عَلَى كُلِّ كَافِرٍ (دِيْنَارٌ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ) وَلَاحَدَّ لِأَكْثَرِ الْجِزْيَةِ
Dan diambil, maksudnya bagi sang imam disunnahkan untuk melakukan tawar menawar dengan orang yang melakukan akad jizyah dengannya. (وَيُؤْخَذُ) أَيْ يُسَنُّ لِلْإِمَامِ أَنْ يُمَاكِسَ مَنْ عُقِدَتْ لَهُ الْجِزْيَةُ
Kalau demikian, maka bagi imam sunnah menawar dua dinar dari orang yang bertaraf ekonomi menengah, dan empat dinar dari orang kaya, jika memang masing-masing dari mereka bukan orang safih. وَحِيْنَئِذٍ يُؤْخَذُ (مِنَ التَّوَسُّطِ) الْحَالِ (دِيْنَارَانِ وَمِنَ الْمُوْسِرِ أَرْبَعَةُ دَنَانِيْرَ) اسْتِحْبَابًا إِنْ لَمْ يَكُنْ كُلٌّ مِنْهُمَا سَفِيْهًا
Sehingga, jika mereka adalah orang safih, maka sang imam tidak melakukan tawar menawar dengan walinya si safih. فَإِنْ كَانَ سَفِيْهًا لَمْ يُمَاكِسِ الْإِمَامُ وَلِيَّ السَّفِيْهِ
Yang menjadi acuan di dalam ukuran menengah dan kaya adalah di akhir tahun. وَالْعِبْرَةُ فِيْ التَّوَسُّطِ وَالْيَسَارُ بِآخِرِ الْحَوْلِ
Diperbolehkan, maksudnya ketika melakukan perdamaian dengan orang-orang kafir di daerah mereka bukan di daerah islam, maka bagi sang imam disunnahkan mensyaratkan pada mereka agar menjamu orang-orang islam yang sedang singgah di daerah mereka, baik orang-orang yang jihad ataupun tidak, dengan jamuan yang bukan termasuk dari kadar minimal jizyah, yaitu satu dinar setiap tahunnya, jika memang mereka rela dengan tambahan syarat tersebut. (وَيَجُوْزُ) أَيْ يُسَنُّ لِلْإِمَامِ إِذَا صَالَحَ الْكُفَّارَ فِيْ بَلَدِهِمْ لَا فِيْ دَارِ الْإِسْلَامِ (أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهِمُ الضِّيَافَةَ لِمَنْ يَمُرُّ بِهِمْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ الْمُجَاهِدِيْنَ وَغَيْرِهِمْ (فَضْلًا) أَيْ زَائِدًا (عَنْ مِقْدَارِ) أَقَلِّ (الْجِزْيَةِ) وَهُوَ دِيْنَارٌ كُلَّ سَنَةٍ إِنْ رَضُوْا بِهَذِهِ الزِّيَادَةِ

Kosekwensi Jizyah

 

Akad jizyah setelah sah, maka mengandung empat perkara : (وَيَتَضَمَّنُ عَقْدُ الْجِزْيَةِ) بَعْدَ صِحَّتِهِ (أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ)
Salah satunya, mereka harus membayar jizyah. Jizyah tersebut diambil dari mereka dengan cara yang baik sebagai-mana yang disampaikan oleh al Jumhur, tidak dengan cara menghina/ merendahkan. أَحَدُهَا (أَنْ يُؤَدُّوْا الْجِزْيَةَ) وَتُؤْخَذُ مِنْهُمْ بِرِفْقٍ كَمَا قَالَ الْجُمْهُوْرُ لَا عَلَى وَجْهِ الْإِهَانَةِ.
Kedua, hukum-hukum islam berlaku bagi mereka. (وَ) الثَّانِيْ (أَنْ تَجْرِيَ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ)
Sehingga, mereka wajib mengganti milik kaum muslimin yang telah mereka rusak baik nyawa atau harta. فَيَضْمَنُوْنَ مَا يُتْلِفُوْنَهُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ نَفْسٍ أَوْ مَالٍ
Jika mereka melakukan sesuatu yang mereka yaqini haram seperti zina, maka mereka berhak dihukum had. وَإِنْ فَعَلُوْا مَا يَعْتَقِدُوْنَ تَحْرِيْمَهُ كَالزِّنَا أُقِيْمَ عَلَيْهِمُ الْحَدُّ
Ketiga, mereka tidak boleh menyebut-nyebut tentang agama islam kecuali dengan hal-hal yang baik. (وَ) الثَّالِثُ (أَنْ لَا يَذْكُرُوْا دِيْنَ الْإِسْلَامِ إِلَّا بِخَيْرٍ
Ke empat, mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa membahayakan orang-orang islam. (وَ) الرَّابِعُ (أَنْ لَا يَفْعَلُوْا مَا فِيْهِ ضَرَرٌ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ)
Maksudnya dengan gambaran mereka menyembuyikan orang yang mencari-cari aurat/kelemahan orang islam dan memberitahukannya ke daerah kafir harbi. أَيْ بِأَنْ آَوَوْا مَنْ يَطَّلِعُ عَلَى عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ وَيَنْقُلُهَا إِلَى دَارِ الْحَرْبِ
Setelah akad jizyah sah, maka bagi kaum muslimin wajib melindungi nyawa dan harta kafir dzimmi. وَيَلْزَمُ الْمُسْلِمِيْنَ بَعْدَ عَقْدِ الذِّمَّةِ الصَّحِيْحِ الْكَفُّ عَنْهُمْ نَفْسًا وَمَالاً
Jika mereka berada di daerah kita atau di daerah tetangga kita, maka wajib bagi kita untuk  melindungi mereka dari ahli harbi. وَإِنْ كَانُوْا فِيْ بَلَدِنَا أَوْ فِيْ بَلَدٍ مُجَاوِرٍ لَنَا  لَزِمَنَا دَفْعُ أَهْلِ الْحَرْبِ عَنْهُمْ

Aksesoris Kafir Dzimmi

 

Mereka diberi tanda pengenal dengan menggunakan al ghiyar. Lafadz “al ghiyar” dengan membaca kasrah huruf ghainnya yang diberi titik satu di atas. (وَيُعَرَّفُوْنَ بِلَبْسِ الْغِيَارِ) بِكَسْرِ الْغَيْنِ الْمُعْجَمَةِ
Al ghiyar adalah merubah pakaian dengan cara si dzimmi menjahitkan pada pakaiannya sesuatu yang berbeda dengan warna pakaiannya, dan sesuatu tersebut diletakkan di bagian pundak. وَهُوَ تَغْيِيْرُ اللِّبَاسِ بِأَنْ يَخِيْطَ الذِّمِّيُّ عَلَى ثَوْبِهِ شَيْئًا يُخَالِفُ لَوْنَ ثَوْبِهِ وَيَكُوْنُ ذَلِكَ عَلَى الْكَتِفِ
Bagi orang yahudi yang lebih baik adalah warna kuning, bagi orang yahudi yang lebih baik adalah abu-abu dan bagi orang majusi yang lebih baik adalah warna hitam dan merah. وَالْأَوْلَى بِالْيَهُوْدِيِّ الْأَصْفَرُ وَبِالنَّصْرَانِيِّ الْأَزْرَقُ وَبِالْمَجُوْسِيِّ الْأَسْوَدُ وَالْأَحْمَرُ
Ungkapan mushannif, “diberi tanda pengenal”, juga diungkapkan di dalam kitab ar Raudlah karena mengikut pada kitab aslinya ar Raudlah. وَقَوْلُ الْمُصَنِّفِ وَيُعَرَّفُوْنَ عَبَّرَ بِهِ النَّوَوِيُّ أَيْضًا فِيْ الرَّوْضَةِ تَبْعًا لِأَصْلِهَا
Akan tetapi, di dalam kitab al Minhaj, beliau menggungkapkan bahasa, “dan dia, maksudnya orang kafir dzimmi diperintah.” لَكِنَّهُ فِيْ الْمِنْهَاجِ قَالَ وَيُؤْمَرُ أَيِ الذِّمِّيُّ
Dari ungkapan imam an Nawawi ini, tidak bisa diketahui apakah perintahnya adalah wajib atau sunnah, akan tetapi indikasi dari pernyataan al jumhur adalah yang pertama (wajib). وَلَا يُعْرَفُ مِنْ كَلَامِهِ أَنَّ الْأَمْرَ لِلْوُجُوْبِ أَوِ النَّدْبِ لَكِنْ مُقْتَضَى كَلَامِ الْجُمْهُوْرِ الْأَوَّلُ
Mushannif meng-athaf-kan perkataan beliau, “dan mengikat az zunar” pada lafadz “al ghiyar.” وَعَطَفَ الْمُصَنِّفُ عَلَى الْغِيَارِ قَوْلَهُ (وَشَدُّ الزُّنَارِ)
Az zunar dengan menggunakan huruf za’ yang diberi titik satu di atas adalah tali besar yang diikatkan di perut di atas pakaian, dan tidak cukup meletakkannya di balik pakaian. وَهُوَ بِزَايٍ مُعْجَمَةٍ خَيْطٌ غَلِيْظٌ يُشَدُّ فِيْ الْوَسَطِ فَوْقَ الثِّيَابِ وَلَا يَكْفِيْ جَعْلُهُ تَحْتَهَا
Mereka tidak diperkenankan naik kuda baik yang bagus ataupun tidak bagus. (وَيُمْنَعُوْنِ مِنْ رُكُوْبِ الْخَيْلِ) النَّفِيْسَةِ وَغَيْرِهَا
Mereka tidak dilarang untuk naik keledai walaupun bagus. وَلَا يُمْنَعُوْنَ مِنْ رُكُوْبِ الْحَمِيْرِ وَلَوْ كَانَتْ نَفِيْسَةً
Mereka dilarang memperdengarkan ucapan kufur kepada orang-orang islam, seperti ucapan mereka, “allahu stalitsu tsalatsah (Allah adalah salah satu dari tiga tuhan)”. Dan sungguh Allah dibersihkan dari semua itu, dengan keluhuran yang agung. وَيُمْنَعُوْنَ مِنْ إِسْمَاعِهِمُ الْمُسْلِمِيْنَ قَوْلَ الشِّرْكِ كَقَوْلِهِمْ اللهُ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا.


KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM BINATANG BURUAN, KURBAN DAN BINATANG YANG HALAL DIMAKAN

Lafadz “ash shaid” adalah kaliamt masdar yang mana disini diungkapkan untuk makna isim maf’ul yaitu lafadz “al mashid” -bermakna binatang yang diburu-. وَالصَّيْدُ مَصْدَرٌ أُطْلِقَ هُنَّا عَلَى اسْمِ الْمَفْعُوْلِ وَهُوَ الْمَصِيْدُ
Binatang, maksudnya binatang darat yang halal dimakan ketika mudah untuk disembelih, maka penyembelihannya dilakukan pada halq, yaitu leher bagian atas, dan pada labbah. Labbah dengan menggunakan huruf lam yang dibaca fathah dan huruf ba’ yang diberi titik satu serta dibaca tasydid adalah leher bagian bawah. (وَمَا) أَيِ الْحَيَوَانُ الْبَرِيُّ الْمَأْكُوْلُ الَّذِيْ (قُدِرَ) بِضَمِّ أَوَّلِهِ (عَلَى ذَكَاتِهِ) أَيْ ذَبْحِهِ (فَذَكَّاتُهُ) تَكُوْنُ (فِيْ حَلْقِهِ) وَهُوَ أَعْلَى الْعُنُقِ (وَلَبَّتِهِ) أَيْ بِلَامٍ مَفْتُوْحَةٍ وَمُوَحَّدَةٍ مُشَدَّةٍ أَسْفَلِ الْعُنُقِ
Adz dzakah dengan menggunakan huruf dzal yang diberi titik satu di atas, maknanya secara bahasa adalah membuat enak, karena di dalam penyembelihan terdapat unsur membuat enak pada daging binatang yang disembelih. وَالذَّكَاةُ بِذَالٍ مُعْجَمَةٍ مَعَنَاهَا لُغَةً التَّطْيِيِبُ لِمَا فِيْهَا مِنْ تَطْيِيْبِ أَكْلِ اللَّحْمِ الْمَذْبُوْحِ
Dan secara syara’ adalah menghentikan al hararah al ghariziyah (nyawa) dengan cara tertentu. وَشَرْعًا إِبْطَالُ الْحَرَارَةِ الْغَرِيْزِيَّةِ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
Sedangkan binatang air yang halal dimakan, maka hukumnya halal tanpa disembelih menurut pendapat al ashah. أَمَّا الْحَيَوَانُ الْمَأْكُوْلُ الْبَحْرِيُّ فَيَحِلُّ عَلَى الصَّحِيْحِ بِلَا ذَبْحٍ
Biantang yang tidak mudah untuk disembelih seperti kambing yang sulit dikendalikan atau onta yang lari tidak bisa dikendalikan, maka proses penyembelihannya dengan cara ‘aqruhu (melukainya), dengan membaca fathah huruf ‘ainnya, dengan bentuk melukai yang bisa menyebabkan kematian dengan cepat pada bagian manapun yang mudah untuk dilukai, maksudnya pada bagian manapun luka tersebut. (وَمَا) أَيِ الْحَيَوَانُ الَّذِيْ (لَمْ يُقْدَرْ) بِضَمِّ أَوَّلِهِ (عَلَى ذَكَّاتِهِ) كَشَاةٍ أُنْسِيَّةٍ تَوَحَّشَتْ أَوْ بَعِيْرٍ ذَهَبَ شَارِدًا (فَذَكَّاتُهُ عَقْرُهُ) بِفَتْحِ الْعَيْنِ عَقَرًا مُزْهِقًا لِلرُّوْحِ (حَيْثُ قُدِرَ عَلَيْهِ) أَيْ فِيْ أَيِّ مَوْضِعٍ  كَانَ الْعَقْرُ.

Proses Penyembelihan

Kesempurnaan penyembelihan, dalam sebagian redaksi, “dalam proses penyembelihan disunnahkan” melakukan empat perkara : (وَكَمَالُ الذَّكَّاةِ) فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَيُسْتَحَبُّ فِيْ الذَّكَّاةِ (أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ)
Salah satunya adalah memotong al hulqum, dengan membaca huruf ha’nya yang tidak diberi titik. Al hulqum adalah otot jalur keluar masuknya nafas. أَحَدُهَا (قَطْعُ الْحُلْقُوْمِ) بِضَمِّ الْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ وَهُوَ مَجْرَى النَّفَسِ دُخُوْلًا وَخُرُوْجًا
Yang kedua memotong al mari’ dengan membaca fathah huruf mimnya dan menggunakan huruf hamzah di akhirnya, dan boleh membaca tashil huruf hamzahnya. (وَ) الثَّانِيْ قَطْعُ (الْمَرِئِ) بِفَتْحِ مِيْمِهِ وَهَمْزَةٍ آخِرَهً وَيَجُوْزُ تَسْهِيْلُهُ
Al mari’ adalah otot jalur makanan dan minuman dari leher hingga lambung. Posisi al mari’ di bawah al hulqum. وَهُوَ مَجْرَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ مِنَ الْحَلْقِ إِلَى الْمَعِدَّةِ وَالْمَرِئِ تَحْتَ الْحُلْقُوْمِ
Semua yang disebutkan di atas harus dipotong sekaligus tidak boleh dengan dua kali pemotongan. Jika dengan dua kali pemotongan, maka hukum binatang yang disembelih adalah haram. وَ يَكُوْنُ قَطْعُ مَا ذُكِرَ دَفْعَةً وَاحِدَةً لَا فِيْ دَفْعَتَيْنِ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ الْمَذْبُوْحُ حِيْنَئِذٍ
Ketika dari al hulqum dan al mari’ masih ada yang tersisa -tidak terpotong-, maka hukum binatang yang disembelih adalah tidak halal. وَمَتَّى بَقِيَ شَيْئٌ مِنَ الْحُلْقُوْمِ وَالْمَرِئِ لَمْ يَحِلَّ الْمَذْبُوْحُ.
Yang ketiga dan keempat adalah memotong al wadajain, dengan menggunakan huruf wau dan huruf dal yang terbaca fathah. Al wadajain adalah bentuk kalimat tatsniyah dari lafadz “wadaj” dengan membaca fathah atau kasrah huruf dalnya. (وَ) الثَّالِثُ وَالرَّابِعُ قَطْعُ (الْوَدَجَيْنِ) بِوَاوٍ وَدَالٍ مَفْتُوْحَتَيْنِ تَثْنِيَّةُ وَدَجٍ بِفَتْحِ الدَّالِ وَكَسْرِهَا
Al wadajain adalah dua otot yang berada di lipatan leher yang meliputi al hulqum. وَهُمَا عِرْقَانِ فِيْ صَفْحَتَيِ الْعُنُقِ مُحِيْطَانِ بِالْحُلْقُوْمِ
Sesuatu yang sudah dianggap cukup dari penyembelihan, maksudnya sesuatu yang sudah cukup dalam proses penyembelihan adalah dua perkara, yaitu memotong al hulqum dan al mari’ saja. (وَالْمُجْزِئُ مِنْهَا) أَيِ الَّذِيْ يَكْفِيْ فِيْ الذَّكَّاةِ (شَيْئَانِ قَطْعُ الْحُلْقُوْمِ وَالْمَرِئِ) فَقَطْ
Tidak disunnahkan memotong bagian dibalik al wadajain. وَلَا يُسَنُّ قَطْعُ مَا وَرَاءَ الْوَدَجَيْنِ

 

Berburu

 

Diperbolehkan, maksudnya halal berburu, maksudnya memakan binatang yang diburu dengan setiap binatang buas yang telah terlatih. (وَيَجُوْزُ) أَيْ يَحِلُّ (الْاِصْطِيَادُ) أَيْ أَكْلُ الْمُصَادِ (بِكُلِّ جَارِحَةٍ مُعَلَّمَةٍ مِنَ السِّبَاعِ)
Dalam sebagian redaksi dengan menggunakan bahasa, “dari binatang buas pemburu binatang ternak”, seperti macan kumbang, macan tutul, dan anjing. وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مِنْ سِبَاعِ الْبَهَائِمِ كَالفَهْدِ وَالنَّمِرِ وَالْكَلْبِ
Dan burung-burung pemburu seperti burung elang dan rajawali, pada bagian manapun luka yang diakibatkan oleh binatang atau burung pemburu tersebut. (وَمِنْ جَوَارِحِ الطَّيْرِ) كَصَقْرٍ وَ بَازٍ فِيْ أَيِّ مَوْضِعٍ كَانَ جُرْحُ السِّبَاعِ وَالطَّيْرِ
Al jarihah adalah lafadz yang tercetak dari lafadz “al jurh” yang bermakna berburu. وَالْجَارِحَةُ مُشْتَقَّةٌ مِنَ الْجُرْحِ وَهُوَ الْكَسْبُ.

 

Syarat-Syarat Binatang Pemburu

 

Syarat binatang yang terlatih, maksudnya binatang-binatang pemburu ada empat : (وَشَرَائِطُ تَعْلِيْمِهَا) أَيِ الْجَوَارِحِ (أَرْبَعَةٌ)
Salah satunya, binatang pemburu tersebut sudah terlatih sekira ketika dilepas, maksudnya dilepas oleh pemiliknya, maka binatang tersebut akan menurut. أَحَدُهَا (أَنْ تَكُوْنَ) الْجَارِحَةُ مُعَلَّمَةً بِحَيْثُ (إِذَا أُرْسِلَتْ) أَيْ أَرْسَلَهَا صَاحِبُهَا (اسْتَرْسَلَتْ
Kedua, ketika binatang tersebut dihentikan, dengan membaca dlammah huruf awalnya, maksudnya dihentikan oleh pemiliknya, maka binatang tersebut menuruti perintah / berhenti. (وَ) الثَّانِيْ أَنَّهَا (إِذَا زُجِرَتْ) بِضَمِّ أَوَّلِهِ أَيْ زَجَرَهَا صَاحِبُهَا (انْزَجَرَتْ
Ketiga, ketika binatang pemburu tersebut berhasil membunuh buruannya, maka ia sama sekali tidak memakan bagian dari binatang buruannya. وَ) الثَّالِثُ أَنَّهَا (إِذَا قَتَلَتْ صَيْدًا لَمْ تَأْكُلْ مِنْهُ شَيْئًا
Ke empat, hal tersebut telah teruji berulang kali dari binatang pemburu tersebut, maksudnya ke empat syarat itu telah teruji berulang kali dari binatang pemburu tersebut sekira sudah ada dugaan bahwa binatang pemburu itu sudah benar-benar terlatih. (وَ) الرَّابِعُ (أَنْ يَتَكَرَّرَ ذَلِكَ مِنْهَا) أَيْ تَتَكَرَّرَ الشَّرَائِطُ الْأَرْبَعَةُ مِنَ الْجَارِحَةِ بِحَيْثُ يُظَنُّ تَأَدُّبُهَا
Tikrar (berulang kali) tidak dikembalikan pada jumlah akan tetapi pada pakar ahli binatang pemburu. وَلَا يُرْجَعُ فِيْ التَّكْرَارِ لِعَدَدٍ بَلِ الْمَرْجِعُ فِيْهِ لِأَهْلِ الْخُبْرَةِ بِطِبَاعِ الْجَوَارِحِ
Kemudian jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka binatang yang berhasil ditangkap oleh binatang pemburu tersebut tidak halal dimakan. (فَإِنْ عُدِمَتْ) مِنْهَا (إِحْدَى الشَّرَائِطِ لَمْ يَحِلَّ مَا أَخَذَتْهُ) الْجَارِحَةُ
Kecuali binatang yang telah ditangkap binatang pemburu tersebut masih ditemukan dalam keadaan hidup kemudian ia menyembelihnya, maka kalau demikian hukumnya halal dimakan. إِلَّا أَنْ يُدْرِكَ) مَا أَخَذَتْهُ الْجَارِحَةُ (حَيًّا فَيُذَكِّى) فَيَحِلُّ حِيْنَئِذٍ

 

Alat Penyembelihan

 

Kemudian mushannif menjelaskan tentang alat penyembelihan di dalam perkataan beliau, ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ آلَةَ الذَّبْحِ فِيْ قَوْلِهِ.
Diperkenankan menyembelih dengan setiap perkara, maksudnya dengan setiap perkara tajam yang bisa melukai seperti besi dan perunggu. (وَتَجُوْزُ الذَّكَّاةُ بِكُلِّ مَا) أَيْ بِكُلِّ مُحَدَّدٍ (يَجْرِحُ) كَحَدِيْدٍ وَنُحَاسٍ
Selain gigi, kuku, dan tulang-tulang yang lain, maka tidak diperkenankan menyembelih dengan menggunakan barang-barang tersebut. (إِلَّا بِالسِّنِّ وَالْظُفْرِ) وَبِاقِيْ الْعِظَامِ فَلَا تَجُوْزُ التَّذْكِيَّةُ بِهَا

 

Orang Yang Menyembelih

 

Kemudian mushannif menjelaskan orang yang sah penyembelihannya dengan perkataan beliau, ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ مَنْ تَصِحُّ مِنْهُ التَّذْكِيَّةُ بِقَوْلِهِ
Hukumnya halal binatang sembelihan setiap orang muslim yang baligh atau tamyiz yang mampu untuk menyembelih. (وَتَحِلُّ ذَكَّاةُ كُلِّ مُسْلِمٍ) بَالِغٍ أَوْ مُمَيِّزٍ يُطِيْقُ الذَّبْحَ
Dan -halal- binatang sembelihan setiap orang kafir kitabi, yaitu orang yahudi atau nasrani. (وَ) ذَكَاةُ كُلِّ (كِتَابِيٍّ) يَهُوْدِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ
Dan hukumnya halal binatang sembelihan orang gila atau orang yang mabuk menurut pendapat al adhar. وَيَحِلُّ ذَبْحُ مَجْنُوْنٍ وَسَكْرَانَ فِيْ الْأَظْهَرِ
Dan hukumnya makruh penyembelih yang dilakukan oleh orang buta. وَيُكْرَهُ ذَكَّاةُ الْأَعْمَى.
Dan hukumnya tidak halal binatang sembelihan orang majusi, orang penyembah berhala dan orang sesamanya yaitu orang-orang yang tidak memiliki kitab samawi di dalam agamanya. (وَلَاتَحِلُّ ذَبِيْحَةُ مَجُوْسِيٍّ وَلَا وَثَنِيٍّ) وَنَحْوِهِمَا مِمَّنْ لَا كِتَابَ لَهُ

 

 

Janin di Perut Induknya

 

Penyembelihan janin -yang masih dalam kandungan induknya- sudah dicukupkan dengan penyembelihan induknya, sehingga tidak usah untuk disembelih lagi. (وَذَكَّاةُ الْجَنِيْنِ) حَاصِلَةٌ (بِذَكَّاةِ أُمِّهِ) فَلَا يُحْتَاجُ لِتَذْكِيَّتِهِ
Hukum ini jika janin tersebut keluar dalam keadaan mati atau padanya terdapat hayat mustaqirah (hidup yang masih). هَذَا إِنْ وُجِدَ مَيْتًا أَوْ فِيْهِ حَيَّاةٌ مُسْتَقِرَّةٌ
Allahumma, kecuali janin tersebut ditemukan dalam keadaan hidup dengan hayyat mustaqirah setelah keluar dari perut induknya, maka kalau demikian harus disembelih. اللهم (إِلَّا أَنْ يُوْجَدَ حَيًّا) بِحَيَاةٍ مُسْتَقِرَّةٍ بَعْدَ خُرُوْجِهِ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ (فَيُذَكَّى) حِيْنَئِذٍ

 

Bagian Tubuh Binatang Hidup

 

Bagian yang terpotong dari binatang yang hidup maka hukumnya adalah bangkai, (وَمَا قُطِعَ مِنْ) حَيَوَانٍ (حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ
Kecuali bulu, maksudnya bulu yang terlepas dari binatang yang halal dimakan, dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “kecuali bulu-bulu”, yang dimanfaatkan untuk alas, pakaian dan yang lainnya. إِلَّا الشَّعْرَ (أَيِ الْمَقْطُوْعُ مِنْ حَيَوَانٍ مَأْكُوْلٍ وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ إِلَّا الشُّعُوْرَ (الْمُنْتَفَعَ بِهَا فِيْ الْمَفَارِشِ وَالْمَلَابِسِ) وَغَيْرِهَا


BAB BINATANG YANG DIMAKAN

 

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum binatang yang dimakan, maksudnya yang halal dimakan dan yang tidak halal dimakan. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ (الْأَطْعِمَةِ) الْحَلَالِ مِنْهَا وَغَيْرِهَا
Setiap binatang yang dianggap enak oleh orang arab, yaitu orang arab yang kaya, memiliki keluasan dalam harta, tabiat yang selamat dan biasa mengkonsumsi makanan yang enak. (وَكُلُّ حَيَوَانٍ اسْتَطَابَتْهُ الْعَرَبُ) الَّذِيْنَ هُمْ أَهْلُ ثَرْوَةٍ وَخَصْبٍ وَطِبَاعٍ سَلِيْمَةٍ وَرَفَاهِيَّةٍ (فَهُوَ حَلَالٌ
Kecuali binatang yang telah diharamkan oleh syareat, maka untuk binatang ini tidak dikembalikan pada penilaian mereka. إِلَّا مَا) أَيْ حَيَوَانٌ (وَرَدَ الشَّرْعُ بِتَحْرِيْمِهِ) فَلَا يَرْجِعُ فِيْهِ لِاسْتِطَابَتِهِمْ لَهُ
Setiap binatang yang dianggap menjijikkan oleh orang arab, maka hukumnya haram. (وَكُلُّ حَيَوَانٍ اسْتَحْبَثَتْهُ الْعَرَبُ) أَيْ عَدُّوْهُ خَبِيْثًا (فَهُوَ حَرَامٌ
Kecuali binatang yang telah dihalalkan oleh syareat, maka hukumnya tidak haram. إِلَّا مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِإِبَاحَتِهِ) فَلَا يَكُوْنُ حَرَامًا
Hukumnya haram binatang yang memiliki taring, maksudnya gigi kuat yang digunakan untuk menggigit binatang lain seperti harimau dan macan tutul. (وَيَحْرُمُ مِنَ السِّبَاعِ مَا لَهُ نَابٌ) أَيْ سِنٌّ (قَوِيٌّ يَعْدُوْ بِهِ) عَلَى الْحَيَوَانِ كَأَسَدٍ وَنَمِرَةٍ
Hukumnya haram burung yang memiliki cengkeram, -lafadz “mikhlab”- dengan terbaca kasrah huruf mimnya dan fathah huruf lamnya, maksudnya kuku kuat yang digunakan untuk melukai seperti burung elang, rajawali, elang hitam. (وَيَحْرُمُ مِنَ الطُّيُوْرِ مَا لَهُ مِخْلَبٌ) بِكَسْرِ الْمِيْمِ وَفَتْحِ اللَّامِ أَيْ ظُفْرٌ (قَوِيٌّ يَجْرِحُ بِهِ) كَصَقْرٍ وَبَازٍ وَشَاهِيْنٍ.

 

 

Keadaan Darurat

 

Bagi orang yang mudlthar, yaitu orang yang khawatir terjadi sesuatu yang berbahaya jika tidak makan, saat terdesak, baik khawatir mati, sakit yang mengkhawatirkan, bertambah sakit, atau tertinggal rombongan dan ia tidak menemukan makanan halal yang bisa ia makan, maka baginya halal untuk memakan bangkai dengan ukuran yang cukup untuk menyelamatkan nyawanya. (وَيَحِلُّ لِلْمُضْطَرِ) وَهُوَ مَنْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ الْهَلَاكَ مِنْ عَدَمِ الْأَكْلِ (فِي الْمَخْمَصَةِ) مَوْتًا أَوْ مَرَضًا مَخُوْفًا أَوْ زِيَادَةَ مَرَضٍ أَوِ انْقِطَاعَ رُفْقَةٍ وَلَمْ يَجِدْ مَا يَأْكُلُهُ حَلَالًا (أَنْ يَأْكُلَ مِنَ الْمَيْتَةِ الْمُحَرَّمَةِ) عَلَيْهِ (مَا) أَيْ شَيْئًا (يَسُدُّ بِهِ رُمْقَهُ) أَيْ بَقِيَّةَ رُوْحِهِ
Kita memiliki dua bangkai yang halal dimakan, yaitu bangkai ikan dan belalang. (وَلَنَا مَيْتَتَانِ حَلَالَانِ) وَهُمَا (السَّمَكُ وَالْجَرَادُ
Dan kita memiliki dua darah yang halal dimakan, yaitu jantung dan limpa. (وَ) لَنَا (دَمَّانِ حَلَالَانِ) وَهُمَا (الْكَبِدُ وَالطِّحَالُ)

Pembagian Binatang

 

Dari penjelasan mushannif dan penjelasan di depan, maka diketahui bahwa sesungguhnya binatang terbagi menjadi tiga, وَقَدْ عُرِفَ مِنْ كَلَامِ الْمُصَنِّفِ وَ فِيْمَا سَبَقَ أَنَّ الْحَيَوَانَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ
Salah satunya adalah binatang yang tidak halal dimakan. Sehingga yang disembelih ataupun yang berupa bangkai hukumnya sama. أَحَدُهَا مَا لَا يَأْكُلُ فَذَبِيْحَتُهُ وَمَيْتَتُهُ سَوَاءٌ
Yang kedua adalah binatang yang bisa dimakan, namun tidak bisa halal dimakan kecuali dengan disembelih secara syar’i. وَالثَّانِيْ مَا يُؤْكَلُ فَلَا يَحِلُّ إِلَّا بِالتَّذْكِيَّةِ الشَّرْعِيَّةِ
Yang ke tiga adalah binatang yang bangkainya halal untuk dimakan seperti ikan dan belalang. وَالثَّالِثُ مَا تَحِلُّ مَيْتَتُهُ كَالسَّمَكِ وَالْجَرَادِ


BAB KURBAN

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum kurban. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ (الْأُضْحِيَّةِ)
Al udhiyah, dengan membaca dlammah huruf hamzahnya menurut pendapat yang paling masyhur, yaitu nama binatang ternak yang disembelih pada hari Raya Kurban dan hari At Tasyriq karena untuk mendekatkan diri pada Allah Swt. بِضَمِّ الْهَمْزَةِ فِيْ الْأَشْهَرِ وَهُوَ اسْمٌ لِمَا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ يَوْمَ عِيْدِ النَّحْرِ وَأَيَّامَ التَّشْرِيْقِ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ تَعَالَى

 

 

Hukum Kurban

 

Al udhiyah hukumnya adalah sunnah kifayah mu’akadah. (وَالْأُضْحِيِّةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ) عَلَى الْكِفَايَةِ
Sehingga, ketika salah satu dari penghuni suatu rumah telah adalah yang melaksanakannya, maka sudah mencukupi dari semuanya. فَإِذَا أَتَى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنْ جَمِيْعِهِمْ
Al udhiyah tidak bisa wajib kecuali dengan nadzar. وَلَا تَجِبُ الْأُضْحِيَّةُ إِلَّا بِنَذْرٍ

Binatang Kurban

 

Yang bisa mencukupi di dalam Al udhiyah adalah kambing domba yang berusia satu tahun dan menginjak dua tahun. (وَيُجْزِئُ فِيْهَا الْجَذْعُ مِنَ الضَّأْنِ) وَهُوَ مَا لَهُ سَنَةٌ وَطَعَنَ فِيْ الثَّانِيَةِ
Dan kambing kacang yang berusia dua tahun dan menginjak tiga tahun. (وَالثَّنِيُّ مِنَ الْمَعْزِ) وَهُوَ مَا لَهُ سَنَتَانِ وَطَعَنَ فِيْ الثَّالِثَةِ
Dan onta ats tsaniyah yang berusia lima tahun dan memasuki usia enam tahun. (وَالثَّنِيُّ مَنَ الْإِبِلِ) مَا لَهُ خَمْسُ سِنِيْنَ وَطَعَنَ فِيْ السَّادِسَةِ
Dan sapi ats tsaniyah yang berusia dua tahun dan memasuki usia tiga tahun. (وَالثَّنِيُّ مِنَ الْبَقَرَةِ) مَالَهُ سَنَتَانِ وَطَعَنَ فِيْ الثَّالِثَةِ

Untuk Siapa Kurban ???

 

Satu ekor onta cukup digunakan kurban untuk tujuh orang yang bersama-sama melakukan kurban dengan satu onta. (وَتُجْزِئُ الْبَدَنَةُ عَنْ سَبْعَةٍ) اشْتَرَكُوْا فِيْ التَّضْحِيَّةِ بِهَا
Begitu juga satu ekor sapi cukup digunakan kurban untuk tujuh orang. (وَ) تُجْزِئُ (الْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ) كَذَلِكَ
Satu ekor kambing hanya cukup digunakan kurban untuk satu orang. Dan satu ekor kambing lebih afdlal daripada bersama-sama dengan orang lain melakukan kurban dengan onta. (وَ) تُجْزِئُ (الشَّاةُ عَنْ) شَخْصٍ (وَاحِدٍ) وَهِيَ  أَفْضَلُ مِنْ مُشَارَكَتِهِ فِيْ بَعِيْرٍ
Kurban yang paling utama adalah onta, kemudian sapi lalu kambing. وَأَفْضَلُ أَنْوَاعِ الْأُضْحِيَّةِ إِبِلٌ ثُمَّ بَقَرٌ ثُمَّ غَنَمٌ.

Binatang Yang Tidak Sah

 

Ada empat binatang, dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “arba’atun” yang tidak mencukupi untuk dijadikan kurban. (وَأَرْبَعٌ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَأَرْبَعَةٌ (لَا تُجْزِئُ فِيْ الضَّحَايَا)
Salah satunya adalah binatang yang buta satu matanya yang nampak jelas, walaupun bulatan matanya masih utuh menurut pendapat al ashah. أَحَدُهَا  (الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ) أَيْ ظَاهِرٌ (عِوَرُهَا) وَإِنْ بَقِيَتِ الْحَدَقَةُ فِيْ الْأَصَحِّ
Yang kedua adalah binatang pincang yang nampak jelas pincangnya, walaupun pincang tersebut terjadi saat menidurkan miring binatang itu karena untuk disembelih saat prosesi kurban sebab gerakan binatang tersebut. (وَ) الثَّانِيْ (الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا) وَلَوْ كَانَ حُصُوْلُ الْعَرَجِ لَهَا عِنْدَ إِضْجَاعِهَا لِلتَّضْحِيَّةِ بِهَا بِسَبَبِ اضْطِرَابِهَا
Yang ketiga adalah binatang sakit yang nampak jelas sakitnya. (وَ) الثَّالِثُ (الْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا)
Dan tidak masalah jika hal-hal ini hanya sedikit saja. وَلَا يَضُرُّ يَسِيْرُ هَذِهِ الْأُمُوْرِ
Yang ke empat adalah binatang al ‘ajfa’, yaitu binatang yang hilang bagian otaknya sebab terlalu kurus. (وَ) الرَّابِعُ (الْعَجْفَاءُ) وَهِيَ (الَّتِيْ ذَهَبَ مُخُّهَا) أَيْ ذَهَبَ دِمَاغُهَا (مِنَ الْهُزَالِ) الْحَاصِلِ لَهَا.
Sudah dianggap cukup berkurban dengan binatang yang dikebiri, maksudnya binatang yang dipotong dua pelirnya, dan binatang yang pecah tanduknya jika memang tidak berpengaruh apa-apa pada dagingnya. (وَيُجْزِئُ الْخَصِيُّ) أَيِ الْمَقْطُوْعُ الْخَصِيَّتَيْنِ (وَالْمَكْسُوْرُ القَرْنِ) إِنْ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيْ اللَّحْمِ
Begitu juga mencukupi berkurban dengan binatang yang tidak memiliki tanduk, dan binatang seperti ini disebut dengan al jalja’. وَيُجْزِئُ أَيْضًا فَاقِدَةُ الْقُرُوْنِ وَهِيَ الْمُسَمَّةُ بِالْجَلْجَاءِ
Tidak mencukupi berkurban dengan binatang yang terpotong seluruh telinganya, sebagiannya atau terlahir tanpa telinga. (وَلَا تُجْزِئُ الْمَقْطُوْعَةُ) كُلُّ (الْأُذُنِ) وَلَا بَعْضُهَا وَلَا الْمَخْلُوْقَةُ بِلَا أُذُنٍ
Dan tidak mencukupi binatang yang terpotong seluruh atau sebagian ekornya. (وَ) لَا الْمَقْطُوْعَةُ (الذَّنْبِ) وَلَا بَعْضِهِ

 

Waktu Pelaksanaan Kurban

 

Waktu penyembelihan kurban dimulai dari waktunya sholat Hari Raya, maksudnya Hari Raya Kurban. (وَ) يَدْخُلُ (وَقْتُ الذَبْحِ) لِلْأُضْحِيَّةِ (مِنْ وَقْتِ صَلَاةِ الْعِيْدِ) أَيْ عِيْدِ النَّحْرِ
Ungkapan kitab ar Raudlah dan kitab asalnya, “waktu pelaksanaan kurban masuk ketika terbitnya matahari Hari Raya Kurban dan telah melewati kira-kira waktu yang cukup untuk melaksanakan sholat dua rakaat dan dua khutbah yang dilakukan agak cepat.” Ungkapan kitab ar Raudlah dan kitab asalnya telah selesai. وَعِبَارَةُ الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا يَدْخُلُ وَقْتُ التَّضْحِيَّةِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ يَوْمَ النَّحْرِ وَمَضَى قَدْرُ رَكْعَتَيْنِ وَخُطْبَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ انْتَهَى
Waktu penyembelihan binatang kurban tetap ada hingga terbenamnya matahari di akhir hari at Tasyriq. Hari at Tasyriq adalah tiga hari yang bersambung setelahnya tanggal sepuluh Dzil Hijjah. وَيَسْتَمِرُّ وَقْتُ الذَّبْحِ (إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ) وَهِيَ الثَّلَاثَةُ الْمُتَّصِلَةُ بِعَاشِرِ الْحِجَّةِ

 

 

Kesunnahan Kurban

 

Disunnahkan melakukan lima perkara saat pelaksanaan kurban, (وَيُسْتَحَبُّ عِنْدَ الذَّبْحِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ)
Salah satunya adalah membaca basmalah. Maka orang yang menyembelih sunnah mengucapkan, “bismillah”. Dan yang paling sempurna adalah, “bismillahirahmanirrahim.” أَحَدُهَا (التَّسْمِيَّةُ)  فَيَقُوْلُ الذَّابِحُ “بِسْمِ اللهِ” وَالْأَكْمَلُ “بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ”
Dan seandainya orang yang menyembelih tidak mengucapkan basmalah, maka binatang kurban yang disembelih hukumnya halal. وَلَوْ لَمْ يُسَمِّ حَلَّ الْمَذْبُوْحُ
Yang kedua adalah membaca shalawat kepada baginda Nabi Saw. (وَ) الثَّانِيْ (الصَّلَّاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
Dimakruhkan mengumpulkan diantara nama Allah dan nama Rasul-Nya. وَيُكْرَهُ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ اسْمِ اللهِ وَاسْمِ رَسُوْلِهِ
Yang ketiga adalah menghadapkan binatang kurbannya ke arah kiblat. (وَ) الثَّالِثُ (اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ) بِالذَّبِيْحَةِ
Maksudnya, orang yang menyembelih menghadapkan leher binatang yang disembelih kearah kiblat. Dan ia sendiri juga menghadap kiblat. أَيْ يُوَجِّهُ الذَّابِحُ مَذْبَحَهَا لِلْقِبْلَةِ وَيَتَوَجَهُ هُوَ أَيْضًا.
Ke empat adalah membaca takbir tiga kali, maksudnya sebelum atau setelah membaca basmalah, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam al Mawardi. (وَ) الرَّابِعُ (التَّكْبِيْرُ) أَيْ قَبْلَ التَّسْمِيَّةِ أَوْ بَعْدَهَا ثَلَاثًا كَمَا قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ
Yang ke lima adalah berdoa semoga diterima oleh Allah Swt. (وَ) الْخَامِسُ (الدُّعَاءُ بِالْقَبُوْلِ)
Maka orang yang menyembelih berkata, “ya Allah, ini adalah dari Engkau dan untuk Engkau, maka sudilah Engkau menerimanya.” Maksudnya, “binatang kurban ini adalah nikmat dari-Mu untukku, dan aku mendekatkan diri pada-Mu dengan binatang kurban ini, maka terimalah binatang kurban ini dariku.” فَيَقُوْلُ الذَّابِحُ “اللهم هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ” أَيْ هَذِهِ الْأُضْحِيَّةُ نِعْمَةٌ مِنْكَ عَلَيَّ وَتَقَرَّبْتُ بِهَا إِلَيْكَ فَتَقَبَّلْهَا مِنِّيْ

 

Memakan Daging Kurban

 

Orang yang melaksanakan kurban tidak diperkenankan memakan apapun dari kurban yang dinadzari. (وَلَا يَأْكُلُ الْمُضَّحِيْ شَيْئًا مِنَ الْأُضْحِيَّةِ الْمَنْذُوْرَةِ)
Bahkan bagi dia wajib mensedekahkan semua dagingnya. بَلْ تَجِبُ عَلَيْهِ التَّصَدُّقُ بِجَمِيْعِ لَحْمِهَا
Kemudian, seandainya ia menunda untuk mensedekahkannya hingga rusak, maka wajib baginya untuk mengganti. فَلَوْ أَخَّرَهَا فَتَلِفَتْ لَزِمَهُ ضَمَانُهُ
Ia diperkenankan memakan sepertiga dari binatang kurban yang sunnah menurut pendapat al Jadid. (وَيَأْكُلُ مِنَ الْأُضْحِيَّةِ الْمُتَطَوِّعَةِ بِهَا) ثُلُثًا عَلَى الْجَدِيْدِ
Sedangkan untuk dua sepertiganya, maka ada yang mengatakan harus disedekahkan, dan ini diunggulkan oleh imam an Nawawi di dalam kitab Tashhih at Tanbih. وَأَمَّا الثُّلُثَانِ فَقِيْلَ يُتَصَدَّقُ بِهِمَا وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِيْ تَصْحِيْحِ التَّنْبِيْهِ
Dan ada yang mengatakan, bahwa ia menghadiahkan sepertiga dari dagingnya kepada kaum muslimin yang kaya dan mensedekahkan sepertiganya kepada kaum faqir. وَقِيْلَ يُهْدِيْ ثُلُثًا لِلْمُسْلِمِيْنَ الْأَغْنِيَاءَ وَيَتَصَدَّقُ بِثُلُثٍ عَلَى الْفُقَرَاءِ مِنْ لَحْمِهَا
Di dalam kitab ar Raudlah dan kitab asalnya, imam an Nawawi tidak mengunggulkan salah satu dari dua pendapat ini. وَلَمْ يُرَجِّحِ النَّوَوِيُّ فِيْ الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا شَيْئًا مِنْ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ

Menjual Daging Kurban

 

Tidak boleh menjual, maksudnya bagi orang yang melaksanakan kurban diharamkan untuk menjual bagian dari binatang kurbannya, maksudnya dari daging, bulu atau kulitnya. (وَلَا يَبِيْعُ) أَيْ يَحْرُمُ عَلَى الْمُضَّحِيْ بَيْعُ شَيْئٍ (مِنَ الْأُضْحِيَّةِ) أَيْ مِنْ لَحْمِهَا أَوْ شَعْرِهَا أَوْ جِلْدِهَا
Begitu juga haram menjadikan bagian dari binatang kurban sebagai ongkos untuk pejagal, walaupun berupa binatang kurban yang sunnah. وَيَحْرُمُ أَيْضًا جَعْلُهُ أُجْرَةً لِلْجَزَارِ وَلَوْ كَانَتِ الْأُضْحِيَّةِ تَطَوُّعًا
Wajib memberi makan bagian dari binatang kurban yang sunnah kepada kaum faqir dan kaum miskin.

 

(وَيُطْعِمُ) حَتْمًا مِنَ الْأُضْحِيَّةِ الْمُتَطَوِّعَةِ بِهَا (الْفُقَرَاءَ وَالْمَسَاكِيْنَ)
Yang paling utama adalah mensedekahkan semuanya kecuali satu atau beberapa cuil daging yang dimakan oleh orang yang melakukan kurban untuk mengharapkan berkah. Karena sesungguhnya hal itu disunnahkan baginya. وَالْأَفْضَلُ التَّصَدُّقُ بِجَمِيْعِهَا إِلَّا لُقْمَةً أَوْ لُقَمًا يَتَبَرَّكُ الْمُضَّحِيْ  بِأَكْلِهَا فَإِنَّهُ يُسَنُّ لَهُ ذَلِكَ
Ketika ia memakan sebagian dan mensedekahkan yang lainnya, maka ia telah mendapatkan pahala berkurban semuanya dan pahala sedekah sebagiannya saja. وَإِذَا أَكَلَ الْبَعْضَ وَتَصَدَّقَ بِالْبَاقِيْ حَصَلَ لَهُ ثَوَابُ التَّضْحِيَّةِ بِالْجَمِيْعِ وَالتَّصَدُّقِ بِالْبَعْضِ


BAB AQIQAH

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum aqiqah. (فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ أَحْكَامِ (الْعَقِيْقَةِ)
Aqiqah secara bahasa adalah nama rambut yang berada di atas kepala anak yang dilahirkan. وَهِيَ لُغَةً اسْمٌ لِلشَّعْرِ عَلَى رَأْسِ الْمَوْلُوْدِ
Dan secara syara’ akan dijelaskan oleh mushannif dengan perkataan beliau, “aqiqah untuk anak yang dilahirkan disunnahkan.” وَشَرْعًا مَا سَيَذْكُرُهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَالْعَقِيْقَةُ) عَلَى الْمَوْلُوْدِ (مُسْتَحَبَّةٌ)
Mushannif mentafsiri aqiqah dengan perkataan beliau, “aqiqah adalah binatang yang disembelih sebab bayi yang dilahirkan pada hari ketujuh bayi tersebut, maksudnya  pada hari ketujuh kelahirannya. وَفَسَّرَ الْمُصَنِّفُ الْعَقِيْقَةَ بِقَوْلِهِ (وَهِيَ الذَّبِيْحَةُ عَنِ الْمَوْلُوْدِ يَوْمَ سَابِعِهِ) أَيْ يَوْمَ سَابِعِ وِلَادَتِهِ
Hari saat kelahirannya termasuk dalam hitungan tujuh hari tersebut. -kesunnahan tetap berlaku- Walaupun bayi yang telah dilahirkan itu meninggal dunia sebelum hari ketujuh. وَيُحْسَبُ يَوْمُ الْوِلَادَةِ مِنَ السَّبْعِ وَلَوْ مَاتَ الْمَوْلُوْدُ قَبْلَ السَّابِعِ
Kesunnahan aqiqah tidak hilang sebab ditunda hingga melewati hari ketujuh. وَلَا تَفُوْتُ بِالتَّأْخِيْرِ بَعْدَهُ
Namun, jika aqiqah ditundah hingga anak tersebut baligh, maka hukum aqiqah gugur bagi orang yang melakukan aqiqah dari anak tersebut. فَإِنْ تَأَخَّرَتْ لِلْبُلُوْغِ سَقَطَ حُكْمُهَا فِيْ حَقِّ الْعَاقِ عَنِ الْمَوْلُوْدِ
Sedangkan bagi anak itu sendiri, maka diperkenankan untuk melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri ataupun tidak melakukannya. أَمَّا هُوَ فَمُخَيَّرٌ فِيْ الْعَقِّ عَنْ نَفْسِهِ وَالتَّرْكِ
Disunnahkan menyembelih dua ekor kambing sebagai aqiqah untuk anak laki-laki, dan menyembelih satu ekor kambing untuk anak perempuan. (وَيُذْبَحُ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَ) يُذْبَحُ (عَنِ الْجَارِيَّةِ شَاةٌ)
Sebagian ulama’ berkata, “adapun anak khuntsa, maka masih ihtimal / dimungkinkan disamakan dengan anak laki-laki atau dengan anak perempuan.” قَالَ بَعْضُهُمْ أَمَّا الْخُنْثَى فَيَحْتَمِلُ إِلْحَاقُهُ بِالْغُلَامِ أَوْ بِالْجَارِيَّةِ
Namun, seandainya kemudian jelas kelamin prianya, maka disunnahkan untuk menambahi kekurangannya. فَلَوْ بَانَتْ ذُكُوْرَتُهُ أُمِرَ بِالتَّدَارُكِ
Aqiqah menjadi berlipat ganda sebab berlipat gandanya anak. وَتَتَعَدَّدُ الْعَقِيْقَةُ بِتَعَدُّدِ الْأَوْلَادِ

 

 

Proses Aqiqah

 

Bagi orang yang melaksanakan aqiqah, maka harus memberi makan kaum faqir dan kaum miskin. (وَيُطْعِمُ) الْعَاقَ مِنَ الْعَقِيْقَةِ (الْفُقَرَاءَ وَالْمَسَاكِيْنَ)
Ia memasak aqiqah tersebut dengan bumbu manis dan memberikannya sebagai hadiah pada orang-orang faqir dan orang-orang miskin. Dan hendaknya tidak menjadikan aqiqah sebagai acara undangan. Dan hendaknya tidak memecahkan tulang-tulangnya. فَيَطْبَحُهَا بِحُلْوٍ وَيُهْدِيْ مِنْهَا لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَلَا يَتَّخِذُهَا دَعْوَةً وَلَا يُكْسَرُ عَظْمُهَا
Ketahuilah sesungguhnya usia binatang aqiqah, selamat dari cacat yang bisa mengurangi daging, memakannya, mensedekahkan sebagiannya, tidak boleh menjualnya dan menjadi wajib sebab nadzar, hukumnya adalah sesuai dengan hukum yang telah dijelaskan di dalam permasalahan binatang kurban. وَاعْلَمْ أَنَّ سِنَّ الْعَقِيْقَةِ وَسَلَامَتَهَا مِنْ عَيْبٍ يُنْقِصُ لَحْمَهَا وَالْأَكْلَ مِنْهَا وَالتَّصَدُّقَ بِبَعْضِهَا وَامْتِنَاعَ بَيْعِهَا وَتَعَيُّنَهَا بِالنَّذَرِ حُكْمُهُ عَلَى مَا سَبَقَ فِيْ الْأُضْحِيَّةِ

Adzan, Cetak & Nama

 

Disunnahkan untuk mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan mengumandangkan iqamah di telinga kirinya. وَيُسَنُّ أَنْ يُؤْذَنَ فِيْ أُذُنِ الْمَوْلُوْدِ الْيُمْنَى وَيُقِيْمَ فِيْ أُذُنِهِ الْيُسْرَى
Dan -disunnahkan- melakukan hanak (mencetaki : jawa) bayi yang dilahirkan dengan menggunakan kurma kering. Maka seseorang menguyah kurma dan mengoleskannya pada langit-langit bagian dalam mulut si bayi agar ada sebagian dari kurma tersebut yang masuk ke dalam perutnya. وَأَنْ يُحْنَكَ الْمَوْلُوْدُ بِتَمْرٍ فَيُمْضَعُ وَيُدْلَكُ بِهِ حَنَكُهُ دَاخِلَ فَمِّهِ لِيَنْزِلَ مِنْهُ شَيْئٌ إِلَى جَوْفِهِ
Kemudian, jika tidak menemukan kurma kering, maka dengan menggunakan kurma basah, dan jika tidak ada, maka menggunakan sesuatu yang manis. فَإِنْ لَمْ يُوْجَدْ تَمْرٌ فَرُطَبٌ وَإِلَّا فَشَيْئٌ حُلْوٌ
Dan -disunnahkan-memberi nama si bayi pada hari ketujuh kelahirannya. وَأَنْ يُسَمَّى الْمَوْلُوْدُ يَوْمَ سَابِعِ وِلَادَتِهِ
Dan diperbolehkan memberi nama si bayi sebelum atau setelah hari ke tujuh. وَتَجُوْزُ تَسْمِيَّتُهُ قَبْلَ السَّابِعِ وَبَعْدَهُ
Seandainya si bayi meninggal dunia sebelum hari ke tujuh, maka disunnah-kan untuk memberi nama padanya. وَلَوْ مَاتَ الْمَوْلُوْدُ قَبْلَ السَّابِعِ سُنَّ تَسْمِيَّتُهُ


KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM PERLOMBAAN DAN LOMBA MEMANAH

Maksudnya dengan menggunakan anak panah dan sesamanya. أَيْ بِسِهَامٍ وَنَحْوِهَا
Hukumnya sah  melakukan perlombaan dengan menggunakan binatang tunggangan. Maksudnya sesuai dengan hukum asalnya. (وَتَصِحُّ الْمُسَابَقَةُ عَلَى الدَّوَابِ) أَيْ عَلَى مَا هُوَ الْأَصْلُ
Maksudnya melakukan perlombaan dengan menggunakan binatang tunggangan berupa kuda dan onta. Dan ada yang mengatakan, “dan dengan menggunakan bighal dan keledai menurut pendapat al adhhar.” أَيِ الْمُسَابَقَةُ عَلَيْهَا مِنْ خَيْلٍ وَ إِبِلٍ وَ فِيْلٍ وَبَغْلٍ وَحِمَارٍ فِيْ الْأَظْهَرِ
Tidak sah  melakukan perlombaan dengan menggunakan sapi, adu domba, dan adu ayam jago, baik dengan ‘iwadl (hadiah) ataupun tidak.

 

وَلَا تَصِحُّ الْمُسَابَقَةُ عَلَى بَقَرٍ وَلَا عَلَى نِطَاحِ الْكِبَاشِ وَلَا عَلَى مُهَارَشَةِ الدِّيْكَةِ لَا بِعِوَضٍ وَلَا غَيْرِهِ
Dan hukum sah  melakukan perlombaan panah dengan menggunakan anak panah, jika jarak, maksudnya jarak antara tempat orang yang memanah dengan sasaran yang dipanah, sudah maklum / diketahui. (وَ) تَصِحُّ (الْمُنَاضَلَةُ) أَيِ الْمُرَامَاةُ (بِالسِّهَامِ إِذَا كَانَتِ الْمَسَافَةُ) أَيْ مَسَافَةُ مَا بَيْنَ مَوْقِفِ الرَّامِيْ وَالْغَرَضِ الَّذِيْ يُرْمَى إِلَيْهِ (مَعْلُوْمَةٍ
Dan aturan perlombaannya juga maklum, dengan cara kedua orang yang melakukan lomba memanah itu menjelaskan tata cara pemanahan. وَ) كَانَتْ (صِفَّةُ الْمُنَاضَلَةِ مَعْلُوْمَةً) أَيْضًا بِأَنْ يُبَيِّنَ الْمُتَنَاضِلَانِ كَيْفِيَّةَ الرَّمْيِ
Berupa qar’, yaitu anak panah mengenai sasaran dan tidak menancap di sana. مِنْ قَرْعٍ وَهُوَ إِصَابَةُ السَّهْمِ الْغَرَضَ وَلَا يَثْبُتُ فِيْهِ
Khasaq, yaitu anak panah melubangi sasaran dan menancap di sana. أَوْ مِنْ خَسَقٍ وَهُوَ أَنْ يُثْقِبَ السَّهْمُ الْغَرَضَ  وَيَثْبُتَ فِيْهِ
Atau marq, yaitu anak panah menembus sasaran. أَوْ مِنْ مَرْقٍ وَهُوَ أَنْ يَنْفُذَ السَّهْمُ مِنَ الْجَانِبِ الْآخِرِ مِنَ الْغَرَضِ

 

Hadiah Perlombaan

 

Ketahuilah sesungguhnya ‘iwadl (hadiah) perlombaan adalah harta yang dikeluarkan dalam perlombaan. وَاعْلَمْ أَنَّ عِوَضَ الْمُسَابَقَةِ هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ يُخْرَجُ فِيْهَا
Terkadang ‘iwadl tersebut dikeluarkan oleh salah satu dari dua orang yang melakukan perlombaan, dan terkadang dikeluarkan oleh keduanya secara bersamaan. وَقَدْ يُخْرِجُهُ (أَحَدُ الْمُتَسَابِقَيْنِ) وَقَدْ يُخْرِجَانِهِ مَعًا
Mushannif menyebutkan yang pertama di dalam perkataan beliau, وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ الْأَوَّلَ فِيْ قَوْلِهِ:
Dan yang mengeluarkan hadiah adalah salah satu dari dua orang yang melakukan perlombaan, sehingga, ketika ia mengalahkan/mendahului yang lainnya, -lafadz “sabaqa”- dengan membaca fathah huruf sinnya, maka ia menariknya kembali, maksudnya hadiah yang telah ia keluarkan. (وَيُخْرِجُ الْعِوَضَ أَحَدُ الْمُتَسَابِقَيْنِ حَتَّى أَنَّهُ إِذَا سَبَقَ) بِفَتْحِ السِّيْنِ غَيْرَهُ (اسْتَرَدَّهُ) أَيِ الْعِوَضَ الَّذِيْ أَخْرَجَهُ
Dan jika ia didahului, -lafadz “subiqa”-dengan membaca dlammah huruf awalnya, maka hadiah tersebut diambil oleh lawannya yang telah mengalahkannya. (وَإِنْ سُبِقَ) بِضَمِّ أَوَّلِهِ (أَخَذَهُ) أَيِ الْعِوَضَ (صَاحِبُهُ) السَّابِقُ (لَهُ)
Mushannif menjelaskan yang kedua di dalam perkataan beliau, وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ الثَّانِيْ فِيْ قَوْلِهِ
Jika ‘iwadl dikeluarkan oleh keduanya bersama-sama, maksudnya dua orang yang berlomba, maka tidak diperbolehkan, maksudnya tidak sah jika keduanya mengeluarkan hadiah kecuali keduanya memasukkan muhallil (orang ketiga) diantara keduannya. Lafadz “muhallil” dengan membaca kasrah huruf lamnya yang pertama. (وَإِنْ أَخْرَجَاهُ) أَيِ الْعِوَضَ الْمُتَسَابِقَانِ (مَعًا لَمْ يَجُزْ) أَيْ لَمْ يَصِحَّ إِخْرَاجُهُمَا لِلْعِوَضِ (إِلَّا أَنْ يُدْخِلَا بَيْنَهُمَا مُحَلِّلًا) بِكَسْرِ اللَّامِ الْأُوْلَى
Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “ kecuali ada muhallil yang ikut serta di antara keduanya.” وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ إِلَّا أَنْ يَدْخُلَ بَيْنَهُمَا مُحَلِّلٌ
Sehingga, jika muhallil tersebut mendahului / mengalahkan masing-masing dari dua orang yang melakukan perlombaan itu, maka ia berhak mengambil hadiahnya. (فَإِنْ سَبَقَ)  كُلًّا مِنَ الْمُتَسَابِقَيْنِ (أَخَذَ الْعِوَضَ) الَّذِيْ أَخْرَجَاهُ
Dan jika ia didahului/dikalahkan, -lafadz “subiqa”- dengan membaca dlammah huruf awalnya, maka ia tidak mengeluarkan apapun untuk keduannya. (وَإِنْ سُبِقَ) بِضَمِّ أَوَّلِهِ (لَمْ يَغْرِمْ) لَهُمَا شَيْئًا.


KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM SUMPAH DAN NADZAR

Lafadz “al aiman” dengan membaca fathah huruf hamzahnya adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “yamin”. Asalnya yamin secara bahasa adalah tangan kanan, kemudian diucapkan untuk menunjukkan sumpah. وَالْأَيْمَانُ بِفَتْحِ الْهَمْزَةِ جَمْعُ يَمِيْنٍ وَأَصْلُهَا لُغَةً الْيَدُّ الْيُمْنَى ثُمَّ أُطْلِقَتْ عَلَى الْحَلْفِ
Dan secara syara’ adalah menyatakan sesuatu yang mungkin untuk diingkari, atau menguatkannya dengan menyebut nama Allah Ta’ala atau sifat dari sifat-sifat Dzat-Nya. وَشَرْعًا تَحْقِيْقُ مَا يَحْتَمِلُ الْمُخَالَفَةَ أَوْ تَأْكِيْدُهُ بِذِكْرِ اسْمِ اللهِ تَعَالَى أَوْ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِ ذَاتِهِ
“an nudzur” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “nadzar”. Dan maknanya akan dijelaskan di dalam fasal setelah yamin. وَالنُّذُوْرُ جَمْعُ نَذْرٍ وَسَيَأْتِيْ مَعْنَاهُ فِيْ الْفَصْلِ الَّذِيْ بَعْدَهُ
Yamin / sumpah tidak bisa sah  kecuali dengan Allah Ta’ala, maksudnya dengan dzat-Nya seperti ucapan orang sumpah, “wallahi (demi Allah).” (لَايَنْعَقِدُ الْيَمِيْنُ إِلَّا بِاللهِ تَعَالَى) أَيْ بِذَاتِهِ كَقَوْلِ الْحَالِفِ وَاللهِ
Atau dengan salah satu dari nama-nama-Nya yang khusus bagi Allah yang tidak digunakan pada selain-Nya seperti, “Khaliqulkahlqi (Dzat Yang Menciptakan Makhluk).” (أَوْ بِاسْمٍ مِنْ أَسْمَائِهِ) الْمُخْتَصَّةِ بِهِ الَّتِيْ لَا تُسْتَعْمَلُ فِيْ غَيْرِهِ كَخَالِقِ الْخَلْقِ
Atau salah satu sifat-sifat-Nya yang menetap pada Dzat-Nya seperti ilmu dan qudrat-Nya. (أَوْ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِ ذَاتِهِ) الْقَائِمَةِ بِهِ كَعِلْمِهِ وَقُدْرَتِهِ

 

Orang Yang Sumpah

 

Batasan orang yang bersumpah adalah setiap orang mukallaf, kemauan sendiri, mengucapkan dan menyengaja sumpah. وَضَابِطُ الْحَالِفِ كُلُّ مُكَلَّفٍ مُخْتَارٍ نَاطِقٍ قَاصِدٍ لِلْيَمِيْنِ.
Barang siapa bersumpah untuk mensedekahkan hartanya seperti ucapannya, “lillah ‘alaya an atashaddaqa bi mali (hak bagi Allah atas diriku, bahwa aku akan mensedekahkan hartaku).” Sumpah seperti ini terkadang diungkapkan dengan nama “yamin al lajaj wal ghadlab”, dan terkadang diungkapkan dengan nama “nadzar al lajaj wa al ghadlab”, maka dia, maksudnya orang yang bersumpah atau bernadzar tersebut diperkenankan memilih antara memenuhi apa yang ia sumpahkan dan ia sanggupi dengan nadzar yaitu berupa bersedekah dengan hartanya, atau memilih membayar kafarat yamin (denda sumpah) menurut pendapat al adhhar. (وَمَنْ حَلَفَ بِصَدَقَةِ مَالِهِ) كَقَوْلِهِ لِلهِ عَلَيَّ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِمَالِيْ وَيُعَبَّرُ عَنْ هَذَا الْيَمِيْنِ تَارَّةً بِيَمِيْنِ اللَّجَّاجِ وَالْغَضَبِ وَتَارَةً بِنَذْرِ اللَّجَّاجِ وَالْغَضَبِ (فَهُوَ) أَيِ الْحَالِفُ أَوِ النَّاذِرُ (مُخَيَّرٌ بَيْنَ) الْوَفَاءِ بِمَا حَلَفَ عَلَيْهِ وَالْتَزَمَهُ بِالنَّذْرِ مِنَ (الصَّدَقَةِ) بِمَالِهِ (أَوْ كَفَارَةِ الْيَمِيْنِ) فِيْ الْأَظْهَرِ
Menurut satu pendapat, wajib baginya untuk membayar kafarat yamin. وَفِيْ قَوْلٍ يَلْزَمُهُ كَفَارَةُ يَمِيْنٍ
Dan menurut satu pendapat lagi, wajib baginya memenuhi apa yang telah ia sanggupi. وَفِيْ قَوْلٍ يَلْزَمُهُ الْوَفَاءُ بِمَا الْتَزَمَهُ
Tidak ada kewajiban apa-apa dalam laghwu al yamin (sumpah yang tidak jadi). (وَلَا شَيْئَ فِيْ لَغْوِ الْيَمِيْنِ)
Laghwu al yamin ditafsiri dengan lisan yang terlanjur mengucapkan lafadz yamin tanpa ada kesengajaan untuk melakukannya seperti ucapan seseorang saat marah, ghalabah ghadab (sangat emosi), atau tergesah-gesah,  sesaat ia mengatakan “tidak demi Allah”, dan sesaat kemudian mengatakan, “iya demi Allah.” وَفُسِّرَ بِمَا سَبَقَ لِسَانُهُ إِلَى لَفْظِ الْيَمِيْنِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقْصِدَهَا كَقَوْلِهِ فِيْ حَالِ غَضَبِهِ أَوْ غَلَبَتِهِ أَوْ عُجْلَتِهِ لَا وَاللهِ مَرَّةً وَبَلَى وَاللهِ مَرَّةً فِيْ وَقْتٍ آخَرَ.
Barang siapa bersumpah tidak akan melakukkan sesuatu seperti menjual budaknya, kemudian ia memerintahkan orang lain untuk melakukannya, maka orang yang bersumpah tersebut tidak dianggap melanggar sumpah sebab orang lain melakukannya. (وَمَنْ حَلَفَ أَنْ لَا يَفْعَلَ شَيْئًا) أَيْ كَبَيْعِ عَبْدِهِ (فَأَمَرَ غَيْرَهُ بِفِعْلِهِ) فَفَعَلَهُ بِأَنْ بَاعَ عَبْدَ الْحَالِفِ (لَمْ يَحْنَثْ) ذَلِكَ الْحَالِفُ بِفِعْلِ غَيْرِهِ
Kecuali orang yang bersumpah itu menghendaki bahwa sesungguhnya ia dan orang lain tidak akan melakukannya, maka ia dianggap melanggar sumpah sebab perbuatan orang yang ia perintah. إِلَّا أَنْ يُرِيْدَ الْحَالِفُ أَنَّهُ لَا يَفْعَلُ هُوَ وَلَا غَيْرُهُ  فَيَحْنَثُ بِفِعْلِ مَأْمُوْرِهِ
Seandainya seseorang bersumpah tidak akan menikah, kemudian ia mewakilkan pada orang lain untuk melaksanakan akad nikah, maka sesungguhnya ia dianggap melanggar sumpah sebab wakilnya telah melakukan akad nikah. أَمَّا لَوْ حَلَفَ أَنْ لَا يَنْكِحَ فَوَكَّلَ غَيْرَهُ فِيْ النِّكَاحِ فَإِنَّهُ يَحْنَثُ بِفِعْلِ وَكِيْلِهِ لَهُ فِيْ النِّكَاحِ
Barang siapa bersumpah akan melakukan dua perkara seperti ucapannya, “demi Allah aku tidak akan memakai dua baju ini”, kemudian ia melakukan, maksudnya memakai salah satunya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. (وَمَنْ حَلَفَ عَلَى فِعْلِ أَمْرَيْنِ) كَقَوْلِهِ وَاللهِ لَا أَلْبَسُ هَذَيْنِ الثَّوْبَيْنِ (فَفَعَلَ) أَيْ لَبِسَ (أَحَدَهُمَا لَمْ يَحْنَثْ)
Kemudian, jika ia memakai keduanya bersamaan atau bertahap, maka ia dianggap melanggar sumpah. فَإِنْ لَبِسَهُمَا مَعًا أَوْ مُرَتَّبًا حَنَثَ
Jika ia mengatakan, “aku tidak akan memakai baju ini, dan tidak baju ini,” maka ia dianggap melanggar sumpah dengan memakai salah satunya saja. Dan sumpahnya belum selesai, bahkan ketika ia memakai baju yang satunya lagi, maka ia juga dianggap melanggar sumpah. فَإِنْ قَالَ لَا أَلْبَسُ هَذَا وَلَا هَذَا حَنَثَ بِأَحَدِهِمَا وَلَا يَنْحَلُّ يَمِيْنُهُ بَلْ إِذَا فَعَلَ الْآخَرَ حَنَثَ أَيْضًا

 

Kafarat Yamin

 

Kafaratul yamin adalah orang yang bersumpah ketika melanggar sumpahnya, maka di dalam kafaratul yamin tersebut ia diperkenankan memilih di antara tiga perkara : (وَكَفَارَةُ الْيَمِيْنِ هُوَ) أَيِ الْحَالِفُ إِذَا حَنَثَ (مُخَيَّرٌ فِيْهَا بَيْنَ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ)
Salah satunya adalah memerdekakan budak mukmin yang selamat dari cacat yang bisa mengganggu untuk beramal atau bekerja. أَحَدُهَا (عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ) سَلِيْمَةٍ مِنْ عَيْبٍ يُخِلُّ بِعَمَلٍ أَوْ كَسْبٍ
Yang kedua disebutkan di dalam perkataannya mushannif, “atau memberi makan sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud.” وَثَانِيْهَا مَذْكُوْرٌ فِيْ قَوْلِهِ (أَوْ إِطْعَامِ عَشَرَةِ مَسَاكِيْنَ كُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدًّا)
Maksudnya satu rithl lebih sepertiga rithl berupa bahan makanan biji-bijian yang diambilkan dari makanan pokok yang paling dominan daerah orang yang membayar kafarat. أَيْ رِطْلًا وَثُلُثًا مِنْ حَبٍّ مِنْ غَالِبِ قُوْتِ بَلَدِ الْمُكَفِّرِ
Selain biji-bijian yaitu kurma dan susu kental tidak bisa mencukupi. وَلَايُجْزِئُ غَيْرُ الْحَبِّ مِنْ تَمْرٍ وَأَقِطٍّ
Yang ketiga disebutkan di dalam perkataan mushannif, “atau memberi pakaian kepada mereka.” Maksudnya orang yang membayar kafarat memberikan pakaian pada masing-masing dari orang-orang miskin tersebut. وَثَالِثُهَا مَذْكُوْرٌ فِيْ قَوْلِهِ (أَوْ كِسْوَتِهِمْ) أَيْ يَدْفَعُ الْمُكَفِّرُ لِكُلٍّ مِنَ الْمَسَاكِيْنِ (ثَوْبًا ثَوْبًا)
Maksudnya sesuatu yang disebut pakaian yaitu barang-barang yang biasa dipakai seperti baju kurung / khamis, surban, kerudung atau selendang. أَيْ شَيْئًا يُسَمَّى كِسْوَةً مِمَّا يُعْتَادُ لَبْسُهُ كَقَمِيْصٍ أَوْ عِمَامَةٍ أَوْ خِمَارٍ أَوْ كِسَاءٍ
Tidak cukup dengan memberikan muza dan dua kaos tangan. وَلَا يَكْفِيْ خُفٌّ وَلَا قَفَّازَانِ
Qamis yang diberikan tidak disyaratkan harus layak pada orang yang diberi. وَلَا يُشْتَرَطُ فِيْ الْقَمِيْصِ كَوْنُهُ صَالِحًا لِلْمَدْفُوْعِ
Sehingga cukup dengan memberikan pakaian anak kecil atau pakaian wanita pada orang miskin laki-laki. فَيُجْزِئُ أَنْ يُدْفَعَ لِلرَّجُلِ ثَوْبٌ صَغِيْرٌ أَوْ ثَوْبُ امْرَأَةٍ
Pakaian yang diberikan juga tidak disyaratkan harus baru. وَلَا يُشْتَرَطُ أَيْضًا كَوْنُ الْمَدْفُوْعِ جَدِيْدًا
Sehingga cukup dengan memberikan pakaian yang sudah pernah dipakai yang penting masih kuat. فَيَجُوْزُ دَفْعُهُ مَلْبُوْسًا لَمْ تَذْهَبْ قُوَّتُهُ
Kemudian, jika orang yang membayar kafarat tidak menemukan salah satu dari tiga perkara yang telah dijelaskan di atas, maka melakukan puasa, maksudnya wajib bagi dia untuk melakukan puasa tiga hari. (فَإِنْ لَمْ يَجِدِ) الْمُكَفِّرُ شَيْئًا مِنَ الثَّلَاثَةِ السَّابِقَةِ (فَصِيَامُ) أَيْ فَيَلْزَمُهُ صِيَامُ (ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ)
Tidak wajib tiga hari tersebut dilaksanakan secara terus menerus menurut pendapat al adhhar. وَلَا يَجِبُ تَتَابُعُهَا فِيْ الْأَظْهَرِ.


BAB NADZAR

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum nadzar. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ (النُّذُوْرِ)
Lafadz “an nudzur” adalah bentuk jama’ dari lafadz “nadzru”. Lafadz “nadzru” dengan menggunakan huruf dzal yang diberi titik satu di atas dan terbaca sukun. Ada yang menghikayahkan dengan dzal yang terbaca fathah. Makna nadzar secara bahasa adalah berjanji dengan kebaikan atau dengan kejelekan. جَمْعُ نَذْرٍ وَهُوَ بِذَالٍ مُعْجَمَةٍ سَاكِنَةٍ وَحُكِيَ فَتْحُهَا وَمَعْنَاهُ لُغَةً الْوَعْدُ بِخَيْرٍ أَوْ شَرٍّ
Dan secara syara’ adalah menyanggupi perbuatan ibadah yang tidak wajib dengan dalil  syara’. وَشَرْعًا الْتِزَامُ قُرْبَةٍ غَيْرِ لَازِمَةٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ

 

 

Macam-Macam Nadzar

 

Nadzar ada dua macam : وَالنَّذْرُ ضَرْبَانِ
Salah satunya adalah nadzar al lajaj dengan membaca fathah huruf awalnya, yang bermakna memperpanjang perseteruan. أَحَدُهُمَا نَذْرُ اللَّجَّاجِ بِفَتْحِ أَوَّلِهِ وَهُوَ التَّمَادِيْ فِيْ الْخُصُوْمَةِ
Yang dikehendaki dengan nadzar ini adalah nadzar yang mirip yamin dengan gambaran ia menyengaja untuk mencegah dirinya dari sesuatu dan tidak menyengaja untuk melakukan ibadah. وَالْمُرَادُ بِهَذَا النَّذْرِ أَنْ يَخْرُجَ مَخْرَجَ الْيَمِيْنِ بِأَنْ يَقْصِدَ مَنْعَ نَفْسِهِ مِنْ شَيْئٍ وَلَا يَقْصِدَ الْقُرْبَةَ
Pada nadzar ini maka ia wajib membayar kafarat yamin atau melakukan apa yang telah ia sanggupi dengan mengucapkan nadzar. وَفِيْهِ كَفَارَةُ يَمِيْنٍ أَوْ مَا الْتَزَمَهُ بِالنَّذْرِ
Nadzar yang kedua adalah nadzar al mujazah, dan ada dua macam : وَالثَّانِيْ نَذْرُ الْمُجَازَاةِ وَهُوَ نَوْعَانِ
Salah satunya adalah nadzir (orang yang nadzar) tidak menggantungkan nadzarnya pada sesuatu seperti ucapannya pada permulaannya, “hak Allah atas diriku, bahwa aku wajib melakukan puasa atau memerdekakan budak.” أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يُعَلِّقَ النَّاذِرُ عَلَى شَيْئٍ كَقَوْلِهِ ابْتِدَاءً لِلَّهِ عَلَيَّ صَوْمٌ أَوْ عِتْقٌ
Yang kedua adalah nadzir menggantungkan nadzarnya pada sesuatu. Dan mushannif memberi isyarah pada nadzar ini dengan perkataan beliau, وَالثَّانِيْ أَنْ يُعَلِّقَهُ النَّاذِرُ عَلَى شَيْئٍ وَأَشَارَ لَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ:
Di dalam nadzar al mujazah, nadzar bisa menjadi wajib pada bentuk nadzar mubah dan nadzar bentuk keta’atan seperti ucapannya, maksudnya ucapan orang yang bernadzar, “jika orang sakitku sembuh,” dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “penyakitku” atau, “aku dilindungi dari kejelekan musuhku, maka Allah berhak atas diriku, bahwa aku akan melaksanakan sholat, berpuasa atau bersedekah.” (وَالنَّذْرُ يَلْزَمُ فِيْ الْمُجَازَاةِ عَلَى) نَذْرٍ (مُبَاحٍ وَطَاعَةٍ كَقَوْلِهِ) أَيِ النَّاذِرِ (إِنْ شَفَى مَرِيْضِيْ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مَرَضِيْ أَوْ كُفِيْتُ شَرَّ عَدُوِّيْ (فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُصَلِّيَ أَوْ أَصُوْمَ أَوْ أَتَصَدَّقَ
Dari semua itu, maksudnya perkara yang ia nadzari berupa sholat, puasa atau sedekah, maka wajib baginya, maksudnya bagi orang yang bernadzar untuk melaksanakan sesuatu yang sudah layak disebut dengan hal-hal tersebut. وَيَلْزَمُهُ) أَيِ النَّاذِرَ (مِنْ ذَلِكَ) أَيْ مِمَّا نَذَرَهُ مِنْ صَلَاةٍ أَوْ صَوْمٍ أَوْ صَدَقَةٍ (مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الْاِسْمُ)
Yaitu dari sholat, minimalnya dua rakaat. مِنْ صَلَاةٍ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ
atau puasa, minimalnya adalah sehari. أَوْ صَوْمٍ وَأَقَلُّهُ يَوْمٌ
Atau sedekah, yaitu minimal sedekah dengan sesuatu yang paling sedikit dari barang-barang yang berharga. أَوْ صَدَقَةٍ وَهِيَ أَقَلُّ شَيْئٍ مِمَّا يُتَمَوَّلُ
Begitu juga seandainya ia bernadzar akan sedekah dengan harta yang besar sebagaimana yang diungkapkan oleh al Qadli Abu Ath Thayyib. وَكَذَا لَوْ نَذَرَ التَّصَدُّقَ بِمَالٍ عَظِيْمٍ كَمَا قَالَ الْقَاضِيْ أَبُوْ الطَّيِّبِ
Kemudian mushannif menjelaskan mafhum (pemahaman kebalikan) dari ungkapan beliau di depan yaitu, “nadzar perkara yang mubah”, di dalam perkataan beliau, ثُمَّ صَرَّحَ الْمُصَنِّفُ بِمَفْهُوْمِ قَوْلِهِ سَابِقًا عَلَى مُبَاحٍ فِيْ قَوْلِهِ.

 

Nadzar Maksiat, Makruh & Wajib

 

Tidak ada nadzar di dalam perkara maksiat, maksudnya tidak sah nadzar perkara maksiat, seperti ucapan seseorang, “jika aku membunuh fulan dengan tanpa alasan yang benar, maka Allah berhak atas ini pada diriku.” (وَلَا نَذْرَ فِيْ مَعْصِيَةٍ) أَيْ لَا يَنْعَقِدُ نَذْرُهَا (كَقَوْلِهِ إِنْ قَتَلْتُ فُلَانًا) بِغَيْرِ حَقٍّ (فَلِلَّهِ عَلَيَّ كَذَا)
Dengan bahasa “maksiat”, mengecuali-kan nadzar perkara yang makruh seperti nadzarnya seseorang yang akan melakukan puasa sepanjang tahun. وَخَرَجَ بِالْمَعْصِيَةِ نَذْرُ الْمَكْرُوْهِ كَنَذْرِ شَخْصٍ صَوْمَ الدَّهْرِ
Maka nadzar perkara yang makruh tersebut hukumnya sah  dan wajib baginya untuk memenuhi nadzarnya. فَيَنْعَقِدُ نَذْرُهُ وَيَلْزَمُهُ الْوَفَاءُ بِهِ
Dan juga tidak sah  nadzar perkara fardlu ‘ain seperti sholat lima waktu. وَلَا يَصِحُّ أَيْضًا نَذْرُ وَاجِبٍ عَلَى الْعَيْنِ كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ
Adapun nadzar perkara yang fardlu kifayah, maka wajib baginya untuk memenuhi nadzarnya sebagaimana indikasi dari ungkapan kitab ar Raudlah dan kitab asalnya ar Raudlah. أَمَّا الْوَاجِبُ عَلَى الْكِفَايَةِ فَيَلْزَمُهُ كَمَا يَقْتَضِيْهِ كَلَامُ الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا.
Tidak wajib, maksudnya tidak sah  nadzar untuk meninggalkan atau melakukan perkara yang mubah. (وَلَا يَلْزَمُ النَّذْرُ) أَيْ لَايَنْعَقِدُ (عَلَى تَرْكِ مُبَاحٍ) أَوْ فِعْلِهِ
Yang pertama adalah seperti ucapan seseorang, “aku tidak akan memakan daging, tidak akan meminum susu” dan contoh-contoh sesamanya dari perkara-perkara yang mubah seperti ucapannya, “aku tidak akan memakai ini.” فَالْأَوَّلُ (كَقَوْلِهِ لَا آكُلُ لَحْمًا وَلَا أَشْرُبُ لَبَنًا وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ) مِنَ الْمُبَاحِ كَقَوْلِهِ لَا أَلْبَسُ كَذَا
Yang kedua adalah seperti, “aku akan memakan ini, dan aku akan meminum ini.” وَالثَّانِيْ نَحْوُ آكُلُ كَذَا وَأَشْرُبُ كَذَا

Kosekwensi nadzar

 

Ketika seseorang melanggar nadzar perkara yang mubah, maka wajib baginya untuk membayar kafarat yamin menurut pendapat ar rajih menurut pendaat al Baghawi dan diikuti oleh kitab al Muharrar dan kitab al Minhaj. وَإِذَا خَالَفَ النَّذْرَ الْمُبَاحَ لَزِمَهُ كَفَارَةُ يَمِيْنٍ عَلَى الرَّاجِحِ عِنْدَ الْبَغَوِيْ وَتَبِعَهُ الْمُحَرَّرُ وَالْمِنْهَاجُ
Akan tetapi indikasi dari ungkapan kitab ar Raudlah dan kitab asalnya adalah tidak wajib. لَكِنْ قَضِيَّةُ كَلَامِ الرَّوْضَةِ وَأَصْلِهَا عَدَمُ اللُّزُوْمِ


KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM QADLA’ DAN PERSAKSIAN

Al aqdiyah adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz qadla’ dengan dibaca mad (panjang). Qadla’ secara bahasa adalah mengokohkan sesuatu dan meluluskannya. وَالْأَقْضِيَةُ جَمْعُ قَضَاءٍ بِالْمَدِّ وَهُوَ لُغَةً إِحْكَامُ الشَّيْئِ وَ إِمْضَاؤُهُ
Dan secara syara’ adalah menetapkan keputusan diantara dua orang yang berseteru dengan hukumnya Allah Swt. وَشَرْعًا فَصْلُ الْحُكُوْمَةِ بَيْنَ خَصْمَيْنِ بِحُكْمِ اللهِ تَعَالَى
Asy syahadat adalah jama’ dari lafadz syahadah, kalimat masdarnya lafadz syahida yang diambil dari kata asy syuhud yang bermakna hadir. وَالشَّهَادَاتُ جَمْعُ شَهَادَةٍ مَصْدَرِ شَهِدَ مَأْخُوْذٍ مِنَ الشُّهُوْدِ بِمَعْنَى الْحُضُوْرِ

 

Hukum Qadla’

 

Qadla’ hukumnya adalah fardlu kifayah. Namun jika qadla’ hanya tertentu pada satu orang saja, maka wajib baginya untuk memintanya. وَالْقَضَاءُ فَرْضُ كِفَايَةٍ فَإِنْ تَعَيَّنَ عَلَى شَخْصٍ لَزِمَهُ طَلَبُهُ

 

Syarat Qadli

 

Tidak diperkenankan menjadi qadli kecuali orang yang memenuhi lima belas sifat. Dalam sebagian redaksi dengan menggunakan bahada “khamsa ‘asyarah.” (وَلَايَجُوْزُ أَنْ يَلِيَ الْقَضَاءَ إِلَّا مَنِ اسْتَكْمَلَتْ فِيْهِ خَمْسَةَ عَشَرَ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ خَمْسَ عَشَرَةَ (خَصْلَةً)
Salah satunya adalah islam, sehingga tidak sah  kekuasaan orang kafir walaupun pada orang kafir yang sesamanya. أَحَدُهَا (إِسْلَامُ) فَلَا تَصِحُّ وِلَايَةُ الْكَافِرِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى كَافِرٍ مِثْلِهِ
Imam al Mawardi berkata, “mengenai kebiasaan para penguasa yang mengangkat seorang laki-laki dari ahli dzimmah, maka hal itu merupakan pengangkatan sebagai tokoh dan panutan bukan pengangkatan sebagai hakim dan qadli. Dan bagi penduduk ahli dzimmah tidak harus menuruti hukum yang telah ditetapkan laki-laki tersebut, akan tetapi bisa menjadi dengan kesanggupannya mereka.” قَالَ الْمَاوَرْدِيْ وَمَا جَرَتْ بِهِ عَادَةُ الْوُلَّاةِ مِنْ نَصْبِ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَتَقْلِيْدُ رِيَاسَةٍ وَ زِعَامَةٍ لَا تَقْلِيْدُ حُكْمٍ وَقَضَاءٍ وَلَا يَلْزَمُ أَهْلَ الذِّمَّةِ الْحُكْمُ بِإِلْزَامِهِ بَلْ بِالْتِزَامِهِمْ.
Yang kedua dan yang ketiga adalah baligh dan berakal, sehingga wilayah tidak sah  bagi anak kecil dan orang gila yang gilanya terus menerus atau terputus-putus. (وَ) الثَّانِيْ وَ الثَّالِثُ (الْبُلُوْغُ وَالْعَقْلُ) فَلَا وِلَايَةَ لِصَبِيٍّ وَمَجْنُوْنٍ أَطْبَقَ جُنُوْنُهُ أَوْ لَا
Yang ke empat adalah merdeka, sehingga tidak sah  wilayahnya seorang budak yang secara total atau sebagian saja. (وَ) الرَّابِعُ (الْحُرِّيَّةُ) فَلَا تَصِحُّ وِلَايَةُ رَقِيْقٍ كُلُّهُ أَوْ بَعْضُهُ
Yang ke lima adalah laki-laki sehingga tidak sah  wilayahnya seorang wanita dan orang huntsa ketika masih belum jelas status kelaminnya. (وَ) الْخَامِسُ (الذُّكُوْرَةُ) فَلَا تَصِحُّ وِلَايَةُ امْرَأَةٍ وَلَا خُنْثًى حَالَ الْجَهْلِ
Dan seandainya ada seorang huntsa yang diangkat menjadi hakim saat belum diketahui kelaminnya lalu ia memutuskan hukum. dan kemudian baru nampak jelas bahwa ia adalah laki-laki, maka hukum yang telah ia putuskan tidak sah  menurut pendapat al madzhab. وَلَوْ وَلَّى الْخُنْثَى حَاَل الْجَهْلِ فَحَكَمَ ثُمَّ بَانَ ذَكَرًا لَمْ يَنْفُذْ حُكْمُهُ فِيْ الْمَذْهَبِ
Yang ke enam adalah adil. Dan adil akan dijelaskan di dalam fasal syahadah. (وَ) السَّادِسُ (الْعَدَالَةُ) وَسَيَأْتِيْ بَيَانُهَا فِيْ فَصْلِ الشَّهَادَاتِ
Sehingga tidak ada hak wilayah bagi orang fasiq dalam permasalahan yang sama sekali tidak ada syubhat di sana. فَلَا وِلَايَةَ لِفَاسِقٍ بِشَيْئٍ لَا شُبْهَةَ لَهُ فِيْهِ.
Yang ke tujuh adalah mengetahui hukum-hukum di dalam Al Qur’an dan As Sunnah dengan metode ijtihad. (وَ) السَّابِعُ (مَعْرِفَةُ أَحْكَامِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ) عَلَى طَرِيْقِ الْاِجْتِهَادِ
Tidak disyaratkan harus hafal luar kepala ayat-ayat yang menjelaskan tentag hukum-hukum dan hadits-hadits yang berhubungan dengannya. وَلَايُشْتَرَطُ حِفْظُ آيَاتِ الْأَحْكَامِ وَلَا أَحَادِيْثِهَا الْمُتَعَلِّقَاتِ بِهَا عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ
Dikecualikan dari hukum-hukum, yaitu tentang cerita-cerita dan petuah-petuah. وَخَرَجَ بِالْأَحْكَامِ الْقِصَصُ وَالْمَوَاعِظُ
Yang ke delapan adalah mengetahui ijma’. (وَ) الثَّامِنُ (مَعْرِفَةُ الْإِجْمَاعِ)
Ijma’ adalah kesepakatan ahlu hilli wal ‘aqdi (pakar hukum) dari ummatnya Nabi Muhammad Saw terhadap satu permasalahan dari berbagai permasalahan. وَهُوَ اتِّفَاقُ أَهْلِ الْحِلِّ وَالْعَقْدِ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الْأُمُوْرِ
Tidak disyaratkan harus mengetahui satu-persatu permasalahan ijma’. وَلَا يُشْتَرَطُ مَعْرِفَتُهُ لِكُلِّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْإِجْمَاعِ
Bahkan cukup baginya mengetahui permasalahan yang sedang ia fatwakan atau ia putuskan bahwa pendapatnya tidak bertentangan dengan ijma’ dalam permasalahan tersebut. بَلْ يَكْفِيْهِ فِيْ الْمَسْأَلَةِ الَّتِيْ يُفْتِيْ بِهَا أَوْ يَحْكُمُ فِيْهَا أَنَّ قَوْلَهُ لَا يُخَالِفُ الْإِجْمَاعَ فِيْهَا
Yang ke sembilan adalah mengetahui perbedaan pendapat yang terjadi di antara ulama’. (وَ) التَّاسِعُ (مَعْرِفَةُ الْاِخْتِلَافِ) الْوَاقِعِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ
Yang ke sepuluh adalah mengetahui cara-cara ijtihad, maksudnya tata cara menggali hukum dari dalil-dalil yang menjelaskan tentang hukum. (وَ) الْعَاشِرُ (مَعْرِفَةُ طُرُقِ الْاِجْتِهَادِ) أَيْ كَيْفِيَّةِ الْاِسْتِدْلَالِ مِنْ أَدِلَّةِ الْأَحْكَامِ
Yang ke sebelas adalah mengetahui bagian dari bahasa arab baik lughat, sharaf dan nahwu, dan mengetahui tafsir Kitabullah ta’ala.

 

(وَ) الْحَادِيَ عَشَرَ (مَعْرِفَةُ طَرْفٍ مِنْ لِسَانِ الْعَرَبِ) مِنْ لُغَةٍ وَصَرْفٍ وَنَحْوٍ (وَمَعْرِفَةُ تَفْسِيْرِ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى.
Yang ke dua belas adalah bisa mendengar walaupun dengan berteriak di kedua telingannya. (وَ) الثَّانِيَ عَشَرَ (أَنْ يَكُوْنَ سَمِيْعًا وَلَوْ بِصِيَاحٍ فِيْ أُذُنَيْهِ
Sehingga tidak sah  mengangkat orang yang tuli sebagai hakim. فَلاَ يَصِحُّ تَوْلِيَّةُ أَصَمَّ
Yang ke tiga belas adalah bisa melihat, sehingga tidak sah  mengangkat orang yang buta sebagai hakim. (وَ) الثَّالِثَ عَشَرَ (أَنْ يَكُوْنَ بَصِيْرًا) فَلَا تَصِحُّ تَوْلِيَّةُ الْأَعْمَى
Diperkenankan jika dia adalah orang yang buta salah satu matanya sebagaimana yang diungkapkan oleh imam ar Rauyani. وَيَجُوْزُ كَوْنُهُ أَعْوَرَ كَمَا قَالَ الرَّوْيَانِيُّ
Yang ke empat belas adalah bisa menulis. (وَ) الرَّابِعَ عَشَرَ (أَنْ يَكُوْنَ كَاتِبًا)
Apa yang telah disebutkan oleh mushannif yaitu persyaratan bahwa sang qadli harus bisa menulis adalah pendapat yang lemah, sedangkan pendapat al ashah berbeda dengannya (tidak disyaratkan). وَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنِ اشْتِرَاطِ كَوْنِ الْقَاضِيْ كَاتِبًا وَجْهٌ مَرْجُوْحٌ وَالْأَصَحُّ خِلَافُهُ
Yang kelima belas adalah kuat ingatannya. (وَ) الْخَامِسَ عَشَرَ (أَنْ يَكُوْنَ مُسْتَيْقِظًا)
Sehingga tidak sah  mengangkat orang yang pelupa sebagai hakim. Dengan gambaran nadhar atau pikirannya cacat adakalanya karena terlalu tua, sakit atau karena yang lain. فَلَا تَصِحُّ تَوْلِيَّةُ مُغْفِلٍ بِأَنِ اخْتَلَّ نَظَرُهُ أَوْ فِكْرُهُ إِمَّا لِكِبَرٍ أَوْ مَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ
Setelah mushannif selesai dari penjelasan syarat-syarat qadli, maka beliau beranjak menjelaskan tentang etika seorang qadli. Beliau berkata, وَلَمَّا فَرَغَ الْمُصَنِّفُ مِنْ شُرُوْطِ الْقَاضِيْ شَرَعَ فِيْ آدَبِهِ فَقَالَ

 

Etika Seorang Hakim

 

Bagi qadli disunnahkan untuk duduk, dalam sebagian redaksi dengan bahasa, “untuk bertempat” di tengah daerah ketika batas daerahnya luas. (وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَجْلِسَ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ أَنْ يَنْزِلَ أَيِ الْقَاضِيْ (فِيْ وَسَطِ الْبَلَدِ) إِذَا اتَّسَعَتْ خِطَّتُهُ
Sehingga, jika daerahnya kecil, maka ia tidak masalah bertempat di manapun yang ia kehendaki, jika di sana tidak ada tempat yang sudah biasa ditempati oleh para qadli. فَإِنْ كَانَتِ الْبَلَدُ صَغِيْرَةً نَزَلَ حَيْثُ شَاءَ إِنْ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ مَوْضِعٌ مُعْتَادٌ تَنْزِلُهُ الْقُضَّاةُ
Dan keberadaan duduknya sang qadli di tempat luas yang jelas, maksudnya nampak jelas bagi penduduk, sekira ia bisa terlihat oleh penduduk setempat, pengunjung, orang yang kuat dan orang yang lemah. وَيَكُوْنُ جُلُوْسُ الْقَاضِيْ (فِيْ مَوْضِعٍ) فَسِيْحٍ (بَارِزٍ) أَيْ ظَاهِرٍ (لِلنَّاسِ) بِحَيْثُ يَرَاهُ الْمُسْتَوْطِنُ وَالْغَرِيْبُ وَالْقَوِيُّ وَالضَّعِيْفُ
Keberadaan tempat duduknya terjaga dari panas dan dingin. وَيَكُوْنُ مَجْلِسُهُ مَصُوْنًا مِنْ أَذَى حَرٍّ وَبَرْدٍ
Dengan artian di musim kemarau tempat duduknya berada di tempat yang semilir angin, dan di musim dingin berada di tenda. بِأَنْ يَكُوْنَ فِيْ الصَّيْفِ فِيْ مَهَبِّ الرِّيْحِ وَفِيْ الشِّتَاءِ فِي كُنٍّ
Dan tidak ada pembatas baginya. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “tidak ada penjaga saat hendak melapor padanya.” (وَلَا حِجَابَ لَهُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَلَا حَاجِبَ دُوْنَهُ
Sehingga, seandainya ia mengangkat security atau penjaga pintu, maka hukumnya dimakruhkan. فَلَوِ اتَّخَذَ حَاجِبًا أَوْ بَوَّابًا كُرِهَ
Sang qadli tidak duduk di masjid untuk memutuskan hukum. (وَلَا يَقْعُدُ) الْقَاضِيْ (لِلْقَضَاءِ فِيْ الْمَسْجِدِ)
Sehingga, jika ia memutuskan hukum di masjid, maka hukumnya dimakruhkan. فَإِنْ قَضَى فِيْهِ كُرِهَ
Namun, jika saat ia berada di masjid untuk melaksanakan sholat dan yang lainya kebetulan bertepatan dengan terjadinya kasus, maka tidak dimakruhkan memutuskan kasus tersebut di masjid. فَإِنِ اتَّفَقَ وَقْتُ حُضُوْرِهِ فِيْ الْمَسْجِدِ لِصَلَاةٍ وَغَيْرِهَا خُصُوْمَةً لَمْ يُكْرَهْ فَصْلُهَا فِيْهِ
Begitu juga seandainya ia butuh ke masjid karena ada udzur hujan dan sesamanya. وَكَذَا لَوِ احْتَاجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لِعُذْرٍ مِنْ مَطَرٍ وَنَحْوِهِ.

Wajib Bagi Seorang Hakim

 

Bagi qadli wajib menyetarakan kedua belah pihak yang berseteru di dalam tiga perkara : (وَيُسَوِّيْ) الْقَاضِيْ وُجُوْبًا (بَيْنَ الْخَصْمَيْنِ فِيْ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ)
Salah satunya menyetarakan tempat duduk. أَحَدُهَا التَّسْوِيَّةُ (فِيْ الْمَجْلِسِ)
Sehingga qadli memposisikan kedua orang yang seteru tepat di hadapannya ketika status kemuliaan keduanya setara. فَيُجَلِّسُ الْقَاضِيْ الْخَصْمَيْنِ بَيْنَ يَدَّيْهِ إِذَا اسْتَوَيَا شَرَفًا
Adapun orang islam, maka tempat duduknya harus lebih ditinggikan daripada tempat duduknya kafir dzimmi. أَمَّا الْمُسْلِمُ فَيُرْفَعُ عَلَى الذِّمِّيِّ فِيْ الْمَجْلِسِ
Yang kedua menyetarakan di dalam lafadz, maksudnya ucapan. (وَ) الثَّانِيْ التَّسْوِيَّةُ فِيْ (اللَّفْظِ) أَيِ الْكَلاَمِ
Sehingga tidak diperkenankan sang qadli hanya mendengarkan ucapan salah satu dari keduanya tidak pada yang satunya lagi. فَلَا يَسْمَعُ كَلَامَ أَحَدِهِمَا دُوْنَ الْآخَرِ
Yang ketiga menyetarakan di dalam pandangan. (وَ) الثَّالِثُ التَّسْوِيَّةُ فِيْ (اللَّحْظِ) أَيِ النَّظَرِ
Sehingga sang qadli tidak diperkenankan memandang salah satunya tidak pada yang lainnya. فَلَا يَنْظُرُ أَحَدَهُمَا دُوْنَ الْآخَرِ

 

Hadiah Untuk Hakim

 

Bagi sang qadli tidak diperkenankan menerima hadiah dari ahli amalnya (penduduk yang berada di daerah kekuasaannya). (وَلَا يَجُوْزُ) لِلْقَاضِيْ (أَنْ يَقْبَلَ الْهَدِيَّةَ مِنْ أَهْلِ عَمَلِهِ)
Sehingga, jika hadiah itu diberikan di selain daerah kekuasaannya dari selain penduduk daerah kekuasaannya, maka hukumnya tidak haram menurut pendapat al ashah. فَإِنْ كَانَتِ الْهَدِيَّةُ فِيْ غَيْرِ عَمَلِهِ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ لَمْ يَحْرُمْ فِيْ الْأَصَحِّ
Jika ia diberi hadiah oleh orang yang berada di daerah kekuasaannya yang sedang memiliki kasus serta tidak biasa memberi hadiah sebelumnya, maka bagi qadli haram untuk menerimanya. وَإِنْ أَهْدَى إِلَيْهِ مَنْ هُوَ فِيْ مَحَلِّ وِلَايَتِهِ وَلَهُ خُصُوْمَةٌ وَلَا عَادَةَ لَهُ بِالْهَدِيَّةِ قَبْلَهَا حَرُمَ عَلَيْهِ قَبُوْلُهَا.

Makruh Bagi Hakim

 

Sang qadli hendaknya menghindari untuk memutuskan hukum, maksudnya dimakruhkan bagi sang qadli memutuskan hukum di dalam sepuluh tempat. Dalam sebagian redaksi, “di dalam sepuluh keadaan.” (ويَجْتَنِبُ) الْقَاضِيْ (الْقَضَاءَ) أَيْ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ (فِيْ عَشْرَةِ مَوَاضِعَ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ أَحْوَالٌ
Yaitu, ketika marah. Dalam sebagian redaksi, “di dalam marah.” (عِنْدَ الْغَضَبِ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ فِيْ الْغَضَبِ
Sebagian ulama’ berkata, “ketika emosi telah menyebabkan sang qadli tidak terkontrol lagi, maka bagi dia haram memutuskan hukum saat seperti itu.” قَالَ بَعْضُهُمْ وَإِذَا أَخْرَجَهُ الْغَضَبُ عَنْ حَالَةِ الْاِسْتِقَامَةِ حَرُمَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ حِيْنَئِذٍ
Saat sangat lapar dan kekenyangan. Saat haus, birahi memuncak, sangat sedih dan sangat gembira yang terlalu. (وَالْجُوْعِ) وَالْشَبْعِ الْمُفْرِطَيْنِ (وَالْعَطْشِ وَشِدَّةِ الشَّهْوَةِ وَالْحُزْنِ وَالْفَرَحِ الْمُفْرِطِ
Saat sakit, maksudnya yang menyakitkan badannya. Saat menahan dua hal yang menjijikkan, maksudnya kencing dan berak. وَعِنْدَ الْمَرَضِ) أَيِ الْمُؤْلِمِ (وَمُدَافَعَةِ الْأَخْبَثَيْنِ) أَيِ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ
Saat ngantuk, saat cuacanya terlalu panas dan terlalu dingin. (وَعِنْدَ الْنُعَاسِ وَ) عِنْدَ (شِدَّةِ الْحَرِّ وَالْبَرْدِ)
Kesimpulan yang bisa mencakup sepuluh hal ini dan yang lainnya adalah sesungguhnya bagi qadli dimakruhkan memutuskan hukum di setiap keadaan yang bisa membuat keadaannya tidak stabil. وَالضَّابِطُ الْجَامِعُ لِهَذِهِ الْعَشْرَةِ وَغَيْرِهَا أَنَّهُ يُكْرَهُ لِلْقَاضِيْ الْقَضَاءُ فِيْ كُلِّ حَالٍ يُسَوِّءُ خُلُقَهُ
Ketika ia tetap memutuskan hukum dalam keadaan-keadaan yang telah dijelaskan di atas, maka keputusannya tetap berjalan namun hukumnya makruh. وَإِذَا حَكَمَ فِيْ حَالٍ مِمَّا تَقَدَّمَ نَفَذَ حُكْمُهُ مَعَ الْكَرَاهَةِ.

 

Pengadilan

 

Wajib bagi qadli untuk tidak bertanya, maksudnya ketika kedua orang yang berseteru duduk dihadapan sang qadli, maka bagi qadli tidak diperkenankan bertanya pada orang yang dituduh kecuali setelah sempurnya, maksudnya setelah pihak penuduh selesai mengungkapkan tuduhannya yang sah. (وَلَايَسْأَلُ) وُجُوْبًا أَيْ إِذَا جَلَسَ الْخَصْمَانِ بَيْنَ يَدَّيِ الْقَاضِيْ لَا يَسْأَلُ (الْمُدَّعَى عَلَيْهِ إِلَّا بَعْدَ كَمَالِ) أَيْ بَعْدَ فَرَاغِ الْمُدَّعِيْ مِنَ (الدَّعْوَى) الصَّحِيْحَةِ
Dan saat itulah sang qadli berkata pada pihak yang dituduh, “keluarkanlah dirimu dari tuduhan tersebut.” وَحِيْنَئِذٍ يَقُوْلُ الْقَاضِيْ لِلْمُدَّعَى عَلَيْهِ اُخْرُجْ مِنْ دَعْوَاهُ
Kemudian, jika ia mengakui apa yang telah dituduhkan oleh pihak penuduh, maka bagi pihak tertuduh wajib memberikan apa yang telah ia akui, dan setelah itu bagi ia tidak bisa menarik kembali pengakuannya. فَإِنْ أَقَرَّ بِمَا ادَّعَى بِهِ لَزِمَهُ مَا أَقَرَّ بِهِ وَلَا يُفِيْدُهُ بَعْدَ ذَلِكَ رُجُوْعُهُ
Dan jika pihak tertuduh mengingkari dakwaan pada dirinya, maka bagi qadli berhak berkata pada pihak penuduh, “apakah engkau punya bukti atau saksi yang disertai sumpahmu”, jika memang hak yang dituntut termasuk hak yang bisa ditetapkan dengan satu saksi dan sumpah. وَإِنْ أَنْكَرَ مَا ادَّعَى بِهِ عَلَيْهِ فَلِلْقَاضِيْ أَنْ يَقُوْلَ لِلْمُدَّعِيْ أَلَكَ بَيِّنَةٌ أَوْ شَاهِدٌ مَعَ يَمِيْنِكَ إِنْ كَانَ الْحَقُّ مِمَّا يَثْبُتُ بِشَاهِدٍ وَ يَمِيْنٍ
Qadli tidak berhak menyumpah pihak tertuduh, dalam sebagian redaksi, “qadli tidak berhak menyuruh pihak tertuduh”, maksudnya, qadli tidak berhak menyumpah pihak terdakwa kecuali setelah ada permintaan dari pihak pendakwa kepada sang qadli agar menyumpah pihak terdakwa. (وَلَا يَحْلِفُهُ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَلَا يَسْتَحْلِفُهُ أَيْ لَا يَحْلِفُ الْقَاضِيْ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ (إِلَّا بَعْدَ سُؤَالِ الْمُدَّعِيْ) مِنَ الْقَاضِيْ أَنْ يَحْلِفَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ.
Tidak diperkenankan bagi qadli mengajarkan argumen kepada orang yang berseteru. (وَلَايُلَقِّنُ) الْقَاضِيْ (خَصْمًا حُجَّةً)
Maksudnya, sang qadli tidak diperkenankan berkata pada masing-masing dari dua orang yang berseteru, “ucapkanlah begini dan begini.” أَيْ لَا يَقُوْلُ لِكُلٍّ مِنَ الْخَصْمَيْنِ قُلْ كَذَا وَكَذَا
Sedangkan untuk meminta kejelasan dari orang yang berseteru, maka tidak dipermasalahkan. أَمَّا اسْتِفْسَارُ الْخَصْمِ فَجَائِزٌ
Seperti seseorang menuduhkan pembunuhan pada orang lain, kemudian sang qadli berkata pada pihak penuduh, “apakah pembunuhan yang sengaja atau yang tidak sengaja.” كَأَنْ يَدَّعِيَ شَخْصٌ قَتْلًا عَلَى شَخْصٍ فَيَقُوْلُ الْقَاضِيْ لِلْمُدَّعِيْ قَتَلَهُ عَمْدًا أَوْ خَطَأً
Bagi qadli tidak diperkenankan memahamkan perkataan pada orang yang sedang berseteru, maksudnya, tidak mengajarkan padanya bagaimana caranya menuntut. (وَلَا يُفْهِمُهُ كَلَامًا) أَيْ لَايُعَلِّمُهُ كَيْفَ يَدَّعِيْ
Permasalahan ini tidak tercantum di dalam sebagian redaksi matan. وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ سَاقِطَةٌ فِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ
Qadli tidak diperkenankan mempersulit saksi-saksi. (وَلَا يَتَعَنَّتُ بِالشُّهَدَاءِ)
Dalam sebagian redaksi, “tidak mempersulit pada saksi”, seperti sang qadli berkata pada saksi, “bagaimana keadaanmu ketika engkau menyaksikan kejadian. Mungkin kamu tidak jadi bersaksi.” وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَلَا يَتَعَنَّتُ بِشَاهِدٍ كَأَنْ يَقُوْلَ لَهُ الْقَاضِيْ  كَيْفَ تَحَمَّلْتَ وَلَعَلَّكَ مَا شَهِدْتَ.
Bagi qadli tidak diperkenankan menerima persaksian kecuali dari orang yang telah ditetapkan keadilannya. (وَلَا يَقْبَلُ الشَّهَادَةَ إِلَّا مِمَّنْ) أَيْ شَخْصٍ (ثَبَتَتْ عَدَالَتُهُ)
Jika sang qadli telah mengetahui keadilan saksi, maka ia berhak menerima persaksian saksi tersebut. فَإِنْ عَرَفَ الْقَاضِيْ عَدَالَةَ الشَّاهِدِ عَمِلَ بِشَهَادَتِهِ
Atau mengetahui kefasikan saksi, maka sang qadli harus menolak persaksiannya. أَوْ عَرَفَ فِسْقَهُ رَدَّ شَهَادَتَهُ
Jika sang qadli tidak mengetahui adil dan fasiknya saksi, maka sang qadli meminta agar si saksi melakukan tazkiyah (persaksian atas keadilan diri). فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ عَدَالَتَهُ وَلَا فِسْقَهُ طَلَبَ مِنْهُ التَّزْكِيَّةَ
Di dalam tazkiyah tidak cukup hanya dengan ucapan pihak terdakwa, “sesungguhnya orang bersaksi atas diriku adalah orang yang adil.” وَلَا يَكْفِيْ فِيْ التَّزْكِيَّةِ قَوْلُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَنَّ الَّذِيْ شَهِدَ عَلَيَّ عَدْلٌ
Bahkan harus mendatangkan orang yang bersaksi atas keadilan saksi tersebut di hadapan qadli kemudian orang tersebut berkata, “saya bersaksi sesungguhnya saksi tersebut adalah orang yang adil.” بَلْ لَابُدَّ مِنْ إِحْضَارِ مَنْ يَشْهَدُ عِنْدَ الْقَاضِيْ بِعَدَالَتِهِ فَيَقُوْلُ أَشْهَدُ أَنَّهُ عَدْلٌ
Pada orang yang mentazkiyah juga dipertimbangkan syarat-syarat orang yang menjadi saksi yaitu adil, tidak ada permusuhan, dan syarat-syarat yang lain. وَيُعْتَبَرُ فِيْ الْمُزَكِّيْ شُرُوْطُ الشَّاهِدِ مِنَ الْعَدَالَةِ وَعَدَمِ الْعَدَاوَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
Disamping itu, dia juga disayaratkan harus tahu terhadap sebab-sebab yang menjadikan fasiq dan menstatuskan adil serta mengetahui dalamnya orang yang mau ia statuskan adil sebab bersahabat, bertetangga atau melakukan transaksi. وَيُشْتَرَطُ مَعَ هَذَا مَعْرِفَتُهُ بِأَسْبَابِ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ وَخُبْرَةُ بَاطِنِ مَنْ يُعَدِّلُهُ بِصُحْبَةٍ أَوْ جِوَارٍ أَوْ مُعَامَلَةٍ
Bagi qadli tidak diperkenankan menerima persaksian seseorang atas musuhnya. (وَلَايَقْبَلُ) الْقَاضِيْ (شَهَادَةَ عَدُوٍّ عَلَى عَدُوِّهِ)
Yang dikehendaki dengan musuhnya seseorang adalah orang yang membencinya. وَالْمُرَادُ بِعَدُوِّ الشَّخْصِ مَنْ يَبْغَضُهُ
Bagi sang qadli tidak diperkenankan menerima persaksian orang tua walaupun seatasnya untuk anaknya sendiri. (وَلَا) يَقْبَلُ الْقَاضِيْ (شَهَادَةَ وَالِدٍ) وَإِنْ عَلَا (لِوَلَدِهِ)
Dalam sebagian redaksi, “untuk orang yang dilahirkannya, maksudnya hingga ke bawah.” وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخ ِلِمَوْلُوْدِهِ أَيْ وَإِنْ سَفُلَ
Dan tidak menerima persaksian seorang anak untuk orang tuanya sendiri walaupun hingga ke atasnya. (وَلَا) شَهَادَةَ (وَلَدٍ لِوَالِدِهِ) وَإِنْ عَلَا
Sedangkan persaksian yang memberatkan keduanya, maka dapat diterima. أَمَّا الشَّهَادَةُ عَلَيْهِمَا  فَتُقْبُ
Surat seorang qadli kepada qadli yang lain dalam urusan  pemutusan hukum tidak bisa diterima kecuali setelah ada persaksian dua saksi yang bersaksi atas qadli yang mengirim surat tentang apa yang terdapat dalam surat tersebut di hadapan qadli yang dikirimi surat. (وَلَايُقْبَلُ كِتَابُ قَاضٍ إِلَى قَاضٍ آخَرَ فِيْ الْأَحْكَامِ إِلَّا بَعْدَ شَهَادَةِ شَاهِدَيْنِ يَشْهَدَانِ) عَلَى الْقَاضِيْ الْكَاتِبِ (بِمَا فِيْهِ) أَيِ الْكِتَابِ عِنْدَ الْمَكْتُوْبِ إِلَيْهِ
Mushannif mengisyarahkan hal tersebut pada kasus bahwa sesungguhnya ketika ada seseorang yang mendakwakan harta pada orang yang ghaib (tidak satu daerah) dan telah terbukti bahwa orang tersebut memiliki tanggungan harta yang dituntutkan, maka, jika terdakwa memiliki harta yang berada di tempat pendakwa, maka sang qadli melunasi tanggungan terdakwa dari harta tersebut. وَأَشَارَ الْمُصَنِّفُ بِذَلِكَ إِلَى أَنَّهُ إِذَا ادَّعَى شَخْصٌ عَلَى شَخْصٍ غَائِبٍ بِمَالٍ وَثَبَتَ الْمَالُ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ حَاضِرٌ قَضَاهُ الْقَاضِيْ مِنْهُ
Dan jika terdakwa tidak memiliki harta yang berada di tempat pendakwa dan pendakwa meminta agar menyampaikan keadaan seperti ini kepada qadli daerah terdakwa, maka qadli daerah pendakwa harus mengabulkan permintaan si pendakwa tersebut. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ حَاضِرٌ وَسَأَلَ الْمُدَّعِيْ إِنْهَاءَ الْحَالِ إِلَى قَاضِيْ بَلَدِ الْغَائِبِ أَجَابَهُ لِذَلِكَ
Al ashhab mentafsiri “menyampaikan keadaan” dengan gambaran sang qadli daerah pendakwa mengangkat dua orang saksi adil yang bersaksi atas hukum yang telah ditetapkan terhadap terdakwa yang tidak berada di daerah sang qadli.” وَفَسَّرَ الْأَصْحَابُ إِنْهَاءَ الْحَالِ بِأَنْ يُشْهِدَ قَاضِيْ بَلَدِ الْحَاضِرِ عَدْلَيْنِ بِمَا ثَبَتَ عِنْدَهُ مِنَ الْحُكْمِ عَلَى الْغَائِبِ
Bentuk suratnya adalah :

“bismillahirrahmanirrahim. Semoga Allah menyelamatkan aku dan anda, telah ada seseorang yang datang padaku dan mendakwakan sesuatu pada seseorang yang tidak ada di daerahku dan ia bertempat di daerah anda, pendakwa telah mendatangkan dua orang saksi yaitu fulan dan fulan dan menurut saya keduanya adalah orang adil, dan saya sudah menyumpah pendakwa dan menetapkan bahwa ia berhak atas harta yang didakwakan. Dan saya mengangkat fulan dan fulan sebagai saksi atas surat ini.”

– وَصِفَةُ الْكِتَابِ – بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ حَضَرَ عِنْدَنَا عَافَانَا اللهُ وَإِيَّاكَ فُلَانٌ وَادَّعَى عَلَى فُلَانٍ  الْغَائِبِ الْمُقِيْمِ فِيْ بَلَدِكَ بِالشَّيْئِ الْفُلَانِيْ وَأَقَامَ عَلَيْهِ شَاهِدَيْنِ وَهُمَا فُلَانٌ وَفُلَانٌ وَقَدْ عَدَلَا عِنْدِيْ وَحَلَفْتُ الْمُدَّعِيَ وَحَكَمْتُ لَهُ بِالْمَالِ وَأَشْهَدْتُ بِالْكِتَابِ فُلَانًا وَفُلَانًا
Di dalam saksi-saksi surat dan putusan hukum disyaratkan harus nampak jelas sifat adilnya menurut qadli yang dikirimi surat. وَيُشْتَرَطُ فِيْ شُهُوْدِ الْكِتَابِ وَالْحُكْمِ ظُهُوْرُ عَدَالَتِهِمْ عِنْدَ الْقَاضِيْ الْمَكْتُوْبِ إِلَيْهِ
Sifat adil mereka tidak bisa ditetapkan hanya dengan pernyataan adil yamg di sampaikan oleh qadli yang mengirim surat. وَلَا تَثْبُتُ عَدَالَتُهُمْ عِنْدَهُ بِتَعْدِيْلِ الْقَاضِيْ الْكَاتِبِ إِيَّاهُمْ.


BAB QISMAH (MEMBAGI HAK)

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum al qismah. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ (الْقِسْمَةِ)
Al qismah dengan dibaca kasrah huruf qafnya adalah nama yang diambil dari kata “qasama asy syai’a qasman (seseorang membagi sesuatu secara benar)” dengan membaca fathah hurus qafnya. وَهِيَ بِكَسْرِ الْقَافِ الْاِسْمُ مِنْ قَسَمَ الشَّيْئَ قَسْمًا بِفَتْحِ الْقَافِ
Dan secara syara’ adalah memisahkan sebagian dari beberapa bagian dari bagian yang lain dengan cara yang akan dijelaaskan. وَشَرْعًا تَمْيِيْزُ بَعْضِ الْأَنْصِبَاءِ مِنْ بَعْضٍ بِالطَّرِيْقِ الْآتِيْ

 

 

Syarat Al Qasim (Pembagi)

 

Al qasim (orang yang membagi) yang diangkat oleh qadli harus memenuhi tujuh syarat. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “ila sab’in.” (وَيَفْتَقِرُ الْقَاسِمُ) الْمَنْصُوْبُ مِنْ جِهَّةِ الْقَاضِيْ (إِلَى سَبْعَةٍ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ إِلَى سَبْعِ (شَرَائِطَ
Yaitu islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, adil, dan pandai berhitung. الْإِسْلَامِ وَالْبُلُوْغِ وَالْعَقْلِ وَالْحُرِّيَّةِ وَالذُّكُوْرِيَّةِ وَالْعَدَالَةِ وَالْحِسَابِ)
Sehingga, orang yang memiliki sifat-sifat yang sebaliknya, maka ia tidak bisa menjadi al qasim. فَمَنِ اتَّصَفَ بِضِدِّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ قَاسِمًا
Sedangkan ketika al qasim tidak diangkat dari pihak qadli, maka mushannif memberi isyarah dengan perkataan beliau, وَأَمَّا إِذَا لَمْ يَكُنِ الْقَاسِمُ مَنْصُوْبًا مِنْ جِهَّةِ الْقَاضِيْ فَقَدْ أَشَارَ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ.
Kemudian, jika dua syarik (orang yang bersekutu) rela, dalam sebagian redaksi, “jika keduanya rela” dengan orang yang akan membagi harta yang disekutukan di antara keduanya, maka al qasim seperti ini tidak membutuhkan pada hal tersebut, maksudnya syarat-syarat yang telah dijelaskan. (فَإِنْ تَرَاضَى) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ فَإِنْ تَرَاضَيَا (الشَّرِيْكَانِ بِمَنْ يَقْسِمُ بَيْنَهُمَا) الْمَالَ الْمُشْتَرَكَ (لَمْ يَفْتَقِرْ) فِيْ هَذَا الْقَاسِمِ (إِلَى ذَلِكَ) أَيْ إِلَى الشُّرُوْطِ السَّابِقَةِ

 

Pembagian Al Qismah

 

Ketahuilah sesunguhnya al qismah ada tiga macam : وَاعْلَمْ أَنَّ الْقِسْمَةَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَنْوَاعٍ
Salah satunya al qismah bil ajza’ (membagi dengan berjuz-juz), dan disebut dengan qismah al mutasyabihat (membagi beberapa perkara yang serupa) seperti membagi barang-barang mitsl (barang-barang yang ada sesamanya) berupa biji-bijian dan yang lainnya. أَحَدُهَا الْقِسْمَةُ بِالْأَجْزَاءِ وَتُسَمَّى قِسْمَةَ الْمُتَشَابِهَاتِ كَقِسْمَةِ الْمِثْلِيَاتِ مِنْ حُبُوْبٍ وَغَيْرِهَا
Maka bagian-bagiannya dijuz-juz dengan takaran pada permasalahan barang yang ditakar, dengan timbangan pada barang yang ditimbang, dan dengan ukuran pada barang yang diukur. فَتُجَزَّأُ الْأَنْصِبَاءُ كَيْلًا فِيْ مَكِيْلٍ وَوَزْنًا فِيْ مَوْزُوْنٍ وَذَرْعًا فِيْ مَذْرُوْعٍ
Kemudian setelah itu dilakukan pengundian di antara bagian-bagian tersebut, agar supaya masing-masing dari orang-orang yang bersekutu memiliki bagian-bagian tertentu. ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يُقْرَعُ بَيْنَ الْأَنْصِبَاءِ لِيَتَعَيَّنَ لِكُلِّ نَصِيْبٍ مِنْهَا وَاحِدٌ مِنَ الشُّرَكَاءِ

 

 

Tata Cara Mengundi

 

Tata cara pengundian adalah diambilkan tiga kertas yang ukurannya sama. وَكَيْفِيَةُ الْإِقْرَاعِ أَنْ تُؤْخَذَ ثَلَاثُ رِقَاعٍ مُتَسَاوِيَةٌ
Pada masing-masing kertas tersebut ditulis nama salah satu dari orang-orang yang bersekutu atau satu juz dari juz-juz tersebut yang dibedakan dari juz-juz yang lain. وَيُكْتَبُ فِيْ كُلِّ رِقْعَةٍ مِنْهَا اسْمُ شَرِيْكٍ مِنَ الشُّرَكَاءِ أَوْ جُزْءٌ مِنَ الْأَجْزَاءِ مُمَيَّزٌ عَنْ غَيْرِهِ مِنْهَا
Kertas-kertas tersebut dimasukkan kedalam beberapa kendi yang berukuran sama semisal terbuat dari tanah liat yang sudah dikeringkan. وَتُدْرَجُ تِلْكَ الرِّقَاعُ فِيْ بَنَادِقَ مُتَسَاوِيَةٍ مِنْ طِيْنٍ مَثَلًا بَعْدَ تَجْفِيْفِهِ
Kemudian kendi-kendi itu diletakkan dipangkuan orang yang tidak ikut dalam penulisan dan memasukkan tulisan itu ke dalam kendi. ثُمَّ تُوْضَعُ فِيْ حِجْرِ مَنْ لَمْ يَحْضُرِ الْكِتَابَةَ وَالْإِدْرَاجَ
Kemudian orang yang tidak mengikuti keduanya mengeluarkan satu kertas dan diletakkan di juz pertama dari juz-juz tersebut jika yang ditulis dikertas adalah nama-nama orang yang bersekutu seperti Zaid, Bakar dan Khalid. ثُمَّ يُخْرِجُ مَنْ لَمْ يَحْضُرْهُمَا رِقْعَةً عَلَى الْجُزْءِ الْأَوَّلِ مِنْ تِلْكَ الْأَجْزَاءِ إِنْ كُتِبَتْ أَسْمَاءُ الشُّرَكَاءِ فِيْ الرِّقَاعِ كَزَيْدٍ وَبَكْرٍ وَخَالِدٍ
Kemudian juz tersebut diberikan kepada orang yang namanya tercantum pada kertas yang dikeluarkan. فَيُعْطَى مَنْ خَرَجَ اسْمُهُ فِيْ تِلْكَ الرِّقْعَةِ
Kemudian ia mengeluarkan kertas selanjutnya dan meletakkan pada bagian yang bersebelahan dengan bagian yang pertama. ثُمَّ يُخْرِجُ رِقْعَةً أُخْرَى عَلَى الْجُزْءِ الَّذِيْ يَلِيْ الْجُزْءَ الْأَوَّلَ مِنْ تِلْكَ الْأَجْزَاءِ
Kemudian juz tersebut diberikan kepada orang yang namanya tercantum di kertas yang kedua ini. فَيُعْطَى مَنْ خَرَجَ اسْمُهُ فِيْ الرِّقْعَةِ الثَّانِيَةِ
Dan untuk juz yang terakhir tertentu pada orang yang ke tiga jika memang yang bersekutu adalah tiga orang. وَيَتَعَيَّنُ الْجُزْءُ الْبَاقِيْ لِلثَّالِثِ إِنْ كَانَتْ لِلشُّرَكَاءِ ثَلَاثَةٌ
Atau orang yang tidak hadir saat penulisan dan memasukkan ke dalam kendi, mengeluarkan kertas dan meletakkan di namanya Zaid semisal, jika yang ditulis di kertas-kertas tersebut adalah juz-juz dari bagian-bagian itu. أَوْ يُخْرِجُ مَنْ لَمْ يَحْضُرِ الْكِتَابَةَ وَالْإِدْرَاجَ رِقْعَةً عَلَى اسْمِ زَيْدٍ مَثَلًا إِنْ كُتِبَتْ فِيْ الرِّقَاعِ أَجْزَاءُ الْأَنْصِبَاءِ
Kemudian kertas kedua diletakkan pada namanya Khalid, dan untuk juz yang terakhir tertentu bagi orang yang ke tiga. ثُمَّ عَلَى اسْمِ خَالِدٍ وَيَتَعَيَّنُ الْجُزْءُ الْبَاقِيْ لِلثَّالِثِ
Macam yang ke dua adalah al qismah bit ta’dil lis siham (membagi dengan membandingkan di antara bagian-bagian), yaitu membandingkan bagian-bagian tersebut dengan harga. النَّوْعُ الثَّانِيْ الْقِسْمَةُ بِالتَّعْدِيْلِ لِلسِّهَامِ وَهِيَ الْأَنْصِبَاءُ بِالْقِيْمَةِ
Seperti tanah yang bagian-bagiannya harganya tidak sama sebab subur atau dekat dengan air sedangkan bagian tanah tersebut di antara keduanya adalah separuh separuh. كَأَرْضٍ تَخْتَلِفُ قِيْمَةُ أَجْزَائِهَا بِقُوَّةِ إِنْبَاتٍ أَوْ قُرْبِ مَاءٍ وَتَكُوْنُ الْأَرْضُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ
Semisal karena bagusnya, sepertiga tanah membandingi dua sepertiga dari tanah tersebut. وَيُسَاوِيْ ثُلُثُ الْأَرْضِ مَثَلًا لِجُوْدَتِهِ ثُلُثَيْهَا
Maka sepertiga dijadikan satu bagian dan dua sepertiganya dijadikan satu bagian lagi. فَيُجْعَلُ الثُّلُثُ سَهْمًا وَالثُّلُثَانِ سَهْمًا
Pada bentuk pembagian ini dan pembagian sebelumnya cukup dilakukan oleh satu al qasim. وَيَكْفِيْ فِيْ هَذَا النَّوْعِ وَالَّذِيْ قَبْلَهُ قَاسِمٌ وَاحِدٌ
Macam yang ketiga adalah al qismah bi ar rad (membagi dengan cara mengembalikan). النَّوْعُ الثَّالِثُ الْقِسْمَةُ بِالرَّدِّ
Dengan gambaran semisal di salah satu bagian tanah yang disekutukan terdapat sumur atau pohon yang tidak mungkin dibagi. بِأَنْ يَكُوْنَ فِيْ أَحَدِ جَانِبَيِ الْأَرْضِ الْمُشْتَرَكَةِ بِئْرٌ أَوْ شَجَرٌ مَثَلًا لَمْ يُمْكِنْ قِسْمَتُهُ
Maka orang yang telah mendapatkan bagian -yang ada sumur atau pohonnya- dengan undian harus memberikan bagian dari harga masing-masing dari sumur atau pohon pada contoh yang telah disebutkan. فَيَرُدُّ مَنْ يَأْخُذُ بِالْقِسْمَةِ الَّتِيْ أَخْرَجَتْهَا الْقُرْعَةُ قِسْطَ قِيْمَةِ كُلٍّ مِنَ الْبِئْرِ أَوِ الشَّجَرِ فِيْ الْمِثَالِ الْمَذْكُوْرِ
Sehingga, seandainya harga masing-masing dari sumur dan pohon tersebut adalah seribu dan ia memiliki bagian separuh dari tanah, maka orang yang mengambil tanah yang ditempati sumur atau pohon tersebut harus memberikan lima ratus pada orang yang bersekutu dengannya. فَلَوْ كَانَتْ قِيْمَةُ كُلٍّ مِنَ الْبِئْرِ وَالشَّجَرِ أَلْفًا وَلَهُ النِّصْفُ مِنَ الْأَرْضِ رَدَّ الْآخِذُ مَا فِيْهِ ذَلِكَ خَمْسَمِائَةٍ
Pada bentuk pembagian ini harus dilakukan oleh dua orang al qasim sebagaimana yang diungkapkan oleh mushannif, وَلَا بُدَّ فِيْ هَذَا النَّوْعِ مِنْ قَاسِمَيْنِ كَمَا قَالَ.
Jika dalam proses pembagian terdapat pengkalkulasian harga, maka dalam pembagian harta tersebut tidak bisa dilakukan oleh kurang dari dua orang. (وَإِنْ كَانَ فِيْ الْقِسْمَةِ تَقْوِيْمٌ لَمْ يُقْتَصَرْ فِيْهِ) أَيْ فِيْ الْمَالِ الْمَقْسُوْمِ (عَلَى أَقَلَّ مِنِ اثْنَيْنِ)
Hal ini jika qasimnya bukan hakim dalam masalah pengkalkulasian yang didasarkan dengan pengetahuannya. وَهَذَا إِنْ لَمْ يَكُنِ الْقَاسِمُ حَاكِمًا فِيْ التَّقْوِيْمِ بِمَعْرِفَتِهِ
Sehingga, jika ia adalah seorang hakim dalam pengkalkulasian yang berdasarkan pada pengetahuannya, maka hal itu sama seperti putusan hukum yang didasarkan dengan pengetahuannya, dan menurut pendapat al ashah boleh memutuskan hukum berdasarkan dengan pengetahuan sang hakim. فَإِنْ حَكَمَ فِيْ التَّقْوِيْمِ بِمَعْرِفَتِهِ فَهُوَ كَقَضَائِهِ بِعِلْمِهِ وَالْأَصَحُّ جَوَازُهُ بِعِلْمِهِ
Ketika salah satu dari dua orang yang bersekutu mengajak yang lainnya untuk membagi barang yang tidak berdampak negatif jika dibagi, maka bagi yang lainnya wajib menuruti permintaan untuk membagi tersebut. (وَإِذَا دَعَا أَحَدُ الشَّرِيْكَيْنِ شَرِيْكَهُ إِلَى قِسْمَةِ مَا لَا ضَرَرَ فِيْهِ لَزِمَ) الشَّرِيْكَ (الْآخَرَ إِجَابَتُهُ) إِلَى الْقِسْمَةِ
Sedangkan barang yang ada dampak negatifnya jika dibagi seperti kamar mandi yang tidak mungkin dijadikan dua kamar mandi, ketika salah satu dari orang-orang yang bersukutu meminta untuk membaginya dan yang lainnya tidak mau, maka orang orang yang meminta untuk dibagi tidak dituruti menurut pendapat al ashah. أَمَّا الَّذِيْ فِيْ قِسْمَتِهِ ضَرَرٌ كَحَمَّامٍ لَا يُمْكِنُ جَعْلُهُ حَمَّامَيْنِ إِذَا طَلَبَ أَحَدُ الشُّرَكَاءِ قِسْمَتَهُ وَامْتَنَعَ الْآخَرُ فَلَا يُجَابُ طَالِبُ قِسْمَتِهِ فِيْ الْأَصَحِّ.


BAB BAYYINAH (SAKSI)

(Fasal) menjelaskan memutuskan hukum dengan bayyinah / saksi. (فَصْلٌ) فِيْ الْحُكْمِ بِالْبَيِّنَةِ
Ketika pendakwa memiliki saksi, maka sang hakim harus mendengar saksi tersebut dan memutuskan hukum bagi pendakwa dengan saksi tersebut jika sang hakim mengetahui sifat adil saksi tersebut. (وَإِذَا كَانَ مَعَ الْمُدَّعِيْ بَيِّنَةٌ سَمِعَهَا الْحَاكِمُ وَحَكَمَ لَهُ بِهَا) إِنْ عَرَفَ عَدَالَتَهَا
Jika tidak, maka sang hakim meminta si saksi agar melakukan tazkiyah (persaksian atas keadilan dirinya). وَإِلَّا طَلَبَ مِنْهَا التَّزْكِيَّةَ
Jika pihak pendakwa tidak memiliki saksi, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pihak terdakwa disertai dengan sumpahnya. (وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ) أَيِ الْمُدَّعِيْ (بَيِّنَةٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بِيَمِيْنِهِ)
Yang dikehendaki dengan pendakwa aalah orang yang ucapannya bertolak belakang dengan apa yang dhahir. وَالْمُرَادُ بِالْمُدَّعِيْ مَنْ يُخَالِفُ قَوْلُهُ الظَّاهِرَ
Dan yang dimaksud dengan terdakwa adalah orang yang ucapannya sesuai dengan apa yang dhahir. وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ مَنْ يُوَافِقُ قَوْلُهُ الظَّاهِرَ
Kemudian, jika pihak terdakwa tidak mau melakukan sumpah yang diperintahkan padanya, maka hak sumpah diberikan kepada pihak pendakwa. (فَإِنْ نَكَلَ) أَيِ امْتَنَعَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ (عَنِ الْيَمِيْنِ) الْمَطْلُوْبَةِ مِنْهُ (رُدَّتْ  عَلَى الْمُدَّعِيْ
Maka saat itulah pihak pendakwa melakukan sumpah dan berhak mendapatkan apa yang didakwakan. فَيَحْلِفُ) حِيْنَئِذٍ (وَيَسْتَحِقُّ) الْمُدَّعَى بِهِ
Nukul / tidak mau bersumpah adalah ucapan terdakwa, “saya tidak mau bersumpah”, setelah qadli menawarkan padanya untuk bersumpah. وَالنُّكُوْلُ أَنْ يَقُوْلَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بَعْدَ عَرْضِ الْقَاضِيْ عَلَيْهِ الْيَمِيْنَ “أَنَا نَاكِلٌ عَنْهَا”
Atau qadli berkata pada terdakwa, “bersumpahlah”. Namun terdakwa menjawab, “saya tidak akan bersumpah.” أَوْ يَقُوْلَ لَهُ الْقَاضِيْ “احْلِفْ” فَيَقُوْلُ “لاَ أَحْلِفُ”.
Ketika ada dua orang yang saling mengaku berhak atas sesuatu yang berada di tangan salah satu dari mereka, maka ucapan yang diterima adalah ucapan orang yang memegangnya disertai dengan sumpahnya, maksudnya sesungguhnya barang yang ada di tangannya adalah milik dia. (إِذَا تَدَاعَيَا) أَيِ اثنَانِ (شَيْئًا فِيْ يَدِّ أَحَدِهِمَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ صَاحِبِ الْيَدِّ بِيَمِيْنِهِ) أَيْ أَنَّ الَّذِيْ فِيْ يَدِّهِ لَهُ
Jika perkara tersebut berada di tangan keduanya atau tidak ada pada keduanya, maka keduanya melakukan sumpah dan barang yang dituntut dibagi sama rata pada keduanya. (وَإِنْ كَانَ فِيْ أَيْدِيْهِمَا) أَوْ لَمْ يَكُنْ فِيْ يَدِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا (تَحَالَفَا وَجُعِلَ) الْمُدَّعَى بِهِ (بَيْنَهُمَا) نِصْفَيْنِ
Barang siapa bersumpah atas perbuatan dirinya, baik menetapkan perbuatan atau mentiadakan, maka ia harus bersumpah al batt wal qath’i. (وَمَنْ حَلَفَ عَلَى فِعْلِ نَفْسِهِ) إِثْبَاتًا أَوْ نَفْيًا (حَلَفَ عَلَى الْبَتِّ وَالْقَطْعِ)
Al batt dengan menggunakan ba’ yang diberi titik satu kemudian huruf ta’ yang diberi titik dua di atas, maknanya adalah memutus. وَالْبَتُّ بِمُوَحَّدَةٍ فَمُثَنَّاةٍ فَوْقِيَّةٍ مَعْنَاهُ الْقَطْعُ
Kalau demikian, maka mushannif mengathafkan lafadz “al qath’u” pada lafadz “al batt” adalah athaf tafsir. وَحِيْنَئِذٍ فَعَطْفُ الْمُصَنِّفِ الْقَطْعَ عَلَى الْبَتِّ مِنْ عَطْفِ التَّفْسِيْرِ
Barang siapa bersumpah atas perbuatan orang lain, maka terdapat perincian dalam hal ini, (وَمَنْ حَلَفَ عَلَى فِعْلِ غَيْرِهِ) فَفِيْهِ تَفْصِيْلٌ
Jika sumpahnya adalah menetapkan, maka ia bersumpah al batt wal qath’i. فَإِنْ كَانَ إِثْبَاتًا حَلَفَ عَلَى الْبَتِّ وَالْقَطْعِ
Jika sumpahnya adalah mentiadakan secara mutlak, maka ia bersumpah bahwa tidak tahu. وَإِنْ كَانَ نَفْيًا) مُطْلَقًا (حَلَفَ عَلَى نَفْيِ الْعِلْمِ)
Yaitu, sesungguhnya ia tidak tahu bahwa orang lain tersebut melakukan hal itu. وَهُوَ أَنَّهُ لَا يَعْلَمُ أَنَّ غَيْرَهُ فَعَلَ كَذَا
Adapun mentiadakan yang dibatasi, maka dalam hal ini seseorang bersumpah dengan cara al batt. أَمَّا النَّفْيُ الْمَحْصُوْرُ فَيَحْلِفُ فِيْهِ الشَّخْصُ عَلَى الْبَتِّ


BAB SYARAT-SYARAT SAKSI

(Fasal) menjelaskan syarat-syarat saksi. (فَصْلٌ) فِيْ شُرُوْطِ الشَّاهِدِ
Persaksian tidak bisa diterima kecuali dari orang yang memiliki lima sifat/ keadaan. (وَلَا تُقْبَلُ الشَّهَادَةُ إِلَّا مِمَّنْ) أَيِ الشَّخْصِ (اجْتَمَعَتْ فِيْهِ خَمْسُ خِصَالٍ)
Salah satunya adalah islam walaupun sebab mengikut. أَحَدُهَا (الْإِسْلَامُ) وَلَوْ بِالتَّبْعِيَّةِ
Sehingga tidak bisa diterima persaksian orang kafir terhadap orang islam atau orang kafir yang lain. فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ كَافِرٍ عَلَى مُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ
Yang kedua adalah baligh, sehingga tidak bisa diterima persaksian anak kecil walaupun hampir baligh. (وَ) الثَّانِيْ (الْبُلُوْغُ) فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ صَبِيٍّ وَلَوْ مُرَاهِقًا
Yang ketiga adalah berakal, sehingga tidak bisa diterima persaksian orang gila. (وَ) الثَّالِثُ (الْعَقْلُ) فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ مَجْنُوْنٍ
Ke empat adalah merdeka, walaupun sebab daerahnya. (وَ) الرَّابِعُ (الْحُرِّيَّةُ) وَلَوْ بِالدَّارِ
Sehingga tidak bisa diterima persaksian seorang budak, baik budak murni, mudabbar atau mukattab. فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ رَقِيْقٍ قِنًّا كَانَ أَوْمُدَبَّرًا أَوْ مُكَاتَبًا
Yang ke lima adalah adil. (وَ) الْخَامِسُ (الْعَدَالَةُ)
Adil secara bahasa adalah tengah-tengah. Dan secara syara’ adalah watak yang menancap di dalam hati yang bisa mencegah diri dari melakukan dosa-dosa besar atau perbuatan-perbuatan mubah yang hina / rendah. وَهِيَ لُغَةً التَّوَسُّطُ وَشَرْعًا مَلَكَةٌ فِيْ النَّفْسِ تَمْنَعُهَا مِنِ اقْتِرَافِ الْكَبَائِرِ وَالرَّذَائِلِ الْمُبَاحَةِ.

 

 

Syarat Adil

 

Sifat adil memiliki lima syarat. Dalam sebagian redaksi dengan bahasa, “khamsu syurut (lima syarat).” (وَلِلْعَدَالَةِ خَمْسُ شَرَائِطَ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ خَمْسَةُ شُرُوْطٍ
Salah satunya, orang yang adil harus menjauhi perbuatan dosa besar, maksudnya setiap dosa besar. أَحَدُهَا (أَنْ يَكُوْنَ) الْعَدْلُ (مُجْتَنِبًا لِلْكَبَائِرِ) أَيْ لِكُلِّ فَرْدٍ مِنْهَا
Sehingga tidak diterima persaksian orang yang pernah melakukan dosa besar seperti zina dan membunuh seseorang tanpa ada alasan yang benar. فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ صَاحِبِ كَبِيْرَةٍ كَالزِّنَا وَقَتْلِ النَّفْسِ بِغَيْرِ حَقٍّ

 

Yang kedua, orang yang adil harus tidak terus menerus melakukan dosa-dosa kecil. وَالثَّانِيْ أَنْ يَكُوْنَ الْعَدْلُ (غَيْرَ مُصِرٍّ عَلَى الْقَلِيْلِ مِنَ الْصَغَائِرِ)
Sehingga tidak diterima persaksian orang yang melakukan dosa kecil secara terus menerus. فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ الْمُصِرِّ عَلَيْهَا
Untuk penghitungan dosa-dosa besar telah disebutkan di dalam kitab-kitab yang luas pembahasannya. وَعَدُّ الْكَبَائِرِ مَذْكُوْرٌ فِيْ الْمُطَوَّلَاتِ
Yang ke tiga, orang yang adil harus selamat hatinya, maksudnya akidahnya. وَالثَّالِثُ أَنْ يَكُوْنَ الْعَدْلُ (سَلِيْمَ السَّرِيْرَةِ) أَيِ الْعَقِيْدَةِ
Sehingga tidak bisa diterima persaksian orang yang melakukan bid’ah, baik yang kufur atau hanya fasiq sebab bid’ahnya. فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ مُبْتَدِعٍ يَكْفُرُ أَوْ يَفْسُقُ بِبِدْعَتِهِ
Untuk yang pertama -yang kufur- seperti orang yang mengingkari bangkit dari kubur. Dan yang kedua -hanya fasiq- seperti orang yang mencela / mencaci para sahabat Nabi Saw. فَالْأَوَّلُ كَمُنْكِرِ الْبَعْثِ وَالثَّانِيْ كَسَابِّ الصَّحَابَةِ
Sedangkan orang yang tidak sampai kufur dan tidak sampai fasiq sebab bid’ahnya, maka persaksiannya bisa diterima. أَمَّا الَّذِيْ لَا يَكْفُرُ وَلَا يَفْسُقُ بِبِدْعَتِهِ فَتُقْبَلُ شَهَادَتُهُ
Namun dikecualikan dari ini adalah orang kaum al Khithabiyah, maka persaksiannya tidak bisa diterima. وَيُسْتَثْنَى مِنْ هَذَا الْخِطَابِيَّةُ فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمْ
Mereka adalah golongan yang memperkenankan bersaksi untuk temannya ketika mereka mendengar temannya tersebut berkata, “saya berhak atas ini pada si fulan.” وَهُمْ فِرْقَةٌ يُجَوِّزُوْنَ الشَّهَادَةَ لِصَاحِبِهِمْ إَذَا سَمِعُوْهُ يَقُوْلُ لِيْ عَلَى فُلَانٍ كَذَا
Sehingga, jika mereka mengatakan, “aku melihat temanku itu telah menghutangi si fulan barang tersebut,” maka persaksiannya bisa diterima. فَإِنْ قَالُوْا رَأَيْنَاهُ يُقْرِضُهُ كَذَا قُبِلَتْ شَهَادَتُهُمْ
Yang ke empat, orang yang adil tersebut harus bisa mengontrol emosi. وَالرَّابِعُ أَنْ يَكُوْنَ الْعَدْلُ (مَأْمُوْنَ الْغَضَبِ)
Dalam sebagian redaksi, “harus bisa terkontrol ketika emosi.” وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مَأْمُوْنًا عِنْدَ الْغَضَبِ
Sehingga tidak bisa diterima persaksian orang yang tidak bisa mengontrol diri saat emosi. فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ مَنْ لَايُؤْمَنُ عِنْدَ غَضَبِهِ
Yang kelima, orang yang adil harus bisa menjaga muru’ah (harga diri) sesamanya. وَالْخَامِسُ أَنْ يَكُوْنَ الْعَدْلُ (مُحَافِظًا عَلَى مُرُوْأَةِ مِثْلِهِ)
Al muru’ah adalah perilaku seseorang yang sesuai dengan orang-orang sesamanya dari orang-orang yang semasa dengannya dilihat dari waktu dan tempatnya. وَالْمُرُوْأَةُ تَخَلُّقُ الْإِنْسَانِ بِخُلُقِ أَمْثَالِهِ مِنْ أَبْنَاءِ عَصْرِهِ فِيْ زَمَانِهِ وَمَكَانِهِ
Sehingga tidak bisa diterima persaksiannya orang yang tidak memiliki muru’ah. Seperti orang yang berjalan di pasar dengan terbuka kepala atau badannya selain aurat, dan hal itu tidak pantas baginya. فَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ مَنْ لَا مُرُوْأَةَ لَهُ كَمَنْ يَمْشِيْ فِيْ السُّوْقِ مَكْشُوْفَ الرَّأْسِ أَوِ الْبَدَنِ غَيْرِ الْعَوْرَةِ وَلَا يَلِيْقُ بِهِ ذَلِكَ
Adapun membuka aurat, maka hukumnya adalah haram. أَمَّا كَشْفُ الْعَوْرَةِ فَحَرَامٌ

BAB HAK-HAK (HUQUQ)
BAB HAK-HAK (HUQUQ)

(Fasal) hak ada dua macam. (فَصْلٌ وَالْحُقُوْقُ ضَرْبَانِ)
Salah satunya adalah haknya Allah Ta’ala. Dan keterangan tentang itu akan dijelaskan. Dan yang kedua adalah hak anak Adam. أَحَدُهُمَا (حَقُّ اللهِ تَعَالَى) وَسَيَأْتِيْ الْكَلَامُ عَلَيْهِ (وَ) الثَّانِيْ (حَقُّ الْآدَمِيِّ

 

Hak Anak Adam

 

Adapun hak anak Adam ada tiga. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa, “hak anak Adam ada tiga” macam. فَأَمَّا حُقُوْقُ الْآدَمِيِّيْنَ فَثَلَاثَةٌ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ فَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ (أَضْرُبٍ
Pertama, hak yang tidak bisa diterima di dalamnya kecuali dua saksi laki-laki. Sehingga tidak cukup dengan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. ضَرْبٍ لَا يُقْبَلُ فِيْهِ إِلَّا شَاهِدَانِ ذَكَرَانِ) فَلَا يَكْفِيْ رَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ
Mushannif mentafsiri bagian ini dengan perkataan beliau, وَفَسَّرَ الْمُصَنِّفُ هَذَا الضَّرْبَ بِقَوْلِهِ
Yaitu hak yang tidak ditujukan untuk harta dan biasanya terlihat oleh orang-orang laki-laki seperti talak dan nikah. (وَهُوَ مَا لَا يُقْصَدُ مِنْهُ الْمَالُ وَيَطَّلِعُ عَلَيْهِ الرِّجَالُ) غَالِبًا كَطَلَاقٍ وَنِكَاحٍ
Termasuk juga dari bagian ini adalah hukuman karna Allah Swt seperti hadnya minum arak. وَمِنْ هَذَا الضَّرْبِ أَيْضًا عُقُوْبَةٌ لِلَّهِ تَعَالَى كَحَدِّ شُرْبِ خَمْرٍ
Atau hukuman yang dihaki oleh anak Adam seperti ta’zir dan qishash. أَوْ عُقُوْبَةٌ لِآدَمِيٍّ كَتَعْزِيْرٍ وَقِصَاصٍ.
Bagian yang lain adalah bagian yang di dalamnya bisa diterima tiga perkara, adakalanya dua saksi, maksudnya orang laki-laki, satu laki-laki dan dua perempuan, atau satu saksi disertai dengan sumpah pendakwa. (وَضَرْبٌ) آخَرُ (يُقْبَلُ فِيْهِ) أَحَدُ أُمُوْرٍ ثَلَاثَةٍ إِمَّا (شَاهِدَانِ) أَيْ رَجُلَانِ (أَوْ رَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ) وَاحِدٌ (وَيَمِيْنُ الْمُدَّعِيْ)
Dan sumpah pendakwa hanya bisa diterima ketika dilakukan setelah persaksian saksinya dan telah dinyatakan adil. وَإِنَّمَا يَكُوْنُ يَمِيْنُهُ بَعْدَ شَهَادَةِ شَاهِدِهِ وَبَعْدَ تَعْدِيْلِهِ
Saat melakukan sumpah, si pendakwa wajib menyebutkan bahwa saksinya adalah orang yang berkata jujur tentang apa yang ia saksikan untuknya. وَيَجِبُ أَنْ يَذْكُرَ فِيْ حَلْفِهِ أَنَّ شَاهِدَهُ صَادِقٌ فِيْمَا شَهِدَ لَهُ بِهِ
Kemudian, jika pendakwa tidak mau bersumpah dan malah meminta sumpah lawannya, maka ia berhak melakukan hal itu. فَإِنْ لَمْ يَحْلِفِ الْمُدَّعِيْ وَطَلَبَ يَمِيْنَ خَصْمِهِ فَلَهُ ذَلِكَ
Kemudian, jika lawannya tidak mau bersumpah, maka bagi pendakwa berhak bersumpah dengan sumpah ar rad menurut pendapat al adhhar. فَإِنْ نَكَلَ خَصْمُهُ فَلَهُ أَنْ يَحْلِفَ يَمِيْنَ الرَّدِّ فِيْ الْأَظْهَرِ
Mushannif mentafsirkan bagian ini dengan keterangan bahwa sesungguhnya bagian ini adalah bentuk hak yang tujuannya adalah harta saja. وَفَسَّرَ الْمُصَنِّفُ هَذَا الضَّرْبَ بِأَنَّهُ (مَا كَانَ الْقَصْدُ مِنْهُ الْمَالَ) فَقَطْ
Dan bagian yang lainnya lagi adalah hak yang di dalamnya bisa terima dua perkara, adakalanya satu orang laki-laki atau empat orang perempuan. (وَضَرْبٌ) آخَرُ (يُقْبَلُ فِيْهِ) أَحَدُ أَمْرَيْنِ إِمَّا (رَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ)
Mushannif mentafsiri bagian ini dengan perkataan beliau, “bagian ini adalah hak yang biasanya tidak terlihat oleh orang-orang laki-laki akan tetapi hanya terkadang saja, seperti melahirkan, haidl dan radla’. وَفَسَّرَ الْمُصَنِّفُ هَذَا الضَّرْبَ بِقَوْلِهِ (وَهُوَ مَا لَا يَطَّلِعُ عَلَيْهِ الرِّجَالُ) غَالِبًا بَلْ نَادِرًا كَوِلَادَةٍ وَحَيْضٍ وَرَضَاعٍ
Ketahuilah sesungguhnya hak-hak tersebut tidak bisa ditetapkan dengan dua orang perempuan dan sumpah. وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا يَثْبُتُ شَيْئٌ مِنَ الْحُقُوْقِ بِامْرَأَتَيْنِ وَيَمِيْنٍ.

 

Haknya Allah Swt

 

Adapun hak-haknya Allah Swt, maka orang-orang perempuan tidak bisa diterima, akan tetapi yang bisa diterima hanya orang laki-laki saja. (وَأَمَّا حُقُوْقُ اللهِ تَعَالَى فَلَا يُقْبَلُ فِيْهَا النِّسَاءُ) بَلِ الرِّجَالُ فَقَطْ
Hak-haknya Allah Ta’ala ada tiga macam. (وَهِيَ) أَيْ حُقُوْقُ اللهِ تَعَالَى عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ
Bagian pertama, kurang dari empat orang laki-laki tidak bisa diterima dalam bagian ini, yaitu zina. ضَرْبٍ لَا يُقْبَلُ فِيْهِ أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعَةٍ) مِنَ الرِّجَالِ (وَهُوَ الزِّنَا)
Mereka melihat zina tersebut karena tujuan untuk bersaksi. وَيَكُوْنُ نَظَرُهُمْ لَهُ لِأَجْلِ الشَّهَادَةِ
Sehingga, seandainya mereka sengaja melihat karena selain untuk bersaksi, maka mereka dihukumi fasiq dan ditolak persaksiannya. فَلَوْ تَعَمَّدُوْا النَّظَرَ لِغَيْرِهَا فَسَقُوْا وَرُدَّتْ شَهَادَتُهُمْ
Adapun pengakuan seseorang bahwa telah melakukan zina, maka bersaksi atas hal itu cukup dilakukan oleh dua orang laki-laki menurut pendapat al adhhar. أَمَّا إِقْرَارُ شَخْصٍ بِالزِّنَا فَيَكْفِيْ فِيْ الشَّهَادَةِ عَلَيْهِ رَجُلَانِ فِيْ الْأَظْهَرِ

 

Bagian yang lain dari hak-haknya Allah Ta’ala adalah hak yang bisa diterima dengan dua orang, maksudnya dua orang laki-laki. (وَضَرْبٍ) آخَرَ مِنْ حُقُوْقِ اللهِ تَعَالَى (يُقْبَلُ فِيْهِ اثْنَانِ) أَيْ رَجُلَانِ
Mushannif mentafsiri bagian ini dengan perkataan beliau, “bagian ini adalah bentuk-bentuk had selain zina seperti had minum arak.” وَفَسَّرَ الْمُصَنِّفُ هَذَا الضَّرْبَ بِقَوْلِهِ (وَهُوَ مَا سِوَى الزِّنَا مِنَ الْحُدُوْدِ) كَحَدِّ شُرْبٍ
Bagian yang lain lagi dari hak-haknya Allah Ta’ala adalah hak yang bisa diterima dengan satu orang. (وَضَرْبٍ) آخَرَ مِنْ حُقُوْقِ اللهِ تَعَالَى (يُقْبَلُ فِيْهِ وَاحِدٌ
Yaitu hilal bulan Ramadlan saja, tidak bulan-bulan yang lain. وَهُوَ هِلَالُ) شَهْرِ (رَمَضَانَ) فَقَطْ دُوْنَ غَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ
Di dalam kitab-kitab yang diperluas keterangannya terdapat beberapa tempat yang bisa diterima persaksian satu orang saja. وَفِيْ الْمَبْسُوْطَاتِ مَوَاضِعُ يُقْبَلُ فِيْهَا شَهَادَةُ الْوَاحِدِ فَقَطْ
Diantaranya adalah persaksian al lauts. مِنْهَا شَهَادَةُ اللَّوْثِ
Di antaranya adalah sesungguhnya di dalam mentaksir hasil buah bisa dicukupkan dengan satu orang adil. وَمِنْهَا أَنَّهُ يُكْتَفَى فِيْ الْخَرْصِ بِعَدْلٍ وَاحِدٍ

 

Saksi Buta

 

Persaksian orang buta tidak bisa diterima kecuali di dalam lima tempat. Dalam sebagian redaksi dengan bahasa, “khamsu.” (وَلَا تُقْبَلُ شَهَادَةُ الْأَعْمَى إِلَّا فِيْ خَمْسَةٍ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ خَمْسُ (مَوَاضِعَ)
Yang dikehendaki dengan lima tempat ini adalah hak yang bisa ditetapkan dengan istifadlah (masyhur). وَالْمُرَادُ بِهَذِهِ الْخَمْسَةِ مَا يَثْبُتُ بِالْاِسْتِفَاضَةِ
Seperti kematian, nasab bagi laki-laki atau perempuan dari ayah atau kabilah. مِثْلَ (الْمَوْتِ وَالنَّسَبِ) لِذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ أَبٍّ أَوْ قَبِيْلَةٍ
Begitu juga, nasab pada ibu bisa ditetapkan dengan istifadlah menurut pendapat al ashah. وَكَذَا الْأُمُّ يَثْبُتُ النَّسَبُ فِيْهَا بِالْاِسْتِفَاضَةِ عَلَى الْأَصَحِّ
Dan seperti status milik yang mutlak dan terjemah terhadap suatu ucapan. (وَ) مِثْلَ (الْمِلْكِ الْمُطْلَقِ وَالتَّرْجَمَةِ)
Ungkapan mushannif, “dan sesuatu yang disaksikan sebelum buta” tidak tercantum di dalam sebagian redaksi matan. وَقَوْلُهُ (وَمَا شَهِدَ بِهِ قَبْلَ الْعَمَى) سَاقِطٌ فِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ
Maksudnya adalah sesungguhnya orang buta seandainya bersaksi tentang sesuatu yang membutuhkan penglihatan sebelum ia buta, kemudian setelah itu ia baru buta, maka ia diperkenankan bersaksi atas apa yang ia tanggung jika al masyhud lah (orang yang diberi kesaksian yang mendukung padanya) dan al masyhud ‘alaih (orang yang diberi kesaksian yang memberatkan padanya) telah diketahui nama dan nasabnya. وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْأَعْمَى لَوْ تَحَمَّلَ الشَّهَادَةَ فِيْمَا يَحْتَاجُ لِلْبَصَرِ قَبْلَ عُرُوْضِ الْعَمَى لَهُ ثُمَّ عَمَى بَعْدَ ذَلِكَ شَهِدَ بِمَا تَحَمَّلَهُ إِنْ كَانَ الْمَشْهُوْدُ لَهُ وَعَلَيْهِ مَعْرُوْفَيِ الْاِسْمِ وَالنَّسَبِ
Dan ia bersaksi tentang sesuatu atas orang dipegang. (وَ) مَا شَهِدَ بِهِ (عَلَى الْمَضْبُوْطِ)
Bentuknya adalah seseorang mengaku ditelinga orang yang buta bahwa ia telah memerdekakan atau mentalak seseorang yang telah diketahui nama dan nasabnya, dan tangan orang buta tersebut berada di kepala orang yang mengaku, kemudian orang buta itu memegangnya hingga bersaksi di hadapan qadli atas dia dengan apa yang ia dengar dari orang tersebut. وَصُوْرَتُهُ أَنْ يُقِرَّ شَخْصٌ فِيْ أُذُنِ أَعْمَى بِعِتْقٍ أَوْ طَلَاقٍ لِشَخْصٍ يُعْرَفُ اسْمُهُ وَنَسَبُهُ وَيَدُّ ذَلِكَ الْأَعْمَى عَلَى رَأْسِ ذَلِكَ الْمُقِرِّ فَيَتَعَلَّقُ الْأَعْمَى بِهِ وَيَضْبِطُهُ حَتَّى يَشْهَدَ عَلَيْهِ بِمَا سَمِعَهُ مِنْهُ عِنْدَ قَاضٍ
Tidak bisa diterima persaksian seseorang yang menarik kemanfaatan untuk dirinya sendiri, dan persaksian orang yang menolak bahaya dari dirinya sendiri. (وَلَاتُقْبَلُ شَهَادَةُ) شَخْصٍ (جَارٍّ لِنَفْسِهِ نَفْعًا وَلَا دَافِعٍ عَنْهَا ضَرَرًا)
Kalau demikian, maka tidak bisa diterima persaksian seorang majikan untuk budaknya yang telah ia beri izin untuk berdagang dan juga budak mukatabnya. وَحِيْنَئِذٍ تُرَدُّ شَهَادَةُ السَّيِّدِ لِعَبْدِهِ الْمَأْذُوْنِ لَهُ فِيْ التِّجَارَةِ وَمُكَاتَبِهِ


KITAB MENJELASKAN HUKUM-HUKUM MEMERDEKAKAN BUDAK

Al ‘itqu secara bahasa adalah diambil dari ungkapan orang arab, “anak burung bebas ketika terbang dan menyendiri.” وَهُوَ لُغَةً مَأْخَوْذٌ مِنْ قَوْلِهِمْ عَتَقَ الْفَرَخُ إِذَا طَارَ وَاسْتَقَلَّ
Dan secara syara’ adalah menghilangkan kepemilikan dari anak Adam tidak untuk dimiliki lagi karena tujuan ibadah kepada Allah Swt. وَشَرْعًا إِزَالَةُ مِلْكٍ عَنْ آدَمِيٍّ لَا إِلَى مِلْكٍ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ تَعَالَى
Dikecualikan dari adan Adam yaitu burung dan binatang ternak, maka tidak sah  untuk dimerdekakan. وَخَرَجَ بِآدَمِيٍّ الطَّيْرُ وَالْبَهِيْمَةُ فَلَا يَصِحُّ عِتْقُهُمَا
Hukumnya sah  memerdekakan budak yang dilakukan oleh setiap pemilik yang legal perintahnya. Dalam sebagian redaksi, “yang legal tasyarufnya” pada kepemilikannya. (وَيَصِحُّ الْعِتْقُ مِنْ كُلِّ مَالِكٍ جَائِزِ الْأَمْرِ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ جَائِزُ التَّصَرُّفِ (فِيْ مِلْكِهِ)
Sehingga tidak sah  memerdekakan budak yang dilakukan oleh orang yang tidak legal tasyarufnya seperti anak kecil, orang gila dan orang safih. فَلَايَصِحُّ عِتْقُ غَيْرِ جَائِزِ التَّصَرُّفِ كَصَبِيٍّ وَمَجْنُوْنٍ وَسَفِيْهٍ
Ungkapan mushannif, “memerdekakan bisa terjadi dengan ungkapan memerdekakan yang sharih”, memang begitulah ungkapan di dalam sebagian redaksi. وَقَوْلُهُ (وَيَقَعُ بِصَرِيْحِ الْعِتْقِ) كَذَلِكَ فِيْ بَعْضِ النُّسَخِ
Dan dalam sebagian redaksi lagi dengan ungkapan, “wayaqa’u bi sharihil ‘itq (dan memerdekakan bisa hasil dengan ungkapan memerdekakan yang sharih).” وَفِيْ بَعْضِهَا وَيَقَعُ بِصَرِيْحِ الْعِتْقِ
Ketahuilah sesungguhnya ungkapan memerdekakan yang sharih adalah lafadz “al i’taq (memerdekakan)” dan “at tahrir (memerdekakan)”, dan lafadz-lafadz yang ditasrif dari keduanya seperti “engkau adalah ‘atiq (orang yang dimerdekakan)” atau “engkau adalah muharrar (yang dimerdekakan).” وَاعْلَمْ أَنَّ صَرِيْحَهُ الْإِعْتَاقُ وَالتَّحْرِيْرُ وَمَا تَصَرَّفَ مِنْهُمَا كَأَنْتَ عَتِيْقٌ أَوْ مُحَرَّرٌ
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang yang bergurau ataupun tidak. وَلَا فَرْقَ فِيْ هَذَا بَيْنَ هَازِلٍ وَغَيْرِهِ
Di antara ungkapan yang sharih menurut pendapat al ashah adalah “fakk ar raqabah (membebaskan badan).” وَمِنْ صَرِيْحِهِ فِيْ الْأَصَحِّ فَكُّ الرَّقَبَةِ
Kalimat yang sharih tidak butuh pada niat. وَلَا يَحْتَاجُ الصَّرِيْحُ إِلَى نِيَّةٍ
Memerdekakan juga bisa terjadi dengan selain kalimat yang  sharih sebagaimana yang disampaikan mushannif, “-dan bisa hasil- dengan kalimat kinayah yang disertai dengan niat.” وَيَقَعُ الْعِتْقُ أَيْضًا بِغَيْرِ الصَّرِيْحِ كَمَا قَالَ (وَالْكِنَايَةِ مَعَ النِّيَّةِ)
Seperti majikan berkata pada budaknya, “aku tidak punya hak milik atas dirimu”, “tidak ada kekuasaan bagiku atas dirimu” dan kalimat-kalimat sesamanya. كَقَوْلِ السَّيِّدِ لِعَبْدِهِ لَا مِلْكَ لِيْ عَلَيْكَ لَاسُلْطَانَ لِيْ عَلَيْكَ وَنَحْوِ ذَلِكَ.

 

Kosekwensi ‘Itqu

 

Ketika orang yang legal tasharrufnya memerdekakan sebagian dari budak semisal, maka seluruh bagian budak tersebut menjadi merdeka atas orang itu. (وَإِذَا أَعْتَقَ) جَائِزُ التَّصَرُّفِ (بَعْضَ عَبْدٍ) مَثَلًا (عَتَقَ عَلَيْهِ جَمِيْعُهُ)
Baik sang majikan kaya ataupun tidak, sebagian budak yang dimerdekakan tersebut ditentukan ataupun tidak. مُوْسِرًا كَانَ السَّيِّدُ أَوْ لَا مُعَيَّنًا كَانَ ذَلِكَ الْبَعْضُ أَوْ لاَ
Jika seseorang memerdekakan, dalam sebagian redaksi dengan bahasa “’ataqa (memerdekakan)” bagiannya pada seorang budak semisal, atau memerdekakan seluruh bagian budak dan ia mampu membayar bagian budak yang tidak ia miliki, maka hukum merdeka berdampak juga pada bagian si budak yang tidak ia miliki. (وَإِنْ أَعْتَقَ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ عَتَقَ (شِرْكًا) أَيْ نَصِيْبًا (لَهُ فِيْ عَبْدٍ) مَثَلًا أَوْ أَعْتَقَ جَمِيْعَهُ (وَهُوَ مُوْسِرٌ) بِبَاقِيْهِ (سَرَى الْعِتْقُ إِلَى بَاقِيْهِ) أَيِ الْعَبْدِ
Atau berdampak pada bagian budak yang dimiliki oleh sekutunya yang mampu ia bayar menurut pendapat ash shahih. أَوْ سَرَى إِلَى مَا أَيْسَرَ بِهِ مِنْ نَصِيْبِ شَرِيْكِهِ عَلَى الصَّحِيْحِ
Dan dampak merdeka tersebut langsung seketika menurut pendapat al adhhar. وَتَقَعُ السِّرَايَةُ فِيْ الْحَالِ عَلَى الْأَظْهَرِ
Menurut satu pendapat, dampak merdeka tersebut terjadi dengan membayar harganya. وَفِيْ قَوْلٍ بِأَدَاءِ الْقِيْمَةِ
Yang dikehendaki dengan al musir di sini bukanlah orang yang kaya. وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِالْمُوْسِرِ هُنَّا هُوَ الْغَنِيُّ
Akan tetapi, dia adalah orang yang memiliki harta yang bisa melunasi harga bagian yang dimiliki oleh sekutunya saat memerdekakan yang mana harta tersebut sudah melebihi dari makanan pokok orang tersebut, makanan pokok orang yang wajib dinafkahi pada siang dan malam hari itu, sudah melebihi dari pakaian yang layak dan dari tempat tinggal di hari itu. بَلْ مَنْ لَهُ مِنَ الْمَالِ وَقْتَ الْإِعْتَاقِ مَا يَفِيْ بِقِيْمَةِ نَصِيْبِ شَرِيْكِهِ فَاضِلًا عَنْ قُوْتِهِ وَقُوْتِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ فِيْ يَوْمِهِ وَلَيْلَتِهِ وَعَنْ دُسْتِ ثَوْبٍ يَلِيْقُ بِهِ وَعَنْ سُكْنَى يَوْمِهِ
Bagi yang merdekakan harus membayar harga bagian budak yang dimiliki oleh sekutunya di hari memerdekakan tersebut. (وَكَانَ عَلَيْهِ) أَيِ الْمُعْتِقِ (قِيْمَةُ نَصِيْبِ شَرِيْكِهِ) يَوْمَ إِعْتَاقِهِ
Orang yang memiliki salah satu dari orang tua atau anak-anaknya, maka orang yang dimiliki itu hukumnya merdeka atas orang tersebut setelah ia memilikinya. (وَمَنْ مَلِكَ وَاحِدًا مِنْ وَالِدِيْهِ أَوْ) مِنْ (مَوْلُوْدِيْهِ عَتَقَ عَلَيْهِ) بَعْدَ مِلْكِهِ
Baik sang pemilik adalah ahli tabaru’ ataupun tidak seperti anak kecil dan orang gila. سَوَاءٌ كَانَ الْمَالِكُ مِنْ أَهْلِ التَّبَرُّعِ أَوْ لَا كَصَبِيٍّ وَمَجْنُوْنٍ


BAB WALA’

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum wala’. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ (الْوَلَاءِ)
Wala’ secara bahasa adalah lafadz yang dicetak dari lafadz “al muwalah (saling mengasihi).” Dan secara syara’ adalah waris ashabah sebab hilangnya kepemilikan dari seorang budak yang dimerdekakan. وَهُوَ لُغَةً مُشْتَقٌّ مِنَ الْمُوَالَاةِ وَشَرْعًا عُصُوْبَةٌ سَبَبُهَا زَوَالُ الْمِلْكِ عَنْ رَقِيْقٍ مُعْتَقٍ
Wala’ dengan terbaca panjang adalah termasuk hak sebab memerdekakan. (وَالْوَلَاءُ) بِالْمَدِّ (مِنْ حُقُوْقِ الْعِتْقِ

 

Hukum Wala’

 

Hukumnya, maksudnya hukum waris dengan wala’ adalah hukum waris ashabah ketika tidak ada waris ashabah dari jalur nasab. Mengenai makna dari waris ashabah sudah dijelaskan di dalam permasalahan “Faraidl.” وَحُكْمُهُ) أَيْ حُكْمُ الْإِرْثِ بِالْوَلَاءِ (حُكْمُ التَّعْصِيْبِ عِنْدَ عَدَمِهِ) وَسَبَقَ مَعْنَى التَّعْصِيْبِ فِيْ الْفَرَائِضِ
Waris wala’ berpindah dari orang yang memerdekakan kepada orang-orang laki-laki yang mendapatkan waris ashabah dengan dirinya sendiri dari orang yang memerdekakan tersebut, tidak seperti anak perempuan dan saudara perempuan orang yang memerdekakan. (وَيَنْتَقِلُ الْوَلَاءُ عَنِ الْمُعْتِقِ إِلَى الذُّكُوْرِ مِنْ عَصَبَتِهِ) الْمُتَعَصِّبِيْنَ بِأَنْفُسِهِمْ لاَ كَبِنْتِ الْمُعْتِقِ وَأُخْتِهِ
Urutan waris ashabah di dalam wala’ sama seperti urutan waris ashabah di dalam warisan. (وَتَرْتِيْبُ الْعَصَبَاتِ فِيْ الْوَلَاءِ كَتَرْتِيْبِهِمْ فِيْ الْإِرْثِ)
Akan tetapi, menurut pendapat al adhhar, di dalam waris wala’, sesungguhnya saudara laki-laki dan anak laki-lakinya saudara laki-laki orang yang memerdekakan itu lebih didahulukan daripada kakek orang yang memerdekakan. لَكِنِ الْأَظْهَرُ فِيْ بَابِ الْوَلَاءِ أَنَّ أَخَا الْمُعْتِقِ وَابْنَ أَخِيْهِ مُقَدَّمَانِ عَلَى جَدِّ الْمُعْتِقِ
Berbeda dengan yang ada di dalam warisan, maksudnya sebab nasab, maka sesungguhnya saudara laki-laki dan kakek itu bersekutu (tidak ada yang didahulukan). بِخِلَافِ الْإِرْثِ أَيْ بِالنَّسَبِ فَإِنَّ الْأَخَّ وَالْجَدَّ شَرِيْكَانِ
Orang perempuan tidak bisa mendapatkan waris wala’ kecuali dari budak yang ia merdekakan sendiri atau dari anak-anak dan orang-orang yang dimerdekakan oleh budak yang ia merdekakan. وَلَا تَرِثُ الْمَرْأَةُ بِالْوَلَاءِ إِلَّا مِنْ شَخْصٍ  بَاشَرَتْ عِتْقَهُ أَوْ مِنْ أَوْلَادِهِ وَعُتَقَائِهِ
Tidak boleh, maksudnya tidak sah menjual dan menghadiahkan wala’. (وَلَا يَجُوْزُ) أَيْ لَا يَصِحُّ (بَيْعُ الْوَلَاءِ وَلَا هِبَّتُهُ)
Kalau demikian, waris wala’ tidak bisa berpindah dari orang yang menghakinya. وَحِيْنَئِذٍ لَايَنْتَقِلُ الْوَلَاءُ عَنْ مُسْتَحِقِّهِ.


BAB BUDAK MUDABBAR

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum at tadbir. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ (التَّدْبِيْرِ)
At tadbir secara bahasa adalah melihat pada akhir dari perkara-perkara. Dan secara syara’ adalah memerdekakan setelah meninggal dunia. وَهُوَ لُغَةً النَّظَرُ فِيْ عَوَاقِبِ الْأُمُوْرِ وَشَرْعًا عِتْقٌ عَنْ دُبُرِ الْحَيَاةِ
Mushannif menjelaskannya dengan perkataan beliau, “barang siapa, maksudnya majikan ketika berkata pada budaknya seumpama, ‘ketika aku meninggal dunia, maka engkau mendeka,’ maka budak tersebut adalah budak mudabbar. وَذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (وَمَنْ) أَيْ وَالسَّيِّدُ إِذَا (قَالَ لِعَبْدِهِ) مَثَلًا (إِذَا مُتُّ) أَنَا (فَأَنْتَ حُرٌّ فَهُوَ) أَيِ الْعَبْدُ (مُدَبَّرٌ
Yang akan merdeka setelah wafatnya sang majikan dari sepertiganya, maksudnya sepertiga harta sang majikan, jika seluruh bagian budak tersebut masuk dalam hitungan dari sepertiga. يَعْتِقُ بَعْدَ وَفَاتِهِ) أَيِ السَّيِّدِ (مِنْ ثُلُثِهِ) أَيْ ثُلُثِ مَالِهِ إِنْ خَرَجَ كُلُّهُ مِنَ الثُّلُثِ
Jika tidak termasuk, maka yang merdeka adalah sebagian yang masuk dalam hitungan sepertiga jika memang ahli waris tidak mengizini semuanya. وَ إِلَّا عَتَقَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا يَخْرُجُ مِنَ الثُّلُثِ إِنْ لَمْ تُجِزِ الْوَرَثَةُ
Yang telah disebutkan oleh mushannif adalah bentuk tadbir yang sharih. Dan di antaranya adalah ungkapan, “aku memerdekakanmu setelah aku meninggal dunia.” وَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ هُوَ مِنْ صَرِيْحِ التَّدْبِيْرِ وَمِنْهُ أَعْتَقْتُكَ بَعْدَ مَوْتِيْ
Tadbir juga sah  dengan bentuk ungkapan kinayah yang disertai dengan niat seperti, “aku bebaskan jalanmu setelah aku meninggal dunia.” وَيَصِحُّ التَّدْبِيْرُ بِالْكِنَايَةِ أَيْضًا مَعَ النِّيَّةِ كَخَلَّيْتُ سَبِيْلَكَ بَعْدَ مَوْتِيْ
Baginya, maksudnya bagi sang majikan diperkenankan menjual budak mudabbar saat ia masih hidup dan tadbirnya menjadi batal. (وَيَجُوْزُ لَهُ) أَيِ السَّيِّدِ (أَنْ يَبِيْعَهُ) أَيِ الْمُدَبَّرَ (فِيْ حَالِ حَيَاتِهِ وَيَبْطُلُ تَدْبِيْرُهُ)
Dan baginya juga diperkenankan mentasharrufkan budak mudabbar tersebut dengan bentuk pentasharrufan yang bisa menghilangkan kepemilikan seperti hibbah setelah diterima dan menjadikannya sebagai mas kawin. وَلَهُ أَيْضًا التَّصَرُّفُ فِيْهِ بِكُلِّ مَا يُزِيْلُ الْمِلْكَ كَهِبَّةٍ بَعْدَ قَبْضِهَا وَجَعْلِهِ صَدَاقًا
Mudabbar adalah menggantungkan kemerdekaan budak dengan sifat menurut pendapat al adhhar. وَالتَّدْبِيْرُ تَعْلِيْقُ عِتْقٍ بِصِفَةٍ فِيْ الْأَظْهَرِ
Dan menurut satu pendapat adalah wasiat kepada si budak untuk merdeka. وَفِيْ قَوْلٍ وَصِيَةٌ لِلْعَبْدِ بِعِتْقِهِ
Sehingga, menurut pendapat al adhhar, seandainya sang majikan menjual budak mudabbar, kemudian ia memilikinya lagi, maka status tadbir tidak kembali lagi menurut pendapat al madzhab. فَعَلَى الْأَظْهَرِ لَوْ بَاعَهُ السَّيِّدُ ثُمَّ مَلَكَهُ لَمْ يَعُدِ التَّدْبِيْرُ عَلَى الْمَذْهَبِ
Budak mudabbar saat majikannya masih hidup hukumnya adalah budak murni. (وَحُكْمُ الْمُدَبَّرِ فِيْ حَيَاةِ السَّيِّدِ حُكْمُ الْعَبْدِ الْقِنِّ)
Kalau demikian, hasil dari pekerjaan budak mudabbar adalah milik sang majikan. وَحِيْنَئِذٍ تَكُوْنُ أَكْسَابُ الْمُدَبَّرِ لِلسَّيِّدِ
Jika budak mudabbar itu dibunuh, maka majikan berhak menerima ganti rugi harganya. وَإِنْ قُتِلَ الْمُدَبَّرُ فَلِلسَّيِّدِ الْقِيْمَةُ
Atau anggota budak mudabbar tersebut dipotong, maka majikan berhak mendapatkan ganti ruginya. أَوْ قُطِعَ الْمُدَبَّرُ فَلِلسَّيِّدِ الْأُرْشُ
Dan status mudabbarnya tetap seperti semula. وَيَبْقَى التَّدْبِيْرُ بِحَالِهِ
Dalam sebagian redaksi diungkapkan, “budak mudabbar saat majikannya masih hidup hukumnya adalah budak murni.” وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَحُكْمُ الْمُدَبَّرِ فِيْ حَيَاةِ سَيِّدِهِ حُكْمُ الْعَبْدِ الْقِنِّ.


BAB KITABAH (BUDAK MUKATAB)

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum kitabah, dengan terbaca kasrah huruf kafnya menurut pendapat yang paling masyhur. Dan menurut satu pendapat dengan terbaca fathah huruf kafnya seperti lafadz “al ‘ataqah.” (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْكِتَابَةِ بِكَسْرِ الْكَافِ فِيْ الْأَشْهَرِ وَقِيْلَ بِفَتْحِهَا كَالْعَتَاقَةِ
Kitabah menurut bahasa adalah lafadz yang diambil dari lafadz “al katbu”, yaitu bermakna mengumpulkan, karena di dalam akad kitabah terdapat unsur mengumpulkan satu cicilan dengan cicilan yang lain. وَهِيْ لُغَةً مَأْخُوْذَةٌ مِنَ الْكَتْبِ وَهُوَ بِمَعْنَى الْضَمِّ وَالْجَمْعِ لِأَنَّ فِيْهَا ضَمِّ نَجْمٍ إِلَى نَجْمٍ
Dan secara syara’ adalah merdekakan budak yang digantungkan terhadap harta yang dicicil dengan dua waktu yang sudah diketahui atau lebih. وَشَرْعًا عِتْقٌ مُعَلَّقٌ عَلَى مَالٍ مُنَجَّمٍ بِوَقْتَيْنِ مَعْلُوْمَيْنِ فَأَكْثَرَ

 

 

Hukum Kitabah

 

Al kitabah hukumnya disunnahkan ketika budak laki-laki atau perempuan meminta untuk melakukannya. (وَالْكِتَابَةُ مُسْتَحَبَّةٌ إِذَا سَأَلَهَا الْعَبْدُ) أَوِالْأَمَّةُ
Dan masing-masing dari keduanya dapat dipercaya dan bisa berkerja, maksudnya mampu bekerja untuk melunasi cicilan yang ia sanggupi. (وَكَانَ) كُلٌّ مِنْهُمَا (مَأْمُوْنًا) أَيْ أَمِيْنًا (مُكْتَسِبًا) أَيْ قَوِيًا عَلَى كَسْبٍ يُوْفِيْ بِمَا الْتَزَمَهُ مِنْ أَدَاءِ النُّجُوْمِ
Akad kitabah tidak sah  kecuali dengan cicilan harta yang sudah diketahui, seperti ucapan sang majikan kepada si budak, “aku melakukan akad kitabah denganmu dengan membayar dua dinar,” semisal. (وَلَا تَصِحُّ إِلَّا بِمَالٍ مَعْلُوْمٍ) كَقَوْلِ السَّيِّدِ لِعَبْدِهِ كَاَتَبْتُكَ عَلَى دِيْنَارَيْنِ مَثَلًا.
Harta yang sudah diketahui tersebut diberi jangka waktu yang diketahui, minimal dua kali cicilan.

 

(وَيَكُوْنُ) الْمَالُ الْمَعْلُوْمُ (مُؤَجَّلًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ أَقَلُّهُ نَجْمَانِ)
Seperti ucapan sang majikan pada budaknya di dalam contoh yang telah disebutkan, “kamu memberikan dua dinar padaku, setiap cicilan memberikan satu dirham. Kemudian setelah kamu telah melunasinya, maka kamu merdeka.” كَقَوْلِ السَّيِّدِ فِيْ الْمِثَالِ الْمَذْكُوْرِ لِعَبْدِهِ تَدْفَعُ إِلَيَّ الدِّيْنَارَيْنِ فِيْ كُلِّ نَجْمٍ دِيْنَارٌ فَإِذَا أَدَّيْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حُرٌّ
Akad kitabah yang sah  hukumnya lazim bagi pihak majikan. (وَهِيَ) أَيِ الْكِتَابَةُ الصَّحِيْحَةُ (مِنْ جِهَّةِ السَّيِّدِ لَازِمَةٌ)
Sehingga baginya tidak diperkenankan merusak akad kitabah ketika sudah sah  kecuali jika budak mukatabnya tidak mampu membayar seluruh atau sebagian cicilan ketika sudah jatuh tempo, seperti ucapan si budak, “aku tidak mampu melunasinya.” Maka bagi sang majikan diperkenankan merusak akad pada saat demikian. فَلَيْسَ لَهُ فَسْخُهَا بَعْدَ لُزُوْمِهَا إِلَّا أَنْ يَعجُزَ الْمُكَاتَبُ عَنْ أَدَاءِ النَّجْمِ أَوْ بَعْضِهِ عِنْدَ الْمَحِلِّ كَقَوْلِهِ عَجَزْتُ عَنْ ذَلِكَ فَلِلسَّيِّدِ حِيْنَئِذٍ فَسْخُهَا
Yang semakna dengan tidak mampu melunasi adalah si budak mukatab tidak mau melunasi cicilan padahal ia mampu untuk membayar. وَفِيْ مَعْنَى الْعَجْزِ امْتِنَاعُ الْمُكَاتَبِ مِنْ أَدَاءِ النُّجُوْمِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهَا.
Akad kitabah hukumnya jaiz bagi pihak si budak. (وَ) الْكِتَابَةُ (مِنْ جِهَّةِ) الْعَبْدِ (الْمُكَاتَبِ جَائِزَةٌ
Sehingga, setelah akad itu terjadi maka bagi dia diperkenankan menganggap dirinya tidak mampu dengan cara yang telah disebutkan di atas. Dan juga diperkenankan merusak akad kapanpun ia mau. فَلَهُ) بَعْدَ عَقْدِ الْكِتَابَةِ تَعْجِيْزُ نَفْسِهِ بِالطَّرِيْقِ السَّابِقِ وَلَهُ أَيْضًا (فَسْخُهَا مَتَّى شَاءَ)
Walaupun dia memiliki harta yang bisa digunakan untuk melunasi cicilan kitabahnya. وَإِنْ كَانَ مَعَهُ مَا يُوَفِّيْ بِهِ نُجُوْمَ الْكِتَابَةِ
Ungkapan mushannif, “kapanpun ia mau”, memberi pemahaman bahwa sesungguhnya ia berhak memilih untuk merusak akad kitabah. وَأَفْهَمَ قَوْلُ الْمُصَنِّفِ مَتَى شَاءَ أَنَّ لَهُ اخْتِيَارَ الْفَسْخِ
Sedangkan untuk akad kitabah yang fasid, maka hukumnya jaiz bagi pihak budak mukatab dan pihak sang majikan. أَمَّا الْكِتَابَةُ الْفَاسِدَةُ فَجَائِزَةٌ مِنْ جِهَّةِ الْمُكَاتَبِ وَالسَّيِّدِ
Bagi budak mukatab diperkenankan mentasharufkan harta yang berada ditangannya dengan menjual, membeli, menyewakan dan sesamanya, tidak dengan menghibbahkan dan sesamanya. (وَلِلْمُكَاتَبِ التَّصَرُّفُ فِيْمَا فِيْ يَدِّهِ مِنَ الْمَالِ) بِبَيْعٍ وَشِرَاءٍ وَإِيْجَارٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَا بِهِبَّتِهِ وَنَحْوِهَا
Dalam sebagian redaksi matan menggunakan ungkapan, “budak mukatab memiliki hak untuk mentasharrufkan dengan cara yang bisa menggembangkan harta.” وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ وَيَمْلِكُ الْمُكَاتَبُ التَّصَرُّفَ فِيْمَا فِيْهِ تَنْمِيَةُ الْمَالِ
Yang dikehendaki adalah sesungguhnya dengan akad kitabah, si budak mukatab memiliki hak atas manfaat-manfaat dan hasil pekerjaannya, akan tetapi dia berstatus mahjur ‘alaih (tercegah) untuk merusakkan semua itu tanpa alasan yang benar karena melihat hak sang majikan. وَالْمُرَادُ أَنَّ الْمُكَاتَبَ يَمْلِكُ بِعَقْدِ الْكِتَابَةِ مَنَافِعَهُ وَاكْتِسَابَهُ إِلَّا أَنَّهُ مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ لِأَجْلِ السَّيِّدِ فِيْ اسْتِهْلَاكِهَا بِغَيْرِ حَقٍّ.
Setelah akad kitabah dengan budaknya sah, maka bagi sang majikan wajib untuk memotong / memberi dispen dari cicilan kitabah sebagian yang bisa membantu si budak untuk melunasi cicilan akad kitabahnya. (وَيَجِبُ عَلَى السَّيِّدِ) بَعْدَ صِحَّةِ كِتَابَةِ عَبْدِهِ (أَنْ يَضَعَ) أَيْ يَحُطَّ (عَنْهُ مِنْ مَالِ الْكِتَابَةِ مَا) أَيْ شَيْئًا (يَسْتَعِيْنُ بِهِ عَلَى أَدَاءِ نُجُوْمِ الْكِتَابَةِ)
Hukumnya sama dengan memotong, yaitu sang majikan memberikan bagian yang sudah diketahui dari harta kitabah kepada si budak. وَيَقُوْمُ مَقَامَ الْحَطِّ أَنْ يَدْفَعَ لَهُ السَّيِّدُ جُزْأً مَعْلُوْمًا مِنْ مَالِ الْكِتَابَةِ
Akan tetapi memotong itu lebih utama daripada memberikan harta, karena sesungguhnya tujuan dari potongan tersebut adalah menolong untuk memerdekakan, dan bentuk pertolongan itu nyata betul di dalam pemotongan sedangkan dalam pemberian hanya sekedar dugaan saja. وَلَكِنِ الْحَطُّ أَوْلَى مِنَ الدَّفْعِ لِأَنَّ الْقَصْدَ مِنَ الْحَطِّ الْإِعَانَةُ عَلَى الْعِتْقِ وَهِيَ مُحَقَّقَةٌ فِيْ الْحَطِّ مَوْهُوْمَةٌ فِيْ الدَّفْعِ
Budak mukatab tidak merdeka kecuali setelah membayar semua harta, maksudnya harta yang telah disepakati di dalam akad kitabah dengan mengecualikan kadar yang dipotong oleh pihak sang majikan. (وَلَا يَعْتِقُ) الْمُكَاتَبُ (إِلَّا بِأَدَاءِ جَمِيْعِ الْمَالِ) أَيْ مَالِ الْكِتَابَةِ بَعْدَ الْقَدْرِ الْمَوْضُوْعِ عَنْهُ مِنْ جِهَّةِ السَّيِّدِ.


BAB UMMU WALAD

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum ummu walad. (فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ
Ketika sang majikan, baik islam atau kafir, menjima’ budak perempuannnya, walapun saat haidl, mahramnya, telah dinikahkan dengan orang lain, atau tidak sampai dijima’ akan tetapi si budak memasukkan penis atau sperma sang majikan yang muhtaram, kemudian si budak melahirkan bayi yang hidup, mati atau janin yang wajib diberi ganti rugi budak yaitu janin yang berupa daging yang sudah nampak bentuk anak Adam pada janin tersebut, dalam sebagian redaksi “dari bentuk anak Adam” bagi setiap orang atau bagi wania-wanita ahli khubrah, dan dengan  melahirkan apa yang telah disebutkan tersebut si budak berstatus mustauladah bagi sang majikan, maka kalau demikian haram bagi sang majikan untuk menjualnya sekaligus juga batal. (وَإِذَا أَصَابَ) أَيْ وَطِئَ (السَّيِّدُ) مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا (أَمَّتَهُ) وَلَوْ كَانَتْ حَائِضًا أَوْ مَحْرَمًا لَهُ أَوْ مُزَوَّجَةً أَوْ لَمْ يُصِبْهَا وَلَكِنِ اسْتَدْخَلَتْ ذَكَرَهُ أَوْ مَاءَهُ الْمُحْتَرَمَ (فَوَضَعَتْ) حَيًّا أَوْ مَيِّتًا أَوْ مَا يَجِبُ فِيْهِ غُرَّةٌ وَهُوَ (مَا) أَيْ لَحْمٌ (تَبَيَّنَ فِيْهِ شَيْئٌ مِنْ خَلْقِ آدَمِيٍّ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ مِنْ خَلْقِ الْآدَمِيِّيْنَ لِكُلِّ أَحَدٍ أَوْ لِأَهْل ِالْخُبْرَةِ مِنَ النِّسَاءِ وَيَثْبُتُ بِوَضْعِهَا مَا ذُكِرَ كَوْنُهَا مُسْتَوْلَدَةً لِسَيِّدِهَا وَحِيْنَئِذٍ (حَرُمَ عَلَيْهِ بَيْعُهَا) مَعَ بُطْلَانِهِ أَيْضًا
Kecuali dijual pada si budak itu sendiri, maka hukumnya tidak haram dan tidak batal. إِلَّا مِنْ نَفْسِهَا فَلَا يَحْرُمُ وَلَا يَبْطُلُ
Bagi sang majikan juga haram untuk menggadaikan, menghibahkan dan mewasiatkannya. (وَ) حَرُمَ عَلَيْهِ أَيْضًا (رَهْنُهَا وَهِبَّتُهَا) وَالْوَصِيَّةُ بِهَا
Bagi sang majikan diperkenankan memanfaatkan si budak sebagai pelayan, dijima’, disewakan dan dipinjamkan. (وَجَازَ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيْهَا بِالْاِسْتِخْدَامِ وَالْوَطْءِ) وَ بِالْإِجَارَةِ وَالْإِعَارَةِ
Bagi sang majikan juga berhak menerima ganti rugi dari luka yang dilakukan pada si budak dan anak-anaknya yang mengikut pada si budak, dan berhak mendapatkan ganti rugi harga si budak ketika ia dibunuh dan harga anak-anaknya ketika mereka dibunuh. وَلَهُ أَيْضًا أُرْشُ جِنَايَةٍ عَلَيْهَا وَعَلَى أَوْلَادِهَا التَّابِعِيْنَ لَهَا وَقِيْمَتُهَا إِذَا قُتِلَتْ وَقِيْمَتُهُمْ إِذَا قُتِلُوْا
Dan diperkenankan menikahkannya tanpa seizin darinya kecuali ketika sang majikan orang kafir dan si budak adalah wanita muslim, maka ia tidak bisa untuk menikahkannya. وَتَزْوِيْجُهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا إِلَّا إِذَاكَانَ السَّيِّدُ كَافِرًا وَهِيَ مُسْلِمَةٌ فَلَا يُزَوِّجُهَا.
Ketika sang majikan meninggal dunia walaupun sebab dibunuh oleh si budak, maka budak tersebut merdeka dan dikeluarkan dari seluruh harta peninggalan majikannya (tidak dari sepertiganya saja), begitu juga anak-anaknya merdeka sebelum melunasi hutang-hutang yang menjadi tanggungan sang majikan dan wasiat-wasiat yang telah diwasiatkannya. (وَإِذَا مَاتَ السَّيِّدُ) وَلَوْ بِقَتْلِهَا لَهُ (عَتَقَتْ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ) وَكَذَا عَتَقَ أَوْلَادُهَا (قَبْلَ) دَفْعِ (الدُّيُوْنِ) الَّتِيْ عَلَى السَّيِّدِ (وَالْوَصَايَا) الَّتِيْ أَوْصَى بِهَا
Anaknya maksudnya budak mustauladah dari selain majikannya, dengan arti setelah menjadi mustauladah, si budak melahirkan anak dari suaminya atau dari zina, hukumnya seperti ibunya. (وَوَلَدُهَا) أَيِ الْمُسْتَوْلَدَةِ (مِنْ غَيْرِهِ) أَيْ غَيْرِ السَّيِّدِ بِأَنْ وَلَدَتْ بَعْدَ اسْتِيْلَادِهَا وَلَدًا مِنْ زَوْجٍ أَوْ مِنْ زِنًا (بِمَنْزِلَتِهَا)
Kalau demikian, maka anak yang dilahirkan adalah milik sang majikan dan akan merdeka sebab kematian sang majikan. وَحِيْنَئِذٍ فَالْوَلَدُ الَّذِيْ وَلَدَتْهُ لِلسَّيِّدِ يَعْتِقُ بِمَوْتِهِ
Barang siapa menjima’ budak perempuan orang lain dengan cara nikah atau zina dan membuatnya hamil kemudian si budak melahirkan anak darinya, maka anak tersebut milik majikan si budak. (وَمَنْ أَصَابَ) أَيْ وَطِئَ (أَمَّةَ غَيْرِهِ بِنِكَاحٍ) أَوْ زِنًا وَأَحْبَلَهَا فَوَلَدَتْ مِنْهُ (فَوَلَدُهُ مِنْهَا مَمْلُوْكٌ لِسَيِّدِهَا)
Adapun seandainya ada seseorang yang ditipu dengan status merdekanya budak wanita, kemudian orang tersebut menyebabkan si budak melahirkan anak, maka anak tersebut menjadi merdeka, dan bagi orang yang tertipu tersebut harus mengganti harga sang anak kepada majikan budak perempuan itu. أَمَّا لَوْ غُرَّ شَخْصٌ بِحُرِّيِّةِ أَمَّةٍ فَأَوْلَدَهَا فَالْوَلَدُ حُرٌّ وَعَلَى الْمَغْرُوْرِ قِيْمَتُهُ لِسَيِّدِهَا.
Jika seseorang menjima’nya, maksudnya budak wanita orang lain dengan cara syubhat yang dinisbatkan pada si pelaku seperti ia menyangka bahwa sesungguhnya budak itu adalah budaknya atau istrinya yang merdeka, maka anak yang lahir dari budak wanita tersebut adalah merdeka. (وَإِنْ أَصَابَهَا) أَيْ أَمَّةَ غَيْرِهِ (بِشُبْهَةٍ) مَنْسُوْبَةٍ لِلْفَاعِلِ كَظَنِّهِ أَنَّهَا أَمَّتَهُ أَوْ زَوْجَتَهُ الْحُرَّةَ (فَوَلَدُهُ مِنْهَا حُرٌّ
Dan bagi orang tersebut harus mengganti harga si anak kepada majikan si budak, dan budak perempuan tersebut tidak menjadi ummu walad untuk saat itu tanpa ada perbedaan di antara ulama’. وَعَلَيْهِ قِيْمَتُهُ لِلسَّيِّدِ) وَلَا تَصِيْرُ أُمَّ وَلَدٍ فِيْ الْحَالِ بِلَا خِلَافٍ
Jika orang yang telah menjima’ budak perempuan dengan jalan pernikahan telah memiliki budak tersebut yang telah ditalak setelah itu, maka si budak tidak menjadi ummu walad sebab jima’ yang dilakukan dalam pernikahan sebelumnya. (وَإِنْ مَلَكَ) الْوَاطِئُ بِالنِّكَاحِ (الْأَمَّةَ الْمُطَلَّقَةَ بَعْدَ ذَلِكَ لَمْ تَصِرْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ بِالْوَطْءِ فِيْ النِّكَاحِ) السَّابِقِ
Dan budak tersebut menjadi ummu walad sebab dijima’ dengan syubhat sebelumnya menurut salah satu dari dua pendapat. (وَصَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ بِالْوَطْءِ بِالشُّبْهَةِ عَلَى أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ)
Sedangkan menurut pendapat kedua, budak wanita tersebut tidak menjadi ummu walad bagi si majikan. Dan ini adalah pendapat yang unggul di dalam madzhab. وَالْقَوْلُ الثَّانِيْ لَا تَصِيْرُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَهُوَ الرَّاجِحُ فِيْ الْمَذْهَبِ

 

 

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَاب

 

Satu tanggapan pada “Bab Jihad Kitab Fathul Qorib

  1. Ping-balik: Terjemah Kitab Fathul Qorib - Islamiy.com

Komentar ditutup.

Kembali ke Atas