Kirim pertanyaan via email ke: alkhoirot@gmail.com

Islamiy.com

Situs konsultasi Islam online.

Ragu ada ucapan suami yang berdampak cerai

Ragu ada ucapan suami yang berdampak cerai

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang

Saat ini alhamdulillah kondisi saya sudah jauh lebih baik, dan kemampuan saya menghadapi was-was juga sudah membaik. Terima kasih banyak atas pelajaran dan bimbingan pihak KSIA yang penuh kesabaran.

Ada beberapa pertanyaan yang perlu saya tanyakan:

V. Dalam suatu serangan panik panjang (sekitar 6 jam nonstop), terutama tentang lafadz sharih (walau saya sudah diajari mendalam dan berulang kali mengenai konteks aman), ada sebuah lintasan mengenai mengambil pendapat madzhab. Sebelum lintasan tersebut selesai, saya segera memutuskan untuk tetap memegang madzhab Syafi’i karena saya teringat pendapat madzhab Maliki tentang lafadz kinayah, dan berikutnya ingat juga tentang pendapat madzhab Hambali tentang dampak murtad pada pernikahan. Saya sadar saya pernah mengucap beberapa lafadz kinayah tanpa niat dulu.

Bagaimana hukumnya? Apakah lintasan tersebut berdampak hukum? Apakah perbuatan masa lalu saya seketika dihukumi berdasar pendapat madzhab-madzhab tersebut? Ataukah pernikahan saya masih aman?

Saya merasa jauh lebih aman dan mudah mengambil dan dihukumi berdasar pendapat madzhab Syafi’i.

Serangan paniknya benar-benar menggila dua hari kemarin, dan sulit sekali memaksa diri bersikap normal, walau saya sudah mengerti prinsip-prinsip yang diterangkan pada saya. Saya benar-benar berjuang memaksa diri paham bahwa seluruh pembicaraan saya dan orang di sekitar saya berada dalam konteks aman. Baca: Niat dalam Talak kinayah

I. Karena awam agama, dulu saya dan istri tidak mengerti tentang najis hukmiyah. Suatu hari hampir setahun lalu, anak saya ngompol di karpet vynil. Kami mengepel bekasnya. Masalahnya kami tidak membersihkan kain dan tongkat pelnya di bawah air mengalir, hanya direndam dan dikucek di air ember yang jelas di bawah 2 qullah. Kain tersebut kemudian dipakai mengepel lagi dengan air berdeterjen berkali kali. Memang beberapa kali kami menaruh kain dan tongkat pel tersebut di bawah air mengalir, namun tampaknya seluruh rumah sudah ketularan najis hukmiyah. Karena kaki kami yang yang basah menyebarkan najis hukmiyah tersebut kemana-mana, dan tangan anak-anak yang lembab juga memegang lantai sebelum memegang banyak hal lain.

Saya perlu solusi, karena walaupun saya mengepel ulang lantai dengan menyiramkan air di seluruh lantai rumah (sudah pernah saya lakukan sekali) saya khawatir najis hukmiyah nya segera menyebar lagi dari selimut, kasur, meja, sofa, dan lainnya yang terkena tangan/kaki yang basah.
Mohon bantuannya.

II. Sejak usia 15 tahun, istri saya sudah tinggal jauh dari orang tuanya untuk bersekolah, kuliah, bekerja dan berkeluarga dengan saya. Sampai kami menikah, dia tidak pernah ditemani mahram laki-laki. Saya baru tahu tentang hukumnya baru-baru ini. Dia dan keluarganya tidak tahu hukumnya sama sekali.
Pertanyaannya:

IIA. Apakah uang hasil kerja dan ijazah pendidikannya halal digunakan?

IIB. Kami bertemu di universitas di kota saya, jauh dari orang tuanya, walau kami menikah direstui orang tuanya dan dia dinikahkan (dengan wali wakil) oleh ayahnya. Bagaimana hukum pernikahan kami? Apakah pertanyaan ini membahayakan pernikahan kami?

III. Saya sudah bertaubat dari dosa mengharamkan hal yang halal akibat kurang ilmu. Namun ada beberapa perkara yang saya baru teringat sekarang, bahwa saya pernah mengharamkan hal tersebut (padahal halal).

IIIA. Apakah saya harus bersyahadat ulang tiap saya teringat dosa yang sebelumnya terlupakan tersebut?

IIIB. Atau syahadat saya saat kemarin saya bertaubat dengan bertekad untuk tidak pernah lagi mengharamkan sesuatu tanpa ilmu tersebut cukup untuk memastikan saya muslim?

IIIC. Apakah syahadat saya baru sah setelah saya mengingat semua dosa saya mengharamkan hal yang halal dan bertaubat atas semua perkara tersebut satu persatu?

IIID. Bagaimana hukum ucapan rujuk saya kemarin (atas kejadian tanggal 5 Mei 2018), yang saya ucapkan sebelum saya ingat keseluruhan perbuatan saya mengharamkan hal halal tersebut? Apakah tetap sah?

IV. Saya sudah dijelaskan oleh KSIA tentang hukum menonton film/membaca buku yang ada unsur sihir di dalamnya, dan saya sudah mengerti.

Namun ada yang saya cemaskan dari perbuatan masa lalu saya.

Sebenarnya dulu saya melarang keluarga saya menonton film, membaca buku, atau main game yang ada unsur sihir di dalamnya sejak jauh sebelum saya membaca artikel-artikel Wahabi.

Penyebab utamanya adalah karena saat itu saya memiliki pikiran bahwa semua sihir termasuk syirik (demikian saya diajarkan sejak kecil), sehingga saya berpikir semua yang mempromosikan sihir termasuk wasilah syirik. Mungkin juga saya merasa ketertarikan saya pada ilmu gaib dulu sekali (yang membuat saya belajar ilmu ‘sihir’ yang saya pernah konsultasikan pada KSIA, walau saat itu pun saya berpikir itu bukan ilmu sihir, karena tidak menggunakan ritual atau mantra) terjadi karena dulu saya banyak sekali membaca buku/menonton film fantasi.

Pertanyaan saya bukan tentang hukum menonton film sihir/membaca buku cerita sihirnya, karena memang sudah dijelaskan berkali-kali oleh KSIA. Namun bagaimana hukum saya mengharamkan hal-hal tersebut secara tanpa ilmu, karena salah pikir, (bukan karena membaca apapun, karena saat itu memang belum baca artikel apapun)?
Saat itu saya benar-benar tidak tahu bahwa ada belajar sihir yang diperbolehkan, dan tidak semua perbuatan sihir termaksud murtad.

VI. Kemarin saya menonton TV, di ujung filmnya, saat lagu credit title terpasang, tiba-tiba ada kekhawatiran bahwa lagu tersebut (berbahasa mandarin) ada lafadz sharih atau kinayahnya. Segera saya ganti channel. (Saya sadar ini tidak logis). Namun istri saya meminta saya memasang lagi channel pertama, karena ia mau menonton program berikutnya. Saya mengingatkan diri bahwa lagu dihukumi sama dengan cerita, dan saya kembali memasang channel tersebut. Apakah ada dampak hukum pada pernikahan dari keputusan saya kembali memasang channel tersebut?

VII. Saya baru tersadar. 6 tahun yang lalu saya pernah membeli buku riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang ternyata ditulis oleh seorang penulis Syiah. Karena ditulis dari sudut pandang syiah, saya memasukkan buku tersebut bersama buku-buku yang akan saya jual/donasikan (sebagiannya buku fantasi/cerita sihir). Buku-buku tersebut dimasukkan ke dalam sebuah plastik besar.
Saat berganti-ganti kontrakan rumah, plastik besar tersebut sering tidak sengaja tertumpuk barang lain, dan mungkin terinjak anak saya. Saya benar-benar lupa akan keberadaan buku tersrbut. Begitu buku itu saya temukan, segera saya amankan.
Yang saya khawatirkan, di dalam buku tersebut banyak lafadz asma Allah dan nama Rasulullah. Entah kenapa, dulu risiko buku tersebut terkena hal-hal di atas tidak terpikir oleh saya, yang teringat hanya saya tidak ingin ada buku syiah di perpustakaan saya.
Apakah saya sudah berdosa besar? Separah apakah?

VIII. Saat kuliah dulu, jauh sebelum menikah, saya terlalu banyak membaca karya Khalil Gibran, hingga terbawa dalam pola pikir esoteris nya. Ada beberapa saat saya ingin memuji dan mencintai Allah namun malah menggunakan kata yang tidak pantas bagi Allah, seperti menyebut Allah adalah ini atau itu.
Saya diluruskan istri saya saat itu juga, dan mengubah pendapat saya sekaligus.
Namun saya khawatir kata yang saya gunakan untuk Allah, walau niatnya memuji dan mengagungkan Allah, dihitung sebagai penghinaan, karena kata tersebut merupakan kata benda, dan semua benda adalah makhluk. Allah jelas adalah Khalik bukan makhluk, dan saya pun tidak pernah bermaksud menyamakan Allah dengan makhluk, na’udzubillahi mindzalik, baik dulu, sekarang, atau kapanpun. Keinginan saya adalah mengagungkan Allah tapi salah arah karena salah baca. Saat itu saya tidak pernah berpikir bahwa kata yang saya gunakan saat ingin memuji Allah tersebut menunjuk pada makhluk.
Bagaimana saya dihukumi, apakah saat itu saya dianggap telah murtad? Saya saat itu rasanya hanya bersyahadat dalam shalat, membaca iqamah, atau menjawab adzan.

IX. Pada jawaban pertanyaan saya nomor 18 pada konsultasi ‘[Penting] Was-was amalan masa lalu’ (dijawab 24/06/18), dijelaskan mengenai kategori sihir yang termasuk murtad.
Dulu, saat berpikir saya mempraktikkan ‘ilmu gaib’ tersebut, saya dulu percaya bahwa kami terlibat dalam ‘konflik ilmu gaib’ dengan para pelaku sihir, karena saat itu saya yakin ‘diserang’. Apakah ini termasuk kategori ‘mencelakakan orang’?

X. Pada konsultasi [Penting] Was-was lafadz tidak sengaja (dijawab 20/06/18), saya mengutip ucapan saya saat berkata

‘, saya akan tetap ngerjain proyek (nama sebuah tempat) bareng kamu.’ Di dalam hati, sebenar-benar nya tidak mau kehilangan istri saya.

Saya teringat pada kejadian tersebut saya mengucapkan beberapa hal karena saya merasa tidak berdaya melawan keinginan istri yang sedang marah. Apakah rasa tidak berdaya tersebut dihitung sebagai sesuatu?
Namun saya ingat saya memang tidak ada setetespun keinginan mengubah status hukum.

Bagaimana hukumnya?

Saya sekarang ragu apakah saya pernah mengucapkan bagian yang saya tulis dalam tanda < >

XB. Ketika menulis bagian ‘Saya teringat pada kejadian tersebut saya mengucapkan beberapa hal (tadinya saya tulis ‘banyak’, kemudian saya ingat tidak banyak) saya merasa tidak berdaya melawan keinginan istri yang sedang marah.’ Pikiran saya sempat melayang/blank sebelum kembali saya ingatkan diri saya bahwa saya sedang bercerita. Saya khawatir terjadi sesuatu dalam pikiran saya saat terjadi blank tersebut. Bagaimana hukumnya? Apakah mungkin ada dampak pada pernikahan saya?

XI. Pada konsultasi ([Penting] Khawatir dampak ucapan dan diam) pada pertanyaan utama no. 3, tentang diskusi saya dengan anak saya, apakah semua ucapan dan jawaban saya tersebut dihitung tidak berdampak karena diskusi dihitung sebagai bercerita? Apakah dari ucapan tersebut semuanya tidak berdampak?

XII. Pada pertanyaan pendalaman konsultasi bertopik [Penting] Khawatir dampak ucapan dan diam, saya bertanya mengenai dua lagu yang dulu kadang saya nyanyikan (dijawab tanggal 26/06/18 jam 11.11 a.m.). Apakah dua-duanya dianggap bercerita?

XIIIA. Maaf saya mohon konfirmasi, apakah saya benar bahwa tidak ada dampak hukum dari sighat taklik KUA bila istri tidak melakukan tuntutan ke Pengadilan Agama?

XIIIB. Apakah lintasan pikiran rancu (tidak diucapkan) yang datang jauh kemudian, bisa berpengaruh/mengubah syarat sighat taklik?

XIV. Apakah saya benar bahwa bila saat awal menuliskan pertanyaan ada niat bertanya, dan tulisan diformat sebagai pertanyaan, walau kemudian pikiran blank, konteks tulisan tetap dihitung bertanya?

XV. Dulu saya sempat lama belajar filsafat, di antaranya belajar filsafat Lao Tze dengan membaca buku Tao Te Ching. Saya selalu memandangnya sebagai filsafat hasil pemikiran manusia, tidak lebih, dan selalu percaya hanya ajaran Islam dari Al Qur’an dan Al Hadits yang mutlak benar.
Sebagian dari prinsip dari buku tersebut yang sering saya jalankan dulu adalah wu wei (tidak memaksakan) dan ‘berada/mengambil posisi di kiri’ yang maksudnya tidak mengikuti ambisi dan tidak mencari kekuasaan/sanjungan. Sementara dalam Al Qur’an yang disebut golongan kiri adalah orang-orang yang dimurkai Allah. Bagaimana hukumnya? Apakah saya berdosa? Separah apakah?

XVI. Seorang teman pernah menirukan retorika seorang ustadz terkenal yang memang punya gaya retorika yang khas. Kami menganggapnya lucu tanpa bermaksud merendahkan, dan kami juga tidak bermaksud merendahkan isi ceramahnya yang jelas benar dan penting.
Saya pun pernah menirukan retorika tersebut secara setengah bercanda (setengah, karena memaksudkan isinya secara serius) ketika menasihati istri untuk bersabar dan bersyukur (memang dikutip dari nasihat dengan isi yang sama) hanya untuk membuat nasihatnya lebih mudah didengar, sementara saya benar-benar serius dengan isinya. Bagaimana hukumnya? Apakah saya berdosa?

XVI. Tidak berdosa. Bercanda tidak dilarang dalam Islam kecuali apabila candanya itu menyakiti sesama. Rasulullah suka bercanda dan mengapresiasi humor yang sehat. Baca detail: http://nadirhosen.net/tsaqofah/tarikh/nabi-pun-bercanda

XVII. Ketika masih dalam kondisi salah kaprah sehingga sempat berpikir kami dalam kondisi bain shugra, saya sempat ditanya oleh istri mengapa saya seperti menghindarinya. Saya membenarkan dengan kalimat “memang aku menghindar”, namun saat itu saya (yang sedang dalam kondisi salah mengerti sebelum diluruskan oleh KSIA) tidak bermaksud selain menghindari dosa, dan tidak ada niat selainnya. Apakah ada dampak dari ucapan saya saat itu? Apakah tetap dianggap lafadz kinayah tanpa niat?

XVIII. Saya sempat berdiskusi dengan istri saya tentang sebuah rencana bisnis, saya sempat berkata “either kita jadi jaringan, atau kita berakhir (timbul rasa takut, namun saya ingat saya sedang berbicara mengenai bisnis) kita berakhir menjadi (nama sebuah merk yang jadi acuan)”.
Apakah saya benar bahwa tidak berdampak hukum?
Ketika menulis kata kinayah di atas, timbul lintasan lagi yang seakan ingin menakut-nakuti saya, saat itu kepala saya sedang blank. Apakah saya benar saat mengabaikannya?

Tadinya saya terlupa memasukkan kata ‘kita’ sebelum kata yang saya tandai dengan font italic. Saat memasukkan kata ‘kita’ tersebut kemudian, saya menekankan pada diri saya bahwa niat saya bercerita. Tapi masih ada juga serangan panik (bahkan saat memformat font kata tersebut menjadi italic) walau saya sudah hafal hukumnya untuk bagian ini. Apakah saya benar menganggap ketakutan saya saat mengkoreksi dan memformat pertanyaan di atas sebagai tidak berdasar dan irasional?

XIX. Seringkali saat membicarakan sesuatu, muncul perasaan khawatir tiba-tiba bahwa kata yang sedang atau akan diucapkan bisa berbahaya. Namun entah karena ‘tanggung’, tergesa-gesa, atau sudah terus-terusan mendapat perasaan khawatir seperti demikian, sering saya meneruskan mengatakan saja apa yang saya maksudkan, walau tanpa secara sengaja mengingatkan diri sendiri tentang konteks atau mengecek kondisi niat saya. Hal ini sering membuat saya takut. Namun sesudahnya saat saya tengok ulang, kalimat yang saya ucapkan alhamdulillah selalu berada pada konteks aman, dan/atau bukan lafadz sharih, dan/atau bukan lafadz kinayah. Yang pasti saat saya menengok ulang (setelah kata/kalimat tersebut diucapkan) saya selalu sadar saya tidak ada niatan aneh-aneh.
Bagaimana hukumnya?

XX. Pada waktu lainnya, ada keadaan di mana saya mengucapkan sebuah kalimat aman (bukan lafadz sharih atau kinayah, atau konteksnya jelas aman) namun muncul was-was. Kadang ucapan tersebut belum selesai, dan saya terdiam di tengah kalimat karena was-was tersebut. Ada waktu di mana saya bermanuver mencari kata/kalimat lain, pada waktu lain saya mengingatkan diri tentang konteks yang aman tersebut, kadang saya mengingatkan diri bahwa niat saya juga aman dari pikiran aneh-aneh, namun kadang saya meneruskan dengan pikiran blank seperti yang saya tanyakan di poin sebelumnya.

Apakah tindakan saya melanjutkan mengucapkan kata/kalimat yang saya khawatirkan dampaknya tersebut baik sengaja/tidak sengaja, sementara saya tidak secara khusus mengingatkan diri atas konteks dan niat yang aman (walau sebenarnya alhamdulillah selalu aman) menjadikan ucapan tersebut berdampak hukum?

Sengaja atau pun tidak, alhamdulillah, konteks yang diucapkan selalu dalam keadaan bercerita, atau merujuk pada objek lain, dan memang tidak pernah ada niat aneh-aneh. Walau kadang keyakinan soal ini baru terlihat jelas sesudah kalimat diucapkan, karena saat mengucapkannya masih diganggu was-was.

XXI. Mohon bantuannya. Kemarin saya sempat sedikit bertengkar dengan istri. Dan saya berkata “Kamu lagi sakit, emosi kamu ga stabil. Kalau kita bicara sekarang, masalahnya bisa jadi lebih besar dari seharusnya. Masalah ini sebenernya ga besar.”
Niat saya hanya untuk meredam pertengkaran saja. Apakah ada dampak dari ucapan saya? Terus terang saat mengucapkannya saya dicekam ketakutan irasional.

XXII. Istri saya sempat berbicara (bercerita) dengan kata lafadz kinayah dengan nada agak keras, namun yang dibicarakan adalah suatu masalah antara dia dan orang tuanya. Saya sempat terkena serangan panik dan kehilangan ketenangan (karena paranoia) dan berusaha menjawab dengan bermanuver supaya tidak mengiyakan (saya tahu konteksnya bercerita dan aman, namun saat itu serangan was-was nya agak kuat karena saya dalam keadaan terkejut, hingga tulang punggung mendadak dingin). Sesudah menjawab dengan kalimat yang tidak mengiyakan, perasaan dingin itu sempat bertahan sebentar, tapi saya mengingatkan diri bahwa usaha saya bermanuver adalah bukti bahwa saya tidak ada niat
(perlu waktu untuk saya mengingatkan diri bahwa konteksnya aman, dan saya mengambil langkah tercepat yang saya bisa dan kaidah yang bisa saya ingat paling cepat dulu). Ketika sudah tenang saya sepenuhnya yakin bahwa saya tidak pernah berniat macam-macam.
Apakah langkah saya benar? Dan apakah saya benar tidak ada dampak jatuh? Mohon penjelasannya untuk ketenangan saya.

XXIII. Saya tahu bila konteks nya bercerita, atau objeknya ‘aman’ maka tidak ada dampak hukum. Namun kadang serangan panik masih muncul, bahkan ketika harus menjawab pertanyaan yang sebetulnya jauh dari risiko hukum apapun. Misalnya saat ditanya kasir minimarket apakah saya punya kartu member, atau saat ditanya apakah saya mau beli sesuatu yang lain. Saya sering menjawab (karena terpaksa, mengingat mereka tidak mengerti kondisi saya tentunya) masih dalam keadaan panik dan bukan betul-betul karena sudah mengingatkan diri tentang kaidahnya (walau ingat sesudahnya). Apakah jatuh dampak hukum pada pernikahan saya dalam kondisi demikian (yaitu kondisi menjawab saat masih dalam kondisi panic attack takut ada dampak)?
Yang saya khawatirkan adalah apakah kondisi saya menjawab saat masih takut ada dampak tersebut dihukumi berniat walau sebetulnya tidak ada niat apa-apa?

XXIV. Pada kesempatan lain, istri saya bercerita tentang ia menyanyikan pada anak saya sebuah lagu yang pernah saya tulis dulu sekali. Saya terkena panik dan berusaha tidak menjawab. Saya sempat mengingatkan diri bahwa lagu dianggap bercerita. Namun saat masih panik saya menjawab dengan dengusan nafas sambil tersenyum. Apakah ada dampak apapun?
Di lagu tersebut kemudian saya ingat memang ada kata-kata lafadz kinayah yang sejak awal dimaksudkan ada dalam konteks yang sepenuhnya aman.

XXV. Saat menulis pertanyaan di atas, saya sangat gugup, namun jari saya seperti terus menulis sendiri sebelum saya sempat meneguhkan lafal niat saya dalam hati dan keyakinan aman saya bahwa saya hanya sedang bercerita. Kejadian yang sama terulang saat saya sedang menulis poin pertanyaan ini. Apakah ada dampaknya pada pernikahan saya? Bagaimana hukumnya?

XXVIA.. Pada kesempatan lain, saya mengobrol lagi dengan istri saya, di mana istri saya berkata, ” Sudah lima tahun kita berhenti dari [nama proyek kami]”. Saya menjawab mengiyakan, namun saat mengiyakan ada perasaan takut tanpa kata-kata yang memukul jantung. Saat itu ada dua kejadian yang terjadi di dalam diri saya: di satu sisi perasaan takut tersebut, namun di sisi lain ada pengertian bahwa yang dibicarakan adalah proyek. Setengah detik kemudian, saya mendapatkan keyakinan saya kembali, dan saya mengatakan pada diri saya bahwa konteksnya aman.
Pertanyaannya: Dengan kenyataan saya menjawab saat sebenarnya perasaan yang lebih kuat tersebut adalah rasa takut atas dampak, dan pengertian nya baru menguat kemudian, apakah ada dampak yang jatuh? Saya tidak terpikir tentang niat apapun saat menjawab.

XXVIB. Saya teringat tentang konsep keadaan suami. Saya takut kenyataan saya menjawab saat ada rasa takut tersebut menyebabkan bahaya.
Apakah dengan saya menyampaikan isi pikiran/lintasan tersebut di sini menjadikannya berdampak hukum? Karena yang saya dapatkan adalah pikiran tidak berefek asal tidak diucapkan, sementara saya sering menyampaikan rasa takut/lintasa saya saat berkonsultasi.

XXVII. Dulu bila menghadapi masalah berat, untuk menghibur diri, saya dan istri kadang menyanyikan lagu pembukaan serial Friends (I’ll be there for you, The Rembrandts). Beberapa baris kami nyanyikan untuk menggambarkan perasaan kami. Namun satu baris yang bisa bernilai lafadz kinayah, kami nyanyikan tanpa maksud apa-apa. Apakah saya benar tidak ada dampak?

XXVIII. Bagaimana saya membedakan was-was dengan niat (saat mengucapkan kata lafadz kinayah)? Saat serangan panik terjadi, saya sering kesulitan meyakinkan diri bahwa saya hanya sedang diserang was-was dan saya secara sungguh-sungguh tidak berniat aneh-aneh. Saat menuliskan ini saya baru saja meminta istri membeli coklat untuk anak dan tepat saat mengucapkannya ada lintasan yang masuk di pikiran. Sebelum bicara, niat saya hanya minta dia membeli coklat saja, tidak lebih.
Kalimat yang saya gunakan “Baiknya si [nama anak] dibeliin [merk coklat] aja dulu.
Apakah ada dari tulisan saya pada poin ini yang membahayakan bagi pernikahan saya?

JAWABAN

V. Tidak ada dampak hukum. Sekali lagi kami tegaskan, bahwa status hukum orang awam itu tidak terkait dengan hukum apa yang diyakininya. Tapi berdasarkan penilaian ulama yang memberi panduan hukum (fatwa) padanya. Kalau anda merasa aman dengan mengikuti pandangan madzhab Syafi’i, silahkan saja. Intinya, kami memberi hukum yang sekiranya dapat memberi solusi pada masalah anda yakni penyakit was-was tersebut. Baca detail: Tidak semua talak sharih berakibat cerai

I. Dalam kasus ini, anda bisa mengikuti pandangan madzhab Maliki yang menyatakan bahwa najis hukmiyah itu najisnya tidak menular. Baca detail: Najis Hukmiyah Madzhab Maliki

IIa. Gaji dan ijazahnya halal. Halal haram soal gaji tidak terkait dengan masalah yang dilakukan istri anda. Halal haram gaji itu kaitannya dengan apakah dia bekerja di tempat yang halal. Begitu juga soal pendidikannya. Jadi, tidak ada masalah dengan ijazah dan gaji kerjanya. Ini mirip dengan kasus masuk PNS karena hasil nyuap. Nyuapnya haram, tapi gaji PNSnya tetap halal selagi dia bekerja dengan benar dan halal.
Baca detail:
Gaji PNS yg diterima karena suap
Hukum korupsi

Terkait dosa yang dilakukan karena dia tidak ditemani mahram dan/atau suami ketika sedang bepergian jauh, maka sebenarnya mahram itu bisa diganti oleh teman sesama wanita. Kalau ini juga tidak dilakukan maka hukumnya dosa. Namun, ketidaktahuannya soal ini membuatnya dimaafkan. Baca detail: Hukum Melakukan Perkara Haram karena Tidak Tahu

IIb. Hukum pernikahan anda sah. Dan tidak ada perkara yang membatalkan pernikahan anda.

IIIA. Tergantung mengharamkan apa? Yang berakibat murtad itu apabila mengharamkan perkara yang ijmak ulama menghalalkan/mewajibkan seperi wajibnya shalat atau menghalalkan perkara yang ijmak ulama mengharamkan seperti zina. Adapun di dalam perkara yang ulama masih terjadi perbedaan pendapat, maka tidak masalah.

IIIB. Lihat poin IIIA.

IIIC. Lihat poin IIIA.

IIID. Lihat poin IIIA.

IV. Tidak apa-apa. Karena memang menjadi masalah khilafiyah di kalangan madzhab empat. Ada yang menganggap haram, ada yang menganggap boleh. Dan menghukumi salah satunya (antara halal dan haram) tidak dilarang dengan mengikuti madzhab yang menghukumi yang sama.

VI. Tidak ada dampak hukum. Seperti yang anda ketahui, lagu sama dg cerita. Baca detail: Cerita Talak

VII. Tidak berdosa kalau itu dilakukan karena tidak tahul, tidak sengaja dan tidak ada niat merendahkan sebagaimana disebut dalam QS Al Baqarah 2:286. Baca detail: Hukum Melakukan Perkara Haram karena Tidak Tahu

VIII. Tidak murtad. Karena tidak tahu dan tidak sengaja. Baca detail: Hukum Melakukan Perkara Haram karena Tidak Tahu

IX. Tidak termasuk. Mencelakakan itu harus bersifat faktual. Artinya, ada yang celaka. Bukan berdasar imaginasi atau khayalan.

Xa. Kalau pun anda mengucapakn kalimat “kalaupun kamu pergi”, itu tidak ada dampak pada pernikahan. Karena, ucapan itu bersifat pengandaian, bukan pernyataan (Arab: insya’) dari suami. Jadi, tidak ada dampak apapun. Seperti halnya kalimat tanya. Baca detail: Cerai dalam Kalimat Tanya

Xb. Tidak ada dampak apapun pada pernikahan.

XI. Ya, dianggap bercerita dan tidak ada dampak.
XII. Ya.
XIIIA. Ya. Sighat taklik itu tidak berlaku otomatis. Ia hanya sebagai kondisi di mana istri boleh melakukan gugat cerai.
XIIIB. Tidak ada pengaruh.

XIV. Ya.
XV. Tidak berdosa. Tidak semua pemikiran nonmuslim itu haram. Kecuali yang berlawanan secara diametral dengan syariah. Dan ucapan lao Tze dalam soal itu tidak berlawanan dengan Islam. Ada sebuah hadits terkenal dalam soal ini, Nabi bersabda: الكلمة الحكمة ضالة المؤمن فحيث وجدها فهو أحق بها (Kalimat hikmah adalah barang hilangnya mukmin. Di mana pun ia menemukannya, maka ia lebih berhak untuk memilikinya. (HR Tirmidzi). Versi dari Ibnu Hibban, kalimat hadits ini sbb: الكلمة الحكمة ضالة المؤمن حيث وجدها جذبها. (“Kata hikmah adalah benda hilangnya mukmin. Di mana pun ia menemukannya maka ia (boleh) menariknya.”). Hadits ini kendatipun dhaif, namun secara substansi isinya tidak salah. Karena secara syariah, tidak ada larangan bagi muslim untuk mengadopsi nilai-nilai yang baik darimanapun datangnya.

XVII. Tidak ada dampak. Bukan lafadz kinayah.
XVIII. Ya, mengabaikan rasa was-was itu langkah yang tepat.

XIX. Itu sikap yang benar. Teruskan langkah anda mengabaikan was-was. Itu tanda anda sedang dalam proses penyembuhan.

XX. Tidak ada dampak hukum. Kalau memang konteks ucapan itu aman (bukan dalam rangka menceraikan istri), maka teruskan ucapan tersebut tanpa ragu. Selain tanpa dampak, juga itu akan membantu anda menyembuhkan was-was.

XXI. Tidak ada dampak.
XXII. Tidak ada dampak apapun. Lagipula, ucapan istri tidak ada pengaruhnya sama sekali. Kecuali kalau istri bertanya secara sharih: “Apakah kamu mau menceraikan aku?” Kalau ini dijawab suami dengan: “Iya” maka itu akan jadi kinayah menurut sebagian pendapat. Itu kalau ucapan istri sharih, kalau kinayah, maka tidak ada dampak sama sekali. Baca detail: Mengiyakan Permintaan Cerai Istri

XXIII. Itu sangat jauh. Perasaan was-was seperti ini sangat berlebihan karena anda tidak sedang berhadapan dengan istri. Dan bisa memengaruhi kehidupan anda dalam bersosial. Yakinkan diri anda sekali lagi: bahwa ucapan sharih sekalipun kalau dalam konteks bercerita itu tidak ada dampaknya. Apalagi bukan kata sharih. Apalagi kinayah itu diucapkan saat tidak bersama istri. Baca detail: Cerita Talak

XXIV. Tidak ada dampak. Cobalah menjawab dan mengapresiasi ucapan istri agar dia senang. Tidak perlu takut dan panik akan ada dampak. Sekali lagi: jangankan ucapan kinayah, ucapan sharih pun kalau ada di lagu itu tidak akan berdampak. Baca: Cara sembuh was-was talak

XXV. Tidak ada dampak. Bercerita itu adalah fakta, pakai niat atau tidak ada niat tidak ada dampak. Adalah fakta bahwa anda sedang bercerita/bertanya ke kami. Itu yg perlu anda pahami. Baca detail: Cerita Talak

XXVIA. Tidak ada dampak. Perasaan takut yg anda rasakan termasuk bagian dari rasa was-was yang harus diabaikan dan dibuang jauh-jauh. Teruslah berlatih mengembalikan reflek normal anda. Insya Allah reflek normal anda akan semakin baik dan kembali wajar seperti semula. Baca: Cara sembuh dari was-was

XXVIB. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa berkonsultasi itu sama dg bercerita. Jadi tidak ada dampak hukum apapun. Bahkan sudah dijelaskan sebelumnya bahwa larangan membuka aib diri sendiri itu dibolehkan apabila dalam konteks konsultasi pada ahlinya.

XXVII. Tidak ada dampak. Ucapan sharih saja tidak berdampak dalam konteks bercerita/bertanya/bernyanyi, apalagi cuma kinayah.

XXVIII. Tidak ada.

CATATAN:

Seperti saran kami sebelumnya, jawaban-jawaban kami dan rujukan dari pandangan ulama klasik sudah cukup menjawab pertanyaan, keraguan, ketakutan dan was-was anda. Yang perlu anda lakukan saat ini dan seterusnya adalah: (a) menjadikan pengetahuan tersebut dipahami secara baik dan menjadi bagian dari sikap reflek anda dalam mengatasi rasa takut dan was-was; (b) membiasakan diri secara bertahap untuk mengatasi sikap was-was/fobia tersebut dengan cara fokus pada pandangan syariah dalam hal-hal tersebut (masalah cerai dan hukum Islam) dan abaikan perasaan yang menghantui pikiran.

Kembali ke Atas