Hukum Percaya Ramalan dalam Islam
Hukum Percaya Ramalan dalam Islam
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
Mohon bantuannya.
Saat masih mempraktekkan hal yang sempat saya pikir tersebut, saya pernah berpikir bisa dan mempraktikkan praktek memprediksi masa depan dengan membaca vektor kejadian yang sedang terjadi dengan cara ‘gaib’. Saya tidak mengatakan mengetahui masa depan, karena yakin dan menyatakan hanya Allah yang mengetahui masa depan.
Saya tahu praktik saya hanya akibat khayalan, dan saya tidak meramal. Apakah hal tersebut termasuk kemurtadan?
JAWABAN
Tidak. Sebagian ulama klasik bahkan menulis kitab yang isinya ramalan hari baik, dll. Yang terpenting dalam soal ini adalah tetap meyakini bahwa yang menentukan adalah Allah, maka tidak masalah. Sama dengan kita berobat ke dokter, tetap meyakini bahwa penyembuhnya adalah Allah. Dalam kitab Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad (Hamisy Bughyatul Mustarsyidin), hal. 206, dijelaskan:
إذا سأل رجل آخر: هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة؟ فلا يحتاج إلى جواب، لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجراً بليغاً، فلا عبرة بمن يفعله، وذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله، ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا، والمؤثر هو الله عز وجل، فهذا عندي لا بأس به، وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات
Artinya: Jika seorang bertanya kepada orang lain, apakah malam tertentu atau hari tertentu cocok untuk akad nikah atau pindah rumah? Maka tidak perlu dijawab, karena syariat melarang meyakini hal yang demikian itu bahkan sangat menentang orang yang melakukannya. Ibnul Farkah menyebutkan sebuah riwayat dari Imam Syafii bahwa jika ahli astrologi berkata dan meyakini bahwa yang mempengaruhi adalah Allah, dan Allah yang menjalankan kebiasaan bahwa terjadi demikian di hari demikian sedangkan yang mempengaruhi adalah Allah. Maka hal ini menurut saya tidak apa-apa, karena yang dicela apabila meyakini bahwa yang berpengaruh adalah nujum dan makhluk-makhluk (bukan Allah).
Baca detail: Hal Ramalan
WAS-WAS MURTAD
1. Sudah hampir 8 bulan saya menderita penyakit was-was kronis. Walau secara general sudah banyak perkembangan positif yang saya rasakan sejak berkonsultasi dengan KSIA, namun saya masih sering mengalami panic attack dan kesulitan mengendalikan isi pikiran. Terutama yang berkaitan dengan topik lafadz dan hubungannya dengan pernikahan. Saya masih sering juga mengkhawatirkan kondisi batin saya saat mengucapkan sebuah kalimat, bahkan pada saat saya sadar saya berbicara pada konteks yang aman.
Saya senantiasa menekankan pada diri sendiri kaidah-kaidah yang diajarkan KSIA pada saya dan mengingat-ingat fatwa-fatwa Majelis Fatwa Al Khoirot yang diberikan pada saya terkait pertanyaan-pertanyaan saya. Namun serangan panik dan kekhawatiran tersebut masih terus menghantam saya bertubi-tubi, bahkan kadang terjadi berhari-hari berturut-turut. Pikiran saya terus terseret memikirkan/mengkhawatirkan topik tersebut bahkan ketika saya berusaha memikirkan hal lain, atau menekankan pada diri sendiri niat saya yang sesungguhnya, yaitu saya benar-benar berniat mempertahankan pernikahan saya dengan istri saya, Dini.
Pertanyaan saya:
Bisakah saya mendapat fatwa bahwa semua ucapan dan tindakan saya tidak berpengaruh/tidak berdampak hukum secara mutlak pada pernikahan saya, sejak saya terkena penyakit was-was akut tersebut hingga saya benar-benar sembuh nanti?
Saya mengacu pada penjelasan pihak KSIA bahwa tindakan/ucapan orang dengan penyakit was-was/OCD tidak berdampak hukum.
2. Apakah saya benar bahwa menjawab pertanyaan anak yang di dalamnya ada kata lafadz kinayah di dalamnya mutlak tidak berdampak? Seperti saat anak bertanya, “Can I go home now?”
3. Dua hari yang lalu istri saya mengalami lonjakan emosi, sehingga saya berusaha menenangkan dia, namun hampir pada senua kalimat yang saya ucapkan, ada bisikan yang mencoba membisikkan seakan ada arti lain dari ucapan saya
Saya mengucapkan kalimat-kalimat:
3A. “Kita sama-sama berdo’a supaya Allah memberi kita kemudahan.”
3B. “Aku yakin kita sama-sama akan bahagia (bersama-sama).” Kata dalam kurung saya tambahkan untuk melawan bisikan yang datang saat saya mengucapkan kalimat tersebut.
Apakah ada dari dua kalimat di atas yang bisa termasuk lafadz kinayah? Rasanya dua-duanya bukan termasuk lafadz kinayah.
4. Sebelum mengucapkan kalimat-kalimat di pertanyaan no. 3, saya sempat mengatakan kalimat, “Aku akan dukung kamu sampai kamu senyum lagi.” Saya tiba-tiba khawatir bahwa ucapan saya termasuk lafadz muallaq, sehingga saya segera menambahkan kalimat, ” dan seterusnya.” Saya tahu saya tidak ada niat aneh-aneh, niat saya adalah mempertahankan pernikahan kami selamanya
4A. Apakah kalimat saya termasuk lafadz muallaq?
4B. Karena khawatir, saya segera mengucapkan, “Saya/Aku mencabut semua talaq mualkaq yang pernah saya ucapkan”. Apakah ada dampaknya?
4C. Saat menuliskan kalimat di cerita di atas ada racun yang mencoba menyusup. Sehingga saya kembali mengulang kalimat saya di 4B, didahului dengan frasa “Dengan ini…” Apakah ada dampak hukumnya?
4D “Saya mencabut semua talaq muallaq yang pernah saya ucapkan.”
Apakah salah tulis saya menjadikan dampak hukum?
Pada saat menulis koreksi ini, saya juga sempat salah menulis ‘muallaq’ menjadi ‘nuallaq.’
Apakah kesalahan tersebut berdampak hukum?
5. Hampir setahun yang lalu, karena sedang tidak stabil secara emosional, istri sempat menghilang. Saya sedih dan takut sekali. Ketika anak saya bertanya tentang istri saya, saya berkata “Your mommy, she left us.” Saya sempat juga berkata “Jahat sekali.” Mungkin saya sempat pula berkata “She’s gone.”.
Saya tahu saya tidak ada niat apa-apa, karena yang selalu saya inginkan adalah pernikahan kami utuh selamanya. Apakah ada dampaknya?
6A. Seperti saya beberapa kali saya sampaikan sebelumnya, pada tanggal 5 Mei 2018, saya mengucapkan lafadz sharih pada istri saya (sudah rujuk pada awal Juni 2018), karena ditekan oleh istri saya. Ucapan tersebut dilakukan secara sadar, namun rangkaian peristiwa yang membuat istri saya menekan saya, terjadi karena penyakit was-was akut saya.
Pertanyaannya, apakah lafadz saya saat itu benar-benar berdampak kah?
6B. Saat menuliskan pertanyaan 6A di atas, saya sempat mencoba menuliskan kata sebenarnya. Satu kali hanya huruf ‘t’, dan sekali huruf ‘ta’. Apakah berdampak?
6C. Sesudah kejadian tanggal 5 Mei tersebut, saya menelpon kakak permpuan saya. Sebelumnya saya mengirim pesan Whatsapp dengan kalimat [Nama saya] dan [nama istri] baru saja ber[kata sharih]. Saat menelpon kata-kata teesebut terucap lagi tanpa frasa ‘baru saja’. Apakah ada yang berdampak hukum?
6D. Kakak saya kemudian sempat berkata “jangan langsung [kata sharih] tiga”, saya menjawab, “Ga koq, Un. Satu koq, baru satu.”
Apakah berdampak hukum?
8. Saat muda saya sempat bertindak bejat sekali. Sehingga saya sempat mendorong seorang teman untuk memakai jilbabnya secara tidak beraturan (kadang pakai kadang tidak). Seingat saya, saya mengakui kewajiban menutup aurat, namun saya khawatir saya mengucapkan kalimat-kalimat menghalalkan hal haram, sementara mengetahui keharamannya. ( saya tidak terlalu ingat, apakah benar pernah atau tidak).
Saya bertaubat setelah beberapa waktu. Dan saya banyak beristighfar. Namun saat itu saya tidak pernah bersyahadat secara khusus kecuali dalam shalat atau mungkin bila beriqamat (saya tidak ingat apakah saya pernah beriqamat selama masa tertentu). Saat itu saya tidak sadar bahwa mungkin saya sudah pernah berbuat murtad.
Dan dalam shalat, syahadat tersebut selalu terucap dengan berbisik (suara angin). Saya baru bersyahadat dengan suara dari pita suara lagi saat akan aqad nikah.
Pertanyaannya:
Bila saat saya berbuat bejat tersebut terjadi kemurtadan, apakah saya baru dianggap muslim lagi tepat sebelum aqad nikah? Atau sudah terjadi saat saya shalat sesudah bertaubat?
9. Sebelum kejadian di nomor 8. Saat kuliah, istri saya juga sempat berhijab, namun karena belum istiqamah dan masih sering hidup dalam gaya hidup yang lumayan liberal, dia kemudian tidak mengenakan hijabnya. Saya yang saat itu juga masih bejat, mendukung pilihannya tidak berhijab. Kami berdua mengakui kewajiban berhijab, namun kami sering membuat alasan bila ditanya, bahwa pilihannya tidak mengenakan hijab adalah karena dia sakit.
Saat itu istri saya memang punya alergi akut, tapi kemudian (berbelas tahun kemudian) terbukti alergi tersebut tidak berhubungan dengan suhu tubuh sama sekali.
Apakah kami berdua melakukan perbuatan na’udubillah murtad?
Sekarang istri saya sudah memilih segera berhijab lagi, dan saya mendukung sepenuhnya, tsntunya.
10A. Karena awam agama, kami (saya dan istri) tidak merasa berdosa saat berpacaran, dulu sebelum kami menikah. Kami tahu hukum pacaran haram, tapi perasaan dosa tersebut tidak terlintas saat itu.
Apakah termasuk perbuatan murtad? Apakah kami baru terhitung muslim lagi saat mengucap syahadat sebelum aqad?
10B. Sesudah menikah pun kami seringnya seperti tidak ‘
sadar (sebetulnya memang benar-benar lupa) hukum nya saat melihat orang lain pacaran.
Bagaimana hukumnya?
11. Seperti banyak orang awam, kami dulu sering mengucapkan kata ‘haram’ secara majasi (sebagai hiperbola) saat memaksudkan sesuatu yang menjadi pantangan pribadi, atau suatu perbuatan yang sangat tidak disukai. Padahal boleh jadi perbuatan tersebut termasuk hal yang disepakati ulama sebagai mubah. Hal ini terjadi karena ketidak pahaman agama.
Apakah termasuk kemurtadan?
12. Saya dan istri sama-sama tidak tega memakan daging kelinci, landak, anak sapi, ataupun bayi gurita hidup. Kadang kami berkomentar ‘kejam’ pada kakak kami yang suka memakan hal tersebut, dan mengatakan “jangan dong”. Tapi alasan kami karena ketidaktegaan dan tidak mencoba mengharamkan secara hukum.
Apakah termasuk perbuatan kufur? Saat itu kami tidak tahu hal tersebut mungkin termasuk perbuatan murtad.
13. Kemarin sempat ada pembicaraan antara aaya dan istri. Kami mengatakan bahwa membaca mushaf Al Qur’an hukumnya sunnah, tapi mempelajari Al Qur’an adalah wajib. Sekilas sempat timbul keraguan dalam hati saya, sehingga saya berkata bahwa shalat tidak diterima bila surat Al Fatihah nya salah (bukan karena tidak tahu), sementara Al Fatihah jelas adalah surat dalam Al Qur’an, maka mempelajari Al Qur’an sifatnya wajib. Sebenarnya awalnya salah ingat isi penjelasan KSIA, tapi saat ada keraguan, saya malah berargumen demikian.
Sesudahnya, karena ragu, saya memeriksa di website NU, dan ternyata hukum mempelajari Al Qur’an adalah fardhu kifayah.
Apakah tindakan saya berkeras mengatakan ‘wajib’ saat ada keraguan, termasuk perbuatan murtad?
14. Karena sering melihat di tv, anak bungsu saya yang berumur 3 tahun sering menyebut lilin sebagai ‘happy birthday’. Kemarin saat lampu tidak menyala di kamar mandi, istri saya merayu anak saya untuk masuk kamar mandi, dengan kata-kata bahwa di kamar mandi sudah diterangi lilin, namun kata yang digunakan untuk menyebut lilin adalah ‘happy birthday.’
Selama ini, seperti saya, istri saya mengharamkan acara tiup lilin di atas kue pada acara apa pun. Dan pagi itu, dia tidak mengajak anak meniup lilin.
Dia menggunakan kata tersebut mengikuti anak saya hanya untuk kemudahan komunikasi saja.
Apakah termasuk dosa?
15. Sampai beberapa waktu lalu, saya masih sering mendengarkan/menyanyikan lagu-lagu world music dan new age yang mengambil sebagian dari lagu ritual orang kafir (Celtic, Native American, Katolik Gregorian) yang digubah ulang menjadi musik hiburan.
Saya tidak mempercayai sama sekali isinya, tapi saya sempat menyukai nadanya.
Apakah termasuk dosa? Sampai derajat apa?
16. Saat masih sering membaca buku fantasi dulu, kadang saya mengutip kalimat seperti “The wheel weaves as the wheel will.”
Sebenarnya yang saya yang saya maksudkan adalah “Sesuatu ditakdirkan sebagaimana Allah kehendaki.” Saya yakin dan beriman bahwa hanya Allah lah penentu takdir, dan kutipan saya murni kutipan, dan saya tidak bermaksud menyebut Allah dengan kata yang menunjuk benda, dan tidak juga bermaksud menyekutukan Allah, dan tidak menyamakan Allah dengan apapun. Na’udubillahi mindzalik.
Apakah termasuk perbuatan dosa? Seburuk apakah?
17. Saat mengerjakan praktik yang disangka sihir tersebut, saya pernah mencoba menjelaskan mengapa ada orang yang seakan didukung dan dibantu banyak irang, dan seakan banyak hal yang terjadi yang sesuai kebutuhannya, dengan penjelasan sebab-akibat bahwa ‘bobot’ orang tersebut begitu kuat menekan ‘matriks realitas’ sehingga banyak orang-orang tertarik ke arah dia.
Di saat yang sama saya mengakui prinsip mutlak bahwa sesuatu terjadi hanya bila Allah menghendaki.
Apakah termasuk dosa?
18. Saya sempat menyebut pada istri, bahwa berbahaya bila orang berpikir apa yang dia dapat adalah hasil kerja nya/dari kerja kerasnya, karena rezeki adalah pemberian Allah. Makanya ada orang santai kaya, dan orang rajin tetap sederhana. Tapi kemudian saya ingat bahwa orang mendapat bagian dari yang diusahakannya (bila saya tidak salah ingat). Saya jadi takut sudah mengarang-ngarang sesuatu, sehingga saya segera mengubah sikap saya menjadi ‘tidak tahu’, segera bersyahadat, dan beristighfar.
Apakah saya sudah berbuat dosa besar? Apakah termasuk kemurtadan?
19. Saya sempat salah mengerti bacaan di internet, hingga berpikir tape ketan haram karena tingkat alkohol nya di atas ambang. Ternyata saya salah karena tape ketan bukan khamr.
Salah paham saya sempat saya sampaikan pada istri dan kakak-kakak saya, termasuk kakak ipar saya. Namu saat tahu hukum yang sebenarnya, saya baru memberi tahu istri saya.
Apakah saya berdosa karena belum memberi tahu kakak-kakak saya dan kakak ipar saya tentang hukum sebenarnya?
20. Bagaimana hukumnya mengaku pernah melakukan dosa yang sebenarnya tidak pernah dilakukan? Saya tahu berdusta adalah dosa besar. Tapi apakah dianggap sama dengan melakukan dosa yang sebenarnya tidak pernah dilakukan tersebut?
Misalnya mengaku pernah minum khamr/makan babi padahal tidak pernah. Apakah menanggung dosa minum khamr/makan babi nya sebagai tambahan dosa berbohong?
JAWABAN
1. Ya, memang demikian adanya. Ucapan dan tindakan anda tidak berdampak dan tidak akan ada dampak hukum karena dua hal:
a) karena anda sedang menderita OCD. Baca detail: Was-was karena OCD
b) Karena dalam hampir semua kasus anda berbicara dan bertindak di luar konteks perceraian. Baca detail: Cerita Talak
2. Benar. Itu contoh ucapan di luar konteks talak. Ucapan seperti itu sama sekali tidak ada dampak walaupun ada niat.
3. Tidak ada lafadz kinayah. Dan seandainya pun kinayah, tapi itu diucapkan di luar konteks perceraian sehingga tidak ada dampak apapun.
4a. Bukan muallaq.
4b. Tidak ada dampak.
4c. Tidak ada
4d. Tidak.
5. Tidak berdampak.
6a. Kalau memang dengan kesadaran dan kerelaan hati anda mentalak istri dengan ucapan sharih seperti “Aku talak kamu”, maka talaknya sah. Namun, kalau ucapan tersebut diucapkan dalam keadaan terpaksa, maka ada ulama yang menyatakan tidak jatuh talak. Baca detail: Talak Terpaksa
6b. Tidak, karena di luar konteks menceraikan istri.
6c. Tidak.
6d. Tidak, karena konteksnya bercerita. Baca detail: Cerita Talak untuk konsultasi
8. Anda bertanya tentang sesuatu di masa lalu yang bersifat praduga. Sedangkan praduga itu tidak dianggap dalam syariat Islam. Dalam situasi asumsi seperti yang anda lakukan (soal murtad), maka status hukumnya kembali ke asal yaitu tidak ada dan tidak terjadi kemurtadan yang dilakukan. Dalam kaidah fikih dikatakan: “Hukum itu berdasarkan pada status asal.” Kalau anda seorang muslim, lalu berasumsi murtad, maka kembali pada status sebagai muslim. Sebagaimana orang sudah wudhu lalu berasumsi dia batal wudhunya, maka tetap dianggap punya wudhu. Baca detail: Kaidah Fikih
Adapun perilku menyakiti wanita tersebut, maka tentu itu hukumnya berdosa. Dan anda perlu meminta maaf padanya sebagai salah satu tahapan dalam bertaubat nasuha. Baca detail: Cara Taubat Nasuha
9. Tidak murtad. Selagi mengakui kewajiban perkara wajib, tapi tidak melakukannya, maka tetap dianggap muslim. Tapi ia berdosa karena meninggalkan kewajiban yang sudah ijmak ulama atas wajibnya. Baca detail: Hukum Murtad
10a. Tidak murtad selagi masih mengakui hukumnya, walaupun tidak mengamalkannya. Seperti orang tidak shalat, tapi masih mengakui wajibnya shalat. Tidak merasa berdosa itu soal lain.
10b. Tidak berakibat murtad. Namun berdosa kalau tidak mengingkari keharamannya. Karena, muslim itu wajib amar makruf nahi munkar. Dan bentuk minimalnya adalah mengingkari, tidak menyukainya. Baca detail: Hukum Amar Makruf Nahi Munkar
11. Tidak. (sudah pernah dijelaskan)
12. Tidak kufur. Hal mubah merupakan pilihan.
13. Tidak. Wajib itu ada dua: wajib ain dan wajib kifayah. Jadi, ucapan anda tidak salah.
14. Meniup lilin tidak dosa. Merayakan ultah juga tidak dosa. Hukum ultah boleh itu bahkan pendapat salah satu pendapat ulama Wahabi (yg relatif moderat) bernama Dr. Salman Al-Udah. Baca detail: Salman Al-Audah: Peringatan Ultah Boleh
15. Tidak dosa. Bernyanyi tidak dilarang karena musik itu boleh menurut sebagian ulama. Baca detail: Hukum Musik
Dan serupa dengan tradisi nonmuslim juga tidak haram asalnya bukan serupa dengan hal yang khas dalam ibadah/ritual mereka. Baca detail: Halal Haram Serupa Orang Kafir
16. Tidak dosa.
17. Tidak. Selagi mengakui bahwa penentunya adalah Allah. Lihat jawaban poin 7.
18. Kedua pendapat anda itu tidak salah. Hakikatnya semua dari Allah, namun Allah memerintahkan manusia untuk berusaha maksimal untuk mencapai tujuan (QS Al Jumuah 62:10). Adapun hasil akhir secara hakikat berasal dari Allah, namun dalam tinjauan sunnatullah (hukum sebab akibat yang juga dari Allah), hasil akhir itu berasal dari banyak hal sebagaimana bisa diketahui dari analisa para ahli. Jangan salah, bahwa takdir itu bisa berubah (QS Al-Ra’ad 13:11). Dari takdir baik, menjadi takdir buruk; atau sebaliknya dari takdir buruk ke takdir baik (QS Ar-Ra’ad 13:39). Dan kita diperintah Allah untuk selalu memilih takdir baik (lihat perintah-perintah Quran dan Hadits agar kita taat pada Allah dan RasulNya). Baca detail: https://www.alkhoirot.net/2014/08/takdir-islam.html”>Takdir
19. Tidak. Yang terpenting ambil hikmahnya: bahwa dalam masalah syariah terkait halal haram, belajarlah pada ahlinya yakni para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Di Indonesia, ulama Aswaja terepresentasikan dalam diri para ulama NU, atau ormas Nahdhatul Watan (untuk di NTB), atau ulama Al-Washliyah (di Sumatera). Ulama Aswaja memiliki khazanah yurisprudensi Islam yang kaya yang ditulis para ulama sejak era Salafus Soleh (Sahabat, Tabi’in, Tabi’ tabi’in) sampai sekarang. Baca detail: Kriteria Ahlussunnah Wal Jamaah
Berbeda dengan ormas lain di Indonesia (selain yang disebut di atas) yang umumnya mengikuti pandangan Wahabi Salafi dari segi akidah tauhid dan fikih yang notabene baru ada pada era Ibnu Taimiyah (abad 13 Masehi atau abat 7 hijriyah) dan M. Ibnu Abdil Wahab (abad 18 M/12 H). Baca detail: Beda Wahabi, HTI, Jamaah Tabligh dan Syiah
20. Dosanya terletak pada bohongnya. Tidak lebih dari itu. Baca detail: Bohong dalam Islam
Satu tanggapan pada “Hukum Percaya Ramalan dalam Islam”
Komentar ditutup.