Hukum lintasan hati menceraikan istri
Hukum lintasan hati menceraikan istri
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
1. Saat shalat kemarin, saya membaca Surat An-Nas. Karena takut diganggu was-was, saya melafalkan niat saya mempertahankan pernikahan, dan memohon Allah melindungi pernikahan kami. Namun sesudahnya seakan seakan-akan (mudah-mudahan itu hanya was-was syaithan, bukan saya sendiri) ada 2 kali percobaan melintaskan lintasan jahat, namun juga seakan ada yang menahan lintasan tersebut, sehingga percobaan-percobaan itu gagal, dan tidak ada yang terlintas, hingga akhirnya, alhamdulillah saya berhasil melintaskan lagi niat mempertahankan pernikahan.
1A. Saya takut murtad menanyakan pertanyaan ini: Bila na’udzubillahi mindzalik, percobaan-percobaan itu bukan lintasan was-was syaithan, namun sesuatu yang dilakukan karena OCD saya, apakah pembacaan surat An Nas saya bisa berdampak?
1B. Apakah saya melakukak kemurtadan bertanya seperti di poin 1A?
2. Dua kali saya ketakutan saat harus menandatangani surat gadai dan surat imunisasi anak. Pasalnya pada surat gadai ada keterangan barang jaminan yang di dalamnya ada kata sharih. Saya mengingatkan diri bahwa tidak ada dampak, karena konteksnya aman. Apakah saya benar?
3. Kemarin emosi saya sempat naik karena kelakuan tidak sopan staf toko tempat saya dan istri berbelanja. Sehingga sempat terucap kata-kata “No service whatsoever. They should know how to talk to customer” dan “Kelakuannya kurang ajar sekali. So they got a big shop, so what?”
Objek yang saya maksud adalah staf-staf toko tersebut, namun saya mengobrolnya dengan istri saya. Apakah aya benar tidak ada dampak?
4A. Kadang sesudah mengucapkan sesuatu, saya panik. Namun seseudah beberapa waktu, saya sadar bahwa saya tidak ada niat aneh-aneh.
Namun kadang terlintas, seperti ada yang menuduh, seakan saya berbohong pada diri sendiri, menduh saya saya berpura-pura.
Mana yang harus saya pegang?
4B. Sering saat mengingat kaidah dan mengingatkan diri bahwa konteks kalimat yang akan saya ucapkan aman dan tidak berdampak, saya sering merasa ada yang mengatakan bahwa saya munafik karena berusaha tetap bicara, padahal saya tidak mau ada dampak. Bagaimana hukumnya?
4C. Beberapa hari yang lalu, saya menginstall sebuah app. Saat terinstall, saya membuka app tersebit dan disuguhi introductory screen. Saya ketakutan saat akan menekan tombol [Skip], maka saya ikuti introductionnya, sampai saya harus menekan tombol [Done]. Saat itu, saya sudah ketakutan lagi. Dan saat menekan tombol [Done] tersebut, ada lintasan jahat. Saya langsung membantah lintasan tersebut sekuat tenaga.
Kemarin saya khawatir. Apa motif saya menekan tombol [Done] tersebut. Apakah tindakan saya menekan tombol [Done] tersebut bisa berdampak pada pernikahan saya bila alasan saya melakukannya tidak benar? Ataukah karena saya penderita penyakit OCD otomatis tidak berdampak?
4D. a) Saat berencana mentraktir anak-anak kami, saya berkata “Ditraktir dulu, biar…”. Ucapan ini tidak selesai, tapi dalam kepala saya ada sesuatu yang membuat saya takut. Apakah saya benar tidak ada dampak apa-apa?
b) Saat menuliskan poin a) tersebut ada lintasan jahat yang segera saya bantah. Apakah benarvtidak ada dampak? Kemarin saya diberi tahu KSIA bahwa hal ini tidak ada dampaknya.
4E. Suatu hari anak sulung saya menyanyikan satu lagu, tanpa liriknya. Saya tertawa dan berkata “Si Eton nyanyiin lagu itu.” Baru saya teringat bahwa, di dalam lagu tersrbut ada lafadz kinayahnya. Apakah saya benar tidak ada dampak?
4F. a) Apakah konteks aman berlaku otomatis (selama memang konteks aman)? maksudnya baik saya sadar atau tidak, meniatkannya sebagai konteks aman atau tidak?
b) Apakah cara saya bertanya di poin 4Fa bisa berdampak?
5A. Anak saya minta diajari tentang rukun Islam. Saya mencoba menjelaskan sebisa saya. Namun yang membuat saya cemas adalah saya berkata “But there’s (only) two that uncompromisable, shalat and syahadat”. Tapi sebelumnya dan sesudahnya saya jelaskan bahwa semua rukun Islam hukumnya wajib. Yang saya maksud adalah syahadat san shalat harus dikerjakan dalam keadaan apapun. Sementara bagi yang benar-nenar tidak mampu, shaum bisa diganti fidyah, dan zakat serta haji wajib bagi yang mampu.
Apakah saya berbuat dosa berkata demikian?
5B. Saya sempat berkata pada istri saya, bahwa fokus saya saat ini adalah dua hal yang sebenarnya satu hal yang sama, yaitu memperjuangkan agama, dan pernikahan serta keluarga.
Maksud saya memperjuangkan menjaga pernikanan dan keluarga adalah bagian besar dari memperjuangkan agama, karena saya teringat bahwa pernikahan adalah setengah agama. Saya tahu Islam sangat besar dan luas, tapi setahu saya pernikahan dan agama adalah bagian yang besar di dalamnya.
Apakah saya berdosa?
6. Saya dan istri sama-sama berasal dari keluarga yang awam agama, walau orang tua istri saya jauh lebih liberal. Setidaknya almarhumah ibu saya selalu mengingatkan saya untuk mengutamakan agama, namun ilmunya pun tidak tinggi. Sehingga fokusnya lebih banyak soal ibadah mahdhah.
Sehingga sepanjang 9 tahun kami berpacaran sebelum menikah, kami tidak pernah teringat halal-haram nya berpacaran. Memang bila ada yang mengingatkan, seperti dalam tausiyah, mengenai keharaman berkhalwat yang termasuk haram, kami mengakui dan tidak membantah, namun segera terlupakan lagi. Semua orang di sekitar kami, keluarga, dan teman, berpacaran sebelum menikah, termasuk yang pernah bersekolah di pesantren, hingga kami benar-benar tidak ingat mengenai halal-haramnya.
Yang selalu teringat adalah haramnya zina dan muqqadimah zina. Jenis khalwat yang kami ingat keharamannya hanya ‘ngamar’ atau yang melibatkan seks bebas. Apalagi, bila khalwat yang terjadi antar teman, kami benar-benar tidak ingat keharamannya. Sedang soal ikhtilath, kami betul-betul tidak tahu hukumnya, sehingga tidak jarang, saya, istri, dan teman-teman berkumpul di rumah atau kost-kostan (kadang rumah kami, kadang rumah atau kost-kostan teman).
Tentang khalwat dan ikhtilath, biasanya yang teringat hanya norma masyarakat saja, dan itu pun jarang diikuti, karena masyarakat sekitar kami pun agak liberal.
Kebodohan ini berlangsung bahkan sesudah saya dan istri menikah. Sampai beberapa waktu lalu, kami masih cenderung melihat pacaran sebagai hal yang wajar/lazim, selama tidak terjadi zina atau muqaddimah zina.
Bahkan pernah tercetus apa yang harus kami lakukan bila na’udzubillahi mindzalik anak kami berzina bila dewasa, namun kami tetap mengharamkan zina, dan berusaha sekuat kami mencegah anak kami berzina.
Pertanyaannya:
Apakah saya dan istri tergolong berbuat murtad?
7. Pertanyaan nyaris serupa adalah tentang pakaian. Selama ini kami cenderung melihat (bahkan mengenakan) baju yang tidak sesuai syariat sebagai hal yang lazim, walau selalu mengakui wajibnya menutup aurat. Namun haram-halalnya umumnya tidak teringat, baik saat membeli dan mengenakan baju yang tidak sesuai syariat, berenang di kolam renang, maupun saat menonton film/TV.
Apakah termasuk perbuatan murtad?
8. Dulu kadang saya menulis pertanyaan pada KSIA secara mencicil. Maksudnya, kadang saya menulis sebagian pertanyaan, mengerjakan beberapa hal dulu, baru melanjutka, mengerjakan hal lain dulu, baru melanjutkan dan mengirim.
Apakah konteks bertanya/bercerita tetap berlaku dalam pola begitu?
Maaf pertanyaan saya panjang, dan mungkin mengulang
JAWABAN
1a. Tidak berdampak. Baca detail: Hukum lintasan hati
1b. Tidak murtad.
2. Benar.
3. Tidak berdampak.
–
4a. Yang benar: abaikan hal yang membuat was-was.
4b. Tidak ada dampak.
4c. Tidak berdampak.
4da. Tidak ada dampak.
4db. Tidak berdampak.
4e. Tidak berdampak.
4f. Tidak berdampak. Abaikan suara2 itu.
5a. Tidak dosa. Namun soal puasa perlu ditambah infonya: bahwa semua muslim wajib puasa dengan sedikit perkecualian. Baca detail: Puasa Ramadan
5b. Tidak berdosa. Itu sudah benar. Membina rumah tangga dengan baik adalah bagian dari agama. Mencari nafkah adalah bagian dari sedekah. Sebagaimana secara tersurat disebut dalam sebuah hadis.
6. Tidak murtad. Mengakui dosa tapi masih melakukannya; dengan menghalalkan dosa itu dua hal yang berbeda. Sebagaimaan dalam kasus orang tidak shalat (sudah pernah dijelaskan). Baca juga: Hukum tidak shalat karena malas
Terkait ikhtilath antara lawan jenis bukan mahram (muhrim), masih ada ikhtilaf ulama selagi tidak terjadi khalwat (berduaan) dan asalkan tidak terjadi perbuatan yang diharamkan seperti mukadimah zina, dll. Baca detail: Pemimpin Wanita dalam Islam
7. Tidak murtad. Poin terpenting: selagi masih mengakui keharamannya.
8. Ya, setiap pertanyaan kepada ahlinya dianggap konteks bercerita. Bahkan menceritakan perkara aibnya apabila dalam konteks bertanya itu dibolehkan walaupun aslinya diharamkan membuka aib diri sendiri (sudah pernah dijelaskan).
Satu tanggapan pada “Hukum lintasan hati menceraikan istri”
Komentar ditutup.