Pendapat mazhab Hanbali tentang mencabut talak mulallaq
Pendapat mazhab Hanbali tentang mencabut talak mulallaq
ii. Apakah ada ulama mujtahid lain selain Ibnu Taimiyyah yang berpendapat sama? Atau pendapatnya sudah cukup menjadi rujukan? Saya kena was-was pada masalah ini karena Ibnu Taimiyyah sering sekali menjadi rujukan utama kaum Wahabi.
JAWABAN
1aii. Ada. Ibnu Muflih (ulama madzhab Hambali) dalam Al-Furu’, hlm. 5/103, menyatakan:
إن لمن علق طلاق امرأته على شيء الرجوع عن ذلك، وإبطاله، وذلك بالتخريج على رواية جواز فسخ العتق المعلق على شرط
Artinya: Bagi suami yang mentalak taklik istrinya, ia boleh mencabut talak muallaq tersebut dan membatalkannya. Hal itu berdasarkan pada riwayat bolehnya membatalkan memerdekakan budak dengan sistem muallaq (kondisional).
WAS-WAS TALAK TERKAIT TALAK TAKLIK (MUALLAQ
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang
Dengan Hormat,
1A. Tadinya yang saya khawatirkan ada empat lafadz. Namun setelah saya membaca lagi konsultasi-konsultasi terdahulu, dua sudah dijawab oleh pihak KSIA sebagai bukan termasuk lafadz muallaq, satu dianggap bukan lafadz muallaq yang sah, karena saat mengucapkannya saya tidak tahu yang digunakan termasuk kata sharih, dan menurut istri saya, progress saya dalam kesembuhan penyakit was-was mencapai 70% (yang menjadi syarat saat itu adalah tidak ada progress dalam 6 bulan), sehingga kondisinya pun tidak tercapai. Sehingga sebenarnya hanya satu yang mungkin saya khawatirkan.
Pertanyaan saya:
i. Apakah was-was saya yang terjadi sesudah mengucapkan kalimat mencabut lafadz muallaq tersebut (dan sebenarnya secara hukum tidak bisa berdampak) berpengaruh apapun?
iii. Atau sebagai muqallid tingkat paling awam, saya tidak perlu cemas soal rujukannya dan cukup taqlid pada fatwa KSIA?
iv. Pada cerita saya pada pertanyaan pendalaman ini saya sempat lupa menulis kata ‘dalam 6 bulan’, dan kata ‘dalam’. Apakah ada dampak apapun?
v. Saya sempat mengetikkan kata ‘muallaq’ pada search form Gmail ketika bermaksud membaca konsultasi-konsultasi sebelumnya. Apakah ada dampak apapun?
vi. Saat menunggu jawaban KSIA, saya sempat melihat-lihat harga material bangunan. Saat hendak membuka tab baru, saya terpikir untuk memeriksa email, namun ada lintasan yang merendahkan pentingnya konsultasi ini, segera saya bantah, namun tangan saya tetap membuka tab baru tersebut, dan baru beberapa detik kemudian saya memeriksa email. Apakah ada dampak apapun?
1B. Kemarin saya melihat istri saya menonton drama jepang. Saya berkata, “Duduk sini/deket aku atuh, nontonan jepang wae.” Istri saya segera memindahkan channel, dan duduk dekat saya. Tapi kemudian ada rasa takut, sehingga saya mengucap (tidak terdengar istri saya), ucapan menarik dan mencabut semua lafadz muallaq. Kemudian ada yang membuat saya kembali berucap, “Jangan nonton jepang terus, bosen.” Kembali saya mengalami ketakutan dan mengulang ucapan mencabut semua lafadz muallaq, lalu karena ketakutan saya berpikir saya harus bertanya pada KSIA, sehingga saya berkata, “Kalo boleh aku ga pengen lihat [dua nama channel tv kabel) dulu dua hari ini. Kembali saya ketakutan dan mengulang ucapan mencabut semua lafadz muallaq yang pernah saya ucapkan.
Pada salah satu pengucapan mencabut lafadz muallaq tersebut, sempat terasa ada was-was yang tidak berupa kata-kata, dan pada satu pengucapan lainnya, sempat ada jeda antara kata ‘mencabut’ dan kata ‘semua’.
i. Apakah kata-kata saya memang lafadz muallaq atau bukan?
ii. Apakah dari apa yang saya ceritakan di atas, adakah yang bisa berdampak hukum?
iii. Pada poin 1Bii, kata ‘adakah’ nya awalnya hanya ditulis ‘ada’. BAgaimana hukumnya?
iv. Bila istri saya menonton acara/film jepang, apakah ada dampaknya?
2A. Saya sempat mengalami ketakutan mengenai dampak salah satu ucapan saya, tapi yang tersebut oleh lidah saya (sesudah lintasan jahat tersebut, yang sebenarnya tentang ucapan saya pada konteks aman) adalah hamdalah. Saya terkejut. Tidak ada ucapan yang saya ingat yang berupa kata kinayah sesudahnya, dan yakin tidak ada kata sharih. Bagaimana hukumnya?
2B. Saat menekan tulisan ‘remove’ saat menghapus icon website dari halaman Google saya, saya tidak melafalkan/melintaskan konteksnya. Bagaimana hukumnya?
3A. Saya sempat menceritakan tentang hukum istri menggunakan nama suami di belakang namanya, yang saya baca di nu.or.id. Saya berkata, “misalnya kamu pake nama aku di belakang nama kamu, kamu ngaku istri (timbul rasa takut) memang kamu istri (cepat-cepat saya tambahkan).”
3B. Saya tadi malam berkata pada istri saya, “I really love you, Love.” Timbul rasa takut hingga saya cepat-cepat mengulang dengan kalimat, “I really love you, Jay (nickname istri saya).
Bagaimana hukumnya?
5. Saya juga sering takut mengucapkan sesuatu/suatu objek bila sebelumnya istri saya sempat menggunakan kata tersebut sebagai subjek/objek dari kata sharih/kinayah yang dia gunakan pada konteks aman. Bagaimana hukumnya?
6. Saya kemarin membeli termos air minum untuk anak saya. Pada termos tersebut ada kata ‘bye-bye’. Apakah saya dihitung mengucapkan sesuatu yang berdampak bila memberikan pada istri saya?
JAWABAN
1ai. Tidak berpengaruh/tidak berdampak.
1aiii. Lihat poin ii. Baca detail: Hukum Membatalkan Talak Muallaq (ada tambahan referensi)
1aiv. Tidak ada dampak.
1av. Tidak ada dampak.
1avi. Tidak ada dampak.
1Bi. Bukan muallaq. Ucapan muallaq yang berdampak itu apabila: sengaja mengucapkan dalam konteks ancaman cerai. Misal: “Kalau kamu (istri) nonton film Jepang lagi, maka kamu akan saya cerai.”
1Bii. Tidak ada.
1Biii. Tidak ada hukumnya. Tak ada efek apapun.
1Biv. Tidak ada dampak. Karena yang anda ucapkan bukan kalimat kondisional.
2A. Tidak berdampak.
2B. Tidak ada dampak.
3a. Tidak ada dampak.
3b. Tidak berdampak.
4. Saya sering ketakutan saat mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan kegiatan bermobilitas, seperti saat menyuruh anak mandi, menanyakan sepatu anak, atau menyebut, ‘pergi/pulang sekolah’, ‘pergi/pulang kerja’, dll.
Bagaimana hukumnya?
4. Tidak ada dampak. Semestinya perasaan berdampak itu dibuang jauh-jauh. Di luar konteks menceraikan istri, ucapan apapun tidak ada dampaknya. Baik ucapan sharih maupun ucapan kinayah (walaupun dengan niat).
5. Tidak ada dampak. Sama dg poin 4, anda sebagai suami bebas mengucapkan ucapan sharih dan kinayah apabila ucapan itu di luar konteks menceraikan istri. Karena, semua sama dengan konteks bercerita.
6. Sama sekali tidak.
CATATAN:
Karena anda tampaknya mulai agak melupakan kaidah konteks bercerita dan tidak, maka di sini kami ingatkan kembali untuk menyegarkan pikiran dan mindset instingtif anda.
Pertama, anda bebas mengucapkan kata sharih atau kinayah di luar konteks untuk menceraikan istri. Jangan ragu untuk mengatakan apapun dan tidak perlu merasa takut pada dampak apapun. Biasakan untuk berani mengatakan itu semua dan abaikan perasaan takut anda.
Kedua, terkait kalimat muallaq, ia baru berdampak apabila sudah jelas ada dua unsur dalam kalimat tersebut yakni kondisi/syarat dan akibat dan keduanya dalam konteks untuk bercerai. Misalnya, “apabila kamu nonton film jepang, maka kamu aku ceraikan.” Apabila tidak terpenuhi dua kata ini, maka talak muallaq tidak sah. Baca detail: Talak Muallaq (Kondisional)
Adapun larangan pada istri, seperti “Jangan nonton film jepang” itu sama sekali bukan kalimat muallaq melainkan hanya larangan biasa yang tidak ada dampaknya sama sekali.
Ketiga, terkait masalah murtad itu baru jatuh hukumnya apabila penyebab murtad dilakuan secara sengaja. Baca detail: Penyebab Murtad
Di luar kesengajaan maka tidak ada dampak apapun. Contoh di luar kesengajaan adalah karena tidak tahu atau lupa pada hukum. Baca detail: Hukum Melakukan Perkara Haram karena Tidak Tahu