Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Tanggapan Kyai Imad atas Buku Rabithah Alawiyah “Keabsahan Nasab Ba’alawi”

Judul asal: Menjawab Tuduhan Hanif Dkk Terhadap Tesis Penulis

Penulis: KH Imaduddin Utsman Al-Bantani

Sumber: PP NU

Mengabaikan Metode dan Kaidah Ahli Nasab

Hanif Alatas dkk. dalam buku Keabsahan Nasab Ba’alwi mengatakan:

“Imaduddin secara terang-terangan mengabaikan kaidah-kaidah Ilmu Nasab yang telah lama dirumuskan para ulama nasab. Ilmu nasab yang mempelajari silsilah dan garis keturunan, memiliki metodologi dan kaidah yang ketat dan diakui para ahli sejak berabad-abad.”[1]

Benarkah penulis mengabaikan ilmu nasab atau malah Ba’alwi yang keukeuh ingin diakui sebagai keturunan Nabi yang menabrak Ilmu Nasab?

Mari kita uji metode dan kaidah ilmu nasab yang terdapat dalam kitab-kitab ilmu nasab.

Metode Itsbat Nasab

Metode itsbat nasab yang terdapat dalam kitab ilmu nasab semacam Rasa’il fi ‘Ilm al-Ansab ada tujuh dari ketujuh metode itu semuanya menyatakan Ba’alwi batal.

Metode Syuhroh wal Al Istifadlah

Dengan menggunakan metode pertama ini nasab Ba’alwi batal karena Syuhrah (popular) mempunyai syarat yaitu “Adam al-Mu’aridl” (tidak ada dalil penentang), sedangkan kitab pengakuan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi di abad ke-9 H. bertentangan dengan kitab nasab di abad ke-6 H. yaitu kitab Al-Syajarah al-Mubarakah yang menyatakan anak Ahmad bin Isa hanya tiga:Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada anak Ahmad bin Isa bernama Ubaid, Ubaidullah atau Abdullah.

Daftar Artikel soal Nasab Habib

  1. Kesalahan KH Fahrur Rozi dalam Membela Nasab Baalawi
  2. Pembelaan Kurtubi Lebak atas Nasab Baalwi
  3. Betulkah al-Sakhawi mengitsbat Nasab Baalwi? Tanggapan Kyai Imaduddin
  4. Tanggapan Kyai Imad atas Itsbat Yusuf an-Nabhani pada Nasab Baalwi
  5. Ini Makalah Kyai Imaduddin yg akan Disampaikan di UIN Jakarta bersama Prof. Dr. Said Agil Al-Munawar
  6. Nasab Ba’Alwi dalam Pandangan Ibnu Hajar al-Haitami
  7. Apakah Kitab Al-Raud al-Jali karya Al-Zabidi Dapat Dipercaya? Respons Kyai Imad pada Kyai Afifuddin
  8. Mengapa Asumsi Walisongo Keturunan Baalwi itu Tidak Benar
  9. Surat Kyai Imaduddin kepada Habib Taufik Segaf (Ketua RA)
  10. Respons KH Imaduddin Utsman pada Gus Najih Maimun
  11. Isbat Baalwi oleh Mahdi Rojai, Tanggapan Kyai Imaduddin
  12. Tanggapan atas Sanggahan Habib dari Oman
  13. Pakar DNA Yaman: Habib bukun cucu Nabi
  14. Tanggapan Kyai Imaduddin atas Habib Muhdor Jember
  15. Pemalsuan sejarah Yaman: kesaksian seorang ulama Yaman
  16. Sejarawan Yaman, Al-Barihi, Di Abad 9 H. Tidak Menyebut Ba’alwi Sebagai Keturunan Nabi Muhammad SAW
  17. Kitab 9 Hijrah Tidak Menyebut Ba’alwi Sebagai Keturunan Nabi Muhammad SAW
  18. Sanggahan pada Gus Najih: Dalil Perlunya Kitab Sezaman
  19. Menjawab Tuduhan Hanif Dkk Terhadap Tesis Penulis

Buku Kyai Imaduddin soal Nasab

Pakar ilmu Nasab Syekh Husain bin haidar al-Hasimi dalam kitabnya Rasa’il fi ‘ilm al-Ansab mengatakan:

الطريق الأول : اسْتِفَاضَة النسب وشهرته في بلده ، شهرة تثمر علماً ، واستفاضة بين بين عددٍ عدد مِن النَّاسِ يقع العلم يخبرهم أو الفن القوي ، ويؤمن توافقهم على الكذب ، مع عدم المعارض

Terjemah:

“pertama, adalah dengan “istifadlotunnasab” (menyebarnya nasab) dan “syuhratunnasab” (popularnya nasab) di desanya dengan popular yang membuahkan keyakinan dan dengan menyebar antara manusia yang bisa terjadi keyakinan dengan berita mereka, atau dugaan kuat, dan aman dari kemungkinan kesepakatan mereka untuk berdusta, dengan disertai tidak adanya dalil yang menentang.”[2]

Metode Kitab-kitab Nasab

Menggunakan metode kitab-kitab nasab nasab Ba’alwi batal karena kitab-kitab nasab bisa digunakan sebagai pengitsbat nasab mempunyai syarat yaitu sebuah kitab nasab tidak boleh bertentangan dengan isi kitab nasab sebelumnya. Sedangkan kitab nasab yang mengitsbat Ba’alwi baru ada di abad ke- 9 dan 10 H. yang bertentangan dengan kitab sebelumnya.

Perhatikan apa yang dikatakan dalam Kitab Nihayatul Muhtaj juz 8 h. 319 karya Imam Ramli:

(وَلَهُ الشَّهَادَةُ بِالتَّسَامُعِ) حَيْثُ لَمْ يُعَارِضْهُ أَقْوَى مِنْهُ كَإِنْكَارِ الْمَنْسُوبِ إلَيْهِ أَوْ طَعْنِ أَحَدٍ فِي الِانْتِسَابِ إلَيْهِ، نَعَمْ يُتَّجَهُ أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ طَعْنٍ لَمْ تَقُمْ قَرِينَةٌ عَلَى كَذِبِ قَائِلِهِ

“Dan boleh baginya bersaksi dengan tasamu’ ketika tidak ada penentang yang lebih kuat dari tasamu’, seperti inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha’n (celaan) seseorang dalam nasab itu. benar hukum demikian bahwa tasamu’ gugur dengan adanya inkar dan tha’n, tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha’n itu tidak disertai tanda-tanda kedustaan orang yang menyampaikannya”

Jelas metode para Nassabah (pakar nasab) dan pakar fikih membatalkan nasab Ba’alwi dengan metode Syuhrah wal-Istifadlah karena kesyuhra-an Ba’alwi ditolak oleh kitab nasab abad ke-6 H. Al-Syajarah al-Mubarakah.

Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Al Muqaddimat fi ‘Ilm al Ansab:

شروط اعتماد الرقعة 1. ان لا تكون مخالفة للاصول

“Syarat menjadikan kitab nasab sebagai pegangan adalah pertama ia tidak boleh berbeda dengan kitab-kitab asal” [3]

Dalam Kitab Ushulu ‘Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al-Ansab karya Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani dikatakan:

ولا يمكننا الحديث عن النسب القديم بناءاً على ما ورد في الكتب الحديثة المستندة إلى كلام غير منطقى أو على الذاكرة الشعبية فقط ،

“Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja.”[4]

Jadi jelas, kitab andalan Ba’alwi Al-Burqat al-Musyiqah, Al-jauhar al-Syafaf, Al-Nafhah al-Anbariyah yang semuanya ada di abad ke-9 H. tidak bisa digunakan sebagai itsbat nasab Ba’alwi karena bertentangan dengan kitab nasab yang lebih tua yaitu Al-Syajarah al-Mubarakah di abad ke-6 H.

Metode Syahadah/Al-Bayyinah al-Syar’iyyah

Kesakisan dua orang saksi ini bisa dilakukan untuk kesaksian orang yang hidup hari ini. Tidak bisa untuk Ubaid yang hidup seribu tahun lalu. Syekh Khalil Ibrahim mengatakan tentang Al-bayyinah al-Syar’iyyah dalam kitabnya Muqaddimat fi ‘ilmi al-Ansab:

أقول:إن هذا الأمر ليس في ثبوت نسب القبائل بل يعمل به في إلحاق نسب طفل بأبيه

“Aku berkata sesungguhnya masalah ini (Al-Bayyinah al-Syar’iyyah) bukan untuk menetapkan nasab qabilah-qabilah, tetapi digunakan untuk menetapkan nasab anak kepada ayahnya.” (Muqaddimat, 62).

Jadi, metode dua orang saksi ini menurut para ahli nasab tidak bisa digunakan untuk mengitsbat Ubaid sebagai anak Ahmad.

Metode Ikrar

Menurut Syekh Khalil Ibrahim dalam kitab Muqaddimat, metode I’tiraf dan iqrar ini pula tidak bisa mengitsbat nasab yang jauh seperti Ubaid. Ia digunakan hanya untuk nasab orang yang hari ini hidup:

أقول: إن هذا الامر لا يخص نسب القبائل بل هو يخص النسب الفردي المشكوك في صحته فعندما يقر ويعترف الأب بأبوته لهذا الطفل أو الولد يلحق به وبنسبه

“Aku berkata, sesungguhnya masalah ini tidak menentukan nasab kabilah-kabilah tetapi ia menentukan nasab seseorang yang diragukan kesahihannya. Maka ketika seorang ayah ber-I’tiraf dan ber-ikrar bahwa ia bapak dari anak ini maka anak ini di-itsbat kepadanya dan kepada nasabnya.” (Muqaddimat, h. 62).

Metode I’tiraf

الطريق الخامس : أن يعترف رجل عاقل ويُقر ، أن فلاناً يكون ابنه، ويكون المدعي ممن يولد مثله لمثل الدعي ، وانتفت الموانع

“Metode yang kelima adalah I’tiraf atau iqrar seorang laki-laki yang berakal bahwa fulan adalah anaknya. Dan orang yang diaku haruslah orang yang pantas diakui (sebagai anak) untuk pengaku. Dan tidak ada penghalang (untuk pengakuan itu).”

Cara I’tiraf dan ikrar seorang ayah kepada anak ini pula menurut syekh Khalil Ibrahim, digunakan untuk orang yang masih hidup bukan untuk orang yang sudah ribuan tahun wafat seperti Ubaid.

Metode Qiyafah

Metode inipun hanya bisa dilakukan untuk orang yang hari ini masih hidup untuk melihat keserupaan antara keduanya. Bukan untuk mengitsbat nasab jauh karena kita tidak bisa membandingkan antara Ubaid dan Ahmad bin Isa yang sudah wafat seribu tahun yang silam.

Metode DNA

Dalam kitab Muqaddimat fi ‘Ilmi al-Ansab Syekh Khalil Ibrahim menyajikan tulisan pakar DNA Arab, Professor Ubaedillah (h.178). dalam tulisan tersebut, Prof. Ubaedillah menyatakan bahwa:

“Tes DNA telah mampu membongkar orang yang mengaku keturunan Ahlibait dengan palsu dan dusta. Hal itu ketika hasil tes DNA mereka menunjukan bahwa mereka adalah dari keturunan Persia dan Kaukasus. Maka tidak aneh mereka memerangi ilmu tes DNA ini dalam situs-situs mereka. Berbeda dengan hasil tes DNA para Asyraf lain yang terkenal yang sama dan dekat dengan DNA Adnan.”

Profesor Ubaidillah berkata:

“Setelah meneliti dan melakukan banyak tes dan analisis laboratorium terhadap DNA untuk mengetahui keragaman ras manusia, para peneliti menemukan bahwa warisan genetik Arab termasuk dalam ras tersebut (J1). Peneliti Profesor Ali bin Muhammad Al- Shehhi mengatakan: Kita dapat memberi nama pada jenis J1 dengan DNA suku Arab.”[5]

Setelah kita mengetahui DNA Arab itu J1 maka sekarang kita bertanya apakah hasil tes DNA Klan Ba’alwi? jawabannya hasil tes DNA mereka adalah G. hasil itu menunjukan bukan saja mereka bukan keturunan Nabi tetapi mereka juga bukan orang Arab.

Metode Qur’ah

Al-Qur’ah (diundi) digunakan sebagai itsbat nasab berdasarkan hadits Zaid bin Arqam ia berkata:

كُنْتُ جالسًا عند النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فجاء رجُلٌ مِن أهلِ اليمَنِ فقال: إنَّ ثلاثةَ نفَرٍ مِن أهلِ اليمَنِ أتَوْا عليًّا يختصِمونَ إليه في ولَدٍ، قد وقَعوا على امرأةٍ في طُهْرٍ واحدٍ، فقال لاثنينِ: طِيبَا بالولدِ لهذا، فغَلَيَا، ثمَّ قال لاثنينِ: طِيبَا بالولدِ لهذا، فغَلَيَا، ثمَّ قال لاثنينِ: طِيبَا بالولدِ لهذا، فغَلَيَا، فقال: أنتم شُرَكاءُ مُتشاكِسونَ؛ إنِّي مُقرِعٌ بينَكم، فمَن قَرَعَ فله الولدُ، وعليه لصاحِبَيْه ثُلُثَا الدِّيَةِ، فأقرَع بينَهم، فجعَله لِمَن قَرَعَ، فضحِك رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حتَّى بدَتْ أضراسُه أو نواجِذُه. رواه ابو داود والنسائي واحمد

“Aku duduk di sisi Nabi SAW maka datanglah seorang laki-laki dari Yaman maka ia berkata bahwa tiga orang dari Yaman datang kepada Ali KW mengadukan sengketa hukum anak kepadanya, mereka telah menjima’ seorang wanita dalam satu masa suci. Maka Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak untuk orang ini, maka kemudian dua orang itu tidak mau dengan bergolak. Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau, Maka kemudian Ali berkata kepada dua orang, relakanlah anak itu untuk orang itu, maka keduanya tidak mau, maka Ali berkata, kalian bersama-sama orang yang bertengkar, aku akan mengundi di antara kalian, maka barang siapa keluar undianya anak ini miliknya, dan ia harus membayar 2/3 diyat bagi yang lain, maka kemudian Ali mengundi di antara mereka, maka ia menjadikan anak itu bagi yang keluar undian. Maka Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.”

Metode qur’ah ini pun tidak bisa dilakukan untuk nasab Ba’alwi karena metode ini dilakukan hanya ketika dalil-dalil pengitsbat dan penafi sama kuatnya. Sedangkan dalil yang mengitsbat nasab Ba’alwi sangat lemah dan termasuk nasab maudlu (palsu).

Dari ketujuh metode itsbat nasab yang digariskan oleh para pakar nasab tersebut sudah nyata siapa yang menabrak metode dan kaidah nasab. yang hari ini masih mengitsbat Ba’alwi dengan begitu terangnya kebatalan mereka, maka merekalah yang telah menabrak metode dan kaidah nasab.

Klasifikasi Nasab Menurut Ahli Nasab

Dalam buku tersebut Hanif dkk. mengatakan:

“Imaduddin selalu berteriak lantang bahwa nasab Ba’alawi adalah nasab batil dan mardûd. Imaduddin tampaknya tidak memahami makna “nasab mardûd” dan “nasab batil” dalam terminologi ilmu nasab. Dalam ilmu nasab, nasab seseorang atau sebuah keluarga terbagi menjadi beberapa tingkatan. Berikut kami tuangkan klasifikasinya dengan terjemahan secara global.”[6]

Lalu Hanif dkk. mengutip pendapat pakar nasab Syaikh Husain bin Haidar al-Hasyimi dalam kitab Rasail tentang klasifikasi nasab. setelah mengutip dan menterjemahkan lalu Hanif mengatakan:

“Berdasarkan klasifikasi di atas, Nasab Ba’alawi jelas masuk kategori nasab sahih sebab memiliki silsilah nasab yang jelas dan disepakati keabsahannya oleh semua nassabah yang membahas nasab Ba’alawi. Tidak ada satu pun nassabah yang menafikan. Status Ba’alawi sebagai nasab pun sahih dinyatakan oleh banyak ulama, sebagaimana telah kami uraikan di Bab I.”[7]

Pertanyaannya benarkah apa yang disamapaikan Hanif itu? apakah ia menjelaskan detail setiap kalimat yang ia kutip dari kitab Rasail sehingga pembaca bisa juga memahami walau ia tidak memahami Bahasa Arab, atau ia hanya menterjemahkan lalu mengambil kesimpulan sendiri tidak sesuai apa yang dimaksud oleh pengarangnya sendiri.

Untuk asas keterbukaan mari kita kutip utuh apa yang ada dalam kitab Rasail lalu penulis akan jelaskan kata perkata yang penting untuk dijelaskan agar apa yang diinginkan oleh penulis kitab itu sesuai. Lalu pembaca bisa bandingkan dengan apa yang ada dalam buku Hanif dkk. tersebut. Mari kita mulai.

أقسام الأنساب

فالأنساب إذن ليست على درجة واحدة ، ولكنها تنقسم في عُرف علماء النسب إلى أقسام أربعة ، وهي :

القسم الأول : النسب الثابت . ويقال فيه : النسب الصحيح ، وهو النسب الذي تأكد ثبوته بسلسلة صحيحة ، مجمع على صحتها من قبل النسابين المحققين . والعلماء يعبرون عن هذا النسب بقولهم : نسب صحيح ثابت . أو أنهم يكتفون بأحد اللفظين ، فيقولون : نسب صحيح . نسب ثابت

Terjemah:

“bagian-bagian nasab: maka nasab itu bukan hanya ada satu tingkatan. Tetapi terbagi dalam istilah ulama nasab kepada empat bagian. Yang pertama nasab tsabit (yang tetap). Disebut juga nasab sahih. Yaitu nasab yang kuat dengan silsilah yang benar yang diijma kesahihannya dari para ahli nasab yang muhaqqiq (ahli meneliti). Dan para ulama membuat istilah dari nasab ini dengan “nasab sahih tsabit”. Atau mereka mencukupkan dengan salah satu lafadz (sahih/tsabit).”[8]

Perhatikan: nasab yang sahih itu mempunyai syarat dia silsilahnya harus benar diijma kebenarannya oleh para ahli nasab. sekarang kita Tanya mana ulama nasab pada masa Ahmad bin Isa yang mengitsbat Ubaid/ubaidillah sebagai anak Ahmad? tidak ada. kitab nasab yang pertama mengitsbat Abdulah sebagai anak Ahmad ada di tahun 880 H. yang mengitsbat Alwi baru ada pada tahun 996 H. wah itu sudah 651 tahun setelah wafatnya Ahmad bin Isa. bahkan pada abad ke-enam kitab Al-syajarah al-Mubarakah menegaskan anaknya Ahmad hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Maka pengakuan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaid/ubaidillah/ Abdullah ini batal, sesuai ilmu nasab. maka dari itu nasab Ba’alwi tidak bisa disebut nasab sahih.

القسم الثاني : النسب المشهور . وهو النسب الذي اشتهر واستفاض بين الناس ، ولا سيما بين القبيلة نفسها ، إلا أن أصحاب هذا النسب لا يُعرف اتصال نسبهم بالقبيلة ، فالقبيلة تُقَرُّ لهم بالنسب ولا وجه لنفيهم عنه ، غير أنهم ليس بأيديهم بسلسلة تبيين الانتساب ، ولا عموداً يشير إلى الأسباب وهذا القسم والذي قبله لا يفرق بينهما إلا علماء النسب ، وإلا فإنهما قسم واحد عند غيرهم ، وينبغي أن يعلم أن شهرة النسب قد تكون غير أصلية ، أي أن النسبة إنما لحقت بالإنسان لأنه مولى القوم لا أنه من أنفسهم ، وقد تكون بسبب اختلاطه بالقبيلة ، أو بسبب مجاورته للقوم في السكنى ، ومهمة النسابة المحقق المحرر أن يبين كل ذلك بعبارة تكون في غاية الوضوح والدلالة ، وهذ القسم والذي قبله يعرف عند النسابين بالنسب الصريح ، كقول أهل النسب: إن عدنان هو صريح ولد إسماعيل ، وإن نزار بن معد هو صريح ولد معد.

Terjemah:

“Bagian kedua Nasab Masyhur: yaitu nasab yang masyhur dan terkenal antar mansuia, apalagi di antara kabilah itu sendiri. Tetapi mereka tidak diketahui darimana ketersambungan nasabnya dalam kabilah itu. kabilah itu mengakui nasab mereka dan tidak ada jalan menafikan, walaupun tidak ada susunan silsilah yang menyatakan hubungan itu, dan tidak pula ada nama-nama yang mengarah kepada sebab-sebab. Bagian kedua ini dan yang sebelumnya tidak bisa membedakan keduanya kecuali ulama nasab. kalau tidak dua bagian itu dianggap satu bagian menurut ulama lainnya. Dan perlu diketahui bahwa kemasyhuran suatu nasab terkadang tidak asli. Yaitu ketersambungan nasab itu terkadang karena ia sebagai mawla (mantan budak) suatu kaum. Bukan benar-benar keturunan mereka. Terkadang pula nasab itu karena adanya asimilasi dengan suatu kaum. Atau karena ia tetangga kaum itu. dan kepentingan para ahli nasab yang muhaqiq adalah menjelaskan dengan terang benderang semua itu dengan dalil. Bagian ini disebut juga dengan nasab sarih. Seperti ucapan ahli nasab bahwa adnan sarih keturunan Ismail dan sesunggunya Nazar bin Ma’ad sarih anak Ma’ad.”[9]

Perhatikan, nasab masyhur itu adalah nasab seseorang yang dikenal di antara manusia tersambung kepada suatu kabilah tetapi ia tidak mengetahui jalurnya. Kabilah tersebut mengakui bahwa orang itu bagian darinya walau tidak diketahui silsilah atau nama-nama nasab yang tersambung kepada kabilah itu. seperti kemasyhuran Adnan sebagai keturunan Ismail, semua ahli nasab sepakat bahwa Adnan adalah keturunan Ismail, tetapi mereka tidak mempunyai urutan nama-nama yang sahih yang menyambungkan Adnan kepada Ismail.

Apakah nasab Ba’alwi termasuk kategori nasab masyhur? Tidak. Karena Ba’alwi mempunyai urutan nama-nama yang menyambungkan mereka kepada Ahmad bin Isa tetapi urutan itu tertolak kitab nasab abad ke-6 H. jadi, Ba’alwi itu tidak termasuk kategori nasab masyhur tetapi masuk ke dalam kategori nasab “mardud” (tertolak) yang nanti akan diterangkan.

القسم الثالث : النسب المقبول . وهو النسب الذي أثبته قوم من نفس القبيلة الذين هم أصحاب الشأن ، ونفاه قوم من نفس تلك القبيلة ، فالإثبات والنفي فيه متساويان ، فهما جهتان متقابلتان متضادتان ، فصار مقبولاً لأجل التساوي بين التضاد ، ولأجل أن هذا التضاد من نفس جسد القوم أصحاب الشأن ، لا من قوم آخرین ، وإلا فإنَّ القول هو قول أصحاب الشأن دون الغرباء ، سواء أكان إثباتاً أم نفياً ، فالقول قولهم ، والعلماء يعبرون عن هذا النسب بقولهم : نسب فيه خلاف ويعبرون عنه كذلك بقولهم : )صح عن النسابة فلان) . وهذا يعني أن النسب قد ثبت عن هذا ولم يثبت عند نسابة آخر وهو ما يعني حصول الخلاف بين النسابين . وأنت ترى أن أكثر كلام أهل النسب في الأخذ والرد بينهم إنما يرد على هذا النوع من الأنساب ، كقولهم : (فلان في عقبه خلاف) ، (فلان فيه نظر(

Terjemah:

“bagian ketiga adalah nasab maqbul: yaitu nasab yang ditetapkan oleh suatu kaum pemegang otoritas dari sebuah kabilah tetapi dinafikan oleh kaum yang lain dari kabilah itu. maka itsbat dan nafi kedudukannya sama. Keduanya dua arah yang berhadapan dan berlawanan. Maka nasab ini kemudian disebut nasab maqbul karena kesamaan (dalil) antara kedua yang berlawanan. Dan karena pertentangan ini dari dalam kabilah yang memiliki otoritas itu sendiri bukan dari kaum lain. Jika tidak demikian (pertentangan yang terjadi antara pemegang otoritas disuatu kabilah dengan orang luar), maka pendapat yang diterima adalah kaum yang memiliki otoritas itu bukan orang lain. Baik dalam menetapkan atau menafikan. Maka pendapat yang diterima adalah pendapat pemegang otoritas di kaum itu. ulama menyebut nasab ini sebagai “nasab yang ada perbedaan pendapat”. Mereka menyebut juga ”nasab sahih dari ahli nasab anu”. Ini adalah yakni bahwa nasab itu sahih menurut ahli nasab ini dan tidak sahih menurut ahli nasab yang lain. Yakni yang ditemukan adanya khilaf antar ahli nasab. dan engkau melihat bahwa mayoritas ucapan ahli nasab dalam mengambil dan menolak nasab di antara mereka adalah dalam nasab yang seperti ini. seperti ucapan mereka” fulan fi aqibihi khilaf” (fulan yang tentang ia berketurunan terjadi perbedaan pendapat); “Fulan Fiji nadzar” (fulan yang didalamnya ada catatan).”[10]

Perhatikan, nasab maqbul adalah nasab seseorang dari suatu kabilah yang pemegang otoritas dikabilah itu berbeda pendapat tentang dia. Sebagian menerima sebagaian menolak. Seperti seseorang yang mengaku keturuanan Sunan Gunung Jati (SGJ), lalu badan nasab SGJ di Banten menerima sedang badan nasab SGJ di Cirebon menolak. Maka kedudukan nasab ini disebut “nasab maqbul”. Jika yang menyatakan perbedaan pendapat itu terjadi antara badan nasab SGJ dan orang lain di luar keluarga SGJ maka yang harus diambil adalah pendapat keluarga SGJ.

Lalu apakah nasab Ba’alwi bisa disebut “nasab maqbul”? Tidak. Kenapa? Karena nasab Ba’alwi sama sekali tidak disebut oleh para ahli nasab sejak masa Ahmad bin Isa. tidak ada yang menerima dan tidak ada yang menolak. Kenapa tidak ada yang menolak, karena memang tidak ada. Lalu di abad ke-enam kitab Al-Syajarah al-Mubarakah menetapkan anaknya Cuma tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada nama Ubaid/Ubaidillah/Abdullah. Jika di masa Al-Syajarah al-Mubarakah ada ahli nasab yang menyebut nama Abdullah sebagai anak Ahmad maka baru bisa dikatakan itu “nasab maqbul” karena walaupun di kitab Al-Syajarah al-Mubarakah tidak ada nama Abdullah tetapi di kitab lain yang semasa ada.

القسم الرابع : النَّسب المردود . وهو النسب المكذوب ، والسلسلة الموضوعة ، والشجرة التي ليس لها أصل ، وهو نسبُ وَضَعَهُ كذوب ، وألصقه بقوم ، إلا أن القوم عملوا على إبطاله ، وأنكروه ولم يعرفوه ، ونفوه عن شجرتهم ولم يثبتوه . وهذا القسم الأخير هو المعني في رسالتنا هذه ، فالنسب الموضوع لا بد له من ثلاثة أركان ، نسبة موضوعة مكذوبة ، وواضع للنسبة كذوب ، وموضوع له أو عليه

Terjemah:

“Bagian keempat adalah nasab mardud. Yaitu nasab dusta, silsilah palsu, dan pohon nasab yang tidak punya asal. Ia adalah nasab yang diletakan oleh seorang pendusta, dan dicangkokan kepada sebuah kaum, akan tetapi kaum itu membatalkannya, mengingkarinya dan tidak mengenalnya dan menafikannya dalam syajarah mereka dan tidak menetapkannya. Dan bagian yang akhir ini adalah makna risalah kami ini. maka nasab palsu tidak terlepas dari tiga rukun: nisbat yang palsu dan dusta, pemalsu nasab yang pendusta, yang dipalsukan untuknya (yang mencangkok) atau atasnya (yang dicangkok).”[11]

Perhatikan: nasab mardud adalah nasab yang dusta, silsilah palsu, dan pohon nasab yang tidak punya asal. Inilah kedudukan nasab Ba’alwi. nasab mardud. Kenapa? Karena nasabnya dusta. Dari mana dustanya? Karena tidak ada ulama mencatat nasabnya sejak masa Ahmad bin Isa sampai mereka mengaku di abad ke-9 H. setelah 550 tahun. Di sisi lain yang dicatat di abad ke-6 H. anak Ahmad bin Isa tiga: Muhammad, Ali dan Husain, sedang mereka mengaku keturunan anak Ahmad bin Isa yang bernama Ubaid/Ubaidillah/Abdullah. Jelas itu nasab yang diciptakan tertolak oleh kitab nasab abad ke-6 H.

Jika Ba’alwi mengatakan: buktinya tidak ada keturunan Ahmad bin Isa sekarang yang menafikan mereka sebagai keturunan Ahmad bin Isa. sedangkan definisi nasab mardud kan adanya kabilah itu yang menafikan penyusup itu. jawab: keturunan Ahmad bin Isa yang ada sekarang tidak bisa diiktibar dalam menerima atau menolak nasab Ba’alwi, kenapa? karena jarak pengakuan Ba’alwi dan perpisahan nasab mereka terjadi di nama anak-anak Ahmad bin Isa yang sudah berjarak 1101 tahun sejak wafatnya Ahmad bin Isa sampai sekarang. dengan jarak yang sepanjang itu, maka sudah berkembang menjadi puluhan kabilah-kabilah dari kakek bersama Ahmad bin Isa. maka masing-masing kabilah hanya diiktibar ketika menafikan penyusp dalam kabilahnya masing-masing. Lalu yang diiktibar penafian siapa? Penafian berdasarkan kitab-kitab nasab masa Ahmad bin Isa atau masa yang paling dekat kitab itu dapat ditemukan. Kitab nasab yang paling dekat masanya dengan Ahmad bin Isa yang menyebut seluruh anaknya yang berketuruann adalah kitab Al-Syajarah al-Mubarakah di abad ke-6. Dan disitu leluhur Ba’alwi bernama Ubaid/Ubaidillah/Abdullah tidak disebutkan sebagai anak Ahmad bin Isa. maka nasab mereka adalah nasab mardud yang dapat diverifikasi kepalsuannya melalui kitab-kitab nasab kuno yang hari ini tersedia.

KAIDAH-KAIDAH ULAMA NASAB DALAM MEMBATALKAN NASAB BA’ALWI

Hanif dkk. membuat framing bahwa tesis penulis menabrak kaidah-kaidah para ahli nasab. mari kita uji nasab Ba’alwi dengan menggunakan kaidah-kaidah nasab dari para ahli nasab dalam kitab-kitab nasab mereka dengan kaidah-kaidah nasab berikut ini:

Kaidah ke-1

المصلحة فان ظهرت مصلحة عند المثبت او النافي يترك قوله غالبا، وقد يعمل بنقيض مصلحته في حالات مخصصة، ولا يؤخذ بقوله الا اذا وجد ما يعضده عند غيره ممن ليست لهم مصلحة ولم ينقلوا عن من له مصلحة”،

Terjemah:

“jika dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan (nasab) jelas ada kepentingan maka biasanya pendapatnya ditinggalkan. Kadang dalam hal-hal tertentu pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan dengan kepentingannya. Dan tidak dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan oleh ulama lainnya yang tidak berkepentingan. Para ulama nasab tidak mengutip dari orang yang punya kepentingan.”[12]

Dari kaidah ini kitab-kitab karya Ba’alwi seperti Al-Burqah al-Musyiqah, Al-jauhar al-Syafaf dsb. atau para muridnya pendapatnya tidak layak dijadikan hujjah karena di sana ada kepentingan.

Kaidah ke-2

وعندما نحقق النسب فان المصادر التى يمكن ان نستقي منها النسب يجب ان تكون من كتب الانساب القديمة التي كتبت فيما قبل العصر الحديث حيث كان الناس اقرب الى معرفة اصولهم

“Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita mengambil darinya, wajib berupa kitab-kitab nasab terdahulu yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka”[13]

Dari kaidah ini referensi yang harus digunakan oleh Ba’alwi dalam mempertahankan nasab adalah kitab-kitab nasab, bukan kitab sejarah atau tasawuf. sementara kitab nasab yang mencatat mereka baru pada abad ke-10 H. yang bertentangan isinya dengan kitab-kitab sebelumnya.

Kaidah ke-3

ولا يمكننا الحديث عن النسب القديم بناءاً على ما ورد في الكتب الحديثة المستندة إلى كلام غير منطقى أو على الذاكرة الشعبية فقط [14]

“Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja”

Dari kaidah ini hujjah-hujjah Ba’alwi untuk ubaid/ubaidillah/Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa dengan menggunakan kitab abad ke-10 sementara Ubaid hidup di abad ke 4 H. tertolak apalagi kitab itu bertentangan dengan kitab abad ke-6 H. Al-Syajarah al-Mubarakah.

Kaidah ke-4

ويختلف المرجع عن المصدر في ان المصدر اقرب زمان ومكان وبيئة الاحداث التي يرويها اما المرجع فهو مختلف عن المصدر في بعض او كل العناصر السابقة فيحتاج مؤلف المرجع الى مصادر ومواد اولية اخرى لانجاز بحثه ويترتب على ذلك ان المصدر يكون اجدر بالاعتبار في حالة التعارض مع المرجع مالم يحتو المرجع على تحليل دقيق يفند اوجه التعارض من خلال مصادر او مواد اولية اخرى

“Marji’ (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya. Adapun marji’ berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur sebelumnya. Maka penulis marji’ membutuhkan mashdar dan sumber lain yang primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik diiktibar apabila terjadi pertentangan dengan marji’, kecuali jika marji’ tersebut memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan primer lainnya”.[15]

Dari kaidah ini jelas, jika kitab nasab yang baru bertentangan isinya dengan kitab lama maka kitab lama yang diiktibar (dihitung sebagai hujjah).

Kaidah ke-5

ليس كل من كتب في الانساب حجة وليس كل ما كتب يصح الاحتجاج به

Terjemah:

“Tidak semua orang yang menulis nasab itu bisa dijadikan hujjah. Dan tidak semua yang ditulis sah untuk dijadikan hujjah”[16]

Dari kaidah ini, kitab-kitab ulama yang menyebut nasab Ba’alwi, jika kitab itu bukan kitab nasab, maka tidak bisa digunakan sebagai istbat nasab, karena kitab yang sah digunakan sebagai hujjah isbat nasab hanyalah kitab nasab.

Kaidah ke-6

وأعلم أن الخبر إذا كان يباين المعقول ويخالف المنقول ويناقض الأصول فهو منحول أي موضوع، والمنحول والموضوع لا يحتج بها .

Terjemah:

“Dan ketahuilah bahwa informasi jika bertentangan dengan logika dan referensi dan bertentangan dengan ushul maka ia informasi palsu yakni maudlu’. Informasi yang palsu dan maudlu’ tidak dapat dijadikan sebgai hujjah”[17]

Dari kaidah ini nasab Ba’alwi batal total, ia nasab manhul (palsu), karena ia bertentangan dengan logika: suatu nasab yang tidak disebutkan selama 550 tahun tiba-tiba muncul mengaku sebagai keturunan Nabi tanpa ada referensi kitab nasab sebelumnya dan bertentangan dengan manqul (kitab-kitab nasab).

Kaidah ke-7

وينبغي على باحث الأنساب أن لا يقدس النصوص، فكل نص عدا كلام الله وحديث رسوله صلى الله عليه واله، فهو يخضع للتحقيق والتدقيق وهو معرض للخطأ والصواب

Terjemah:

“Dan seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan didalami; ia bisa salah dan benar.”[18]

Dengan kaidah ini maka setiap ucapan ulama yang mengutip tentang nasab Ba’alwi dalam kitabnya seperti Ibnu Hajar Al-Haitami boleh kita teliti istidlalnya jika mereka menyampaikan dalil, atau jika tidak menyampaikan dalil maka kita tinggalkan jika bertentangan dengan kitab-kitab nasab. itulah cara ahli nasab meneliti nasab. bukan dengan memframing seseorang yang meneliti nasab sebagai orang yang merendahkan ulama.

Kaidah ke-8

ما من أحد إلا يؤخذ من علمه ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Tidak ada seorangpun keculai ilmunya dapat diterima atau ditolak kecuali Rasulullah SAW.”[19]

Dari kaidah ini penelitian nasab yang menguji istidlal kutipan ulama besarpun tidak bertentangan dengan syariat Islam bahkan dianjurkan.

Kaidah ke-9

لا يحتج بكثرة المصادر اذا كانت تنقل من اصل واحد

Terjemah:

“Banyaknya kitab-kitab referensi tidak bisa dijadikan hujjah jika diambil dari sumber yang satu.”[20]

Dari kaidah ini, banyaknya Hanif Alatas dkk. mengutip kitab-kitab yang mengitsbat Ba’alwi mulai dari abad ke-10 sampai sekarang tidak ada artinya jika semuanya mentok mengutip dari kitab Al-burqah al-Musyiqah karya Ali al-Sakran di abad sembilan Hijriyah.

Kaidah ke-10

اذا عرف الواضع وعرفت علة الوضع الجارحة انتفى الاستدلال

“Ketika sudah diketahui pemalsunya dan diketahui illat (alasan) pemalsuan yang mencela itu maka hilanglah istidlal (mencari dalil).”[21]

Dari kaidah ini ketika penulis mengetahui bahwa yang meletakan nasab Ba’alwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa adalah Ali al-Sakran dan mengetahui alasan dia meletakan itu yaitu karena ada kemiripan nama maka hilanglah kekuatan dalil dari nasab Ba’alwi itu. artinya nasab Ba’alwi itu ujug-ujug datang tanpa dalil sedikitpun.

Kaidah ke-11

ولا يقدم بحال على ما يثبته النسابة خصوصا ان كانوا اقرب زمانا او مكانا

“(Sejarawan) tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat masanya atau tempatnya” (Al-Kafi al- Muntakhab, h. 71).

Dari kaidah ini seluruh referensi Hanif dkk. yang seratus kitab itu tidak bisa digunakan sebagai dalil nasab Ba’alwi karena kitab-kitab itu hanya kitab sejarah, kitab tasawuf dan semacamnya. Kitab nasab yang bisa ditunjukan Hanif hanya Al-Nafhah di abad sembilan yang bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya.

Kaidah ke-12

لا يؤخذ هذ العلم الا من مصادره ومراجعه المعتمدة.

Terjemah:

“Ilmu ini (penetapan nasab) tidak bisa diambil kecuali dari sumber-sumber dan referensi-referensinya”[22]

Dari kaisah ini sama dengan kaidah sebelumnya bahwa kitab yang bisa dijadikan dalil hanyalah kitab-kitab nasab.

Kaidah ke-13

فالنسب يثبت اذا وجد في رقعة او كتاب بشرط ان يكون هذا المكتوب قطعي الدلالة على المقصود وليس من المؤتلف اي متشابه الاسماء

Terjemah:

“Maka nasab bisa dikatakan diitsbat jika ditemukan dalam catatan atau kitab dengan syarat apa yang tertulis itu petunjukya jelas untuk tujuan (mengitsbat nasab) dan bukan termasuk nama yang mirip.”[23]

Dari kaidah ini nama Abdullah yang terdapat dalam Al-Suluk (732 H.) yang pada abad ke-9 H. diijtihadi oleh Ba’alwi sebagai sama dengan nama Ubaid adalah tidak bisa diterima. Karena itsbat nasab yang diambil dari satu kitab harus bersifat qathiyy memeiliki kesamaan nama bukan hanya mirip saja.

Kaidah ke-14

وَكَأَنَّا إذَا قُلْنَا: يَا شَرِيفُ أَوْ جَاءَ الشَّرِيفُ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مُوَافِقًا الشَّرِيفَ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، فَإِذَا رَأَيْنَا مَكْتُوبًا لَيْسَ مَقْصُودُهُ إثْبَاتَ النَّسَبِ لَمْ نَحْمِلْهُ عَلَى إثْبَاتِ النَّسَبِ وَلَا يَجُوزُ التَّعَلُّقُ بِهِ فِي إثْبَاتِهِ إذَا كَانَ الْمَقْصُودُ مِنْهُ غَيْرَهُ

Terjemah:

“Dan semacam jika kita mengatakan’Hai Syarif’ atau ‘Telah datang seorang Syarif’ dan semacamnya sesuai dengan apa yang kami sebutkan, maka jika kita melihat tertulis tulisan yang maksudnya bukan mengitsbat nasab maka kita tidak boleh membawanya kepada itsbat nasab dan tidak boleh kita bergantung kepadanya dalam menetapkan nasab ketika maksud tulisan itu bukan penetapan nasab.”[24]

Dari kaidah ini kita memahami bahwa sebutan sayyid atau syarif dalam suatu kitab tidak termasuk itsbat nasab, seperti ketika K.H. hasyim Asy’ari menyebut Sayyid kepada seorang Ba’alwi itu tidak bisa disebut ia telah mengitsbat Ba’alwi tersebut.

Catatan Kaki

[1] Hanif Alatas dkk…h.133
[2] Husain bin Haidar…h.101
[3] Khalil bin Ibrahim…78
[4] Al-jaizani…77
[5] Khalil Ibrahim…h.189
[6] Hanif dkk. ..H.165
[7] Hanif….h.167
[8] Husain bin Haidar…h. 98
[9] Husain bin haidar…h. 99
[10] Husain bin Haidar…h.99
[11] Husain bin Haidar….h.99-100
[12] Abdul Majid al-Qaraja, Al-Kafi al-Muntkhab, 49
[13] Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani ,Ushulu ‘Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al-Ansab ,h. 76-77
[14] Ibid, h. 77
[15] Imad Muhammad al-Atiqi, Dalil Insya’I wa Tahqiqi Salasili al Ansab h. 58.
[16] Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi ‘Ilm al-Ansab, h. 83
[17] Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi ‘Ilm al-Ansab, h. 88
[18] Khalil bin Ibrahim, h. 85
[19] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Al-Maktabah al-Syamilah, 1/78
[20] Khalil Ibrahim…h.85
[21] Khalil bin Ibrahim….h. 85
[22] Khalil Ibrahim…86
[23] Khalil bin Ibrahim…h. 58
[24] Imam Subki, Fatawa Subki, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz-2 h. 461

Kembali ke Atas