Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Talak dengan Isyarat, Apa Sah?

WAS-WAS TALAK DAN IMAN: TALAK DENGAN ISYARAT BAGI ORANG NORMAL APAKAH SAH?

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang

Maaf. Tiga hari kemarin serangan paniknya melonjak hebat, baik dari sisi frekuensi maupun intensitasnya.
Seya benar-benar perlu bantuan

26. Saya pernah dijelaskan bahwa suara yang tidak membentuk kata seperti hembusan nafas, helaan nafas, deheman, suara batuk dan lainnya yang sejenis tidak berdampak. Namun hukumnya tidak sama dengan isyarat. Boleh minta penjelasannya?
Sebelumnya saya pernah diberi link tentang masalah ini, namun linknya berbahasa Arab, sehingga saya tidak bisa membacanya

JAWABAN

26. Yang pernah kami jelaskan adalah bahwa hembusan nafas dst dan isyarat itu sama. Dalam arti, sama-sama tidak ada dampak apabila itu dilakukan oleh suami normal. Berikut linknya:

Sebagian kami kutip:
Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj, hlm. 6/435, menyatakan:


” إشارة ناطق بطلاق : لغو ؛ وإن نواه وأفهم بها كل أحد ” .

Artinya: Isyarat talak dari orang yang bisa bicara (tidak bisu) hukumnya sia-sia (tidak ada dampak) walaupun seandainya dia berniat talak dan itu dipahami oleh semua orang.

Zakariya Al-Anshari dalam Asnal Matolib, hlm. 3/277, menyatakan:


” لو أشار ناطق بالطلاق ، وإن نوى ، كأن قالت له : طلقني ، فأشار بيده : أن اذهبي : لغا ، وإن أفهم بها كل أحد ؛ لأن عدوله عن العبارة إلى الإشارة : يُفْهِم أنه غير قاصد للطلاق ، وإن قصده بها ؛ فهي لا تقصد للإفهام إلا نادرا ، ولا هي موضوعة له ” .

Artinya: Apabila suami yang bisa bicara memberi isyarat talak, walaupun ada niat talak, seperti istri berkata pada suaminya “Ceraikan aku!” lalu suami memberi isyarat dengan tangannya (yang maksudnya): “Pergilah!” maka itu sia-sia. Walaupun setiap orang mengerti pada isyarat itu. Karena, perpindahannya dari ekspresi kalimat pada isyarat menunjukkan bahwa suami tidak bermaksud untuk mentalak. Walaupun ia berniat talak saat berisyarat tersebut. Karena, isyarat itu tidak dimaksud untuk memberi pemahaman keculi dalam kasus langka. Juga, isyarat itu tidak dimaksudkan untuk talak.

WAS-WAS TALAK DAN AKIDAH

1. Sebenarnya saya samar tentang kejadian yang saya akan tanyakan ini. Suatu hari beberapa tahun yang lalu, istri saya marah besar dan mengancam/bermaksud pergi meninggalkan rumah. Saya berkata, “Daripada kamu, yang pergi, mending aku yang pergi.”
Saat itu saya tidak tahu tentang lafadz kinayah, dan hanya bermaksud mencegah dia pergi. Saya tidak mau kehilangan dia, di saat yang sama takut dia dan anak terkatung-katung. Saya ingat dengan pasti, saya tidak benar-benar bermaksud pergi (malah saya benar-benar tidak ingin pergi, apalagi mengubah status hukum), dan sesudah kata-kata itu saya berjuang menenangkan dia dan berbaikan. Kami berbaikan beberapa saat kemudian.
Bagaimana hal ini dihukumi?

2A. Maaf bila pertanyaan ini pernah dijelaskan. Tapi saya masih sering gugup. Apakah berkeras melanjutkan mengucapkan kata lafadz kinayah dalam konteks aman (seperti saat menawarkan diri untuk membeli barang), saat sejak sebelumnya ada rasa takut, dihukumi berniat?

2B. Salah satu yang sering terjadi saat ini adalah saya sering khawatir tentang adanya ‘niat’ saat berbicara dengan kata yang berkonotasi negatif, atau bila intonasinya negatif seperti kesal atau sedih. Seakan kata tersebut termasuk lafadz kinayah, dan seakan ada yang menuduh saya menyengaja.
Misalnya: Suatu saat ketika saya sedang sangat lelah, anak kedua saya mengajak bermain. Saya menjawab ‘tired (capek)’. Sejak itu saya dirundung kekhawatiran tentang kondisi niat saya mengucapkan hal tersebut, walau saya berusaha mengabaikan dan berusaha mengingat bahwa saya tidak ada niat apapun.
Hal ini juga terjadi tiap saat saya bermaksud meminta istri mengerjakan sesuatu, atau mengerjakan/mengucapkan sesuatu dalam keadaan pikiran tidak fokus/blank/tergesa-gesa.
Boleh mohon bantuannya?

2C. Beberapa hari terakhir ini tingkat stress sangat tinggi, hingga OCD saya melonjak keterlaluan, sampai level kekalutan berat.
Dalam suatu keadaan, anak kedua saya mencabut kabel data, saya mengeluh “Yaaa!” Tiba-tiba saja saya didera ketakutan hebat bahwa kata tersebut adalah lafadz kinayah, dan ada serangan panik, saya takut saya berniat aneh-aneh saat mengucapkannya. Padahal saya tahu tepat pada saat itu saya sedang menghindari sebuah kata yang saya pikir termasuk lafadz kinayah (mungkin sebenarnya bukan, yaitu kata ‘dicabut’).
Apakah ada dampak dari kejadian tersebut? Apakah kekalutan hebat tersebut (sudah dua hari) menjadi udzur bagi saya?

2D. Untuk konfirmasi. Istri berbicara dengan kalimat “Sekilas, aku kaya’ orang bego mau dinikahin mewah-mewah,…” Tidak sengaja, saya membuat suara tanpa kata-kata saat itu. Apakah ada dampaknya?

2E. Istri saya bertanya bagaimana fia harus melihat dirinya sendiri (dalam hal takdir). Saya merasa tidak punya ilmu, jadi saya menjawab, “Mungkin seharusnya kamu tanyainnya ke yang…” Saya berhenti karena terserang panik. Apakah mungkin ada dampak hukum dari kata-kata saya?

2F. Saat melihat istri saya berbaring di sofa, saya meminta dia kembali ke kamar, dengan kalimat “biar hangat juga”. Tadi nya saya hampir berkata “saja” di ujung kalimat. Tapi saya takut kata tersebut berakibat pembatasan, dan saya khawatir takut berdampak. Bagaimana hukumnya?

2G Apakah memindahkan channel tv saat adegan menunjukkan sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan (untuk menghindari melihat sesuatu yang mungkin bisa memicu fobia) dapat berdampak hukum?

2H. Istri saya menceritakan keinginan membeli rumah dekat rumah kakak saya, namun karena kadang ada gesekan antara dia dan istri kakak, saya bertanya “apakah bijak kalau kamu lihat [nama istri kakak] tiap hari?” Sebelum mengatakan hal tersebut saya sudah melafalkan niat saya untuk tetap dalam pernikahan kami. Namun ditengah pertanyaan tersebut, ada lintasan yang kemudian saya khawatirkan apakah rasa takut ataukah niat.
Apakah pertanyaan tersebut termasuk lafadz kinayah?
Rasa takut atas lintasan tersebut sangat kuat. Bagaimana hal tersebut dihukumi? Apakah ada dampak?

2I. Apakah saya benar bahwa salah kalimat dalam lintasan/ucapan dalam hati tentang kejadian yang sudah lewat dalam pernikahan tidak berdampak?
Saya sempat hampir terbalik saat menulis hingga hampir saja frase ‘yang sudah lewat’ ditaruh pada posisi yang menyebabkan kalimatnya bisa berarti lain dan berbahaya. Apakah ada dampaknya?

3A. Bagaimana hukumnya mengucapkan kata yang bisa berarti kata lafadz sharih/kinayah (saya tidak tahu masuk yang mana) namun bisa berarti lain sama sekali? Seperti pada kalimat “Give me a break” atau “Take a break”, dalam maksud kata ‘istirahat’, atau saat meminta istri berhenti mengisengi, atau berhenti membicarakan suatu argumen/topik.
Boleh mohon penjelasannya?

3B. Bila sebuah kata biasa memiliki kesamaan bunyi dengan kata lafadz sharih dalam bahasa lain, bagaimana kata tersebut dihukumi? Misalnya bagaimana dengan kata ‘los’ yang berarti kios/lapak pasar?

4A. Saat menonton film, kadang ada tokoh malaikat, setan atau jin, yang tentunya tidak dalam konsep yang sesuai iman Islam. Kadang terlintas kalimat pengingkaran, yang di maksud sebenarnya adalah mengingkari hal yang seperti pada film tersebut, tapi yang terbetik pada lintasan tersebut hanya nama objeknya, tidak dilintaskan spesifik kata ‘seperti itu’, atau ‘seperti yang di film itu’. Padahal malaikat, syaithan, atau jin jelas ada. Hal ini tidak diucapkan, hanya ada dalam pikiran, dan segera diluruskan. Apakah termasuk kekufuran?

4B. Bagaimana hukumnya bila terjadi pikiran kufur, bukan was-was sehingga ada unsur kesengajaan, namun tidak bertahan, langsung dibantah sendiri, dan tidak diucapkan/dikerjakan? Apakah masih termasuk yang dimaafkan?

4C. Apabila terjadi kerancuan penggunaan istilah hukum dalam pikiran saat memikirkan sebuah dosa, misalnya saat memikirkan dosa tidak mengerjakan shalat. Apakah ada dampaknya pada perbuatan dosa yang sudah terjadi sebelumnya?

5. Sebulan lalu, istri saya pernah bertanya tentang mandi junub, “yang penting basah kan?” Entah kenapa, mungkin saya lupa, saya menjawab, “iya yang penting teraliri air”. Saya segera mengkoreksi dengan kalimat, “yang penting kena air.” Kemudian saya bercerita tentang sebuah tulisan yang bercerita bahwa Rasulullah mandi dengan air dari mangkuk besar.
Apakah saya terhitung mengubah-ubah hukum Allah?

6. Istri saya bercerita dia sering merasa disalahkan pada hal-hal kecil, dan ini membuatnya gampang tegang. Saya bertanya “Sama siapa? Sama aku?”. Karena merasa dituduh.
Maaf bila pertanyaannya bodoh, tingkat kecemasan saya sedang tinggi. Apakah ini termasuk lafadz kinayah?

7. Apakah ada dampaknya bila suami menjawab dengan kata ‘terserah’ saat ditanya tentang pilihan aman, seperti tempat makan, tempat liburan, baju yang dipilih atau sebangsanya? Bagaimana hal tersebut dihukumi?

8. Apakah mengucapkan “let’s start over” atau terjemahannya dalam bahasa Indonesia, saat berbaikan sesudah pertengkaran dengan istri, berdampak hukum?

9. Apakah memanggil istri dengan sebutan ‘girl’ berdampak hukum? Maksudnya, dia kan jelas istri saya, bukan lajang

10. Apakah kata ‘putus’ dihukumi sebagai kata lafadz kinayah?
Saat menonton acara mancing dengan istri, istri berkomentar bahwa pemancingnya harus memakai sarung tangan karena ikannya sangat besar dan kuat. Saya menyetujui dengan berkata “ya itu sakit sekali, bisa putus (jari)”. Namun kata jari tersebut tidak diucapkan.
Apakah saya benar beranggapan tidak ada dampak?

11. Beberapa hari yang lalu saya sempat tidak sengaja berkata seperti ini, “ya kalau aku sih bangun jam 2 pagi, karena memang mesti shalat malem.” Saya terkejut sendiri. Segera saya luruskan bahwa shalat malam tidak wajib.
Hal ini adalah karena saya terbiasa tidur dulu sebelum shalat isya, dan bangun untuk shalat Isya’ dan shalat malam. Jadi sebenarnya yang teringat adalah kewajiban shalat Isya’ nya, karenanya kata ‘mesti’ itu tersebut. Di sisi lain mungkin saya sedang memikirkan keinginan saya untuk lebih disiplin memperbanyak shalat malam.
Bagaimana hukumnya? Apakah saya berdosa?

12. Dalam pembicaraan mengenai Bogor message tentang paradigma wasathiytah, saya menyebut bahwa Islam adalah jalan pertengahan, maksudnya tidak lunak/lemah tapi juga tidak intoleran/radikal. Apakah saya salah berkata demikian?

13. Istri saya juga sempat sekali lagi tidak sengaja menyebut kata ‘mungkin’ saat membahas sebuah kejadian yang telah terjadi (saat membahas mengenai anak kami yang tidak masuk sekolah pilihan pertama pada PPDB) dengan kalimat “mungkin ini memang yang terbaik.” Segera ia koreksi bahwa keputusan Allah pasti yang terbaik. Saya tahu kata mungkin tersebut adalah refleks karena dia tidak mau sok tahu. Apakah ada dosa pada kalimat tersebut?

14. Istri saya pernah membuat suara mengeluh dengan beberapa kali membuat suara dari tenggorokan (seperti mengorok) saat saya bermaksud mengajarinya sebuah doa yang agak panjang. Dia tidak bermaksud menghina doanya, namun dia mengekspresikan ketidaksanggupannya menghafal doa sepanjang itu, dan bila ada nada ejekan, yang dia hina adalah dirinya sendiri. Saya segera menegurnya akan tindakan tersebut. Dan dia beristighfar. Namun apakah perbuatan tersebut termasuk murtad? Istri saya termasuk suka bercanda, namun karena pendidikan agama dari orang tuanya kurang, dan saya pun sangat awam, kadang bercandanya menyerempet mengkhawatirkan.

15. Di waktu lain, hampir dua tahun lalu, saya dan istri membaca posting seorang teman di sosmed tentang pisang sebagai buah yang ada di surga. Saat itu kami belum membaca surat yang dimaksud, sehingga kami dengan bingung berkata bahwa kami belum pernah tahu tentang hal tersebut. Buah yang kami tahu disebut di Al Qur’an adalah buah zaitun, kurma, anggur, buah tin, dan buah Arab lainnya. Namun saat menyatakan pernyataan tersebut, kami melakukannya sambil tertawa. Apakah kami dianggap telah menghina Al Qur’an? Apakah termasuk perbuatan murtad?

16. Sebelum mendapat fatwa KSIA tentang najis hukmiyah, saya sempat membahas masalah yang kami hadapi tersebut. Saya menceritakan pendapat madzhab Syafi’i terkait masalah tersebut. Istri saya sempat keberatan dengan berkata bahwa dia tidak mau ikut pendapat tersebut. Dia sebenarnya belum mengerti pendapat madzhab lain, dia hanya merasa kesulitan mengikuti pendapat madzhab Syafi’i. Pendapat yang dia merasa cocok adalah seperti pendapat madzhab Maliki, namun dia bukan memilih pendapat tersebut karena sudah mengerti (dia bahkan belum tahu pendapat madzhab Maliki tersebut), hanya karena merasa kesulitan saja. Bagaimana hukumnya?

17. Istri saya sempat menonton tayangan tentang desa adat hindu di Bali, lengkap dengan liputan ritual hindu/animis tersebut. Saya sempat melarang, entah karena yakin hal tersebut haram (akibat pengaruh wahabi yang tersisa) atau karena khawatir haram (juga karena sisa paham Wahabi). Dia agak berkeras menonton dan saya biarkan. Akhirnya saya bersyahadat dua kali, awalnya karena takut melakukan perbuatan murtad, sekali lagi karena saya takut telah mengharamkan hal halal.
Apakah saya atau istri melakukan perbuatan dosa?

18. Istri saya sempat bercerita tentang dua artis jepang yang bersahabat dengan menggunakan kata lafadz sharih. Saya tahu bahwa konteksnya bercerita, namun karena saya sedang amat kelelahan, saya tetap agak panik, sehingga saya menjawab dengan menyebut nama salah satu dari artis tersebut. Apakah saya benar bahwa tidak ada dampaknya?

19. Sekali lagi hal ini untuk pegangan saya. Apakah benar bahwa menjawab kata-kata/pertanyaan istri yang tidak ada lafadz sharih ataupun kinayah di dalamya mutlak tidak ada dampak, walau ada serangan panik saat menjawab? (saya sedang kurang sehat) Karena was-was tidak berdampak hukum?
Bagaimana hukumnya menjawab kalimat yang ada lafadz sharih/kinayahnya namun dalam konteks bercerita. Kalau tidak salah, bila yang ada adalah kata lafadz kinayah tidak ada dampak juga secara mutlak?

20A.. Apakah benar, lintasan jahat, keraguan, atau ketakutan apapun tidak berpengaruh pada bagaimana suatu perkara dihukumi?

20B. Dan apakah benar bahwa pikiran rancu/was-was/kekhawatiran mengenai status keislaman di masa lalu tidak berpengaruh atas status keislaman itu sendiri, maupun segala perkara yang terjadi di masa lalu tersebut?

21. Apakah lintasan pikiran yang terjadi saat mengerjakan suatu tindakan nonverbal berpengaruh secara hukum pada pernikahan? Bukankah tidak berpengaruh? Seperti apapun lintasannya.

22. Apakah diperkenankan membuka usaha restoran/rumah makan (halal tentunya) mengingat selalu ada risiko ikhtilath di sebuah restoran.

23. Apakah berkata ‘lakum dinukum waliyadin’ saat menggambarkan perbedaan pendapat, namun pihak satunya lagi adalah muslim, dihukumi sebagai dosa takfir? Misalnya saat ada perbedaan pandangan mendasar soal politik.

24. Saya dan istri pernah melarang anak sulung bermain di mesjid saat ia masih menggunakan popok dulu sekali, karena beranggapan popok itu isinya najis. Kami hanya berpikir saat itu, najis tidak boleh dibawa masuk mesjid. Apakah kami berdosa mengubah-ubah hukum Allah? Apakah termasuk dosa murtad?

25. Kemarin saya sempat lalai membiarkan anak kedua saya bermain menggunakan sepatu di pojok pelataran mesjid yang sudah masuk batas suci. Tidak ada keinginan saya menghina baitullah. Tidak lama kemudian, saya menyuruhnya membuka sepatu.
Apakah saya sudah menghina rumah Allah? Apakah termasuk dosa murtad?

JAWABAN

1. Tidak ada hukumnya. Dalam arti tidak berpengaruh apapun pada pernikahan anda. Karena ucapan anda bukan pernyataan (Arab: insya’), tapi kalimat kondisional. Dalam kalimat kondisional, yang berdampak hukum apabila dalma bentuk kalimat talak muallaq. Sedangkan kalimat di atas tidak termasuk, karena tidak ada kondisi/syarat yang jelas. Contoh talal muallaq yang jelas: “Kalau kamu ke pasan, maka kamu aku talak.” Baca detail: Talak Muallaq dan Cara Rujuk

2a. Ucapan kinayah yang di luar konteks menceraikan istri, seperti dalam kasus anda, itu tidak dianggap apapun. Tidak ada dampak hukum apapun. walaupun seandainya disertai niat. Itu sama dengan ucapan cerita talak. Baca detail: Cerita Talak

2b. Ucapan kinayah di luar konteks menceraikan istri tidak berdampak apapun walaupun seandainya disertai niat. Jadi, niat atau tidak niat tidak ada dampak hukum. Tidak perlu dipikirkan. Sebagaimana ucapan sharih di luar konteks tidak ada dampak hukum.

2c. Tidak ada dampak. Sekali lagi, ucapan kinayah yang di luar konteks tidak ada dampak hukum secara mutlak walaupun seandainya ada niat.

2d. Tidak ada dampak.
2e. Tidak ada.
2f. Tidak ada dampak.
2g. Tidak berdampak.
2h. Bukan kinayah. Seandainya pun kinayah tidak ada dampak karena dalam konteks yang berbeda yakni konteks bercerita.
2i. Benar, tidak ada dampak.

3a. Break dalam contoh di atas bermakna istirahat dan frasanya (give me a break, take a break) bermakna jauh dari kinayah talak. Jadi, tidak ada dampak apapun walaupun seandainya ada niat. Tidak perlu ditakuti.

3b. Tidak ada hukum. Tidak ada dampak.

4a. Tidak (sudah pernah dijelaskan).
4b. Ya, dimaafkan. Lintasan hati dan pikiran terkait dosa tidak dianggap (sudah pernah dijelaskan).
4c. Tidak ada dampak.

5. Tidak dianggap mengubah
6. Tidak masuk kinayah.
7. Tidak ada dampak.
8. Tidak berdampak.
9. Tidak berdampak.
10. Benar. tidak ada dampak.

11. Tidak masalah apalagi yang dimaksud adalah shalat isya’nya. Seandainya pun yg dimaksud adalah shalat sunnahnya itu juga tidak berdosa. Mengatakan “mesti” b ukan berarti mewajibkan perkara yang tidak wajib. Kata ‘mesti’ di sini bisa dimaksudkan keinginan anda untuk selalu istiqomah shalat malam.

12. Tidak salah. Di Al-Quran sudah disebutkan soal itu. Baca detail: Kriteria Ahlussunnah Wal Jamaah

13. Tidak salah mengatakan demikian. Karena kita tidak tahu secara pasti kehendak Allah itu seperti apa.

14. Tidak termasuk murtad. Dalam soal doa, tidak harus kita hafal. Bisa saja kita membacanya.

15. Tidak termasuk perilaku murtad. Yang dianggap menghina apabila kita tidak percaya pada kandungan ayat Al-Quran dan hadits sahih. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa kandungan Al-Quran hendaknya dipahami berdasarkan pemahaman para ulama mufassir, bukan pemahaman sendiri sebagaimana propaganda Wahabi Salafi.

16. Tidak apa-apa. Kalau memang ada pendapat yang memberi solusi, maka bisa mengikuti madzhab tersebut walaupun dia tidak tahu sebelumnya pendapat madzhab apa.

17. Tidak dosa (sudah pernah dijelaskan baik terkait tempat ibadat non-muslim atau masalah ketidaktahuan hukum).

18. Tidak ada dampak.

19. Benar. Ucapan sharih dalam konteks bercerita tidak ada dampak. Begitu juga ucapan kinayah. Bahkan terkait kinayah tidak berdampak secara mutlak (ada niat atau tidak).

20a. Benar (sudah pernah dijelaskan).
20b. Benar. Sudah dijelaskan bahwa status keislaman masa lalu anda aman. Dan itu sudah cukup meyakinkan anda agar tidak perlu lagi kuatir akan status masa lalu anda.

21. Betul, tidak berpengaruh. Apapun bentuk lintasan pikiran itu.

22. Boleh. Ikhtilath yang dilarang itu apabila: a) hanya berduaan (kholwat); b) atau ikhtilath lebih dari dua lawan jenis namun terjadi hubungan yang tidak dibolehkan seperti pergaulan bebas, dll Baca detail: Mahram dalam Islam

23. Tidak. Karena dalam bahasa Arab ada istilah ‘takwil’ yaitu memaknai suatu pada arti yang lain (bukan arti utama). Jadi, kata lakum dinukum diartikan “ya sudah pendapat sendiri-sendiri saja”. Menakwil (memalingkan) suatu kata pada makna yang lain itu umum terjadi termasuk dalam bahasa Arab. Ahli akidah Islam Ahlussunnah wal jamaah biasa mentakwil kata “Allah alal Arasy” (makna literal: Allah di atas Arasy) ditakwil dengan makna: Allah berkuasa atas Arasy.

24. Tidak termasuk mengubah. Itu bisa dianggap sebagai kehati-hatian seorang ayah. Alasan itu tidak salah. Walaupun seandainya di bawa ke dalam masjid juga tidak apa-apa karena Rasulullah pernah melakukannya.

25. Tidak termasuk. Dulu, Rasulullah terkadang shalat dengan memakai sandal. Jadi, sepatu itu sebenarnya suci kecuali terbukti sebaliknya. Namun, kalau takmir masjid melarang menaikkan sandal/sepatu maka tentu kita taati.

Kembali ke Atas