Menyebut diri sendiri murtad apakah murtad?
Menyebut diri sendiri murtad apakah murtad?
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
Dengan Hormat,
1A. Apakah lintasan yang menyebut diri kafir/murtad, tidak diucapkan berakibat na’udzubillahi mindzalik termasuk kemurtadan? Lintasan ini dibantah segera setelah terlintas.
1B. Bila setelah terjadi lintasan, segera bersyahadat, namun menunggu fatwa ulama tentang murtad/tidaknya status, untuk menghukumi diri sendiri, apakah termasuk na’udzubillahi mindzalik berencana murtad kah?
1C. Apakah karena panik atau was-was, merasa melakukan kemurtadan, apakah dihitung murtad?
1D. Saya terus-terusan bersyahadat, karena tiap bersyahadat ada gangguan. Apakah saya sah syahadatnya?
1E. Saat menuliskan pertanyaan-pertanyaan di atas, ada/banyak lintasan yang mengganggu. Apakah ada dampaknya pada keimanan atau pernikahan saya?
1F. Bila ingin menyatakan kalimat yang memuji Allah, atau pernyataan cinta pada Allah, atau pernyataan takut pada Allah, dalam hati, namun terjadi salah kata, kadang baru-beberapa kali baru bisa diluruskan, apakah berdampak na’udzubillahi mindzalik kemurtadan?
1G. Apakah kondisi blank atau tidak fokus saat menuliskan pertanyaan mengenai subyek ini bisa berdampak? Karena was-was saya sering sulit fokus saat bertanya.
2A. Kemarin istri saya pernah/sempat (ditujukan pada orangtuanya yang tidak ada di tempat, namun diucapkan pada/di depan saya) kata-kata yang termasuk lafadz ssharih/kinayah. Saya ketakutan, sehingga saat dia meminta pendapat saya, saya berkata “You’re my wife, I’m your husband, you got to great child/children. We will love you forever.” Apakah ada dampak dari ucapan saya?
2B. Ada lintasan-lintasan jahat saat menuliskan poin 2A (pada ketikan sebelum ini, saya ulang karena system error). Apakah berpengaruh pada pernikahan kami dan/atau kenasaban anak saya?
2C. Sering ada lintasan jahat (saya yakin was-was syaithan) saat saya mengatakan sesuatu pada konteks aman. Saya tidak ingat atau tidak tahu apakah ada kata kinayahnya atau tidak (yang pasti tidak ada lafadz/kata lafadz sharih). Lintasan-lintasan tersebut mencoba (awalnya saya hanya tulis coba) mengaitkan/mengasosiasikan kata-kata saya dengan hal-hal yang saya takutkan. Apakah ada dampaknya? Apakah cara dan kesalahan tulis saya berdampak?
2D. Kemarin, saya sempat mencoba mengajak istri saya bercumbu (dengan gerakan, tapi tidak berucap apa-apa). Istri saya menangkap tangan saya dengan alasan sedang flu/pilek berat. Saya tidak memaksa. Apakah berdampak hukum?
2E. Apakah gerakan menggeser kepala mundur sedikit dari istri (saat memeluk istri) untuk mengucap syahadat berdampak hukum?
3A. Saat mengalami kesulitan ekonomi beberapa tahun yang lalu, sempat terlintas keirian/rasa iri terhadap sistem gereja yang menjamin pekerjaan anggotanya. Lintasan ini tidak pernah diucapkan, namun kadang berlangsung lebih dari lima menit. Kadang dibantah, kadang hilang begitu saja. Apakah termasuk murtad?
3B.a) Karena merasa yang diolok-olok adalah sesembahan orang kristen, kadang saya mengejek (dalam bercanda) yesus, apakah saya termasuk mengejek Nabi Isa AS?
b) Karena panik, saya sempat bersyahadat (tidak selesai, baru mulai) sesudah menulis kata ‘dalam bercanda’, apakah termasuk kemurtadan? na’udzubillahi mindzalik
c) Apakah saya melakukan dosa kufur menuliskan pertanyaan-pertanyaan ini?
4A. Saya tahu istri saya tidak terlalu paham aturan qadha shalat. Suatu saat dia terlambat mengerjakan shalat maghrib hingga masuk waktu Isya. Saat saya suruh mengerjakan qadha shalat maghrib, dia menunda dengan alasan ada sesuatu yang harus dikerjakan (saya kurang ingat apa, menurutnya sangat penting). Dia tahu dan mengakui wajibnya meng-qadha bila terlambat mengerjakan shalat hingga waktu shalat berikutnya. Dan saya sebenarnya menentang penundaannya dalam hati, tapi entah saya tidak memaksa. Apakah termasuk na’udzubillah kemurtadan?
4B. Perkara ibadah dan kewajiban, atau dosa, (atau bahkan kadang tentang film), sejak terserang penyakit was-was akut/OCD akut, saya sering tidak sengaja atau refleks terlintas kalimat ‘bisa murtad’ atau kata ‘halal’, atau ‘haram’. Kata ‘halal’ pada kalimat ini saja tertulis tidak sengaja. Padahal pikiran atau kaidah yang saya ingat, sering tidak teringat lengkap, sehingga ada bagian syarat, atau kekecualian yang tidak terlintas. Saya takut telah mengharamkan hal halal, atau menghalalkan hal haram. Kadang lintasan ini saya luruskan segera, namun kadang karena panik, saya tambahkan lintasannya dengan kalimat yang menjelaskan kondisi kapan hal tersebut menjadi murtad, haram, atau halal.
Apakah saya berdosa?
4C. Kemarin sempat, saat ada godaan/lintasan syaithan yang mengajak tidak mengerjakan shalat, terlintas bantahan atas godaan tersebut, secara refleks kalimat ‘bisa murtad’, segera saya tambahkan, ‘bila menghalalkan tidak shalat’ dan ‘bila tidak mengakui wajibnya shalat.’. Apakah ini mempengaruhi bagaimana kejadian-kejadian di mana saya tidak mengerjakan shalat karena malas atau lalai di masa lampau/sekarang/masa depan? Atau saya tetap diakui muslim karena masih dan akan selalu (dari dulu juga) mengakui wajibnya shalat?
5A. a) Istri saya memiliki teman seorang perempuan nonmuslim (entah kenapa saya salah menulis kata ‘muslim’, mungkin karena sesudah menuliskan pertanyaan di atas) seorang bodybuilder. Pada suatu ketika, teman istri saya tersebut memposting foto bodybuildingnya (dengan pakaian minim) sehingga dia dibully karena dianggap vulgar. Istri saya selalu mengakui wajibnya menutup aurat, namun dia ikut membela karena menganggap nonmuslim tidak dikenai kewajiban yang sama dengan muslim, dan karena dia merasa kasihan.
Bagaimana hukumnya? b) Saya sempat salah menulis, sehingga ketika menulis tanda tanya, saya menulis titik, apakah ada dampaknya?
c) Pada tulisan sebelumnya (yang saya harus ulangi karena system error saat hp habis batere) saya sempat menulis ‘nonmuslim terkena hukum yang berbeda’. Apakah saya berdosa?
5B. Saya dan istri saya aktif dalam kampanye ‘Against Victim Blaming’ pada kasus-kasus pelecehan seksual/pemerkosaan. Kami selalu mengakui kewajiban menutup aurat, namun kami berpendapat tidak menutup auratnya seseorang bukan justifikasi bagi pelecehan seksual/pemerkosaan. Bagaimana hukumnya?
5C. Istri saya masih bersiap untuk menutup auratnya dengan benar di depan yang tidak berhak, dan kami masih mengusahakan uang untuk membeli perlengkapan dan baju-bajunya, karena dana yang kami miliki saat ini hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Saya mengusahakan agar aurat nya sesedikit mungkin terlihat oleh yang tidak berhak, tapi saya masih sering membutuhkan bantuan istri saya menyetir kendaraan, karena kondisi saya tidak memungkinkan untuk menyetir, dan menggunakan kendaraan umum sangat mahal bila diakumulasikan, dan kadang waktunya tidak terkejar. Istri saya pun stres bila terus-terusan berada hanya di rumah saja.
Saya pikir kondisi darurat tidak terpenuhi, karena seharusnya kami mengumpulkan/mengalokasikan uang dari dulu untuk membeli pakaian yang menutup aurat dengan benar, namun baru beberapa bulan ini istri saya memiliki ketetapan hati dan beristiqamah berpakaian sesuai syariat.
Kami mengakui wajibnya menutup aurat di depan yang tidak berhak melihatnya, dan saya mengingatkan diri bahwa saya berdosa bila saya membuat aurat istri saya terlihat publik atau yang tidak berhak melihatnya.
a) Bagaimana hukumnya? Apakah bila saya mengajaknya berkendara termasuk kemurtadan?
b) Apakah ada dari tulisan saya yang berdampak pada pernikahan saya? Saya sudah dan masih, dan akan selalu berusaha supaya pernikahan kami utuh selamanya.
6A. Selama menuliskan pertanyaan-pertanyaan di atas, saya sering sekali tidak sengaja salah tulis, apakah berdampak?
6B. Selama menulis pertanyaan-pertanyaan di atas, saya mengalami beberapa interupsi dalam berbagai bentuknya. Apakah berdampak?
7. Anak-anak saya sangat dekat dengan kakak saya, sehingga kadang saya dan istri saya menyebut anak sulung saya sebagai ‘Anak Pa’Dang (panggilan anak-anak saya pada kakak saya) sebagai pengakuan kedekatan anak sulung saya dengan kakak saya. Apakah ada dampak hukumnya? Apakah kami berdosa?
8. Mengingat saya penderita OCD akut, bisakah saya menganggap semua lintasan-lintasan yang terjadi karena panik atau takut, baik saat mengucapkan sesuatu, yang kesemuanya saya maksudkan tidak merusak keIslaman dan tidak merusak pernikahan saya (tadinya saya tuliskan maupun), maupun saat menuliskan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan atau urusan lainnya (seperti urusan sekolah anak, warisan orang tua), atau saat bertanya ke KSIA, atau saat diam, atau saat shalat dan berdzikir, sebagai tidak berdampak hukum?
9. Baru saat-saat ini saya benar-benar selalu teringat akan hukum haramnya membuka aurat di depan yang tidak berhak. Sebagian besar waktu, walau selalu mengakui kewajiban menutup aurat, keharaman ini tidak teringat. Bukan karena ingin menenentang/membangkang atas hukum tersebut. Murni tidak teringat, karena yang dipikirkan hal lain, sehingga terlalaikan. Sehingga saat kami berpergian dulu tidak terpikir tengah atau akan berbuat dosa.
Apakah perbuatan kami dulu ini juga dihukumi tidak murtad walau tetap dosa?
Hormat saya,
JAWABAN
1a. Tidak murtad. Baca detail: Syarat Sahnya Murtad
Apalagi hanya berupa lintasan hati. Baca detail: Hukum Lintasan Hati
1b. Tidak murtad.
1c. Tidak dihitung murtad. Murtad itu terjadi apabila dilakukan secara sengaja.
1d. Sah syahadatnya.
1e. Tidak ada dampak pada iman dan pernikahan.
1f. Tidak berdampak.
1g. Tidak berdampak.
2a. Tidak ada dampak sama sekali.
2b. Tidak berpengaruh.
2c. Tidak ada dampak.
2d. Tidak berdampak.
2e. Tidak berdampak.
3a. Tidak. menurut ulama tasawuf iri termasuk penyakit hati yang harus dihilangkan. Namun tidak berdampak murtad sama sekali. Bahkan tidak berdampak dosa menurut ulama fikih karena suara hati tidak dihitung. Baca detail: Iri Dengki, Riya, Takabur
3ba. Tidak termasuk mengejek nabi Isa.
3bb. Tidak.
3bc. Tidak kufur.
4a. Tidak.
4b. Tidak.
4c. Tidak ada.
5aa. Benar, wanita nonmuslim tidak terkena hukum taklif (kewajiban/larangan) sebagaimana muslim.
5ab. Tidak ada dampak.
5ac. Tidak berdosa.
5b. Tidak masalah.
5ca. Tidak murtad, tapi berdosa apabila auratnya tampak di depan publik. Intinya, selagi masih mengakui suatu dosa itu dosa, maka tidak berakibat murtad. Walaupun tetap dosa. Baca detail: Aurat Wanita dan Laki-laki
5cb. Tidak ada tulisan anda yang berdampak pada pernikahan.
6a. Tidak berdampak.
6b. Tidak ada dampak.
7. Tidak berdampak. tidak berdosa.
8. Ya, bisa. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ucapan dan perbuatan penderita OCD tidak berdampak hukum apapun baik terkait pernikahan atau keimanan.Baca detail: Was-was karena OCD
9. Ya, tidak murtad. Hanya dosa.