Hukum istri bilang ridha suami kunci surga
Hukum istri bilang ridha suami kunci surga
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
Dengan Hormat,
1A. Kemarin saat mengobrol dengan istri saya, istri saya sempat mengatakan, “Aku kan cuma butuh satu (untuk masuk surga), (yaitu) ridha suami (maksudnya ridha saya).” Segera saya menegur, bahwa ga sesimpel itu, shalat nya mesti bagus, shaum nya mesti bagus, semua yang wajib ya harus dikerjakan. Istri saya mengiyakan, dan mengatakan bahwa maksud dia adalah ridha suami adalah hal yang besar dan penting.
Saya tahu persis bahwa istri saya menganggap wajib (mengakui wajibnya/kewajibannya) hal-hal wajib, dan juga mengakui haramnya hal-hal haram, namun kadang-kadang dia ceroboh saat bicara, sehingga ketika mengingat sebuah prinsip tidak teringat posisi prinsip tersebut dalam prinsip besarnya.
Bagaimana hukumnya ucapan istri saya, apakah termasuk dosa? Separah apakah?
1B. Pagi mengarah siang pada tanggal 1 Syawal kemarin, saya dan istri saya bercumbu. Istri saya berkata bahwa dia suka merayakan 1 Syawal dengan cara itu. Bagaimana hukum ucapan tersebut?
2A. Saat menerima jawaban pihak KSIA tentang harta syubhat dan bekerja pada bisnis yang menjual khamr, saat membicarakan harta haram, saya berkata ‘na’udzubillahi min dzalik.’ saat bersamaan ada lintasan jahat yang mengaitkan ucapan saya seakan-akan ucapan tersebut ditujukan pada objek lain. Apakah ada dampaknya pada pernikahan saya? Atau otomatis berada pada konteks bercerita sehingga mutlak tidak berdampak?
2B. Saat menceritakan pada istri tentang jawaban pihak KSIA tentang hukumnya mempromosikan hotel yang menjual khamr, tapi tanpa mempromosikan khamr tersebut, istri saya berkata “bukan tanggung jawab kita.”, saya segera membaca ulang jawaban KSIA dan mengatakan, “iya, bukan tanggung jawab kita/aku.” Saat bersamaan dengan jawaban saya, ada lintasan yang mengaitkan ucapan saya seakan-akan ucapan tersebut ditujukan pada objek lain. Apakah ada dampaknya pada pernikahan saya? Atau otomatis berada pada konteks bercerita sehingga mutlak tidak berdampak?
2C. Begitu pula saat mengisi form surat gadai dan surat transaksi transfer uang gadai di Pegadaian Syariah, ada lintasan yang mencoba membuat saya ketakutan, padahal yang saya hadapi, yang saya isi dan tanda tangani jelas adalah surat gadai dan surat transaksi transfer, bukan surat lainnya yang saya tidak akan pernah mau mengisi atau menandatangani nya. Bagaimana hukumnya?
3A. Beberapa hari yang lalu anak sulung saya (berumur hampir 7 tahun) marah sekali karena merasa sering ditegur. Sehingga dalam pikiran anak-anaknya dia merasa kami, orang tuanya, tidak menginginkan dia lagi. Sambil menunggu dia tenang, saya menceritakan hal tersebut pada istri saya, pada saat tersebut, ada lintasan jahat, tepatnya pada saat saya menceritakan, ‘dia bilang kalo kita ga mau dia lagi, dia minta kita mengusir dia. Saat dia whimpering saat ditegur, dia cuma ingin dipeluk.” Lintasan jahat tersebut membisikkan macam-macam, bagaimana hukumnya?
3B. Masih pada kejadian yang sama, istri saya kemudian berkeliling kompleks untuk menenangkan diri. Untuk menyadarkan anak sulung saya, saya bertanya pada anak saya “Do you know where your mom is? Do you realize where your mom is?” Saya saat itu ketakutan sangat, saya tidak mau ada dampak apapun. Saya khawatir ada lintasan jahat sementara saya tidak mau ada dampak apa pun. Bagaimana hukumnya?
3C. a) Masih pada kejadian yang sama, saya berkata pada anak saya, “We tried hard for each other. Allah knows how much we tried hard for each other.” Maksud saya adalah kami sekeluarga selalu saling menjaga dan selalu saling berusaha keras untuk satu sama lain. Saya tidak memaksudkan hal buruk apapun. Namun kemudian saya ketakutan dengan penggunaan kalimatnya. Demi Allah saya akan selalu berjuang menjaga utuhnya keluarga dan pernikahan saya. Bagaimana hukumnya?
b) Saya sempat salah tulis pada kutipan kalimat di atas sehingga kalimatnya saya takutkan termasuk kalimat yang na’udzubillahi mindzalik menghinakan Allah. Murni karena salah tulis. Bagaimana hukumnya?
3D. Selesai berkeliling kompleks, istri saya meminta maaf dengan menggunakan nada bertanya apakah saya marah, saya bertanya kenapa saya mesti marah. Dia menggunakan kata lafadz kinayah. Saya menjawab bahwa saya tahu dia perlu menenangkan diri. Saya tahu persis saya tidak ada niat aneh-aneh. Bagaimana hukumnya?
4A. Apakah benar bahwa semua lintasan yang tidak diucapkan tidak ada pengaruhnya secara mutlak pada pernikahan dan mutlak aman untuk diabaikan?
4B. Saya teringat kaidah fikih tentang niat. Saya khawatir karena sering ada lintasan jahat dalam benak saya yang sepenuhnya bukan keinginan saya dan segera saya bantah. Saya tidak mau ada sesuatu yang buruk dari ucapan-ucapan saya saat lintasan tersebut terjadi. Bagaimana hukumnya?
4C.Cukup sering ada bisikan jahat saat saya mengalami stress karena apapun, atau saat mengalami kelelahan fisik, dan bisikan tersebut bertepatan dengan saat saya mengucapkan sesuatu yang saya tahu tidak ada lafadz sharih/kinayahnya. Atau saat saya sedang melarang anak dengan kalimat semacam, “don’t do it.” Sering sekali bisikan tersebut mencoba mengaitkan kata-kata saya dengan hal-hal yang saya tidak mau terjadi. Bagaimana hukumnya?
4D. Apakah lintasan hati berandai murtad ada dampaknya?
4E. Apakah salah tulis saat mengetik pertanyaan ada dampaknya kah?
4F. Apakah terjeda sebelum menulis kata ‘dampak’ berpengaruh apapun? Maksud saya saat menulis pertanyaan.
4G. Apakah melakukan editing seperti mengkoreksi nomor pertanyaan atau memperbaiki redaksi ada hukumnya kah?
5A. Saat memainkan dua game android dari sebuah perusahaan yang sama, pada kedua game tersebut, pada akhir tutorial nya ada kalimat tertulis di layar, ‘that’s it for now.’. Apakah otomatis berada pada konteks yang aman saat saya mengetuk layar untuk melanjutkan permainan?
5B. Di dua game yang sama, setiap tokohnya mati ada pertanyaan ‘End run’. Apakah otomatis berada pada konteks yang aman saat saya mengetuk ikon tersebut di layar untuk melanjutkan permainan?
6. Dua kali istri saya meminta pendapatnya tentang dia memakai kacamata barunya, satu kali di tempat publik, sekali lagi sebelum kami menuju bank. Saya terlupa akan dosa nya kami belum memberi dia baju yang sepenuhnya menutup aurat (karena kami masih mengumpulkan uang untuk membeli baju-baju tersebut). Saya baru teringat dosanya kemudian. Bagaimana hukumnya?
7A. Apakah ada situasi di mana syahadat bisa berdampak pada pernikahan kami?
7B. Beberapa kali ada lintasan baik berupa ketakutan maupun khayalan kemungkinan jawaban saat saya menanyakan pertanyaan 9A di atas. Bagaimana hukumnya?
8. Saat saya mengucapkan kalimat/kata-kata jawaban seperti ‘ya/tidak’ pada pertanyaan yang jelas aman, tetap ada lintasan ketakutan atau lintasan jahat. Bagaimana hukumnya?
9A. Sering saat sehari-hari saya mencoba menerapkan kaidah konteks, ada yang menuduh saya macam-macam. Demi Allah saya serius mempertahankan pernikahan dan keluarga saya. Bagaimana hukumnya?
9B Tadinya saya menuliskan kata ‘menguatkan diri’ sebelum kata ‘menerapkan’, tapi kemudian ada tuduhan macam-macam yang mencoba membuat saya ketakutan bahwa kata-kata tersebut mengarah pada hal lain. Bagaimana hukumnya?
9C. Tadinya saya menuliskan kata ‘mencoba’ sebelum kata ‘mempertahankan pernikahan’. Saya bersungguh-sungguh mempertahankan pernikahan saya dan istri. Bagaimana hukumnya?
10. Setiap menuliskan pertanyaan pada KSIA, saya selalu mengingatkan diri saya bahwa saya sedang bertanya. Apakah hal itu diperlukan? Atau kegiatannya sendiri sudah menjadi konteks? Dan saya selalu melintaskan niat saya mempertahankan pernikahan saya (kadang saya melintaskan ‘dan perkawinan saya’ juga). Bagaimana hukumnya, boleh minta penjelasannya?
11A. Pada penggunaan kata sharih/kinayah pada konteks aman, apakah penunjuk konteksnya harus berupa verbal, dan apakah harus diucapkan pada sebelum kata tersebut? Atau cukup dengan ada saling mengerti antara yang bicara dan yang menjawab?
11B. Atau semua ketakutan saya tersebut seharusnya langsung saya abaikan saja? Saya tidak mau ada kejadian buruk.
12. Saya membaca dari Republika, seorang dosen UIN Syarif Hidayatullah berkata bahwa fatwa mengikat bagi yang memintanya. Apakah berarti bila terjadi kekalutan pikiran tentang suatu dalil atau hukum sesuatu, saya hanya perlu merujuk ulang terhadap pada fatwa-fatwa Majelis Fatwa PP Al-Khoirot yang disampaikan KSIA pada saya? Karena perkara-perkara saya dihukumi sesuai fatwa-fatwa tersebut, dan pikiran saya tidak ada dampaknya sama sekali pada peristiwa-peristiwa tersebut?
13. Saat menuliskan pertanyaan-pertanyaan ini, istri saya sempat bertanya apa yang sedang saya kerjakan. Dan saya menjawab ‘Sedang menulis surat ke Al-Khoirot.’. Baru kemudian saya katakan, ‘Sedang nulis pertanyaan ke Al-Khoirot.’ Bagaimana hukumnya, apakah konteks bertanya tetap berlaku?
14. Saya dan istri saya sempat membahas seorang teman yang menggunakan nama keluarga ibunya sebagai nama keluarga dia. Saya sempat mengatakan itu tidak boleh karena seharusnya dia bernasab ke ayahnya. Istri saya mengiyakan. Baru kemudian saya teringat jawaban KSIA di konsultasi sebelumnya, dan saya katakan ‘kecuali bila itu nama alias. Karena kata Al-Khoirot boleh menggunakan nama alias.’ Istri saya bilang hal tersebut merupakan nama alias. Bagaimana hukum pembicaraan kami?
11A. Tadi pagi saat saya membeli sarapan di pasar dekat rumah di mana saya bertemu seorang sahabat lama (laki-laki) yang juga sahabat istri saya. Karena bertemu teman tersebut, kami mengobrol agak lama. Sehingga saat saya kembali ke rumah, istri saya bertanya ada apa. Saya ingin mengejutkan istri saya (tanpa maksud buruk, karena saya tahu dia pasti senang mendengar tentang sahabat tersebut), jadi saya berkata, “Aku ketemu seseorang…” saat mengatakan kata ‘seseorang’, ada rasa takut dan entah apa lagi yang terlintas dalam benak saya, karena kalimat itu bisa berarti buruk, cepat-cepat saya tambahkan kalimat, “yang ga akan kamu duga.” Lalu segera saya sebut nama sahabat tersebut.
Saya tidak tahu apakah ada apa lagi yang ada di benak saya (bila ada) selain rasa takut tersebut.
a) Apakah kalimat tersebut berkonteks aman?
b) Bagaimana hukumnya?
JAWABAN
1A. Tidak berdosa. Ketika dia mengatakan begitu “taat suami kunci surga” bukan berarti dia menafikan kewajiban yang lain. Dan itu dikonfirmasi oleh dia.
1b. Tidak masalah. Yang masalah kalau bercumbu dan hubungan intim pada siang hari bulan Ramadan.
2a. Tidak berdampak.
2b. Tidak berdampak.
2c. Tidak ada dampak.
3a. Tidak ada dampak.
3b. Tidak berdampak.
3ca. Tidak ada dampak.
3cb. Tidak masalah.
3d. Tidak berdampak.
4a. Benar, tidak ada dampak secara mutlak. Apalagi oleh penderita OCD.
4b. Tidak ada dampak. Baca detail: Lintasan Hati Ingin Murtad
4c. Tidak berdampak.
4d. Tidak berdampak. Baca detail: Lintasan Hati Ingin Murtad
4e. Tidak berdampak.
4f. Tidak ada.
4g. Tidak ada
5a. Ya, dalam konteks aman.
5b. Ya, aman.
6. Berdosa apabila tidak menutup aurat. Tapi tidak berakibat apapun selagi mengakui hukum haramnya.
7a. Tidak ada.
7b. Tidak berdampak.
8. Tidak berdampak.
9a. Tidak berdampak.
9b. Tidak ada dampak.
9c. Tidak berdampak.
10. Bertanya itu sudah otomatis konteksnya bertanya atau bercerita. Jadi tidak perlu mengingatkan diri sendiri.
11a. Tidak harus diucapkan. Konteks aman bersifat faktual. Misalnya, kalau anda dan istri sedang berbicara masalah salah seorang anak, lalu anda mengucapkan kata sharih, maka tidak ada dampak. Karena, di luar konteks bercerai, kata sharih itu bukanlah kata sharih melainkan hanya kata biasa yang tidak punya makna hukum. Misalnya lagi, kalau anda berkata pada anak yang sedang melihat kucing sedang berkelahi, “Ceraikan!” atau “Pisahkan!” maka tidak ada dampak apapun. Karena secara faktual ucapan itu bukan untuk menceraikan istri. (Harap penjelasan ini anda bacakan juga untuk istri, agar istri bisa membantu anda meyakinkan anda dalam soal ini).
11b. Ya, seharusnya diabaikan.
12. Kalau itu bisa membuat anda tersembuhkan dari was-was maka pendapat itu bisa jadi pegangan anda.
13. Konteks aman tetap berlaku. Lihat poin 11a. Baca detail: Cerai dalam Islam
14. Tidak masalah.
11aa) Ya, aman. Sudah jelas konteksnya bercerita, dan tidak sedang bertengkar atau mengajak pisah dengan istri. Karena itu, ucapan apapun yang keluar dari anda tidak akan berpengaruh apapun pada pernikahan.
b) Tidak masalah. Baca detail: Cerita Talak