Batasan Membangun Rumah Bertetangga
BATAS BANGUNAN RUMAH YANG BERTETANGGA
Assalamualaikum wr wb
Bismillahirrahmanirrahim..
Beberapa tahun yang lalu saya membangun sebuah rumah di sebidang tanah milik pribadi yang saya beli dari kerabat..
Posisi tanah saya di tengah tengah dimna kanan kiri depan belakang adalah tanah milik orang lain.tentunya mungkin sudah umum seperti itu juga ya
Batas wilayah bangunan rumah saya tidak memasuki batas wilayah tanah orang lain cuman hanya pas saja karna memang tidak seberapa luas nya(sempit)bahkan tempat terjatuh nya air hujan dari atap rumah pun saya talang supaya ketika ada hujan air hujannha tidak jatuh ke tanah orang
Namun beberapa waktu lalu sempat saya mendengar bahwa pemilik tanah di belakang rumah saya.berujar knapa rumah saya di bangun nya pas .pas di perbatasan tanah meskipun sebenarnya tidak sampai ke tanah miliknya
Mungkin pemilik tanah belakang rumah saya itu maunya di sisain gitu sedikit aja jadi bangunan nya tidak di bangun pas di perbatasan wilayah tanah
Pertanyaan nya adalah
1.apakah ada dosa karna saya membangun rumah yang saya tempati sekarang ini di bangun dg posisi tembok belakang rumah saya berada pas di atas batas wilayah dan saya yakin bangunan rumah saya tidak melampaui batas wilayah tanah
2.bagai mana hukum nya jika ada air hujan dari atap genteng rumah kita jatuh nya ke tanah orang lain
Mohon pencerahannya terimakasih
JAWABAN
1. Tidak berdosa. Membangun rumah selama masih dalam batas tanah milik sendiri tidak masalah. Dengan syarat: tidak ada hal yang merugikan/membahayakan tetangga terkait dengan bentuk bangunan rumah kita. Membangun rumah yang lokasinya masih di dalam tanah milik sendiri tidak termasuk merugikan tetangga.
Al-Bahuti dalam kitab Kasyaful Qina’, hlm. 3/477, menyatakan:
Artinya:Tetangga A tidak boleh melarang tetangga B untuk membangun rumah walaupun ketinggiannya menyebabkan tertutupnya ruang terbuka bagi tetangga A. Ahmad Alkhabar berargumen dengan kaidah fikih: la darar wala dirar (Tidak Boleh Melakukan Sesuatu Yang Membahayakan/merugikan Diri Sendiri Ataupun Orang Lain). Kaidah ini diarahkan pada larangan mencegah orang lain.
Ad-Dasuqi dalam kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi, hlm. 3/571, menyatakan:
Artinya: Tidak diputuskan untuk melarang pembangunan yang (berakibat) terhalangnya cahaya dan sinar matahari dan angin dari tetangganya. Ini pendapat yang masyhur. Pendapat yg tidak masyhur: dilarang pembangunan yang mencegah cahaya, sinar matahari dan angin.
Burhanuddin Abul Wafa’ dalam kitab Tahbshiroh Al-Hukkam fi Ushul Al-Aqdiyah wa Manahij Al-Ahkam, hlm. 262, menyatakan:
Artinya: Mendirikan bangunan yang mencegah sinar matahari dan angin (ke rumah orang lain) kemudian terjadi sengkata apakah boleh atau tidak? Menurut Al-Mutaitiyah: Tidak dilarang kecuali membuat gelap. Apabila pembangunan itu membahayakan pada tetangga maka dilarang.
2. Mengalirnya air hujan atap genteng yang jatuh ke tanah orang lain termasuk hal yang tidak boleh. Namun kalau tetangga tidak keberatan maka tidak apa-apa. Untuk itu, a) usahakan agar tidak ada air hujan yang jatuh ke pekarangan orang lain; b) mendahului meminta ijim apabila hal itu akan terjadi.
Burhanuddin Abul Wafa’ dalam kitab Tahbshiroh Al-Hukkam fi Ushul Al-Aqdiyah wa Manahij Al-Ahkam, hlm. 262, menyatakan:
Artinya: Adapun membuat talang air hujan yang mengalir ke rumah tetangga maka hal itu dilarang. Baik membahayakan/merugikan tetangga atau tidak kecuali apabila atas seijin tetangga….
URAIAN TAMBAHAN
Dalam sejumlah hadis sahih, Nabi menekankan pentingnya seorang muslim yang baik untuk selalu menghormati hak-hak tetangganya dan berbuat baik pada mereka serta berusaha keras untuk tidak merugikan mereka.
a) Hadis riwayat Bukhari & Muslim, Nabi bersabda:
Artinya: Malaikat Jibril selalu mewasiatiku (agar berbuat baik) pada tetangga. Sampai aku mengira tetangga akan menerima warisan.
b) Hadis riwayat Bukhari & Muslim, Nabi bersabda:
Artinya: Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaknya memuliakan tetangganya.
c) Hadis riwayat Muslim, Nabi bersabda:
Artinya: Tidak akan masuk surga orang yang tidak membuat nyaman tetangganya.
Ketiga hadis di atas memberikan gambaran umum tentang bentuk saling menghormati antar tetangga. Yakni, bahwa antar tetangga tidak boleh saling mengganggu atau merugikan satu sama lain. Ulama menjelaskan dari segi detailnya tentang batasan-batasan apa saja yang dianggap mengganggu dan merugikan yang lain.
Termasuk yang dianggap mengganggu apabila air hujan dari genting atau talang air kita jatuh ke tanah tetangga. Dan termasuk tidak dianggap merugikan adalah apabila bentuk rumah atau bangunan itu membuat tetangga terhalang dari sinar matahari atau hembusan angin.
Secara umum, ulama empat madzhab terbagi menjadi dua pendapat dalam menyikapi hal ini.
Pertama, batasan bolehnya menggunakan miliknya adalah selagi tidak merugikan/mengganggu/membahayakan tetangga. Pandangan ini berasal dari madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali.
Zakariya Al-Anshari (madzhab Syafi’i) dalam Fathul Wahab Syarah Manhajut Tullab, hlm. 3/565, menyatakan:
Artinya: Masing-masing pemilik yang melakukan sesuatu pada yang dimilikinya menurut kebiasaan yang berlaku apabila berakibat merugikan pada tetangganya atau merusak hartanya, seperti seseorang yang menggali sumur air kemudian berakibat rusaknya tembok tetangganya atau berubah air sumurnya, maka apabila hal itu melewati batas kebiasaan maka harus mengganti..
Ad-Dardir (madzhab Maliki) dalam Al-Syarh Al-Shaghir, hlm. 3/485, menjelaskan:
Al-Bahuti (mazhab Hambali) dalam Kasyaf Al-Qina’, hlm. 3/408, menyatakan:
Kedua, boleh seseorang menggunakan miliknya walaupun seandainya itu akan mengganggu orang lain (tetangganya).
Al Kasani dalam Badai’ Al-Shanai’ fi Tartib Al-Syarai’, hlm. 6/264, menyatakan: