Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

     

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Data Nasab Habib Baalwi Mentok di Abad 9: Tanggapan Kyai Imaduddin atas Jawaban Rabithah Alawiyah

Data Nasab Habib Baalwi Mentok di Abad 9

Judul asal: Buku Jawaban Rabitah Alwiyyah Dan Pembela Nasab Ba’alwi Lainnya Mentok Di Abad Sembilan Hijriyah (Kini Baklawi Fokus Membuat Iklan)

Penulis: KH Imaduddin Utsman Al Bantani

Nabawi TV membuat iklan-iklan pembelaan nasab Ba’alwi yang telah terbukti palsu. Memang, setelah mereka angkat tangan tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis tentang dalil-dalil nasab mereka, yang dilakukan mereka sekarang, nampaknya, hanyalah memproduki video iklan-iklan pendek bahwa mereka masih cucu Nabi.

Daftar isi

  1. Kesalahan KH Fahrur Rozi dalam Membela Nasab Baalawi
  2. Pembelaan Kurtubi Lebak atas Nasab Baalwi
  3. Betulkah al-Sakhawi mengitsbat Nasab Baalwi? Tanggapan Kyai Imaduddin
  4. Tanggapan Kyai Imad atas Itsbat Yusuf an-Nabhani pada Nasab Baalwi
  5. Ini Makalah Kyai Imaduddin yg akan Disampaikan di UIN Jakarta bersama Prof. Dr. Said Agil Al-Munawar
  6. Nasab Ba’Alwi dalam Pandangan Ibnu Hajar al-Haitami
  7. Apakah Kitab Al-Raud al-Jali karya Al-Zabidi Dapat Dipercaya? Respons Kyai Imad pada Kyai Afifuddin
  8. Mengapa Asumsi Walisongo Keturunan Baalwi itu Tidak Benar
  9. Surat Kyai Imaduddin kepada Habib Taufik Segaf (Ketua RA)
  10. Respons KH Imaduddin Utsman pada Gus Najih Maimun
  11. Isbat Baalwi oleh Mahdi Rojai, Tanggapan Kyai Imaduddin
  12. Tanggapan atas Sanggahan Habib dari Oman
  13. Pakar DNA Yaman: Habib bukun cucu Nabi
  14. Tanggapan Kyai Imaduddin atas Habib Muhdor Jember
  15. Pemalsuan sejarah Yaman: kesaksian seorang ulama Yaman

Tiga Buku Kyai Imaduddin soal Nasab

Selain memproduksi iklan-iklan, hal yang di lakukan pendukung Ba’alwi adalah bikin meme-meme penghinaan kepada ulama-ulama yang membatalkan nasab mereka. Mereka juga menciptakan sosok fiktif yang diberi gelar doktor untuk membuat narasi di Facebook. Seperti sosok fiktif Doktor Hanifah yang setiap hari memproduksi narasi pembelaan nasab Ba’alwi. lalu, narasi sosok fiktif Doktor Hanifah itu diangkat ke akun Youtube anonym, seperti akun “Raudhoh Channel”. Ulama Ba’alwi memang sejak dulu pandai membuat sosok fiktif lalu dikesankan ia seperti sosok non fiksi. Kenapa mereka sampai nekat membuat tokoh fiktif di facebook seperti Doktor Hanifah? Karena hal itu lebih aman, sosok fiktif tidak bisa ditantang debat. Ia bisa menarasikan apapun lalu selesai. Tidak bisa dihubungi dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.

Hal lain yang dilakukan Ba’alwi adalah “show of power” (menunjukan masih banyak pengikut) seperti yang dilakukan Riziq Syihab dengan berziarah ke Banten. Menurut panitia ziarah, Kurtubi Lebak, ziarah itu diikuti sedikitnya dari empat provinsi, lampung, Jabar, DKI dan Banten dan sekitarnya, lalu bertakbir mengatakan nasab mereka sahih. Nasab putus tidak bisa disambung dengan mengumpulkan masa. Haplo G tidak bisa berubah menjadi J1 dengan berteriak-teriak.

Cara lain yang dilakukan Ba’alwi adalah dengan mendatangi para ulama yang mempunyai nama di pentas dunia, tentunya yang memiliki kedekatan dengan Ba’alwi. seperti mendatangi Syekh Mahdi Roja’I dari kaum Syi’ah, Syekh Ali Jum’ah sahabat Syaikh Umar bin Hafidz, dan Syaikh Ibrahim Mansur al Amir. Yang terakhir ini, Syekh Ibrahim bin Mansur, nasabnya telah dibatalkan oleh Asyraf di Timur Tengah.

Dengan iklan-iklan nasab itu, mereka berusaha bagaimana supaya para mukibin (pendukung nasab Ba’alwi), masih tetap mau percaya bahwa mereka adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. mungkin, mereka menganggap, para mukibin itu manusia-manusia yang lugu. Nalar kritis mereka tumpul. Oleh karena itu, iklan-iklan semacam itu harus massif dilakukan, agar para mukibin tidak memperhatikan dalil-dalil kebenaran yang disuguhkan para ulama yang membatalkan nasab Ba’alwi.

Seperti Iklan yang diperankan oleh dua orang pemain yang kelihatan seperti dari klan Ba’alwi. sedangkan Pemeran pembantu dalam iklan cucu Nabi itu, adalah seseorang pribumi yang bernama Wafi yang berperan sebagai Gus Wafi, sebagai pemberi dalil. Dalam iklan itu ditampilkan scenario seorang bernama Ading menggerutu : “Kenapa sih isu nasab gak ada yang jawabin, liar ke mana-mana gak ada yang respon”. Kemudian temannya menjawab: “Kata siapa, Ding. Justru Rabitah udah terbitin buku ini sejak Maret 2023, luh bisa download di Rabitah Alwiyyah.org. Bahkan, di Nabawi TV udah ada penjelasan tentang tes DNA 14 menit, lu bisa juga tonton di situ itu udah dari lama. Bahkan bukan Cuma rabitah loh yang ngasih penjelasan..”, siapa lagi, Sa?” lalu Isa menjawab “nih”, “sregggg” lalu muncullah tokoh peran Gus Wafi seperti jin yang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Lalu mereka membuat narasi iklan untuk mukibin.

Demikian iklan Ba’alwi untuk para mukibin. Menarik bukan? Tokoh peran orang pribumi itu, di dunia medsos sering bernarasi membela nasab Ba’alwi. Namun, penulis tidak pernah menanggapinya, kecuali ketika diskusi di Banten yang diselenggarakan para kuncen makam Sultan Banten. Kenapa penulis tidak pernah menanggapi? Karena kajian nasab dan sejarah memerlukan tingkat logika akademis yang kuat. Ia memerlukan konsep metodologis dari sebuah riset. Ia juga memerlukan ekosistem kritis dalam perjalanan ilmiyah seseorang yang menelitinya. Sosok Pribumi yang dimaksud tidak memiliki sarat itu, basis pendidikan akademisnya dalam kesarjanaan modern tidak diketahui. Tentu, itu akan menjadi penghambat bagaimana ia mampu menganulir dogma mitologis yang telah berasas kuat dalam batinnya.

Tetapi, untuk iklan di Nabawi TV ini berbeda. Penulis menganggapnya ini adalah hanya iklan yang skenarionya di tulis oleh akademisi. Pemeran-pemeran iklan itu hanya bintang iklan yang mengikuti scenario. Oleh karena itu iklan itu akan penulis tanggapi. esensi iklan itu akan kita uji. Apakah ia mengiklankan sesuatu yang benar, logis dan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak?

Dalam iklan itu dikatakan, bahwa sudah banyak yang menjawab tesis penulis dan para ulama lain yang membatalkan nasab Ba’alwi. dalam iklan itu disebutkan beberapa buku diantaranya buku Jawaban Rabitah Alawiyyah, Buku Hanif Alatas, Buku Gus Najih, Buku Sidogiri. Mari kita “rujak” buku Rabitah Alwiyah. Buku lain sudah penulis jawab dalam tulisan-tulisan sebelumya, kecuali buku Sidogiri, penulis belum membacanya, tetapi dari judulnya, nampaknya itu tidak berbicara tentang nasab.

Buku Rabitah Alwiyyah ini berjudul “Risalah Tentang Ahlul Bait dan Nasab Ba’alwi”. Buku ini ditulis 20 April 2023. Sudah lama memang. Kenapa tidak penulis jawab? Karena isi buku itu, penulisnya berbicara sendiri tidak menjawab apapun tesis penulis. Ia menulis seperti dalam keadaan normal dan yang membaca hanya para mukibin. Padahal nasib nasab mereka sudah jatuh ke jurang takdir yang tidak dapat dihindari lagi, yaitu bahwa nasab mereka adalah “nasabun batilun maudu’un mardudun munqati’un” (nasab yang batil, palsu, tertolak dan terputus). Isi buku dari Rabitah itu sama sekali tidak belum bisa menjawab 12 pertanyaan penulis.

Buku itu terdiri dari tujuh bab. Bab pertama tentang “Bersambungnya keturunan Rasululah sampai hari kiamat”. Tentu, bab ini kita sepakat, bahwa keturunan Nabi akan senatiasa ada sampai hari kiamat, tapi tentu yang nasabnya asli, bukan nasab palsu seperti Ba’alwi. Nasab palsu hanya akan mencoreng keturunan Nabi yang asli, karena jelas perangai, akhlak dan sopan-santun sebuah gen leluhur itu tetap akan mempengaruhi seorang manusia, sedikit atau banyak. Tentu, individu yang berasal dari suatu gen leluhur tertentu, akan mudah terbawa sifat genetic leluhurnya itu. Jika kita membiarkan orang-orang yang bukan keturunan Nabi mengaku-ngaku keturunan Nabi, maka suatu saat sifat asli genetic itu akan muncul di suatu generasi dan akan mempermalukan Kangjeng Nabi Muhammad SAW.

Bab kedua tentang keutamaan Ahli Bait. Memang lucu, bagaimana nasab palsu mereka kemudian dijawab dengan dalil-dalil tentang Ahli Bait. Untuk keturunan Nabi yang nasab nya sahih saja, definisi Ahli Bait yang “ashah” (paling sahih) tidak mencakup mereka, apalagi nasab palsu seperti Ba’alwi.

Bab ketiga tentang “ Sikap seorang ahli bait”. Dalam bab ini, penulis buku tersebut menasihati para Ahli Bait untuk bersikap seperti dalam point-point berikutnya. Ahli bait yang dimaksud oleh buku ini adalah para Ba’alwi yang hidup sekarang. Salah punuk. Ba’alwi itu bukan keturunan Nabi, apalagi Ahli Bait. Lalu buat apa buku ini menasihati para Ba’alwi untuk bersikap sebagai Ahli Bait? Mereka, Ba’alwi, bukan ahli bait, bukan keturunan Nabi, hanya orang-orang yang mengaku keturunan Nabi. Titik. Tida ada koma.

Bab keempat menerangkan tentang “Sekilas tentang Imam Ahmad bin Isa al Muhajir”. Dari judulnya saja sudah menyalahi kitab nasab para ulama nasab muktabar. Menyematkan gelar “al-muhajir” untuk Ahmad bin Isa itu sudah “qalil adab” (kurang sopan) kepada keturunan Nabi asli. Ahmad bin Isa tidak mempunyai gelar “al-Muhajir” dalam kitab-kitab nasab yang ditemukan paling dekat tahunnya dengan kehidupan Ahmad bin Isa. Gelarnya adalah “al-Abah” dan atau “al-Naffat”, tidak ada gelar “al-Muhajir.” Jangan berani-berani memberi gelar keturunan Nabi asli seperti Ahmad bin Isa dengan gelar yang tidak ia inginkan atau yang tidak dikenal para ulama, nanti bisa kwalat!

Bab kelima tentang “Imam Ubaidillah bin Ahmad al Muhajir “. Dari mana nama ”Imam” bisa disematkan untuk Ubaidillah? Mana kitab abad ke empat atau yang paling dekat dengannya yang menyebut dia sebagai “imam”? Tidak ada. jangan bikin-bikin sejarah sendiri. Lalu pula, ia disebut sebagai anak Ahmad bin Isa, mana dalilnya? Kitabnya apa?, halaman berapa? Tidak ada.

Dalam buku ini Rabitah behujjah secara dominan bukan dengan kitab-kitab, tetapi hanya dengan narasi-narasi saja, seperti dengan alasan bahwa walaupun nama Ubaidillah tidak disebutkan oleh kitab-kitab nasab dari abad 4-9 hijriah sebagai anak Ahmad, tetapi tidak ada satu ulamapun yang mengingkarinya (h.85).

Ini pernyataan “ora mudeng”. Bagaimana ubaidillah diingkari ulama abad keempat sampai kesembilan Hijriah, jika namanyanya saja baru dimunculkan Ali al Sakran abad ke 9 H. Ia tidak diingkari karena namanya sama sekali belum disusupkan sebagai anak Ahmad bin Isa selama 550 tahun.

Alasan lain rabitah, kenapa kitab-kitab nasab tidak mencatat Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa, adalah karena kitab-kitab itu, katanya, tidak dikarang dengan maksud “ihathah” (mencakup keseluruhan) dalam mencatat (h.85).

Pernyataan tersebut aneh. Karena memang Jarang ada kitab yang dikarang dengan maksud ihathah dalam mencatat nasab-nasab. Tetapi tidak mungkin orang yang anaknya empat kemudian ditulis tiga dengan alasan tidak ihathah. Tidak ihathah itu misalnya begini: seorang dari keturunan Muhammad bin Ahmad bin Isa menulis kitab nasab untuk mencatat seluruh keluarganya. Lalu ia menulis dari Nabi Muhammad SAW mempunyai anak Hasan dan Husain, lalu ketika menceritakan anaknya Hasan ia cukupkan sampai anaknya Hasan saja tidak kecucunya dan seterusnya, karena tujuannya adalah akan mencatat keturunan Muhammad bin Ahmad bin Isa yang merupakan jalur Husain. Jalur Husain ia catat dengan lengkap sampai Isa bin Muhammad an-Naqib, ayahnya Ahmad bin Isa, karena itu yang menjadi tujuannya. Ketika menjelaskan anaknya Isa bin Muhammad an-Naqib ia catat semua anaknya termasuk Ahmad bin Isa, tetapi hanya dicatat anaknya Isa saja tidak sampai kecucunya. Ketika mencatat Ahmad bin Isa, baru disebutkan semua anaknya dan cucunya. Demikianlah contoh bagaimana sebuah kitab nasab ditulis . Jadi sekali lagi, anak Ahmad bin Isa dicatat Cuma tiga itu dengan alasan kitab itu ditulis “tidak ihatah”, dan sebenarnya anaknya empat, tidak dapat diterima.

Alasan lain kenapa nama Ubaid tidak dicatat sebagai anak Ahmad bin Isa karena alasan bahwa Ubaid ini hidup jauh dari keramaian (h.85). Ini juga alasan yang tidak dapat diterima. Bagaimana anak lain yang berjumlah tiga ditulis, kemudian satu anaknya yang bernama Ubaid tidak ditulis. Imam Fakhrurazi mendapatkan data bahwa anak Ahmad bin Isa tiga itu dari mana? Tentu dari informan yang merupakan keturunan Ahmad bin Isa yang ia temui di Roy, kampunya sendiri dan kampung keturunan Ahmad bin Isa, di abad ke 6 Hijriah. lalu kenapa tiga anaknya ditulis lalu Ubaid tidak ditulis? Jawabannya Cuma satu, karena memang Ubaid ini bukan anak Ahmad bin Isa.

Rabitah juga berupaya meragukan kitab Al Syajarah al Mubarokah (h.87). Mengenai hal itu, sudah penulis jawab dalam banyak kesempatan, bahwa kitab Al Syajarah al Mubarokah jelas karya Imam Al Fakhrurazi, manuskripnya jelas ada di perpustakaan Sultan Ahmad III di Turki, nomor katalog manukripnya jelas yaitu 2677, tahun penulisannya disebutkan yaitu tahun 825 H, penulis naskahnya jelas namanya Wahid bin Syamsuddin, pengarangnya disebutkan yaitu Imam al Fakhrurazi, pentahqiqnya Jelas Mahdi al Roja’i, dan penerbitnya jelas yaitu Al-Mar’asyi. Lalu apa lagi? Kitab Al Syajarah al Mubarakah jelas kitab yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan kitab bodong karya dan andalan Ba’alwi seperti “Tarikh Syanbal” dan “Al Raud al Jali.”

Lalu Rabitah juga beralasan, kitab Al Syajarah al Mubarakah diragukan sebagai karya Imam al Fakhrurazi, karena ia adalah seorang Sunni, sedangkan kitab itu terindikasi Syiah, karena penulisnya menyebut Imam Mahdi dengan istilah “Sahibuzzaman” dan disematkan do’a “ajjalallahu farajah” (semoga Allah menyegerakan keluarnya Imam Mahdi) (h. 88).

Penulis menjawab, walaupun Imam Fakhruddin al Razi seorang Sunni, nampaknya dalam masalah Imam Mahdi, ia lebih cenderung kepada pendapat kaum Syi’ah. Kenapa penulis berkata demikian, lihat di dalam kitabnya yang lain, yaitu kitab “Al Mathalib al Aliyyah” juz delapan halaman 106 ia menyebut Imam Mahdi dengan sebutan yang sama dengan yang ada dalam kitab Al Syajarah al Mubarakah yaitu “Sahibuzzaman” (yang punya zaman) dan ia pun menyebutkan bahwa Imam Mahdi itu “gaib” (sudah lahir tetapi menghilang), sedangkan dalam tradisi teologi Sunni, Imam Mahdi belum lahir. Jadi kesimpulannya, apa yang dipermasalahkan oleh Rabitah tentang Imam Mahdi dalam kitab Al Syajarah al Mubarakah itu, justru menguatkan bahwa kitab itu benar-benar karya Imam Fakhruddin al Razi, karena narasi yang sama tentang Imam Mahdi itu, terdapat dalam kitab Imam Fakhruddin al Razi yang lain yaitu kitab “Al Mathalib al ‘Aliyah”.

Rabitah juga menyatakan tidak disebut nama Ubaid dalam “Al Syajarah al Mubarakah” itu tidak menggugurkan nama Ubaid, karena kemudian ia disebut oleh kitab abad sepuluh Hijriah. Di dalam kitab Al Syajarah juga ada nama anak Muhammad bin Ali al Uraidi disebut anaknya tujuh, padahal pada abad kelima, di dalam kitab “Tahdzib al Ansab”, anaknya disebut hanya lima. Berarti adanya penambahan di kitab abad selanjutnya itu biasa terjadi (lihat h. 89).

Beda, Bos. Kalau Ubaid itu jelas tertolak. Kenapa karena kitab Al Syajarah al Mubarakah menggunakan jumlah ismiyyah yang menunjukan makna “hasr” (hanya), menyebut anaknya Cuma tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Lalu di abad sembilan kitab “Al Nafhah al Anbariyah” (880 H.) menambah satu yaitu Abdullah. Lalu Ali al Sakran (w. 895 H.) mengatakan bahwa Abdullah itu sama dengan Ubaid. Jadi Ubaid menjadi anak Ahmad itu melalui tiga hambatan yang tidak memungkinkan ia menjadi anak Ahmad, pertama Ubaid menjadi Ubaidillah dengan asumsi, kedua Ubaidillah menjadi Abdullah dengan asumsi pula, ketiga Abdullahnya tertolak menjadi anak Ahmad karena kitab Al Syajarah di abad 6 telah membaatasi bahwa anaknya Cuma tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Nama Abdullah baru muncul di kitab nasab setelah 535 tahun. Nama Ubaid baru muncul dikitab sejarah setelah 550 tahun dan baru muncul di kitab nasab yaitu “Tuhfatuttalib” ) 996 H.) setelah 651 tahun.

Sedangkan yang dicontohkan Rabitah itu, katanya dalam Tahdzibul Ansab (436 H.) abad kelima anaknya Muhammad bin Ali al Uraidi disebut lima tetapi kenapa dalam kitab Al Syajarah al Mubarakah (597 H.) disebut tujuh. Begini, kitab Al Syajrah al Mubarakah tidak sendirian dalam menyebut anak Muhammad bin Ali al Uraidi berjumlah lebih dari lima. Karena kitab “Al Majdi” (490 H.) di abad ke lima menyebut anak Muhammad juga lebih dari lima, yaitu sembilan (Lihat al Majdi h. 334) . Jadi apa yang disebut Al Syajarah al Mubarakah di abad 6, bahwa anak Muhammad bin Ali al Uraidi itu tujuh mempunyai referensi berupa kitab yang semasa dengan yang menyebut lima. Sedangkan penambahan Abdullah itu tidak ada yang menyebutnya di abad enam atau sebelumnya. Ia muncul tiba-tiba di kitab nasab setelah 535 tahun.

Rabitah mengatakan: “para ahli nasab tidak mempermasalahkan tidak ditulisnya salah satu dari nama keturunan seseorang dalam suatu kitab nasab selama ada bukti-bukti lain yang menunjukan orang itu ada” (h.90).

Kalimat itu betul, jika disuatu kitab tidak ditulis, misal kitab Tahdzibul Ansab abad lima, ketika ia menyebut nama-nama anak Muhammad bin Ali al Uraidi tidak menyebut nama Musa sebagai anak Muhammad, tetapi nama Musa ini muncul dalam kitab Al Sayajarah al Mubarokah abad keenam, apakah nama Musa yang terdapat dalam kitab Al Syajarah al Mubarokah ini kita hukumi susupan? Tidak. Karena ada bukti lain bahwa Musa ini adalah anak Muhammad yaitu dalam kitab abad kelima lainnya yaitu kitab Al Majdi. Dalam kitab Al Majdi itu, nama Musa disebut sebagai anak Muhammad. (lihat al majdi h. 334). Tetapi Ubaidillah yang disebut kitab Tuhfatuttalib abad ke-10 sebagai anak Ahmad bin Isa, tidak punya bukti apapun di abad ke enam yang semasa dengan kitab Al Syajarah al Mubarakah.

Rabitah Alwiyah juga menyebutkan ada lima cara menetapkan nasab: pertama “Syuhroh walistifadoh”. Kedua kitab-kitab nasab. Ketiga kesaksian dua orang saksi; keempat I’tiraf (pengakuan satu generasi kepada seseorang atau suatu kabilah sebagai anggotanya; kelima iqrar (pengakuan seorang ayah kepada anaknya) (h.91).

Nampaknya, Rabitah mengambil metode penetapan nasab itu dari kitab “Rasa’il fi ‘Ilm al Ansab” karya Sayyid Husain bin Haidar al Hasyimi halaman 101-105. Baik, pertama metode “syuhroh wal istifadoh” yaitu seseorang sudah popular sebagai anak seseorang, maka kita boleh bersaksi bahwa ia adalah anak seseorang tersebut. Tetapi lihat keterangan selanjutnya di halaman 101 terdapat kalimat “ma’a ‘adamil mu’arid” (disertai tidak adanya keterangan yang menentang), sedangkan Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa itu telah ada keterangan yang menentang, yaitu adanya keterangan dalam kitab “Al Syajarah al Mubarakah” bahwa anaknya hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada anaknya bernama Ubaid, Ubaidillah atau Abdullah. Maka metode “syuhrah walistifadoh” untuk menetapkan Ubaid sebagai anak Ahmad itu tertolak, tidak dapat digunakan.

Yang kedua, metode kitab nasab. kitab nasab yang dimaksud dalam kitab Rasa’il itu bukan berarti jika ada kitab nasab abad 15 Hijriah, karya Mahdi Roj’ai misalnya, mencantumkan nama Ubaid sebagai anak Ahmad sudah bisa langsung diterima. Tidak begitu. Tapi harus disyaratkan “an la takuna mukhalifatan lil ushul” (tidak bertentangan dengan kitab-kitab asal/kitab sebelumnya), lihat dalam kitab “Al Muqaddimah fi ‘Ilmil Ansab” halaman 58, ketika menerangkan tentang syarat kitab yang bisa dijadikan pegangan dalam istbat nasab. Sedangkan, apa yang disebut Mahdi Rojai itu “mukhalifatan lil Ushul” (bertentangan dengan kitab-kitab asal), karena kitab “Al Syajarah al Mubarakah” di abad 6 Hijriah telah membatasi anak Ahmad tidak ada yang bernama Ubaid.

Dalam berpedoman dengan kitab juga disyaratkan harus “an la takuna zhoniyyaddilalah ‘alal maqsud” (kitab itu tidak boleh mempunyai petunjuk yang hanya dugaan, tetapi harus qoth’iy untuk tujuan mengitsbat nasab). Nama Ubaid disebut turunan Ahmad bin Isa itu ditetapkan dengan dzon saja, maka tidak dapat diterima. Pertama kali nama Ubaid disebut anak Ahmad oleh Ali bin Abubakar al Sakran hanya dengan “zhonniyyudilalah” (dalil dzonniy/petunjuk yang hanya berupa dugaan), dan Ali al Sakran mengakui itu. perhatikan kalimat Ali al Sakran:

وهكذا هو هنا عبيد المعروف عند اهل حضرموت والمسطر في كتبهم والمتداول في سلسلة نسبهم ونسبتهم انه عبيد بن احمد بن عيسى. وقد فهمت مما تقدم اولا منقولا من تاريخ الجندي وتلخيص العواجي وسبق به الكلام في ترجمة الامام ابي الحسن عَليّ بن مُحَمَّد ابْن أَحْمد جدِيد انه عبد الله بن احمد بن عيسى حيث قال: مِنْهُم ابو الْحسن عَليّ بن مُحَمَّد ابْن أَحْمد بن حَدِيد بن عَليّ بن مُحَمَّد بن حَدِيد بن عبد الله بن أَحْمد بن عِيسَى بن مُحَمَّد بن عَليّ ابْن جَعْفَر الصَّادِق بن مُحَمَّد الباقر بن عَليّ بن زين العابدين بن الْحُسَيْن بن عَليّ ابْن ابي طَالب كرم الله وَجهه وَيعرف بالشريف ابي الْحَدِيد عِنْد أهل الْيمن اصله من حَضرمَوْت من اشراف هُنَالك يعْرفُونَ بَال ابي علوي بَيت صَلَاح وَعبادَة على طَرِيق التصوف انتهى.

“Dan demikianlah, ia disini (bernama) Ubaid, yang dikenal penduduk Hadramaut, dan ditulis dalam kitab-kitab mereka dan berkesinambungan dalam sislsilah nasab mereka. Dan penisbatan mereka adalah: Ubaid bin Ahmad bin Isa. Dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat, untuk pertama kali, berdasar apa yang terdapat dari Tarikh al-Janadi (kitab al-Suluk) dan kitab Talkhis al-Awaji, dan telah disebutkan pembicaraan tentangnya, dalam menerangkan biografi sosok al-Imam Abu al Hasan, Ali bin Muhammad bin Ahmad Jadid, bahwa Ubaid itu adalah Abdullah bin Ahmad bin Isa. (yaitu) ketika ia (al-Janadi) berkata: sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad bin Jadid (Hadid, dua riwayat manuskrip) bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarikat tasawwuf” (Al Burqoh al Musyiqoh: h. 150-151).

Perhatikan kalimat “waqad fahimtu mimma taqoddama” (dan aku memahami dari yang telah lewat itu), dilanjut kalimat “annahu Abdullah bin Ahmad bin Isa” (bahwa Ubaid itu adalah (orang yang sama dengan) Abdullah bin Ahmad bin Isa berdasar kutipan kitab sejarah karya al-Janadi. Dari situ diketahui, bahwa yang dicatat sebelum itu namanya Ubaid, lalu ketika Ali al-Sakran membaca kitab al-Janadi maka ia memahami (menyimpulkan) bahwa Ubaid ini adalah Abdullah. Itu namanya “Dzaniyyaddilalah” (dalil dzonni) . dari sana, kita katakana bahwa kitab Al Burqoh tidak bisa dipercaya ketika menyambungkan nama Ubaid sebagai anak Ahmad. Kitab-kitab setelah Al Burqoh sepertiTuhfat al Thalib karya Al Samarqandi (w. 996 H.) dan “Al Mu’qibun” karya Mahdi al Raojai (masih hidup) otomatis semuanya tertolak.

Rabitah mengakui Ubaid tidak disebut sebagai akan Ahmad pada abad ke-5, alasan Rabitah banyak kitab nasab yang sudah hilang. Tetapi kata Rabitah, ada kitab Al raud al Jaliy abad 13 hijriah yang kemudian mengkonfirmasi bahwa Ubaid sebagai anak Ahmad. Penulis katakan kitab “Al Raud al Jaliy” itu kitab palsu. Ia dicetak berdasarkan manuskrip palsu tulisan Hasan Muhammad Qasim (1394 H.), baru wafat 50 tahun yang lalu, yang kemudian di atribusikan sebagai karya Syaikh Murtadla al Zabidi.

Rabitah juga mencatat banyaknya kitab yang menulis tentang bahwa Ubaid atau Ubaidillah atau Abdullah dicatat sebagai anak Ahmad bin Isa. Betul banyak, namun, kitab-kitab itu tidak bisa diterima karena kebanyakan adalah kitab setelah abad ke 9 hijriah, abad di mana Ali al Sakran baru mengaku sebagai keturunan Nabi dengan mengijtihadi bahwa nama Abdullah yang ada dalam kitab Al Suluk (732 H.) adalah nama yang sama dengan Ubaid, leluhurnya. Sedangkan, kitab-kitab sebelum abad sembilan seperti kitab “Al Athaya al Saniyah” karya Abbas al rasuli (w. 778 H.) itu berbicara tentang keluarga Jadid, bukan bicara tentang keluarga Ali al Sakran. Jadid itu bukan sebagai kakak dari Alwi sebagaimana pengakuan Ali al Sakran. Tidak ada satu kitab pun di abad 5-8 Hijriah yang mengatakan bahwa Jadid yang ditulis Al Suluk itu sebagai kakak atau adik dari Alwi bin Ubaid.

Rabitah pula dalam buku itu menyatakan bahwa tes DNA tidak mempunyai keakuratan untuk memastikan nasab yang jauh. Ini berbeda dengan para pakar DNA dan biologi yang menyatakan bahwa Y-DNA dapat memastikan nasab jalur laki sampai Nabi Adam. Dan sudah dapat ditemukan bahwa Haplogroup orang Arab adalah berkode J1, sebagaimana disebut dalam kitab ilmu nasab “Muqaddimah fi ‘Ilmil Ansab” karya Khalil bin Ibrahim (h. 190 ). Dalam kitab tersebut pula dikatakan bahwa Y-DNA dapat membongkar kepalsuan orang-orang yang mengaku keturunan Nabi Muhammad SAW, padahal dia sebenarnya keturunan orang Persia dan Kaukasus (h. 180). Sudah ratusan kaum Ba’alwi yang melakukan tes Y-DNA dan hasilnya Haplogroup mereka G, itu menunjukan mereka bukan hanya bukan keturunan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga mereka bukan keturunan Arab.

Kesimpulan dari buku Rabitah itu adalah, bahwa Rabitah Alwiyah sebagai lembaga resmi pencatat keluarga Ba’alwi tidak bisa membuktikan dirinya sahih sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Tidak ada dalil dan data yang “mufhim” (mampu menjawab) yang dapat Rabitah tunjukan. Dari sana seyogyanya Rabitah Alwiyah untuk menyadari, bahwa mereka bukanlah keturunan Baginda Nabi Muhammad SAW.

Sumber

Kembali ke Atas