Hukum akad nikah dengan syarat
Hukum akad nikah dengan syarat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
1. Sebelum menikah calon suami berjanji tidak akan mabuk lagi atau tidak akan nonton video yang tidak sepatutnya, tapi setelah menikah suami pernah beberapa kali melanggarnya. bagaimana hukum fiqh status pernikahnnya (masih sah ataukah batal karena telah melanggar janjinya tersebut).
2. Bagaimana hukum status pernikahannya (masih sah atau batal) apabila seorang suami setelah menikah (sah secara syar’i) kemudian melanggar janjinya kepada istri mengenai janji yang diucapkan sebelum menikah ?? (sebagai contoh : sebelum menikah calon istrinya meminta agar calon suaminya tidak akan ketemu/menghubungi mantan pacarnya lagi setelah menikah nanti, atau berjanji tidak akan bermain media sosial lagi setelah menikah nanti atau janji-janji lainnya yang diucapkan sebelum menikah, akan tetapi setelah menikah suami tersebut melanggar janji-janjinya)
3. kalau masih sah apakah hal tersebut membatalkan mahar yang telah diberikan kepada istri dan harus diganti dengan mahar mitsil????? persoalannya yang pernah saya baca bahwa menurut imam syafii persyaratan menikah dengan syarat tidak boleh berpoligami maka tidak membatalkan akad nikahnya akan tetapi membatalkan mahar musamma yang telah ditentukan dan diganti dengan mahar mitsil.
4. Apakah contoh janji-janji tersebut diatas (no. 1) sebelum menikah termasuk bagian syarat dari yang dinamakan akad nikah dengan syarat (semisal nikahi aku dengan syarat tidak berpoligami) walaupun saat pengucapan contoh janji pada pertanyaan no. 1 calon istri tidak mengajukan sebagai persyaratan menikah melainkan berupa permintaan agar calon suami berjanji setelah menikah menepati janjinya tersebut.
mohon balasan jawabannya sesuai kaidah islam dan syukron termia kasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
JAWABAN
1. Masih sah. Ingkar janji suami tidak membatalkan pernikahan. Pernikahan baru bisa batal karena dua hal: (a) suami menceraikan istri secara lisan atau tertulis; (b) istri menggugat suami ke pengadilan dan diluluskan oleh hakim agama. Baca detail: Cerai dalam Islam
Sedangkan ingkar janji hukumnya berdosa namun itu tidak bisa membatalkan suatu pernikahan. Baca detail: Hukum Janji
Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa membuat perjanjian pada saat atau sebelum akad nikah itu dianggap tidak sah. Termasuk yang menyatakan tidak sah adalah Imam Syafi’i. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni hlm. 9/483, menyatakan:
وجملة ذلك أن الشروط في النكاح تنقسم أقسامًا ثلاثة:
أحدها: ما يلزم الوفاء به، وهو ما يعود إليها نفعه وفائدته، مثل أن يشترط لها أن لا يخرجها من دارها، أو بلدها، أو لا يسافر بها، أو لا يتزوج عليها، ولا يتسرى عليها، فهذا يلزمه الوفاء لها به، فإن لم يفعل، فلها فسخ النكاح.
يروى هذا عن عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – وسعد بن أبي وقاص، ومعاوية، وعمرو بن العاص – رضي الله عنهم – وبه قال شريح، وعمر بن عبد العزيز، وجابر بن زيد، وطاوس، والأوزاعي، وإسحاق.
وأبطل هذه الشروط: الزهري، وقتادة، وهشام بن عروة، ومالك، والليث، والثوري، والشافعي، وابن المنذر، وأصحاب الرأي…
Artinya: Membuat persyaratan dalam nikah itu terbagi tiga. Salah satunya yang wajib dipenuhi yaitu yang manfaat dan faidahnya kembali pada istri. Misalnya, suami berjanji tidak akan mengeluarkan istri dari rumahnya, atau negaranya atau tidak akan melakukan perjalanan dengannya atau tidak akan menikah lagi. Perjanjian seperti ini harus dipenuhi oleh suami. Apabila tidak dipenuhi maka istri boleh melakukan fasakh nikah (gugat cerai ke pengadilan). Hal ini diriwayatkan dari Sahabat Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi Waqqas, Amr bin Ash. Sependapat dengan ini ulama dari kalangan Tabi’in seperti Syuraih, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Tawus, Auza’i, Ishaq.
Yang tidak sepakat dengan persyaratan di atas bahkan membatalkan syarat ini adalah sejumlah ulama seperti Al-Zuhri, Qatadah, Hisyam, Malik, Lais, Al-Tsauri, Al-Syafi’i, Ibnul Mundzir, dan kalangan ulama Ashabur Ra’yi.
Dalam kutipan di atas ada dua poin penting: Satu, bahwa Imam Syafi’i menganggap persyaratan pra nikah atau saat nikah itu tidak sah. Dua, bagi pendapat yang menganggap sah, maka efek hukumnya adalah istri boleh meminta gugat cerai apabila perjanjian itu dilanggar. Jadi, tidak otomatis terjadi perceraian.
Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 40/132, dinyatakan:
وقال الشافعية الشرط في النكاح إن لم يتعلق به غرض فهو لغو، وإن تعلق به لكن لا يخالف مقتضى النكاح، بأن شرط أن ينفق عليها، أو يقسم لها، أو يتسرى، أو يتزوج عليها إن شاء، أو يسافر بها، أو لا تخرج إلا بإذنه فهذا لا يؤثر في النكاح .
Artinya: Menurut madzhab Syafi’i, persyaratan dalam nikah apabila tidak terkait dengan tujuan nikah maka itu sia-sia. Apabila terkait dengan nikah akan tetapi tidak berlawanan dengan tuntutan nikah seperti mensyaratkan menafkahi istri, atau menggilirnya,
2. Masih sah. Sama kasusnya dengan jawaban no. 1.
3. Tidak perlu ganti ke mahar misil. Mahar musamma (mahar yang disebut saat akad nikah) tetap berlaku kecuali dalam kasus di mana terjadi perbedaan pendapat antara suami dan istri dari segi jumlah mahar atau jenis mahar.
Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqh Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i, hlm. 9/494, menyatakan:
قال الشافعي ، رحمه الله : وإذا اختلف الزوجان في المهر قبل الدخول أو بعده تحالفا ، ولها مهر مثلها وبدأت بالرجل ” .
قال الماوردي : وهذا كما قال .
إذا اختلف الزوجان في قدر المهر ، أو جنسه ، أو في صفته ، فقال الزوج : تزوجتك على صداق ألف ، وقالت الزوجة : بل على صداق ألفين ، أو قال : تزوجتك على دراهم ، وقالت : بل على دنانير ، أو قال : على صداق مؤجل ، فقالت : بل حال ، فكل ذلك سواء ، ويتحالف الزوجان عليه عند عدم البينة ، وقال النخعي ، وابن أبي ليلى ، وابن شبرمة ، وأبو يوسف : القول فيه قول الزوج .
Artinya: Imam Syafi’i berkata: Apabila suami istri berbeda dalam mahar sebelum dukhul atau setelahnya maka hendaknya mereka bersepakat. Istri berhak mendapat mahar misil.
Apabila suami istri berbeda dalam segi jumlah mahar atau jenisnya atau sifatnya, lalu suami berkata: Aku menikahimu dengan mahar seribu. Istri berkata: Bukan, maharnya dua ribu. Atau suami berkata: Aku menikahimu dengan mahar beberapa dirham. Istri berkata: Bukan, tapi beberapa dinar. Atau suami berkata: Aku berkewajiban mahar yang ditunda. Isteri berkata: Bukan, harus kontan. Semua itu sama saja. Maka hendaknya keduanya bersepakat apabila tidak ada saksi.
4. Kalau janji itu diucapan sebagai bagian dari akad nikah, maka termasuk akad nikah dengan syarat. Namun apabila diucapkan di luar akad nikah, maka disebut janji biasa. Apapun itu, keduanya tidak berakibat talak secara otomatis. Namun dalam konteks ‘akad nikah dengan syarat’ maka istri berhak untuk mengajukan gugat cerai menurut ulama yang menganggap nikah dengan syarat itu sah. Yakni ulama madzhab Hanbali. Baca detail: Pernikahan Islam