Hukum memandang kemaluan anak kecil
Hukum memandang kemaluan anak kecil
4A. Dulu saya dan istri saya tidak benar-benar paham batasan aurat pada anak kecil, hanya memahami bahwa tidak baik membuka kemaluan anak-anak di depan publik. Namun istri saya pernah dua atau tiga kali mengganti baju anak sulung (saat berumur lima tahun) saya di pantai, di depan orang banyak karena tidak ada ruang ganti. Saya pun pernah melakukannya karena terpaksa saat baju anak saya basah dan berpasir sehingga tidak bisa memakai baju di dalam kendaraan. Apakah termasuk mengubah hukum Allah?
4B. Saya sempat melarang anak saya (laki-laki, saat berumur sekitar lima tahun) untuk memperlihatkan tubuhnya tanpa pakaian. Istri saya menyadari bahwa hal tersebut tidak boleh, namun untuk meminta saya menerapkan disiplin tersebut bertahap, dia berkata, “Susah juga, karena aku (istri saya) masih ngegganti baju dia di pantai.” Bagaimana hukumnya?
JAWABAN
HUKUM MEMANDANG KEMALUAN ANAK KECIL
4a. Tidak termasuk mengubah hukum. Juga tidak termasuk melakukan pelanggaran. Karena masalah ini masih khilaf di kalangan ulama. Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin, hlm. 3/260 (paginasi berdasarkan kitab I’anah Syarah Fathul Muin), menyatakan:
والمعتمد عند الشيخين عدم جواز نظر فرج صغيرة لا تشتهى وقيل يكره ذلك وصحح المتولي حل نظر فرج الصغير إلى التمييز وجزم به غيره وقيل يحرم ويجوز لنحو الام نظر فرجيهما ومسه زمن الرضاع والتربية للضرورة
Artinya: Pendapat yang muktamad menurut Nawawi dan Rofi’i adalah tidak boleh melihat kemaluan anak perempuan kecil yang belum menimbulkan syahwat. Pendapat lain menyatakan makruh. Al-Mutawalli mentashih pendapat bolehnya melihat kemaluan anak kecil sampai usia tamyiz. Pendapat ini dikuatkan oleh lainnya. Pendapat lain menyatakan haram. Boleh bagi yang semisal ibu untuk melihat dua kemaluan anak kecil saat menyusui dan mengasuh karena darurat.
Khatib Al Syarbini dalam Mughnil Muhtaj, hlm. 3/130, menyatakan:
( و ) الأصح حل النظر ( إلى صغيرة ) لا تشتهى لأنها ليست في مظنة الشهوة والثاني يحرم لأنها من جنس الإناث قال ابن الصلاح حكاية الخلاف في وجه الصغيرة التي لا تشتهى يكاد أن يكون خرقا للإجماع ( إلا الفرج ) فلا يحل نظره قال الرافعي كصاحب العدة اتفاقا ورده في الروضة بأن القاضي جوزه جزما فليس ذلك اتفاقا بل فيه خلاف لا أنه رد الحكم كما فهمه ابن المقري فصرح بالجواز
وأما فرج الصغير فكفرج الصغيرة على المعتمد وإن قال المتولي بجواز النظر إليه إلى التمييز وتبعه السبكي على ذلك واستثنى ابن القطان الأم زمن الرضاع والتربية لمكان الضرورة وهو ظاهر وينبغي أن تكون المرضعة غير الأم كالأم
Artinya: Pendapat paling sahih adalah halal melihat pada anak wanita kecil yang belum mengundang syahwat karena dia belum memiliki daya tarik. Pendapat kedua, haram karena dia termasuk jenis perempuan. Ibnu Shalah berkata: letak perbedaan terletak pada wajih anak kecil perempuan yang belum mengundang daya tarik itu hampir ijmak kecuali kemaluan (farji) maka tidak halal melihatnya. Al-Rafi’i berkata ulama sepakat. Imam Nawawi menolak anggapan ini (sepakat ulama). Karena Al-Qadhi membolehkan secara pasti. Itu berarti ulama tidak sepakat dan ada perbedaan pendapat. Bukan menolak hukum sebagaimana difahami oleh Ibnul Muqri lalu menjelaskan atas bolehnya. Adapun kemaluan anak kecil laki-laki itu hukumnya seperti kemaluan anak kecil perempuan menurut pendapat yang muktamad (diunggulkan) walaupun Al-Mutawalli berpendapat bolehnya melihat kemaluan anak kecil sampai usia tamyiz. Pendapat ini diikuti oleh Al-Subki. Ibnul Qattan mengecualikan pada Ibu saat menyusui dan mengasuh (maka boleh) karena darurat. Ini jelas. Sebaiknya wanita yang menyusui selain ibu itu dihukumi seperti ibu.
BATASAN AURAT ANAK KECIL BELUM BALIGH
4b. Tidak masalah bagi anak kecil apalagi masih usia 5 tahun memperlihatkan tubuhnya di luar shalat kecuali kemaluannya (soal ini masih khilaf seperti disebut di 4a). Al-Jazari dalam Al-Fiqh alal Madzhahib Arba’ah, hlm. 1/198, menjelaskan pendapat madzhab Syafi’i soal aurat anak kecil dalam shalat dan luar shalat:
الشافعية قالوا : إن عورة الصغير في الصلاة ذكرا كان أو أنثى مراهقا أو غير مراهق كعورة المكلف في الصلاة أما خارج الصلاة فعولة الصغير المراهق ذكرا كان أو أنثى كعورة البالغ خارجها في الأصح وعورة الصغير غير المراهق إن كان ذكرا كعورة المحارم إن كان ذلك الصغير يحسن وصف ما يراه من العورة بدون شهوة فإنه أحسنه بشهوة فالعورة بالنسبة له كالبالغ وإن لم يحسن الوصف فعورته كالعدم الا أنه يحرم النظر إلى قبله ودبره لغير من يتولى تربيته أما إن كان غير المراهق أنثى فإن كانت مشتهاة عند ذوي الطباع السليمة فعورتها عورة البالغة . وإلا فلا لكن يحرم النظر إلى فرجها لغير القائم بتربيتها
Artinya: Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa aurat anak kecil waktu shalat, baik laki-laki atau perempuan, remaja atau tidak, itu sama dengan aurat orang mukalaf (baligh) dalam shalat. Sedangkan di luar shalat, maka (a) aurat anak kecil remaja, laki atau perempuan, itu seperti aurat orang baligh di luar shalat menurut pendapat paling sahih; (b) Aurat anak kecil yang belum murahiq bila ia pria maka seperti aurat diantara para mahram bila ia sudah mampu mensifati aurat yang ia lihat namun tanpa disertai syahwat, bila disertai syahwat maka auratnya seperti halnya orang dewasa.Sedang auratnya bila masih belum mampu mensifati aurat yang ia lihat maka auratnya seperti tidak ada hanya saja diharamkan melihat kelamin dan duburnya bagi selain pengasuhnya; (c) Aurat anak kecil yang belum murahiq bila ia telah menimbulkan pesona syahwat menurut ukuran akal normal maka seperti wanita dewasa bila belum menimbulkan pesona maka tidak, namun haram melihat kemaluannya bagi selain pengasuhnya.
Dalam Al-Mausuah al-Fiqhiyyah, hlm. 40/347, dinyatakan pandangan 4 madzhab soal ini:
نظر الرجل إلى الصغيرة :9 – اتفق الفقهاء على أن النظر إلى الصغيرة بشهوة حرام ، مهما كان عمرها ، ومهما كان العضو المنظور إليه منها ، واتفقوا أيضا على أنه يجوز للرجل أن ينظر بغير شهوة إلى جميع بدن الصغيرة التي لم تبلغ حد الشهوة سوى الفرج منها .
Artinya: Semua Ulama sepakat bahwa melihat aurat anak kecil wanita dengan disertai syahwat maka haram hukumnya, usia berapapun anak kecil tersebut dan di bagian tubuh manapun yang ia lihat, dan Ulama juga sepakat bahwa diperbolehkan bagi pria dewasa melihat dengan tanpa syahwat terhadap anak kecil wanita yang belum sampai pada usia yang menimbulkan gelora kecuali pada kemaluannya.[]
Baca detail: Aurat dalam Islam
WAS-WAS KESEHARIAN
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
Dengan Hormat,
1A. Dikarenakan penyakit was-was saya, sudah lama saya takut berdoa dengan menggunakan suara. Tadi ada yang mendorong saya untuk berdoa dengan suara yang bisa terdengar oleh saya sendiri. Saya berdoa dengan kalimat, “Ya Allah, tetapkan takdir aku dan Dini [nama istri saya] tetap sebagai suami istri yang sah dan halal selamanya, dunia akhirat. Ya Allah.”
Di tengah kalimat, ada ketakutan yang amat sangat bila apa yang saya ucapkan bisa termasuk hal yang berbahaya, sehingga saya mengulang-ulang doa tersebut dengan beberapa variasi. Saya tidak mengucapkan satu pun kata sharih/kinayah. Dan saya tahu persis yang saya minta pada Allah agar Allah menjadikan/mentakdirkan saya dan istri saya tetap suami istri yang langgeng rukun makmur selamanya dunia akhirat. Takdir saya dan Dini (istri saya) tetap suami istri yang langgeng rukun selamanya dunia akhirat itulah yang saya minta Allah tetapkan, saya tidak mau takdir yang berkebalikan dari itu.
Bagaimana hukumnya?
1B. Kemarin saya mengalami mimpi buruk. Bila ada keraguan sebuah kalimat terucap dalam mimpi atau dalam keadaan setengah sadar, bagaimana hukumnya?
1C. Saya teringat pada beberapa kalimat yang saya pernah ucapkan dulu saat istri saya marah pada saya. Saya tidak ingat persis kata-kata yang digunakan, hanya kalau tidak salah, format kalimatnya kurang lebih , “kalau kamu……, mungkin…..” atau, “mungkin kalau kamu…., (maka) …” Seingat saya, saya tidak pernah ada niat aneh-aneh. Apakah format kalimat tersebut termasuk pernyataan? Bagaimana hukumnya?
1D. Kalau tidak salah saya pernah menanyakan pertanyaan berikut ini, namun saya kesulitan mencari ulang pertanyaan dan jawabannya.
Sesudah kejadian tanggal 5 Mei, di mana saya mengucapkan kata yang tidak akan pernah saya ulang lagi karena tekanan istri saya. Saya mengucapkan beberapa kalimat seperti:
“Bagus juga ada kejadian begini, kita jadi bisa ngeluarin apa yang kita rasain/pikirin”
“Kalo ga ada kejadian ini, aku ga akan berani ngomongin hal-hal ini (isi pikiran saya)’
“Aku bisa cariin pekerjaan,….”
“Kamu bisa tinggal di sini, (kontrakannya) masih ada beberapa bulan. Aku bisa ngekos.”
Saya ingat persis saya tidak ada niat aneh-aneh, tidak bermaksud mengadakan dampak apapun.
Bagaimana hukumnya?
1E. Bagaimana hukumnya saat saya berkata, “Menurut [nama kepala KUA] (kata sharih) kita baru 1.” ?
1F. Istri saya pernah berkata, “Tampaknya cuma kita yang menganggap kejadian (kata sharih) ini sebagian kejadian yang baik.” Karena saat menuju rujuk dan rujuk keadaan saya dan istri menjadi sangat harmonis, saya sempat mengatakan ‘iya’. Saya tahu saya tidak punya niat aneh-aneh. Bagaimana hukumnya?
1G. Bagaimana hukumnya menjawab pertanyaan dengan kata kinayah (di dalam dan di luar konteks berbahaya) dengan kata tanya seperti ‘what?’ atau ‘why?’ ?
1H. Saat shalat ada lintasan yang menuduh saya berbuat syirik karena saya sangat mencintai istri dan anak-anak saya, sehingga saya membantah. Namun kalimat bantahannya saya khawatirkan termasuk kalimat syirik (tidak diucapkan). Saya tidak mau syirik sehingga saya segera saya bersyahadat. Bagaimana hukumnya?
1I. a) Lintasan tuduhan tersebut berulang di waktu shalat lainnya, sehingga saya melintaskan bahwa saya hanya menyembah Allah, tapi saya tidak membatalkan doa saya meminta Allah menjaga pernikahan saya dan Dini (istri saya). Bagaimana hukumnya?
b) Sempat pada pertanyaan poin 1Ia di atas, tertulis ‘lintasan tuduhan saya…’, bagaimana hukumnya?
1J. Anak saya sempat bertanya, sambil menunjuk, “Can I go there?’ Saya menjawab ‘if you want to watch.” Apakah pembicaraan ini otomatis berada pada konteks aman? Saya tahu saya tidak ada niat aneh-aneh.
1K. Sempat ada lintasan jahat yang menyuruh saya mengerjakan sesuatu yang tidak akan pernah mau saya kerjakan bila saya tidak mau melakukan sesuatu. Lintasan ini tidak terucap. Bagaimana hukumnya bila saya tidak mau mengerjakan sesuatu tersebut? Saya ragu-ragu ada satu perbuatan saya sesudah lintasan tersebut yang saya khawatirkan masuk ke dalam ‘tidak mau mengerjakan sesuatu’ yang menjadi kondisi lintasan tersebut.
1L. Saat sesudah mengucapkan satu lafadz yang saya tidak tahu saat itu termasuk lafadz muallaq dengan kata sharih (lafadz tersebut sudah dicabut/dibatalkan) saya sempat mengatakan pada istri saya agar kami berjanji untuk mencari konsultan pernikahan bila kami memiliki dana. Saat ini dan insyaaAllah seterusnya, hubungan kami sangat baik dan sangat mesra, sehingga rasanya konsultan tersebut tidak lagi diperlukan. Dan saya dan istri saya lebih nyaman berkonsultasi dengan pihak KSIA. Bagaimana hukumnya?
1M. Saat membicarakan mengisi angin ban kendaraan kami yang kurang angin, tempat langganan kami ternyata tidak beroperasi. Sehingga saya bermaksud berkata, ‘Kalo ketemu tempat isi angin, nanti kita isi.” Tapi yang terucap, “kalo ketemu, nanti kita itu.” Baru saya perbaiki kalimatnya sesudahnya. Bagaimana hukumnya? Saya tahu saya tidak ada niat aneh-aneh.
1N. Bagaimana hukumnya mengetikkan kata sharih di kolom pencarian google saat mencari artikel fikih tanpa mengetikkan kata tanya seperti ‘apakah’ atau ‘bagaimana’ di kolom pencarian tersebut?
1O. Bagaimana hukumnya bila salah ketik saat menuliskan pertanyaan sehingga kadang saat seharusnya menuliskan tanda tanya yang ditulis tanda titik, atau sebaliknya, saat seharusnya menuliskan tanda titik yang tertulis tanda tanya?
1P. Saat mengerjakan pekerjaan kantor, saya sempat mengalami ketakutan hebat. Terlintas lintasan kalimat saya harus mengambil risiko. Segera saya bantah karena saya tidak mau ada risiko apa. Saya bekerja dan menulis untuk mempertahankan pernikahan saya. Kemudian saya melanjutkan menuliskan rangka kerja artikel yang sedang saya susun. Saya tidak menuliskan apapun yang bisa berdampak, karena yang saya tulskan adalah nama-nama buah dan sejenisnya yang merupakan topik artikel majalah yang saya kerjakan. Bagaimana hukumnya?
1Q. Setelah menulis tersebut, saya sangat ketakutan, sehingga saya memeluk istri saya dan menangis. Saya benar-benar ketakutan. Istri saya bertanya ada apa. Awalnya saya tidak menjawab. Kemudian (awalnya saya menulis tapi kemudian) saya bercerita bahwa saya ketakutan. Saya bercerita bahwa pikiran saya sering sekali diganggu. Saya juga berkata bahwa saya sering mengalami lintasan pikiran yang membuat saya ketakutan, dan saya berkata bahwa kadang saya merasa/khawatir pernah mengucapkan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah saya ucapkan. Bagaimana hukumnya perkataan saya?
1R. Sebelum bercerita pada istri saya, saya sempat membatin bahwa semua yang saya kerjakan ke depan adalah karena saya bermaksud mempertahankan pernikahan saya. Saya tidak mengatakan sempat punya niat aneh-aneh sebelumnya, hanya saya tidak tahu bagaimana lintasan saya di no. 1P dihukumi. Bagaimana hukumnya?
1S. Sebelum menceritakan bahwa saya ketakutan pada istri (maksudnya saat saya bercerita pada istri, saya takut pada hal yang saya sampaikan dalam pertanyaan ini) saya mengatakan pada istri saya bahwa saya ingin dia tetap jadi istri saya selamanya, dan bahwa saya sangat mencintai dia (istri saya) dan anak-anak kami. Saya sempat hampir mengatakan kalimat, ‘aku takut kehilangan (dia dan anak-anak kami), namun karena takut yang terucap hanya huruf ‘A’.
1T. Bagaimana hukumnya bila saat ada lintasan, mulut bergerak tidak membentuk kata? Untuk membuktikan bahwa saya tidak mengucapkan kata, saya jadi menggerak-gerakan mulut saya seperti orang mengecap, tanpa membentuk kata. Bagaimana hukumnya?
1U. Bagaimana hukumnya saat saya sering menggunakan kata sharih sebagai topik email yang saya kirimkan ke KSIA? Bagaimana pula hukumnya saat digunakan saat mengirimkan sms konfirmasi transfer infak yang berkaitan dengan email-email pertanyaan tersebut?
1V. a) Saat merujuk istri saya, seingat saya, kalimat yang saya gunakan adalah, “Kamu aku rujuk ya.” Bagaimana hukumnya?
b) Saat menuliskan pertanyaan poin 1Va, saya sempat melintaskan, “bukan berarti ada kejadian yang membuat saya harus merujuk (saat ini), Tapi saya mengakui rujuk saat itu sah. Dan kejadian (tanggal 5 Mei) sudah dirujuk dan kami sudah rujuk)”. Bagaimana hukumnya?
2A. Saya menggunakan nama alias saya untuk nama bendera bisnis saya, dengan nama Harry Yuen and Wife. Saat mendesain portfolio kami, saya melakukan edit desain logo, sempat saya memindahkan, dan juga sempat menghapus huruf ‘w’ yang merupakan monogram dari kata ‘Wife’. Bagaimana hukumnya?
2B. a) Saat melakukan edit desain portfolio tersebut, sempat juga saya beberapa kali menghapus logo dan logotext ‘Harry Yuen and Wife’ tersebut. Bagaimana hukumnya?
b) Saat menuliskan kata ‘beberapa’ di poin 2Ba di atas, sempat ada rasa takut hingga saya melintaskan, ‘saya sedang bercerita, saya tidak mau ada dampak. Saya tidak bermaksud mengadakan dampak.” Bagaimana hukumnya?
2C. Saat menyusun PowerPoin presentasi portfolio tersebut, saya sempat mengunakan efek transisi yang bentuk pergerakannya memiliki nama sama dengan kata sharih. Sekali lagi saya sempat menunjuk efek ‘curtain’ yang pergerakannya memiliki nama sama dengan kata sharih. Saya tidak menggunakan efek transisi tersebut karena takut, tapi pointer mouse nya sempat menunjuk icon efek transisi tersebut. Bagaimana hukumnya?
2D. Anak saya sempat bertanya, ikon apa yang sedang saya pelajari, saya menjawab ‘it’s transision’. Bagaimana hukumnya?
2E. Dengan adanya kejadian dan rasa takut yang yang saya tanyakan di poin 2A – 2D, bagaimana hukumnya bila saya mengirimkan portfolio tersebut pada klien saya?
3A. Saya bermaksud memasukkan anak sulung saya ke sebuah sistem homeschooling, karena anak saya tidak merasa betah dengan sistem konvensional. Kami menemukan sebuah penyedia homeschooling yang bagus. Namun dalam surat pernyataan tanggung jawab orang tua yang lembaga tersebut sediakan, ada kalimat, “Orang tua wajib memperkenalkan nilai pancasila sebagai falsafah dan dan dasar negara, agama, moral….”
Saya tentunya tidak sepakat, karena nilai agama lebih tinggi dari pancasila, dan Islam tidak berdasarkan hal yang ditetapkan manusia seperti pancasila. Bagaimana sebaiknya saya mengubah kalimat tersebut? Saya tidak mau berbuat syirik. Rasanya lembaga tersebut bisa diajak berunding bila saya mengajukan redaksi yang lebih baik.
3B. Bila kalimat tersebut saya tulis menjadi, “Orang tua wajib memperkenalkan nilai agama, dan pancasila sebagai dasar negara….”, bagaimana hukumnya?
5A. Saya selalu mengakui bahwa menggunakan barang bajakan adalah illegal. Namun kadang saat mengkopi/mendownload gambar di google dan menggunakannya pada materi pekerjaan, saya sering tidak sadar bahwa yang saya lakukan termasuk pembajakan. Sehingga ada beberapa materi pekerjaan saya yang menggunakan foto yang diambil dari google. Saat mengerjakannya, saya tidak sadar sedang mengerjakan perbuatan haram. Bagaimana hukumnya?
5B. Saat ada demonstrasi online di internet bulan januari 2012, memprotes kebijakan SOPA/PIPA di amerika serikat yang berefek ke seluruh dunia, saya bergabung dengan demonstrasi tersebut, karena beranggapan bahwa kebijakan tersebut bisa mengkriminalisasi pihak-pihak yang mengutip sebuah materi intelektual, bukan hanya yang membajak, sehingga bisa berimbas pada kriminalisasi hal-hal seperti Wikipedia, facebook, google, dan lainnya. Bahkan bisa membuat seseorang yang menyanyikan cover version sebuah lagu dianggap pembajak, atau menganggap pembajak orang yang mengambil satu capture gambar dari sebuah film untuk ditaruh di postingan media sosial.
Sekarang saya ragu-ragu, apakah jangan-jangan menyanyikan cover version atau menaruh capture gambar memang sudah termasuk pembajakan. Bagaimana hukum saya mendukung demonstrasi online tersebut? Apakah termasuk mengubah-ubah hukum Allah?
6A. Saat mengingatkan diri untuk mengqadha shalat yang sempat tidak saya kerjakan, ada lintasan yang ‘menawarkan’ pandangan madzhab Hambali mengenai qadha. Saya segera menolak karena saya tidak mau dianggap kafir, dan saya melintaskan mengqadha shalat yang belum dikerjakan adalah wajib. Bagaimana hukumnya? Apakah saya dianggap kafir saat dulu cukup sering (bahkan sering sekali) tidak mengerjakan shalat, tapi tetap menganggap wajib mengerjakan shalat fardhu?
6B. Kejadian hampir serupa terjadi, saat saya mengingatkan diri untuk mengqadha shalat yang tidak saya kerjakan di waktunya karena ketiduran. Saya mengambil pendapat madzhab Syafi’i, tapi karena ketakutan saya bersyahadat. Apakah saya dianggap mengambil pendapat madzhab Hambali? Bagaimana peristiwa saat saya sering tidak mengerjakan shalat dihukumi? Saya tidak mau murtad dan tidak mau dihukumi murtad.
6C. a) Saya tadi sempat terlambat mengerjakan shalat zhuhur sehingga saya mengqadha nya di waktu shalat ashar. Karena ketakutan, saya sekali lagi bersyahadat sebelum berwudhu. Bagaimana hukumnya? Apakah saya tetap dihukumi menurut pendapat madzhab Syafi’i (saya sempat salah menulis huruf Ha, saya tidak ingin dihukumi menurut madzhab Hambali pada qadhiyah ini)?
b) Bagaimana hukumnya saya memilih dihukumi menurut madzhab Syafi’i pada qadhiyah ini? Saya ingat ketika mencabut lafadz muallaq saya mengikuti fatwa Majelis Fatwa Al-Khoirot (awalnya saya tulis KSIA) yang didasarkan pada pendapat Ibnu Muflih dari madzhab Hambali. Bagaimana hukumnya?
7. Bila saya ‘menabung’ pertanyaan, dan menuliskan pertanyaan-pertanyaan tersebut saat saya ingat untuk kemudian dikirimkan kemudian saat sudah terkumpul, apakah konteks bercerita/bertanya tetap berlaku? Dahulu kadang saya menuliskan pertanyaan secara mencicil agar tidak terlupa apa yang hendak ditanyakan. Bagaimana hukumnya?
JAWABAN
1a. Tidak masalah. Tidak berdampak.
1b. Tidak ada dampak. Baca detail: Mimpi dalam Islam
1c. Tidak ada dampak.
1d. Tidak berdampak.
1e. Tidak ada pengaruh.
1f. Tidak ada dampak.
1g. Tidak berdampak.
1h. Tidak berdampak. Lagipula, anggapan syirik karena mencintai istri itu asumsi yg tertolak. Dalam akidah Ahlussunnah wal jamaah orang disebut syirik apabila menyembah Allah plus menyembah selain Allah dalam arti literal seperti yang dilakukan umat Nasrani dan Yahudi (QS Taubat 9:30)
1ia. Tidak berdampak.
1ib. Tidak ada dampak.
1j. Ya, konteks aman.
1k. Lintasan hati tidak dihitung.
1l. Tidak berdampak.
1m. Tidak berdampak.
1n. Tidak apa-apa. Kata sharih yang ditulis atau diucapkan tidak dalam konteks menceraikan istri tidak disebut kata sharih, melainkan hanya kata yang tanpa dampak hukum.
1o. Tidak berdampak.
1p. Tidak berdampak apapun. Bahkan kalau anda tuliskan kata sharih sekalipun tidak berdampak kalau itu dalam konteks menulis karena sama dg konteks bercerita. Baca detail: Cerita Talak
1q. Tidak ada dampak.
1r. Tidak berdampak.
1s. Seandainya pun anda ucapkan kalimat ‘takut kehilanganmu’ tersebut tetap tidak ada dampak apapun.
1t. Tidak berdampak.
1u. Tidak berdampak dan ini sudah dijelaskan berkali-kali.
1va. Sah. Dalam madzhab lain, seperti madzhab Hanafi, merujuk istri itu bahkan cukup dengan memegang tangan istri. Dalam madzhab Hambali, cara rujuk bisa dengan hubungan intim.
1vb. Tidak ada dampak.
2a. Tidak berdampak.
2ba. Tidak ada dampak.
2bb. Tidak berdampak.
2c. Tidak ada dampak.
2d. Tidak berdampak.
2e. Tidak berdampak.
3a. Kalimat tersebut tidak masalah kecuali kata “agama”. Pancasila sebagai dasar negara tidak berlawanan dengan Islam karena itu hasil kesepakatan seluruh pendiri bangsa di mana seluruh komponen agama ada di dalamnya. Nabi memerintahkan agar kita mentaati aturan yang disepakati. hadis Nabi menyatakan: Umat Islam harus mengikuti perjanjian yang disepakati (المسلمون علي أشراطهم). Sekali lagi istilah ‘syirik’ itu biasa dipakai kalangan WAhabi Salafi. Ahlussunnah tidak pernah memakai kata itu kecuali dalam hal yang sudah pasti secara literal seperti syiriknya umat Nasrani karena menyembah Yesus di samping Tuhan.
Namun jelas Pancasila bukan dasar agama. Kami berasumsi pemilik homeschooling itu mungkin salah tulis. Karena di buku pedoman pancasila pun tidak ada dikatakan bahwa pancasila menjadi dasar agama.
3b. Itu lebih bagus.
5a. Mengambil gambar orang lain di Google sangat tergantung dari pernyataan hak cipta pemiliknya. Ada yang boleh dicopy ada yang tidak boleh dicopy. Jadi, sifatnya kondisional. Kalau tanpa ada hak cipta, maka tidak ada larangan. Baca detail: Hukum Memakai Software Bajakan dan Copy Paste Artikel
5b. Tidak termasuk. Lihat poin 5a. Intinya, terkait kekayaan intelektual itu sangat tergantung dari persyaratan yang disampaikan si pemilik dan hukum lokal atau global yang berlaku.
6a. Tidak kafir. Ini pandangan mayoritas madzhab fikih. Dan pandangan ini yang seharusnya anda pegang. Baca detail: Hukum Tidak Shalat
6b. Tidak dianggap demikian. Seperti pernah kami jelaskan, hukum itu tidak didasarkan pada asumsi orang awam, tapi berdasarkan pada status hukum yang tersedia yang telah dibuat kalangan ulama fikih. Jadi, ketika ada pendapat yang menyatakan tidak berakibat murtad, maka hukum itu yang dipakai. Ini juga cara Rasulullah yang selalu mengambil hukum yang lebih mudah dalam memutuskan perkara.
6ca. Ya, dihukumi menurut pandangan yang lebih ringan. Dalam hal ini pandangan madzhab Syafi’i.
6cb. Kami menghukumi berdasarkan pandangan yang lebih ringan berdasarkan sikap yang biasa diambil Rasulullah dan ulama salafussalih. Baca detail: Cara Ulama Aswaja dalam Menghukumi orang Awam
7. Ya tetap berlaku.