Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Hukum kerja sebagai akuntansi hotel

Hukum kerja sebagai akuntansi hotel

Assalamaulaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Saat ini saya sedang bimbang mengenai pekerjaan saya, saat ini saya bekerja sebagai accounting di sebuah hotel (bukan lembaga ribawi) yang sebagian besar pendapatannya dari pendapatan sewa hotel.

Ada salah satu hadits yang menjelaskan tentang riba sebagai berikut :

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).

Berdasarkan hadits tersebut, Rasullullah SAW bukan hanya melaknat orang yang memakan riba, bahkan pemberi, penulis dan saksi nya pun juga terkena laknat.

Yang mau saya tanyakan begini :

1. Setiap perusahaan pasti bunya rekening bank (konvensional) yang tiap bulan nya menerima bunga bank, seperti yang kita ketahui bunga bank juga termasuk riba, sudah menjadi tugas sebagai accounting menjurnal bunga tersebut ke dalam laporan keuangan perusahaan, apakah yang seperti itu juga termasuk pencatat riba atau bukan? apakah yang dimaksud pencatat riba itu hanya pada saat terjadi nya transaksi riba (di bank) sehingga seorang accounting yang bekerja bukan pada lembaga ribawi tidak terkena laknat riba?

2. Perusahaan tempat saya bekerja juga menerima pembayaran jasa sewa hotel melalui kartu kredit, hasil pembayaran menggunakan kartu kredit tersebut masuk ke rekening koran perusahaan dan saya juga menjurnal nya ke laporan keuangan perusahaan. Apakah menjurnal pendapatan dari pembayaran melalui kartu kredit yang masuk ke rekening koran perusahaan juga termasuk pencatat transaksi riba atau bukan?

3. Selain kartu kredit, hotel saya tempat saya bekerja juga menerima pembayaran melalui debit card, namun menurut saya kalau debit card bukan termasuk riba, mohon penjelasannya.

4. Rekan kerja saya ada yang memberikan solusi untuk menjurnal kedua transaksi riba tersebut (pendapatan bunga dan kartu kredit) sehingga saya tidak memasukkan transaksi tersebut ke laporan keuangan, namun saya masih mempunyai tugas untuk nge-file hasil print transaksi tersebut ke ordner file, apakah saya masih ada azas keterkaitan dengan dosa riba tersebut atau tidak? atau kah seperti itu termasuk azas ta’awun atau bukan karena saya cuma nge-file hasil print transaksi tersebut, dan tidak menjurnal atau menulis transaksi riba.

Mohon penjelasan nya, Jazakallah Khairan Katsiira.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

JAWABAN

1. Ya, tidak termasuk sebagai pencatat riba. Yang dimaksud dalam hadits itu adalah mereka yang terlibat secara langsung dalam transaksi riba. Tugas anda sebagai accounting tidak ada kaitannya dengan hadits di atas.

Selain itu, perlu juga diketahui bahwa sebagian ulama tidak menganggap bunga bank sebagai riba. Mereka menganggapnya sebagai keuntungan berusaha (akad syirkah) yang dibolehkan dalam Islam. Dengan kata lain, apakah bunga bank termasuk riba masih menjadi ikhtilaf (perbedaan) ulama kontemporer. Baca detail: Hukum Bank Konvensional

2. Tidak masalah dengan kartu kredit. Kartu kredit bahkan dibolehkan oleh ulama yang mengharamkan bunga bank. Sebagian ulama membolehkan kartu kredit secara mutlak. Sebagian ulama yang lain membagi hukumnya menjadi dua: kartu kredit terbatas hukumnya halal, sedangkan kartu kredit tak terbatas hukumnya haram. Baca detail: Hukum Kartu Kredit

3. Betul, debit card tidak termasuk riba. Karena sudah ada uang kita di dalamnya.

4. Sebagaimana disebut di atas, pekerjaan anda dalam mencatat keuangan perusahaan tidak termasuk dalam kategori orang yang dimaksud dalam hadits tersebut.

JANJI PUASA SUNNAH, APAKAH NADZAR?

Assalamualaikum…
saya mau bertanya,
dulu sekitar 5 tahun yang lalu seingat saya ,(saya pernah berjanji untuk puasa sunnah senin kamis, saya agak lupa untuk kurun waktu berapa lama saya harus melakukan puasa sunnah senin kamis). Tapi sekarang saya agak lupa waktu itu saya berkata “janji” atau tidak.

Lalu pertanyaan saya adalah ,
1)bagaimana cara saya untuk menyikapinya?
2)Apakah saya harus melaksanakan puasa senin kamis?
3)Jika “Iya”,apakah saya harus melaksanakan puasa senin kamis dan saya harus melakukannya dalam kurun waktu berapa (minggu/hari/bulan/tahun)?
4) Apakah ada cara lain ,selain melaksanakan puasa sunnah senin kamis tersebut?

Sekian. Terima kasih

JAWABAN

1. Janji itu sebaiknya ditepati. Dan anda sudah dianggap menepati janji apabila melaksanakannya sekali. Baca detail: Hukum Janji

2. Hendaknya dilakukan minimal satu kali. Namun kalau tidak dilakukan sama sekali, tidak ada konsekuensi hukumnya. Ini berbeda dengan nadzar yang kalau tidak dilaksanakan harus bayar tebusan (kafarat). Baca detail: Hukum Nadzar

3. Cukup satu kali saja seperti disebut dalam poin 1. Baca juga: Nadzar melakukan perbuatan haram atau wajib itu tidak sah

4. Kalau tidak dilaksanakan sama sekali berarti anda ingkar janji. Hukumnya berdosa. Baca detail: Hukum Janji

Kembali ke Atas