Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Hukum kredit rumah dengan kpr

Hukum kredit rumah dengan kpr

assalamualaikum wr wb
saya ingin bertanya kepada ustad saat ini saya baru saja menikah. Sebelum saya menikah dengan suami saya ternyata suami saya membeli rumah dengan sistem kpr (kredit kepemilikan rumah) yang setahu saya itu adalah riba karna ngutang di bank dan pakai bunga. Pertanyaan saya di sini apakah saya sebagai istri juga mendapatkan dosa riba tersebut padahal suami saya membelinya sebelum menikahi saya ? Dan bagaimana solusi buat keluarga kami agar terlepas dari riba tersebut. wasalamualikum wr wb

JAWABAN

Pinjaman di bank ada dua pendapat ulama: mayoritas menganggap haram, dan ada sebagian yang menganggap tidak haram karena dianggap bukan bunga. Anda bisa mengikuti pendapat yg kedua. Baca detail: Hukum Bank Konvensional

Seandainya pun ikut pendapat yang pertama ada yang membolehkan dalam situasi darurat. Karena rumah itu merupakan kebutuhan dasar rumah tangga. Baca detail: Kaidah Fikih

WAS-WAS TALAK

Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Alkhoirot

Maaf mengganggu dengan topik yang hampir sama berulang-ulang. Saya masih ada beberapa pertanyaan yang membuat saya tidak bisa istirahat.

1. Saya kesal karena otak saya sering berspekulasi. Kadang saya ragu tentang suatu peristiwa, apakah terjadi talak atau tidak. Tiba-tiba keraguan tersebut berubah menjadi “apakah sudah jatuh satu atau dua? Apakah dihitung satu saja?” Tiba-tiba saya sadar bahwa kepastian apakah peristiwa tersebut termasuk talak atau tidak saja belum ada, atau bahwa seluruh pikiran saya tentang talak itu hanya was was, atau bahkan ditemukan bahwa secara pasti belum ada talak yang jatuh.

Pertanyaannya: apakah pikiran-pikiran tersebut menjadikan ada talak jatuh walau ada kesadaran yang datang kemudian bahwa sebenarnya kemarin itu tidak jatuh talak, atau ada/tidaknya atau sah/tidaknya berstatus ragu (yang berarti seharusnya dianggap tidak jatuh)?

2. Pernah dalam keadaan was was berat, sesudah berkata keceplosan dalam hati sebuah lafadz kinayah dengan emosi yang tinggi, saya sempat yakin sudah jatuh talak. Ternyata kemudian saya tahu (dari KSIA) bahwa bila yang ada hanya perkataan hati saja tanpa suara yang bisa di dengar, talak tidak jatuh, walau ada niat. Keyakinan tersebut terjadi karena ketakutan (was-was) saya, sementara saya segera menyesal, karena sebenarnya saya tidak mau bercerai. Apakah keyakinan karena ketakutan dan was-was tersebut menyebabkan talak terhitung, walau secara hukum tidak sah?

3. Kadang dalam keadaan was-was saya terbersit keraguan “Bila kejadian A untuk wara’ nya dihitung jatuh 1 talak, dan bila kejadian B dihitung jatuh 1 juga, berarti jatuh dua”, namun kemudian (kadang seketika, kadang setelah beberapa waktu) saya sadar bahwa pada kejadian2 tersebut tidak ada talak yang jatuh, atau sesudah konsultasi saya baru tahu bahwa peristiwa tersebut tidak termasuk atau tidak jatuh talak. Apakah disebabkan pikiran tadi talaknya terhitung, walau kemudian pikiran tersebut hilang karena dibantah hukum ataupun kenyataan terungkap bahwa talaknya tidak jatuh?

4. Bila seseorang, karena was-wasnya, yakin telah menjatuhkan talak secara tidak sengaja, lalu ditemukan bahwa tidak terjadi talak, atau talaknya tidak sah, atau apa yang dikatakannya tidak termasuk talak, bagaimana hukumnya? Apakah keyakinan yang sempat dimilikinya menyebabkan talaknya dihitung?

5. Saya membaca kaidah bahwa prasangka yang kuat dapat dianggap keyakinan. Namun bagaimana bila prasangka kuat tersebut adalah akibat was-was yang hebat. Saya sering (mengira) mengalami prasangka kuat, namun setelah ditilik ulang, prasangka tersebut adalah tidak lain was was yang kemudian hilang saat saya berdzikir. Namun di saat yang sama tidak ada bukti yang membantah prasangka tersebut, hanya kecenderungan pada prasangka tersebut hilang, menjadi keraguan fifty-fifty, atau bahkan yang menjadi prasangka kuat adalah yang tepat berkebalikannya. Manakah yang harus dipegang? Atau dikembalikan pada keadaan (keyakinan) asal sebelum ada prasangka/keraguan sama sekali?

5. Saya sering membaca perintah untuk mengabaikan was-was namun di sisi lain saya juga sering membaca yang menyarankan sikap wara’. Yang saya tahu bila saya selalu berpikir mengambil sikap wara’ saat menghadapi was-was, yang timbul was-was nya bertambah parah dan saya malah bisa-bisa bertindak mengikuti sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi, atau hidup saya bisa hancur karena sesuatu yang sebenarnya hanya terjadi di pikiran saya saja.

Apalagi sering hukumnya baru saya pahami kemudian, atau kenyataan sebenarnya tentang peristiwa yang membuat saya ragu baru saya dapatkan kemudian. Gara-gara was-was ini (dan bersikap takalluf karenanya) saya sudah banyak menyebabkan kesulitan dan penderitaan bagi orang-orang yang saya sayangi. Saya tidak mau hidup keluarga saya hancur karena saya terlalu mudah diganggu syaithan. Saya benar-benar tidak bisa mempercayai pikiran dan ingatan saya sendiri.
Bagaimana saya harus bersikap?

6. Kadang dalam pikiran, saya terlintas “Kalau pendapat A diambil, maka konsekuensinya B”, tapi saya tidak meyakini pendapat tersebut, hanya menimbang saja, apalagi saya tahu pendapat tersebut salah/lemah/menyulitkan saya. Apakah pikiran tersebut menyebabkan saya dihukumi sudah mengambil pendapat A tadi, dan perkara yang saya hadapi jadi dinilai dengan pendapat tersebut?

7. Seperti disampaikan sebelumnya, beberapa minggu lalu, setelah tajdidun nikah karena nikah syubhat, jatuh talak ba’in shugra, karena terjadi talak 1 qabla al dukhul. Sesudah pembicaraan, kami menyesal dan ingin menikah kembali, namun masalahnya wali hakim dari KUA (istri saya tidak punya wali nasab karena dia anak zina) berkeras tidak mau menikahkan kembali saya dan istri, beliau beralasan bahwa talak qabla al dukhul tetap bisa dengan ucapan rujuk. Saya tidak setuju karena berpegang pada surat Al Ahzab ayat 49. Ketika saya desak, dia setuju tapi kemudian dia menghilang sehingga tidak bisa dihubungi.

Dia tidak pernah ada di kantor dan tidak menjawab telepon/sms. Akhirnya saya pergi ke kantor KUA kecamatan lain, di mana kepalanya sesudah berkonsultasi dengan seorang ustadz, membenarkan keyakinan saya bahwa talak qabla al dukhul adalah ba’in shugra yang untuk kembali membutuhkan akad baru. Namun beliau juga menolak menikahkan dengan alasan kami bukan warganya. Beliau menyarankan istri untuk meminta tokoh agama/ustadz menjadi wali muhhakam.

Apakah ini dibolehkan? Mengingat wali hakim asli ada tapi tanpa alasan syar’i menolak/menghindar menikahkan. Saya was was, takut bila nanti akad nya malah batil. Adakah dalil/fatwa yang bisa jadi pegangan kami?

8. Saat tajdidun nikah, saya membayar mas kawin secara kontan. Masalahnya uang tersebut berasal dari rekening yang biasa dipakai untuk kebutuhan bersama/rumah tangga, walau seluruh uang di rekening tersebut berasal dari pendapatan saya. Saya sempat ragu atas sah tidak nya mahar tersebut, namun saya diyakinkan penghulu KUA bahwa mahar tersebut sah karena merupakan bagian uang saya dari uang bersama. Sekarang saya was-was kembali apakah mahar tersebut sah atau tidak? Ataukah saya harus membayar lagi mahar tersebut dari sumber lain?

Saya benar-benar mohon bantuannya. Rasanya berat sekali menanggung tekanan batin.
Jazakumullahu khairan katsiiran

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

JAWABAN

1. Hukumnya tidak jatuh talak. Dan keraguan itu tidak dianggap atau tidak ada dampak hukumnya. Seperti halnya orang shalat lalu ragu seperti kentut, maka dianggap tetap suci dari hadas kecil.

2. Tidak terhitung talak.

3. Tidak terhitung talak.

4. Tidak terhitung talak.

5. Abaikan was-was. Dan untuk saat ini abaikan saran untuk bersikap wara’. Karena saran itu telah anda salahpahami. Sekali lagi abaikan was-was. Ini perintah Rasulullah (dalam kasus orang shalat merasa kentut). Jadi, mengabaikan was-was itu termasuk perbuatan wara’.

6. Tidak. Yang dinilai adalah pendapat yang anda putuskan saat itu.

7. Boleh. Yang penting atas persetujuan istri dan anda. Baca detail: Menikah dengan Wali Hakim

8. Mahar itu sah. Karena berasal dari pendapatan anda. Artinya, uang itu milik anda. Dalam Islam tidak ada uang bersama secara otomatis. Baca detail: Harta Gono gini

Tanya Islam pada ahlinya, klik di sini!

 

 

Kembali ke Atas